Di antara tumpukan buku-buku lama

Membereskan benda-benda lama yang sudah tidak terpakai bukanlah pekerjaan yang menyenangkan bagi saya. Terutama dengan radar debu yang sangat peka di syaraf-syaraf hidung saya, pekerjaan beres-beres ini malah jadi hal yang sangat menyiksa. Tapi tak jarang kita menemukan ‘harta karun’ di antara barang-barang bekas itu. Mungkin itu adalah foto bekas pacar yang terselip di antara halaman-halaman majalah lama, atau selembar surat dari sahabat kecil dulu, atau benda-benda kecil lain yang bisa membawa suatu kenangan tersendiri.

Coba lihat apa yang ditemukan ayahnya Obin di antara buku-bukunya: skesta Neenoy kecil yang dibuatnya sekitar hmmm... tujuh tahun yang lalu. Sketsa itu dibuat berdasarkan sebuah foto lama yang entah apakah masih saya simpan atau tidak.

Melihat sketsa itu, saya jadi tersenyum-senyum sendiri sejenak. Gadis kecil -- pemalu tapi keras-kepala -- berusia delapan tahun itu kini sudah memiliki seorang lelaki kecil dalam hidupnya. Tapi gadis kecil itu tetap kan selalu hidup di dalam diri...

Oleh-Oleh Mudik Lebaran

SKETSA-SKETSA

Setiap menjelang hari raya yang fitri, sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia menunggu kedatangan ke-delapan putri dan seorang putranya yang sudah dewasa. Pada hari-hari itu rumah mereka yang kecil di desa akan sesak dengan sembilan orang anak, sembilan menantu, dan sembilan-belas orang cucu. Mereka akan meminggirkan kursi-kursi dan menggelar tikar serta kasur untuk tidur di ruang dalam rumah joglo berhalaman rumput itu. Di setiap hari raya ke-dua, sebuah ritual tahunan keluarga dijalankan. Seluruh anak, menantu, dan cucu akan bergiliran sungkem kepada sepasang suami-istri sepuh itu. Ritual lalu diakhiri dengan pemberian nasihat oleh sang bapak tua, yang menurut cerita tak jarang diikuti dengan sedu-sedan tertahan anak-anaknya. Pada hari itu, pintu rumah beratap joglo berhalaman rumput itu sejenak kan tertutup bagi orang-orang yang hendak bertandang. Demi sebuah ritual tahunan keluarga.

***

Di tempat lain di kota kecil yang sama, seorang lelaki tua hidup sendiri. Istrinya sudah lama berpulang terlebih dahulu, sementara takdir tidak memberinya keturunan. Hari-hari dijalaninya dengan rutinitas mengurus sendiri keperluannya dan juga rumahnya yang kosong. Bagi lelaki tua itu kegembiraan hari raya adalah saat ia menerima kunjungan anak angkatnya dan 'cucu'nya yang tinggal di kota besar. Sebuah kegembiraan yang walau hanya beberapa hari saja, tetap sangat berarti bagi dirinya.

***

Seorang lelaki muda setiap tahun selalu menyempatkan kembali ke rumah orang tuanya, tak jauh dari rumah lelaki tua yang hidup sendiri itu. Tak ada acara khusus di sana. Tak ada sajian khusus untuk menyambut kedatangannya. Namun tetap saja selalu ada panggilan untuk kembali. Kembali ke rumah yang kini makin terasa kosong setelah ditinggalkan satu-persatu penghuninya. Hanya tertinggal kedua orang-tuanya yang baru seja memasuki usia pensiun.

Tak ada acara khusus di sana. Tapi tetap saja suatu panggilan seakan membisikinya untuk selalu kembali. Panggilan yang kemudian menggapai-gapainya semakin kuat setelah hadir sosok-sosok baru dalam hidupnya. Kini baginya, kata pulang makin bermakna: sebuah bakti pada orang-tua, sebuah ikatan yang kan slalu diperbaharui simpulnya, sebuah potret diri yang kan ditunjukkan kepada belahan-jiwanya, dan kisah-kisah lama yang kan didongengkan pada buah-hatinya.


CERMIN

Setiap orang butuh suatu ritual. Suatu peristiwa yang dinanti-nanti walaupun telah berulang sekian kali, sekian lama. Seperti minum secangkir kopi tiap pagi, seperti memandang hujan kesorean dari balik jendela kamar, seperti apel pacar di malam minggu, seperti merenung sendiri di gelap malam tahun-baru, seperti takbiran bersama kawan-kawan kecil di malam lebaran... seperti pulang kampung di waktu lebaran.

Setiap orang butuh suatu ritual. Suatu peristiwa yang akan tetap dikenang, bahkan bila ritual itu sudah lama tidak dilakukan. Seperti harumnya aroma kopi di pagi hari, seperti aroma tanah basah sehabis hujan, seperti harum shampo di rambut mantan pacar di sabtu sore yang cerah, seperti derik pijar kembang api di ranting pohon mangga di malam tahun-baru, seperti suara petasan di malam lebaran... seperti binar-binar kaca di mata mbah-putri saat melepas kepergian sang cucu sehabis mudik lebaran.

Setiap orang butuh suatu ritual dengan caranya tersendiri. Dan aku mulai menyukai ritual baruku: mengajak Obin mudik lebaran ke rumah mbah di 'desa'.


---

Walaupun sudah sangat lewat momennya, saya ingin mengucapkan: "Mohon maaf lahir batin" pada teman-teman semua. Sekali lagi MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.
sekedar memberi tanda
akan lambaian tangan
atas empat tahun dua puluh hari yang telah berjalan
adakah yang tertinggal?


i'm officially out of free-internet-connection since today... ;)

Negeri di Atas Awan

Aku pergi ke timur, menyongsong matahari yang belum lama berangkat dari peraduan. Langit terlihat biru dari dalam sini (adakah benar biru, ataukah kaca jendela ini yang membiaskan biru?). Matahari masih jauh rendah dari sepenggalah, sinarnya membiaskan langit biru muda yang cantik di sepanjang horison. Makin ke atas makin tua birunya. Di antara gradasi birunya, semburat sutra putih yang halus menghampar seperti kabut tipis.

Di atasku, helai-helai cirrus berarak, seperti lapisan kapas tipis yang berlari melewatiku. Nun jauh tampak lembar-lembar pita putih dibentangkan, terkadang meliuk, di sepanjang cakrawala. Di bawah sana, daratan kadang tak tampak, tertutup lapisan dan gumpalan kapas putih yang lembut. Seperti sebuah padang salju di negeri yang sangat jauh dari katulistiwa bumi ini. Terkadang puncak-puncak gunung menyembul di tengah kerumun mega, seperti begitu saja muncul dari ketiadaan, di tengah-tengah ketiadaan. Menggoda imaji kanakku akan sebuah negeri di atas awan.

Lihat! Di padang putih sana ada segerombolan domba putih sedang digembalakan. Domba-domba cumulus berbaris rapi, seakan tahu padang ini cukup luas untuk mereka semua. Kini kutinggalkan padang putih dan domba putih, kumasuki sebuah negeri kabut. Langit masih biru di atasku, namun di seluruh sudut horison hanya kabut putih yang tampak. Putih, tipis, luas, penuh.

Perlahan daratan menyeruak di balik kabut. Sebuah suara tanda -- perintah untuk mengenakan sabuk pengaman -- mengusik satu jam perjalanan imajiku. Sudah saatnya kutinggalkan negeri di atas awanku. Mendarat kini aku di dataran realitas yang menyengat ini :)

Baru kali ini gw naik pesawat dengan penumpang cuma 4 orang saja! Hehehe... seru gila! Serasa naik pesawat pribadi ;)

sudah dua tahun

terkadang di dalam tidur lelapnya, kupandangi ia
dulu ia hanya sepanjang lenganku mungilnya
dulu bahkan mungil tubuhnya bisa melingkar di dalam tubuhku nyaman
kini ia terlelap di sisiku, separuh panjang tubuhku sudah

Sejenak Sepi

Ia selalu butuh sejenak sepi. Sekedar sepi, sejenak waktu untuk sendiri. Dan nyaris tak didapatkannya sepinya beberapa hari ini. Dirindunya sepi.

Itulah mengapa ia terkadang lebih memilih untuk tinggal sendiri di kamarnya. Tidak bercengkerama bersama teman-temannya, tidak berjalan-jalan menghabiskan waktu dengan berkeliling kota yang dikunjunginya itu.

Itulah sebabnya terkadang ia lebih memilih duduk sendiri di kamarnya, mematikan cahaya lampu, duduk dalam kegelapan, menatap pijar cahaya lampu kota di luar jendela kamarnya, sambil menghirup secangkir kopi.

Itulah sebabnya... karena ia selalu butuh sejenak sepinya.

Lagi Jauh

hihihi... akhirnya bisa ke warnet juga.
syusah nih di sini nginternetnya :(

oya, menjelang ramadhan. maafin gw ya.
selamat menunaikan ibadah puasa semua....
it's time for me to go now
only for a week, a month, or more... who knows?
all i know, i will miss my lil' star, so much
and i will miss you too...

Ulang Tahun Ninik yang ke-10




Namaku Ninik. Aku belum lama ini ulang-tahun yang ke sepuluh. Ulang-tahunku kali ini sangat berkesan. Karena diadakan di tempat yang lain dari pada yang lain.

Tahun lalu ulang-tahunku diadakan di rumah, mengundang teman-teman dari sekolah. Tapi tahun ini, ibu memberi usul agar ulang tahunku diadakan di YPAC saja. Teman-teman tahukan apa YPAC itu? Itu singkatan dari yayasan pendidikan anak cacat. Aku sih setuju aja dengan usulnya Ibu.

Ketika hari ulang-tahunku tiba, pulang sekolah aku bersama Ibu pergi ke YPAC itu. Kami juga membawa makanan, kue-kue, minuman, dan hadiah-hadiah kecil. Sehari sebelumnya Ibu sudah menyiapkan semuanya, juga permen dan kue yang dimasukkan ke kantong-kantong plastik kecil yang dihias dengan pita. Aku juga ikut membantu menyiapkannya.

Anak-anak di YPAC itu awalnya agak malu-malu. Mereka hanya duduk di kursi yang disusun melingkar. Mereka cacatnya macam-macam, ada yang cacat kakinya dan duduk di kursi roda. Ada yang buta, ada yang bisu, tuli, dan ada juga yang kelihatan kurang pintar.

Ada seorang anak yang kelihatan berbeda. Anak itu sebaya denganku. Tapi yang aneh dari anak ini, yaitu ia tidak punya rambut sama sekali. Bukan kepalanya saja yang tidak ada rambut. Tapi ia juga tidak punya alis. Aku gak tahu kenapa, tapi kayaknya memang dari lahir ia gak punya rambut. Anak ini juga ngomongnya agak gagu, suaranya gak jelas. Mungkin dia juga bisu. Tapi anak ini kelihatan berbeda karena ia paling bersemangat di antara yang lainnya.

Lama-lama anak-anak itu mulai kelihatan tidak malu-malu lagi. Ada yang menyumbang puisi, ada yang menyumbangkan lagu untukku. Ada juga yang memimpin doa sebelum makan. Yang paling berkesan buatku yaitu waktu acara menyanyi bersama. Mereka semua menyanyikan lagu “selamat ulang-tahun” untukku. Padahal mereka banyak yang gagu. Tetapi mereka menyanyikan lagu itu dengan bersemangat sekali. Walaupun kata-kata yang mereka nyanyikan tidak jelas, tapi mereka menyanyi dengan sungguh-sungguh. Aku jadi mau menangis melihat mereka bernyanyi seperti itu.

Ibu, terimakasih ya sudah mengajakku merayakan ulang-tahun di YPAC.

Cerita ini ditulis kembali -- berdasarkan ingatan yang terbatas -- dari tulisan seorang gadis kecil bernama Ninik dua puluh tahun yang lalu. Tidak terasa waktu demikian cepat berlalu…

SATU HARI DI SEKOLAH ALAM

Sebelum jadi terlalu basi, sekarang gw mau cerita tentang open-house Sekolah Alam, tanggal 27 September yg lalu. Ini sebenernya sih bukan cerita open-house SA, lebih tepatnya cerita satu hari main-mainnya gw dan Obin di SA. Ya, bisa dibilang piknik keluarga, deh. Soalnya selain ketemu Shanty, di sana juga gw ketemu Uwin (my big bro) sama istri dan kucrilnya, Rhea dan Raihan. Juga dipastikan ketemu Luthfi dan Rafi, kucrilnya Itoy (my sister), yang memang sekolah di sana. Apalagi namanya kalau bukan piknik keluarga, ya kan?


---

Sabtu pagi itu, gw memasuki pintu gerbang Sekolah Alam yang terbuat dari bambu bersama Obin dan si Mbak. Ini sebenarnya buka kali pertama gw menginjak Sekolah Alam, setelah mereka menempati lokasi barunya di Jalan Anda, Ciganjur, sekitar 2 tahun yang lalu. Pertama kali gw ke sini adalah Agustus lalu. Cuma saat itu gw datang malam hari, ikut nebeng anak-anak murid yg datang menginap, untuk mengamati Mars dengan teropong bintang. Waktu itu, karena gelap, tentu aja gak banyak detail SA yang bisa gw lihat. Karenanya, Sabtu pagi itu, dengan berbekal sepotong denah SA, kami siap mengeksplor semua sudut SA. Lagipula sesuai saran Itoy, gw gak perlu ikut acara penjelasan mengenai SA (soalnya untuk yg satu ini gw bisa kapan aja tanya ke dia. Gitu kan sis maksudmu?)

Alami. Kesan gw masih tetap sama seperti saat pertama kali gw melihat SA di lokasinya yang dulu. Hanya saja sekarang lahannya datar, gak ada lagi tebing curam yang memisahkan bagian penerima dengan bagian utama sekolah. Kini yang tampak adalah lapangan rumput yang cukup luas, dengan jalan setapak melintasinya, dikelilingi pepohonan dan bangunan-bangunan dari kayu. Sekolah itu juga dilengkapi dengan sebuah empang kecil, sebuah rumah ikan, beberapa petak kebun sayur yang penuh dengan cabe dan terong yang menggelantung. Ada akuarium kura-kura di dekat kebun cabe, lalu ada juga kandang kelinci, kandang ayam, dan kambing.

Rumah Pohon

Misi gw kali ini adalah melihat rumah pohon, yg ternyata gak digambar di peta itu. Setelah tanya-tanya, ternyata rumah pohon itu ada di pojok belakang sekolah. Kami melewati beberapa saung 'kelas', berupa rumah panggung yang terbuka, tanpa dinding. Masing-masing saung terdiri dari dua lantai, untuk dua kelas. Saung-saung itu ditata mengelilingi sebuah lapangan pasir yg lebih besar dari lapangan bulu-tangkis, yang rupanya selain dipergunakan sebagai area bermain pasir, juga dipergunakan sebagai teater terbuka bagi anak-anak.

Akhirnya gw ketemu juga dengan rumah pohon impian gw ;p. Wah... ternyata lebih hebat dari yg ada di angan-angan gw, soalnya bukan hanya dilengkapi tangga tali, tapi juga rumah pohonnya ada dua yang terhubung dengan sebuah jembatan tali. Wahhh... keren deh pokoknya. Tapi kok ya tinggi bener? Sekitar 7 meter (?) Nyali gw mendadak ciut. Apalagi setelah gw ngejajal naik tangga talinya... ternyata tidak semudah yg gw bayangkan. Akhirnya, gw putuskan untuk jalan-jalan lagi dulu, sambil mengumpulkan keberanian.

Singkat cerita deh, akhirnya gw balik lagi ke rumah pohon ini. Akhirnya berhasil naik dengan bantuan my big bro yg megangin tangga talinya (kalo gak dipegangin tangganya melintir melulu :p). Gw naik berdua dengan keponakan gw, Rhea, 9 th. Lihat fotonya deh, itu gw dan sang keponakan. Gak kelihatan beda jauh kan kita berdua? Ya kan?



Rumah Pare dan Panen Terong

Rumah pare ini adalah jalaran tanaman pare yang membentuk persis sebuah rumah-rumahan, orang dewasa juga bisa masuk walaupun perlu menunduk di dalamnya. Obin seneng banget ngelihatnya, dia sibuk keluar masuk, keluar masuk, dan main cilukba ama gw.

Waktu kita lagi lihat rumah pare ini, ada seorang anak yang ngomong, "Bu, mau beli terong gak? Udah waktunya dipanen. Boleh petik langsung dari pohonnya, kok." Gw lihat ke kiri-kanan, gak ada orang lain deket-deket situ. Ups, pasti 'ibu' yg di maksud itu gw... hehe... suka lupa kalo gw tuh emang udah ibu-ibu :p Akhirnya gw dan Obin, memetik terong. Yang metik gw sih, tapi Obin sibuk mondar-mandir ngasih terong hasil panennya ke si 'kakak penjual terong'. Gw geli dan sekaligus terharu waktu ngelihat anak itu sibuk mencongak berapa uang yang perlu dia kembalikan ke gw. Seorang ibu guru yang mendampingi, terlihat sabar sekali menunggu si anak sampai sukses menghitungnya sendiri. Hebat, Bu Guru! Kalo gw udah gak sabar kali ya ngasih bantuan jawaban.

Flying Fox

Sejak pagi, kita udah disuguhi atraksi kebolehan anak-anak SA ber’flying-fox, cewek maupun cowok. Mereka meluncur dengan tali dari atas pohon kelapa yg hehe.. tinggi banget menurut gw. Siangnya, dibuka kesempatan untuk umum. Wih… gw ama Shanty tadinya udah mau ikut, gak mau kalah sama anak-anak itu dong. Tapi kita berdua keasikan ngebakso dan ‘flying-fox’ nya keburu ‘ditutup’.


Seandainya

Ya, kurang lebih gitu deh satu hari di SA-nya. Kita juga nonton pertunjukan anak-anak SA; story telling, short drama, baca puisi, dll. Terus ada juga anak-anak SA yang jualan pernak-pernik hasil karya mereka, jualan kue dan sirup. Hihihi.. lucu deh lihat mereka. Masak ada bapak-bapak ngasih uang lima ribu untuk beli sirup seribu, eh uang kembaliannya dikasih lagi lima ribu. Namanya juga baru belajar ya, dek..

Obin sendiri sibuk lari-lari. Dan begitu dia lihat ada lapangan pasir, langsung napsu pengen main pasir, walaupun siangnya lumayan terik. Berasa di rumah sendiri ya, Bin?

Walaupun gw gak bisa banyak cerita tentang ‘program pendidikan’ di SA, dari cerita gw ketahuan kan kira-kira gimana kesan gw tentang SA? Kalau saja gw masih umuran TK atau SD, pasti deh gw memohon-mohon sama ortu buat di sekolahin di situ.. hehehe…

***

UPDATE

Buat yang mau tahu lebih banyak tentang Sekolah Alam, sangat dianjurkan untuk datang melihat sendiri sekolahnya.

SEKOLAH ALAM
Jl. Anda 7X, Ciganjur, Jakarta Selatan,
Indonesia Telp. +62-21-78881659


Atau bisa hubungi Ibu Yalti - Telp. +62-21-70726725

Mampir juga ke Blog Sekolah Alam yang dibuat oleh salah satu orang-tua murid.

Happy Belated Birthday, My Bloggie



TERNYATA, dua hari yang lalu, 8 Oktober, adalah ulang-tahun pertamanya Waterflow. He.. he... maaf ya blog, gak diinget hari ulang-tahunnya. :)

Sebenarnya sih, blognya Obin yang lahir lebih dulu. Waktu itu niatnya sih bikin semacam website iseng aja buat Obin. Karena gak ngerti tetek-bengek html, browsing deh saya, nyari-nyari template gratisan. Eh... gak sengaja ketemu makhluk sejenis blog, yang merujuk ke Blogger. Akhirnya jadilah blognya Obin di bulan September 2002 lalu.

Dari Blogskins, saya nemu blognya Okke, dan kemudian nemu blognya bapak blog Indonesia ini. Dari dua blog ini, saya mulai ngebaca blog-blog lain yang seru-seru. Akhirnya bundanya Obin ini jadi pengen punya blog sendiri juga deh... hehehe...

Waterflow, cuma pernah ganti wajah sekali aja, dari [waterflow] ke [waterflow] perahu-kertas seperti yang sekarang ini. Yang punya males sih (dan juga gap-blog, gagap blog). Sejak posting pertama sampai posting ini, jumlah entry adalah 91, berarti rata-rata 1-2 posting per minggu. Yah... lumayanlah... emang jangan pernah berharap saya sanggup posting tiap hari :P

Terus gimana nih sekarang? Bosen? Hm... agak. Eh gak juga sih. Cuma udah mulai kehabisan cerita aja... :D

Pangeran Kecil

Entah apa yang tiba-tiba menggerakkan saya Sabtu siang kemarin, untuk tidak langsung pulang ke rumah. Sepulang dari kantor, tengah hari, tiba-tiba di jalan saya ingin pergi ke sebuah toko buku besar yang sudah lama tidak saya kunjungi. Akhir-akhir ini bila ingin beli buku, paling-paling saya membelinya di toko buku di belakang kantor, atau kadang-kadang iseng ke TIM. Tapi kemarin itu, tiba-tiba saya ingin ke sana.

Eh... tahunya di sana saya ketemu terjemahan Indonesia dari buku The Little Prince. Hore!!! Bukan yang terbitan jaman dulu itu sih (terbitan Pustaka Jaya, 1979). Tepatnya ini terbitan baru (September 2003). Setelah menerbitkan ulang Totto Chan, Gramedia sekarang menerbitkan juga buku Pangeran Kecil ini. Sip lah! Buku-buku bagus gini memang pantas (malah sudah seharusnya) diterbitkan kembali. ... Hm, belum sempat baca 'kembali' semuanya. Tapi saya suka banget, soalnya bukunya dilengkapi juga dengan ilustrasi-ilustrasi berwarnanya Antoine De Saint-Exupery (walau ada juga yg hitam putih) -- gak kayak paperback yang saya punya selama ini, yang hitam-putih aja.

UPDATE

Sedikit dari beberapa kutipan yang saya sukai, percakapan antara rubah dan Pangeran Kecil :


"Apa artinya 'menjinakkan'?" (tanya Pangeran Kecil)

"Sesuatu yang sering diabaikan," kata si rubah. "Artinya 'menciptakan ikatan'."

"Menciptakan ikatan?"

"Tepat," kata si rubah. "Bagiku, kau sekarang hanyalah seorang anak laki-laki kecil, sama seperti seratus ribu anak laki-laki lainnya. Dan aku tak membutuhkanmu. Dan kau juga tak membutuhkan aku. Aku hanyalah seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kau akan unik di dunia ini. Bagimu, aku akan unik di dunia ini."

...

"Hidupku sangat datar. Aku memburu ayam-ayam, manusia memburuku. Semua ayam itu sama, semua manusia itu sama. Akibatnya aku agak bosan. Tetapi jika kau menjinakkan aku, hari-hariku akan jadi seperti dipenuhi sinar matahari. Aku akan mengenali bunyi langkah kaki yang berbeda daripada bunyi langkah kaki lainnya. Langkah-langkah kaki lain akan membuatku melarikan diri ke dalam lubangku di tanah. Langkah kakimu akan memangilku ke luar, seperti musik. Lagipula, lihat di sana itu. Kaulihat ladang jagung itu? Nah, aku tak makan roti. Jagung tak ada gunanya bagiku. Ladang jagung tak mengingatkanku pada apa pun. Itu menyedihkan. Sebaliknya, rambutmu berwarna emas. Jadi bayangkan, betapa menyenangkannya jika kau telah menjinakkanku. Jagung yang keemasan, akan mengingatku kepadamu. Dan aku akan menyukai desau angin di ladang jagung..."


Gajah Sirkus

Tahukah kamu bagaimana seorang pawang dapat mengendalikan dan menguasai seekor gajah yang tubuhnya berkali-lipat besarnya dari tubuh si pawang? Saya mengetahuinya dari sebuah buku novel. Sejak masih muda dan kecil, seekor calon gajah sirkus telah dibiasakan untuk diikat kakinya dengan sebuah rantai pada gelondongan kayu. Gajah kecil itu akan berusaha membebaskan diri, namun ia tidak akan mampu. Seiring berjalannya waktu, ketika gajah itu tumbuh menjadi sangat besar dan [harusnya] juga sangat kuat, kakinya hanya perlu diikat dan ditambatkan -- bahkan pada sekedar ranting -- agar tidak mencoba untuk berontak. ‘Pikiran’ gajah itu yang sudah dikendalikan, bahwa ia tidak akan bisa bebas manakala kakinya terikat.

---

Cerita tentang gajah inilah yang terlintas di benak saya ketika membaca cerita mengenai Tisa (Transisi Tisa) dari buku Sekolah Impian – sekolah yang membebaskan**. Gadis kecil ini telah duduk di kelas empat SD ketika dipindahkan dari sekolah ‘konvensional’ ke Sekolah Alam. Ia pindah bukan karena dianggap anak yang ‘bermasalah’ di sekolah lamanya, seperti kebanyakan cerita lain mengenai kepindahan ke sekolah alam di buku itu. Pada cerita tentang Tisa ini, sang adik dikisahkan telah lebih dulu mengecap SA. Tisa dipindahkan ke SA, karena orangtuanya merasa melihat hal positif pada sekolah adiknya tersebut.

Namun, orangtuanya mau tidak mau terkejut ketika kemudian melihat penolakan dari Tisa. Tiap sore orangtuanya dibombardir dengan keluhan, “Yah, mengapa Kakak harus sekolah di Sekolah Alam…? Kakak merasa tertekan, Ayah.” Di sekolah, menurut keterangan gurunya, Tisa selalu bolak-balik minta izin ke belakang, bahkan sering tidak balik ke saung-kelasnya untuk nongkrong di saung-kelas adiknya.

Rupanya waktu tiga tahun yang telah Tisa habiskan di sekolah dengan gedung, meja-kursi, dan seragam telah membuatnya justru tidak nyaman dengan segala kebebasan baru yang ada di SA -– sekolah yang menyenangkan menurut pengakuan murid dan orang tua murid umumnya. Padahal sekolah lamanya bukan sekedar ‘mengekang’ dalam pengertian atribut fisik itu saja, tapi juga mengekang ide, kreativitas, kebebasan berpikir seorang anak. Sekolah lamanya adalah sekolah konvensional yang menuntut ‘hanya satu jawaban benar, adalah salah jika kamu memilih semua jawaban’ dari pertanyaan seperti: “Budi menolong seorang ibu yang terjatuh di jalan, maka Budi adalah anak yang: a. Baik; b. Sopan; c. Suka menolong; d. Rajin”…

Bukan hanya orang tuanya yang terkejut. Saya pun terpana membaca ceritanya dan serta-merta teringat kisah gajah sirkus tersebut. Namun Tisa bukan lah ‘gajah’ pasti. Ia pun akhirnya berhasil melewati masa adaptasinya, dan menemukan kegembiraan pada hari-harinya di SA, seperti yang dirasakan adiknya.

---

Cerita Tisa tidak berkhir sama dengan cerita gajah sirkus. Mungkin juga karena belum terlalu lama ia ‘dirantai’ kebebasannya. Cuma saya jadi merinding membayangkan bagaimana jika belenggu itu berlangsung sepanjang 12 tahun dari hidup seseorang atau bahkan 17 tahun? Selama lima-ribu-seratus hari sekolah?

Menengok ke masa lalu saya, melihat diri saya kini -- yang bahkan masih juga tidak punya keberanian untuk membebaskan diri dari sistem yang saya rasa 'amat-tidak-menyenangkan'; tiba-tiba saya merasa bahwa saya lah ‘gajah sirkus’ itu.


**Buku “Sekolah Impian – sekolah yang membebaskan” adalah buku kumpulan kisah-kisah dari Sekolah Alam. Saya sebenarnya berniat terlebih dahulu menulis review buku ini, juga cerita mengenai acara open-house kemarin itu (eh … saya ketemu Shanty lo…). Tapi yang jadi duluan malah cerita yang ini. Review buku dan open-housenya menyusul deh. Tapi gak janji ya :p


UPDATE:

Bagi yang mau tahu lebih banyak tentang SA, bisa lihat brosur-brosur berikut ini:
(mohon klik kanan dan Save Target As)
- Brosur SA
- Brosur SA inside
- Green Lab SA
- Green Lab SA inside
- Peta Lokasi SA

Antara Pertanyaan dan Pernyataan



Apakah kita harus selalu mempertanyakan?

Begitu tanyaku. [Ironisnya dengan demikian aku pun telah mempertanyakan sesuatu]

Aku harus dan wajib bertanya, kunyatakan itu sebagai suatu pernyataan pada suatu hari. Itulah sebabnya aku mempunyai akal, untuk bertanya dan mempertanyakan.

Bertanya atau tidak bertanya itu suatu pilihan, kataku suatu waktu kemudian, membuat suatu pernyataan baru. Bila aku memilih untuk bertanya, janganlah aku berpuas diri pada suatu jawaban, begitu seorang bijak mengingatkanku dengan pernyataannya. Berhati-hatilah, katanya. Karena bukan tidak mungkin jawaban yang kupercayai sebagai kebenaran, sebenarnya hanya pecahan dari kebenaran yang utuh. Dan percaya pada kepingan itu saja adalah menyesatkan.

Maka kuterus bertanya. Ku tak puas untuk terus bertanya. Karena suatu pertanyaan ternyata melahirkan jawaban yang padanya kembali bermuara pertanyan-pertanyaan lain. Terus-menerus, tak putus juga. Maka kuterus bertanya. Seperti seorang anak yg haus melontarkan pertanyaan ketimbang mendapatkan jawaban.

Aku terus bertanya, hingga akhirnya aku lelah bertanya. Akankah tiba saatnya aku berdamai dengan pertanyaan dan menerima saja 'pernyataan' ? [ah, masih juga aku bertanya] :)

Memori Ciganjur – Bagian 3

Oleh : Bu Septri

Tentang Hendi. Tani ternak terpadu, … tani ternak terpadu … kata-kata itu yang memenuhi kepalaku. Aku harus mencari seseorang yang mau bantu aku di pertaniannya. Orang itu harus struggle dan harus betul-betul orang lapangan. Satu dari jurusan tanah atau hortikultur, satu lagi dari landscape. Aku nggak punya teman dengan kuallifikasi seperti itu. Tapi mungkin bisa dicari di pesantren ikhwan (laki-laki) Ulil Albab di Bogor.

Akhirnya aku nembak nelpon ke pesantren tersebut. Setelah bla-bla-bla … si penerima telpon menyebutkan dua nama untukku. Hendi dan Syafir. Yak! Langsung janjian bertemu untuk survei lahan. Di mana pertama kali bertemu? Di stasiun kereta super sumpek ekonomi saja, sekalian berangkat ke Ciganjur. Aku pakai baju merah hati biar mudah dikenali. Dia datang telat 15 menit karena nyari-nyari aku dulu. Kakinya beralas sendal jepit (itu pun gede sebelah), kan mau survei lahan, kilahnya.

Hasil survei sudah bisa diduga. Lahan mengandung besi, sangat miskin hara, drainase buruk. Yaa.. intinya harus kerja keraslah, he he he. Mempekerjakan orang sekitar untuk membantu pertanian sangat sulit, minta biayanya selangit. AKhirnya Pak Hendi membawa orang-orang dari Sukabumi untuk mengolah lahan (thok). Dia sendiri selalu ikut terjun dalam setiap gawe pertanian. Yang nyangkul, buat sumur., dll. Setelah ditanami kangkung barulah giliranku untuk merawatnya. Aku nggak pernah bertemu lagi dengan Bapak satu ini sejak kebagian jatah merawat.

Kangkung lama-lama tumbuh… tahu-tahu sudah saatnya panen (tahunya juga dari Kang Hamidin, “Kalau nggak dipanen sekarang sudah ketuaan, mbak.”) Kangkung ini harus dijual, batinku. Tapi dijual kemana? Murid belum punya, guru lagi nggak ada … siapa konsumennya? Waktu itu betul-betul aku lagi sendirian. Dengan mengeraskan hati aku pinjem sepeda tetangga. Kangkung yang sudah sangat buaanyak dan sudah menjulur-julur itu kuikat di sadel belakang (boncengan), lalu “Kangkung, kangkuuung!” Aku teriak-teriak ngider kampung. Rasa malu sudah kubuang jauh-jauh, tidak kudengarkan lagi jeritannya di hatiku. Untunglah 98% kebeli orang setelah seharian ngider. Pada kacian kali ya, sama aku. Masya Allaah…

Nah, tahu-tahu setelah itu datang lamaran dari Pak Hendi (ehm). Singkat cerita lamaran diterima. Sambil nunggu hari jadi kita nggarap lahan teruuuuss. Pembibitan, tanam polibag, nyiram, ndangir, etc. etc. selalu di lahan dan disiram matahari. Tidak ada kamus dipingit, walhasil saat hari jadi, kita berdua adalah pasangan pengantin tergosong sedunia. Hihik. Tapi anak-anak muridku bisa belajar apa saja dari kebun, itu yang paling penting.

Tentang Tri Puji Hindarsih. Siapa dia? Saat bertemu pertama kali kupikir aku bertemu dengan fresh graduate dari SMA. Sungguh! Subhanallah, mbak yang satu ini emang imut. Sholihah yang mantan menwa ini lulusan ITB Geodesi, teman Sujiwo Tedjo di karawitan dulu. Panggilannya Bu Cache. Kenangan yang paling indah adalah saat kita berdua bersiteguh bahwa sekolah siap dijalankan Juli 1998. Saat itu ada yang berkomentar pada Bu Loula, itu guru gilaaaaaaa!

Bayangkan saja. Saat itu saung sekolah belum sepenuhnya jadi, tapi setidaknya kebun sudah tersedia. Tanpa diduga ada petugas IMB memaku plat merah besar bertanda BELUM ADA IMB! Nah! Repot dan berbelit-belit masalah itu. Amit-amitlah….

Akhirnya kita berkucing-kucingan. Jika ada prospek calon orang tua siswa datang, papan itu kita cabut. Jika keadaan ‘aman’, papan ditempel kembali.

Sekolah harus dijalankan seberapapun muridnya. Kelas I ada 3 murid, bu Cache yang pegang. Kelas Playgroup ada 13 murid, aku dan Pak Iman yang pegang. Walaupun hanya ada 3 murid di kelas I, tapi ketiga-tiganya agak bermasalah saat itu. Yang satu suka melempar-lempar barang, yang satu suka memaki-maki dengan kata-kata kasar, dan yang perempuan satu-satunya sudah berkali-kali pindah sekolah, karena kerjanya di kelas hanya tidur menelungkup di meja sejak bel masuk sampai bel pulang. Tapi dengan besutan bu Cache, dalam 3 bulan permasalahan mereka finished! Rahasianya tentu saja … cinta! Cinta yang sangat meluap-luap kepada anak-anak.

Bu Cache juga yang mengenalkan kita semua pada Asih. Sungguh pilihan yang sangat jitu. Asih pegang administrasi dan Asih adalah orang teramanah sedunia!! I love you.

Saya sendiri sempat out dari Sekolah Alam mengikuti suami beragri keliling Jabar. Tapi seperti janji saya pada Iman, saya akan kembali (jika masih diterima…). Ternyata setelah saya kembali, mental-mental baja itu masih ada dan pasti akan terus ada di sini. Dan kekuatan cinta itu pun terus bersinar dan meluap-luap dari semua temanku di sini. Dari semua lini, dari pak kebun, administrasi, marketing, guru-gurunya. Kita tak akan pernah berhenti belajar untuk bisa memberikan yang terbaik yang bisa kita berikan kepada calon-calon khalifah Allah di muka bumi ini. BRAVO!!
---

Tulisan di atas sekaligus sebagai undangan kepada pengunjung blog ini, terutama yang pengen tahu Sekolah Alam itu kayak apa.

Silakan datang ke Open House Sekolah Alam, 27 Sept. 2003, pukul 09.00 pagi – selesai. Alamatnya: Jalan Anda 7X (Depan Kelurahan Ciganjur).

Acaranya macem-macem. Ada Market Day, ada Outbound, juga berbagai eksibisi sains, kebun & ternak, art & craft hasil karya anak-anak PG, TK, dan SD SA. Ada rumah pohonnya juga lho… *sambil melirik Neenoy*, malah di Green Lab-nya sekarang ada rumah parenya. Nggak pernah liat rumah pare kan? Makanya, dateng… ajak anak-anak, ponakan juga boleh. (Itoy)

Memori Ciganjur – Bagian 2

Oleh : Bu Septri

Tentang Kang Hamidin. Akang ini asli Bengkulu dan bertugas sebagai ahli bangunannya. Hasil kerja tangannya luar biasa sempurna. Terasa ada yang lain jika menginjakkan kaki ke saungnya. Indah, agung. Kerjanya rapi jali. Lantai kayu dipasang female dan male, jika salah di antara kayu langsung harus dibongkar dan diperbaiki.. Begitu halus. Aku merasa dia mengerjakannya dengan sepenuh pengabdian kepada Allah, dengan dzikir-dzikirnya. Did you notice? Kayu-kayu di lantai saung berjajar rapi menghadap kiblat. Sempurna!

Kang Hamidin membawa istrinya untuk proyek pembuatan saung sekolah. Mereka sendiri hidup di bawah atap jerami. I mean it. Mereka menyandarkan 2 atap jerami membetuk atap sederhana di tanah. Duduk pun sulit di situ, hanya cukup untuk tidur. Masuknya juga merayap.

Makanannya sederhana. Mungkin khas Bengkulu. O ya, aku pernah ditawari kolak pisang, ternyata ada bawang putih di situ sebagai bumbunya. Nah, suatu hari (hari perayaan) aku melihat sisa-sisa masak daging guling. Sisa-sisa api masih ada. Surprise juga, ada apa nih? Ternyata Kang Hamidin baru baru saja mendapat rejeki nomplok!

Ada rusa nyasar ke lokasi sekolah. Rusa siapa? Masa’ dari Ragunan? Atau memang masih ada rusa di daerah sini? Rusa ini ditangkap rame-rame dengan penduduk sekitar, dan dimasak rusa guling. Dua kali peristiwa seperti ini terjadi.

Tentang Pak Iman. Aku memandangi karikatur-karikatur di dinding masjid Al Hurriyah. Karikatur-karikatur itu, Pak Iman punya. Aku belum pernah bertemu langsung, cuma mendengarkan suaranya saat finishing touch album nasyid Nuansa-nya. Aku harus dapetin dia untuk gabung di Sekolah Alam. Aku agak pesimis, tapi setidaknya aku akan coba.

Akhirnya aku bertemu dengannya di masjid, berta’auf, omong-omong di balik hijab. Kukatakan sebisaku, kukatakan maksud, kita bisa jadi diri sendiri jika kita di Sekolah Alam. Hadiah terbesar untukku hari itu saat Pak Iman bilang: Yes!

Yes! Yes! Yes! Dan aku tidak salah pilih. Sesama bungsu, sesama Virgo (apa hubungannya?) aku sayang padanya. Aku ingat ketika kita ngirit biaya pelatihan outbound dengan memakai temanku untuk melatih mountenary. Pak Iman yang pertama turun. Saat descending ± 8 m, baru teringat sang instruktur. Halo, ada carabiner yang terlupa! Tidak berbahaya sih, sebab Pak Iman sudah lincah naik turun tebing tanpa webbing dan tali. Tempaan alam sejati.

Yang selalu terngiang-ngiang di benakku saat aku pamitan mau ngikut suamiku ke Puncak. “Kau tega ninggalin aku”. Maafkan aku. Semoga kau mendengar janjiku saat itu, bahwa aku akan kembali. Sungguh.

berlanjut lagi...
Sudah lama saya diminta Neenoy, adik saya, jadi blogger tamu di sini untuk menulis tentang Sekolah Alam-Ciganjur, tempat saya menyekolahkan kedua putra saya. Tapi saking banyaknya hal yang pengen saya ceritakan, jadi bingung sendiri mulainya dari mana.

Kebetulan dalam rangka Open House Sekolah Alam yang Insya Allah (moga-moga nggak mundur lagi) bakal dilaksanakan 27 September ini, saya diserahi tugas mengumpulkan tulisan para orangtua siswa untuk dijadikan buku.

Tulisan di bawah adalah salah satu dari tulisan yang masuk. Penulisnya Bu Septri, orang tua murid yang juga salah satu guru di sekolah itu. Dengan seizin Bu Septri, tulisan ini saya kirim ke Neenoy untu ditampilkan di blog ini. Tulisan ini bercerita mengenai para pendiri Sekolah Alam (dari penggagas, guru, hingga tukang kayu) dan seputar suka-duka usaha pendiriannya. Karena cukup panjang, sesuai saran Neenoy, tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. (Itoy)


Memori Ciganjur – Bagian 1
Oleh : Bu Septri

Tentang Bang Lendo. “Namanya siapa?” tanya teman-temanku memastikan sekali lagi. Yang ditanya cuma nyengir. Waktu itu kami sedang kumpul-kumpul santai setelah sholat berjamaah di tempat kost. Sebenarnya mereka cuma menggoda, sebab yang mengenalkan nama Lendo berikut recruitment Sekolah Alam bernama Linda. Linda yang adik ipar abang ini menawarkan pada teman-temanku untuk bergabung dengan abangnya membuat sekolah baru. Syaratnya cuma tiga. Cinta banget sama anak-anak, dari peternakan, dan hafal Qur’an.

“Mau nggak, Sep?” tanya Linda padaku

“Aku hafal juz 30, bukan 30 juz”, jawabku.

“Nggak pa-palah, kita semua juga begitu.”

“Tapi yang peternakan cuma kamu,” teman-teman se-kost kompakan menimpali.

Jadilah aku calon guru di sebuah calon sekolah juga. Baru ada lahan sewa, calon lansekap yang indah, saung setengah jadi dalam pembangunan, tapi calon penempa khalifah-khalifah Allah yang bermutu. Amin.

Bagaimana mewujudkannya? Mulai darimana? Mulai saja dari segala pintu… nyari ahli olah lahan untuk tani ternak terpadu dan lansekap, hunting satu guru handal yang jagoan seni, pelatihan & tular ilmu dengan Uni Loula, buru-buruin Kang Hamidin untuk segera selesaikan bangunan, mulai hunting calon murid door to door, ngurus ijin sekolah juga ijin bangunan (IMB), dll. dll. dll… Tak boleh lupa … nyampulin buku perpustakaan. Siapa lagi yang akan ngerjain? Bagi-bagi tugas.

Untuk beberapa hal tertentu, jika kecapekan pulang pergi Darmaga-Ciganjur jadilah aku seorang yang ‘tidak pernah never dan selalu always’ nginep di kontrakan keluarga abangku Lendo ini. Sebuah rumah kecil kontrakan sepetak yang sudah mau muntah karena diisi barang-barang calon sekolah. Empat ruang kecil di rumah itu jadi extra full booked.

Aku, Uning, dan Khalid kecil bobok bareng bersama buku-buku yang sedang disampul. Bang Lendo tidur di ruang tidur yang lumayan luas, tapi hanya tersisa space sebesar sajadah untuk tidur, selebihnya dipenuhi barang. Karena ruang tidur itu hakikatnya adalah gudang. Tinggal tersisa dapur mungil dan kamar mandi. Di situ pun sudah ada mbak Iyah di belakang lemari esnya sebagai penyekat.

Hihi… tapi ini satu kenangan indah di antara ribuan kenangan indah bersama orang-orang pertama di Sekolah Alam yang kusayangi. Juga Abang yang untuknya akan selalu kutaruh respek dan hormat yang tinggi untuk selamanya.

“Ya mumpung masih muda, harus idealis dan membuat perubahan. Ntar kalau kita sudah tua, barulah saatnya menjadi bijaksana dan pengamat”, kata Abang saat itu.

“Septri, tani ternak terpadunya seperti Sadagori. Dua bukit tandus di Sukabumi itu telah disulap dengan siklus tani ternak terpadu tanpa pestisida kimia sedikit pun.”

Limbah sapi digunakan untuk kebun jeruk, di bawahnya ayam-ayam kampung sedang bertelur… limbah mereka digunakan untuk kolam lele. Sebagian .faeces dialirkan untuk menyirami lapangan rumput tempat makanan .ruminansia. Aliran listrik diambil dari kincir air yang dipasang di sungai. No usseless waste. Nanti anak-anak yang melakukan semuanya…. Sampai ke kemasan dan penjualan.

“Yuk Hendi, Safri, Septri… kita ke Puncak cari ide, melihat lansekap Kota Bunga. Sekolah kita harus mendapat penghargaan Aga Khan untuk lansekapnya. Indah, orisinal, memelihara lingkungan.”

Harapan itu Bang, yang menguatkan kita semua… sampai nanti. Be our best, be our self…

berlanjut...

Andai tidak ada kendaraan bermotor...

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengemail gw, menyampaikan woro-woro acara Car Free Day. Hi, you ;). Katanya, hari Minggu ini, 21 September 2003, sepanjang Jl. Sudirman – Thamrin – Jakarta, akan ditutup bagi kendaraan bermotor, kecuali kendaraan umum. Di ruas jalan itu, akan diadakan berbagai kegiatan: aerobik, sepeda santai, pentas musik, bazaar, lomba gambar & berbagai permainan untuk anak, sepak bola jalanan dan lain-lain. Menurut informasi, acara ini dalam rangka Hari Tanpa Kendaraan Bermotor Sedunia (World Car Free Day) dan tujuannya antara lain untuk menyadarkan masyarakat Jakarta bahwa kondisi udara di kotanya sudah sangat mengkhawatirkan -- terutama disebabkan oleh asap knalpot kendaraan bermotor.

Hm… jadi mikir. Udah berapa tahun gw hidup di kota ini? Sekitar dua pertiga dari hidup gw, bisa dibilang. Berarti sekitar 20 tahun. Dulu, waktu gw belum berani nyetir sendiri, kemana-mana gw naik kendaraan umum. Salah satu hal yang paling gw sebelin dari naik kendaraan umum ini, selain desak-desakkannya, adalah polusinya. Kalo gw naik kendaraan umum kan berarti gw harus nunggu dulu di halte, atau di pinggir jalan. Kadang harus jalan dulu, harus nyebrang jalan, dsb. Untuk itu, gw gak akan bisa menghindar dari yang namanya asap knalpot. Duh tuh asap knalpot… gak tahan banget deh gw…

Karena suatu hal yang bikin gw kepepet, akhirnya gw berani juga nyetir mobil. Sejak saat itu, good bye deh tuh bis, patas, dan kereta jabotabek. Bye-bye asap knalpot… Biar pun kaki pegel nginjek kopling-rem terus, gw lebih rela deh. Cuma ironisnya, dengan gw bawa mobil sendiri, berarti gw juga udah menjadi penyumbang asap knalpot seperti yang lainnya… Kok jadi lingkaran setan sih… *sigh*

Balik ke Hari Tanpa Kendaraan Bermotor ini, ya sepertinya kita memang harus terus diingatkan, bahwa kita perlu memperhatikan kualitas udara yang toh kita juga yang menghirupnya. Seandainya car free day ini tidak hanya terjadi satu hari saja, ah betapa senangnya…

---

Car Free Day. Meriahkan acaranya. Tinggalkan mobil dan motor anda di rumah! Gunakan kendaraan umum atau sepeda untuk bergabung ke Bundaran HI. Kapan lagi bisa bermain-main di jalan raya, bersepeda, bermain skateboard, bermain layangan, seperti halnya di masa kecil dulu, ketika jalan raya belum sepadat sekarang ini. Klik di sini untuk tahu detailnya.

Aku Tari adalah Penari



Tari adalah namaku. Tari saja. Titik. Pendek. Tanpa bunga-bunga penghias. Seperti sebuah kebetulan, namaku pun cerminan aku. Aku adalah penari. Tari adalah namaku, tari adalah cintaku, adalah nafasku, adalah degup jantungku, adalah hidupku. Aku adalah tari.

Aku bisa menarikan apa saja dan aku pun lalu menarikan apa saja. Menarikan angin, menarikan gelombang, menarikan bunga, menarikan malam, menarikan batu. Menarikan suka, menarikan cinta, menarikan hasrat, menarikan resah, menarikan duka.

Aku menari di setiap tempat di setiap waktu. Aku menari di atas panggung, menari di taman, menari di jalan, menari di kamar, menari ketika makan, menari ketika mandi, menari saat tidur, menari dalam mimpi.

Setiap bunyi yang terdengar adalah irama pengiring tari bagiku. Suara gitar, suara organ, suara pita kaset berputar, suara piringan cakram, suara burung, suara air mengalir, suara klakson mobil, suara derik kipas angin berputar, suara derit kapur di papan tulis, semuanya adalah musik bagi tarianku. Ketika tak ada suara lain terdengar, maka desah nafasku, degup jantungku menjelma irama untuk tarianku.

---

Namaku Tari. Aku diberi nama oleh ibu. Ibuku mungkin sepanjang hidupnya telah bermimpi jadi penari. Namun takdir bersabda lain, maka ia hanya dapat bermimpi saja. Lalu aku lahir. Aku lahir bersama mimpinya dan lahirku menghidupkan kembali mimpinya. Ketika nama adalah asa, maka ibu menamaiku Tari. Tari saja. Titik. Pendek. Tanpa bunga-bunga penghias.

Aku dikenalkannya pada tari sejak aku bisa melambaikan tanganku di udara. Menari, menarilah, katanya dalam senandung mengiri gerak tanganku. Maka mulailah aku menari. Ketika aku dapat berdiri sendiri, ia ajari aku bagaimana mengayunkan tubuh mengikuti irama. Menari, menarilah, katanya sambil bertepuk-tangan mengiringi lenggok badanku. Sebelum belajar membaca, aku sudah lebih dulu belajar menari. Menari, menarilah, katanya berseru menyemangatiku.

Ibuku pun giat bekerja demi aku, demi mimpinya. Setiap butir keringat di tubuhnya adalah bagi diriku, bagi mimpinya. Setiap penat di urat dan sendinya adalah untuk aku, untuk mimpinya. Bahkan semburan darah dari mulutnya dan desah nafas terakhirnya, adalah karena aku, karena mimpinya. Ibuku tiada, meninggalkan aku sendiri dengan mimpinya, sebelum aku cukup dewasa untuk menghidupkan mimpi itu...

---

Namaku Tari. Aku diberi nama oleh ibu, dan ibuku adalah seekor kupu-kupu malam, yang dalam tidur lelahnya di pagi hari, selalu bermimpi menjadi penari. Ibuku adalah kupu-kupu malam yang selalu berhasrat terbang tinggi meninggalkan tamannya sambil menari. Ibuku adalah kupu-kupu malam yang kalah oleh malam dan jatuh mati. Kini, di langit sana, ia pasti terbang dengan bangga memandangku.

Aku, mimpinya, bukanlah seekor kupu-kupu malam.
Aku, Tari, adalah penari.
Aku adalah kupu-kupu penari,
menarikan tarian kupu-kupu di malam hari.

Ah, mata kananku kenapa kedutan terus dua hari ini?



Kata nyokap, "Wah.. Noy, kata orang dulu itu berarti mau nangis."

"Loh, bukannya berarti mau dapet duit?" kata gw. Nyokap senyum-senyum doang.

"Eh, apa ada yang kangen kali, ya?" kata gw lagi.

***

Terganggu juga sih. Karena penasaran dan iseng, gw browsing cari info tentang penyebab mata kedutan ini. Eh, ada primbonnya ternyata. Kata itu primbon, arti mata kedutan itu berbeda-beda tergantung waktu berkedutnya dan mata yang mana yang berkedut. Misalnya nih, mata kanan berkedut di sekitar pukul 13-15, berarti akan dapat jodoh. Tapi kalau berkedut di sekitar pukul 09-11 berarti akan ada halangan.

Hahaha... lalu kalo mata gw berkedut terus sepanjang hari, malah sampe dua hari gini, artinya apa dong? Hm... itu berarti ada seorang teman yang kangen sama gw, mengundang gw makan, sehingga gw senang hatinya dan gw dapet jodoh, lalu di tengah jalan, gw akan mengalami halangan, ada seseorang yang mencurigakan akan memberi gw uang. Nah lo... :D

Lebih giat browsing, akhirnya gw dapet juga penjelasan yang lebih logis. Katanya, "Kedutan pada kelopak mata dapat terjadi pada kelelahan yang berat, kurang tidur, ada iritasi pada kornea, atau konjungtiva, anemia, ganguan elektrolit."

Wah... wah...

Finding 'Nemo'

klik di sini

Week-end kemarin, seperti yang udah gw ceritain sebelumnya, gw pergi ke Pantara Islands (note: pulaunya memang lebih dari satu: Pantara Barat dan Pantara Timur), di Kepulauan Seribu. Gw pergi bareng sekitar 30 orang teman se-departemen, dalam rangka pembubaran departemen. Gak bakal ada yang nyangka deh kalo kami berlibur dalam rangka 'farewell'. Soalnya semuanya terlihat ceriya-ceriya aja, seakan-akan memang udah gak sabar nunggu bubar (emberr :p).

Pulaunya lumayan cakep, gak rugi deh naik kapal sampai 2 jam. Yang paling asik, lautnya jernih banget. Ikan-ikan kelihatan gitu dari dermaganya. Coba deh klik foto di atas, untuk lihat image yang lebih jelas. Nah, persis kayak gitu yang kelihatan. Uhhh, pokoknya dari awal nyampe gw udah gak sabar untuk nyebur.

Yang paling berkesan buat gw ya acara snorklingnya. Ini pertama kali gw snorkling dan gw sukaaaa!!!! Wah pokoknya gak puas-puas deh gw nyebur dan 'main-main' sama ikan-ikan yang cantik itu. Juga pergi ke tempat yang lebih ke tengah dan agak lebih dalam buat ngelihat bunga-bunga karang. Di tempat ini, mungkin bunga karangnya gak terlalu banyak ragamnya. Tapi gitu aja gw udah demen banget. Apalagi pas nemu 'Nemo', si ikan badut, yang berenang-renang menyelip di antara anemon laut, dan bisa diraih tangan!!! Wiihh... serasa 'Finding Nemo' beneran deh....

Errr... sekarang rasanya gw jadi pengen snorkling lagi, pengen lihat taman laut-taman laut yang lain. Kayak apa ya???

*apa ya judulnya?*

Seorang temen gw, seneng banget sama film ini ;) . Mengutip katanya, film ini bercerita tentang dua orang yang gak saling kenal yang ketemu di kereta, having a real good conversation, padahal cuma 14 jam yg mereka punya, sebelum mereka akhirnya pisah jalan.

Gw jadi penasaran, dulu waktu gw nonton film ini, ada quote yg gw suka saat itu, tapi gak inget apa itu. ... dan wow, setelah cari di google, gw malah dapet skrip lengkapnya dari site ini. Ini quotenya:

... when you talked earlier about after a few years, how a couple begin to hate each other, by anticipating their reactions, or getting tired of their mannerisms. I think it would be the opposite for me. I think I could really fall in love when I know everything about someone. The way he's gonna part his hair. Which shirt he's gonna wear that day. Knowing the exact story he'd tell in a given situation. I'm sure that's when I'd know I'm really in love. Celine - Before Sunrise

Ummm... so sweet, isn't it? :) I'm this kind of believer. Or more precisely, I'd like to be this kind of believer. [Btw, happy b'day to my hubby :)]

Oh... I'm so excited today, can't wait till tomorrow... pantara islands.. here I come...

Ada bintang di langit kamarku



Kubeli sekotak bintang. Bintang-bintang cantik dalam kotak yang elok. Tak sabar kutunggu saatnya pulang. Membawa bintang-bintang untuk putera tersayang.

Waktupun tiba. Kubuka bintang dalam kotak. Kukeluarkan satu-satu, pelan-pelan. Kudaki tangga, kugapai langit di atasku. Kusemat satu-satu bintang di sana. Kutebarkan bintang-bintang kecil di langitku itu.

Kumatikan terang. Kubiarkan gelap menyibak bintang-bintang itu. Lihat, bintangnya berpendar. Cahayanya lembut, tapi pasti di tengah pekatnya gelap. Kutatap satu-satu bintang itu. Bintang kejora, bintang kecil, bintang jatuh. Banyak bintang menghiasi langit malamku.

Kubeli sekotak bintang. Kini ada bintang-bintang berpendar di langit kamarku.

[hehe beberapa waktu yang lalu gw beli sekotak bintang “glow in the dark”, buat ditempel di langit-langit kamar. Coba tebak, antara anak dan bundanya, kira-kira mana yang lebih antusias sama bintang-bintang itu? ;-) ]

Kanakku dalam Aku



hidup kanak dalam cela, kelak belajar ia mengutuk
hidup kanak dalam permusuhan, kelak belajar ia bertarung
hidup kanak dalam takut, kelak belajar ia hidup cemas
hidup kanak dalam cemburu, kelak belajar ia rasa iri

hidup kanak dalam dukungan, kelak belajar ia percaya diri
hidup kanak dalam berbagi, kelak belajar ia kemurahan hati
hidup kanak dalam pengakuan, kelak belajar ia bercita-cita
hidup kanak dalam penerimaan, kelak belajar ia mencinta
*

---

ku berkaca. menatap kaca.
menatap paras, raut, binar, kerut, di kaca.

ku merangkai kata. berkaca pada kata.
menatap jiwa, sukma, suka, lara, dalam kata.

ku berkaca. mencari jejak kanakku dalam aku.
kanakku yang belajar menjadi aku.
kanakku yang menjelma dewasaku.
seperti apakah ia?

naik ke atas atap



semalam aku naik ke atas atap
ya, hahaha...

semalam aku naik ke atas atap,
bukan untuk memandang langit
bukan untuk menatap bintang
karena tak ada bintang di langitku semalam

semalam aku naik ke atas atap
karena suatu ketidaksengajaan
karena suatu alasan yang konyol

semalam aku naik ke atas atap
hehehe...

[hanya ingin mencatat yang terjadi semalam]
14 agt 03

UPDATE

Malam itu, saya tiba-tiba ingin sekali browsing internet. Maka saya pun pergi ke ruang kerja kakak saya yang berada di bagian luar rumah kami. Tepatnya ruang itu berada di atas garasi yang menempel pada bangunan rumah. Tangga untuk menuju ruang tersebut terletak di dalam garasi.

Belum lagi tengah malam saya memutuskan untuk menyudahkan acara browsing. Namun apa yang saya temukan? Pintu yang menghubungkan garasi dan rumah sudah terkunci. Berarti saya terkunci di luar sekaligus di dalam (?). Saya pun lalu berteriak, menggedor pintu, dan membuat keributan. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa penghuni rumah yang lain mendengarnya. Memang bagi sebagian besar penghuni di rumah tempat saya berdiam, malam seakan datang lebih awal. Hingga saya amat maklum bila tidak ada penghuni rumah yang mendengar teriakan saya malam itu.

Malam itu yang terpikirkan hanyalah: saya harus masuk ke dalam rumah, dengan cara apapun juga, karena lewat tengah malam obin akan bangun meminta sebotol susu. Yang terpikirkan kemudian hanyalah: lewat atap!

Maka terjadilah apa yang telah terjadi.

Malam itu, saya kembali naik ke ruang kerja di atas garasi itu. Dari sana saya turun ke atas atap, memanjat naik ke atas bubungan, menuruni kembali sisi lain dari atap miring itu, lalu turun melalui celah antara dua atap, turun merayap ke taman kecil dalam rumah. Persis seperti maling :). Untung saja tubuh saya cukup kecil. Kalau tidak pasti saya sudah tersangkut di celah atap itu.

Hmm... mungkin ini adalah hal terkonyol yang saya lakukan dalam 10 tahun terakhir. Hmm mungkin... Oh, tapi berkat peristiwa malam itu, saat ini telah terpasang sebuah interkom untuk menghubungkan rumah dan ruang kerja itu. :p

Ceritakan padaku tentang kunang-kunang



Ceritakan padaku tentang kunang-kunang yang berkelap-kelip di sawah dekat rumahmu dulu. Sekawanan kunang-kunang yang kau lewati setiap kali kau pulang dari mengaji di langgar. Apakah mereka bersinar menyambut kedatanganmu? Apakah setiap malam mereka bercanda gembira?

Ceritakan padaku bagaimana rasanya menatap ratusan cahaya kecil yang tersibak oleh gelap malam. Apakah mereka seakan menyihirmu? Tak berkedipkah matamu, agar tak hilang mereka dari pandanganmu? Kau tahankah napasmu, agar tak pergi mereka meninggalkanmu?

Ceritakan padaku tentang mengejar kunang-kunang bersama teman-temanmu. Kunang-kunang yang beterbangan di langit malam. Kunang-kunang yang hinggap di batang-batang padi, hinggap di dedaunan semak, dan terbang kembali. Tertawa riang kah kalian? Tergelak-gelak berlari ke sana - ke mari?

Ceritakan padaku tentang kunang-kunang yang kau tangkup dalam dua tapak kecilmu dulu. Takutkah ia? Ataukah ia malah mengajakmu bercanda, dengan genit memamerkan pesona kerlipnya?

Ceritakan padaku tentang kunang-kunang yang kau tawan dan kau bawa pulang. Kau jadikan kerlipan itu lentera penerang jalan? Hingga terang jalan pulangmu? Kau jadikan ia penerang kamarmu? Menemani tidurmu? Hiasi mimpimu?

Ceritakan padaku tentang kunang-kunang. Ceritakanlah. Ceritakan lagi.
Tidak. Ajak saja aku. Tunjukkan padaku.

[ada tempat dengan sejuta kunang-kunang. aku ingin sekali ke sana]

Siang yang tidak biasa

Pukul 14.15. Seharusnya aku ada di meja kerjaku, di dalam kubus-kubus itu. Tapi tidak. Aku sekarang ada di sini. Di sebuah ruang terbuka, duduk di kursi, di bawah naungan payung tenda bergaris merah dan putih. Aku duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang, yang menyisakan hanya sedikit berkas cahaya di permukaan tanah dan lantai.

Pukul 14.20. Seharusnya aku ada di depan komputerku, entah melakukan kerja apa, sambil sesekali browsing internet. Tapi tidak. Sekarang aku ada di sini, menikmati semangkuk es kacang merah, mencoret-coret di atas selembar kertas, menebar pandangan ke sekeliling.

Di sekeliling: orang-orang berjalan santai, orang makan dengan santai, ngobrol dengan santai. Sepasang muda-mudi bercerita dengan santai. Tukang parkir duduk merokok dengan santai, mobil-mobil parkir dengan santai. Gerobak didorong dengan santai, sepeda bergerak dengan santai. Seorang ibu menggelar dagangan batiknya, membujuk calon pembeli dengan santai. Benarkah semua? Mungkin aku saja yang sedang senang, sehingga di mata ini semuanya terlihat bergerak dengan tenang.

Pukul 14.35. Serutan es di mangkuk sudah mulai mencair, menyisakan butir-butir kacang merah yang terendam dalam genangan air, sirup, dan susu kental manis. Kupanggil seorang anak lelaki kecil penyemir sepatu. Sedari tadi ia bolak-balik saja, menawarkan jasa tanpa hasil, namun selalu dilewatinya aku. Sementara aku sedang senang, hingga sepatu-sendal ini -- yang nyaris tidak pernah dan tidak perlu disemir -- kuserahkan padanya. Aku sedang senang, karena itu kupikir sesekali sepatu-sendalku perlu juga bermanja-manja.

Pukul 14.45. Es kacang merahku sudah hampir habis, hingga dasar mangkuknya sudah mulai terlihat. Anak lelaki kecil itu memanggilku, “sudah selesai, mbak”. Tak lama kemudian katanya lagi, “terima kasih, mbak”. Ku lihat ia pergi dengan senang, mungkin karena dilihatnya aku sangat senang.

Pukul 14.55. Semangkuk es kacang merah tandas sudah. Aku belum lagi bangkit dari dudukku. Masih melihat sekeliling sambil tersenyum. Akhirnya kuputuskan untuk pergi juga. Dengan hati senang kutinggalkan tempat ini.

Ya, aku sedang senang. Karena di sini, saat ini, aku sedang merayakan sesaat kebebasan, perlawanan, dan pembangkangan dari sebuah rutinitas :-)

Padahal kan kamu alergi debu?



Itu kalimat yang dilontarkan sang suami, waktu saya menceritakan kisah debu cinta kama padanya :)

Debu Cinta Kama
(disadur dari kisah Kama-Rati)

Pada suatu masa di negeri para dewa, adalah Kama sang dewa asmara berpasang dengan Rati sang belahan raga. Kama tampan mempesona, Rati cantik meluluhkan jiwa. Asmara antara mereka membara. Penuh hasrat meraga, kesenangan semata.

Kama berkelana dengan busur dan anak panah bunga. Menggoda dewi dan dewa, memanah racun asmara. Siapa pun terkena anak panahnya, tak kan mampu mengelak dari getar dan demam asmara.

Alkisah Kama menunai tugas penting dari sang Indra. Membangunkan Siwa dari tapa brata. Kama pun menggoda Siwa dengan pesona dan anak panah bunga. Siwa murka. Dibakarnya Kama dengan mata ketiganya. Kama akhirnya hanya menjadi debu nan hampa.

Rati gundah gulana. Memohon ia pada sang Siwa, Kama kembali jadi belahan raganya. Siwa tergugah hatinya. Kama kembali ada, namun tanpa raga. Hanya sang jiwa, bertebaran abadi sebagai debu cinta. Menabur cinta yang menjiwa pada seisi jagat raya.

...dan seperti yang telah digariskan
debu cinta telah ditebarkan
hingga pada suatu ruang suatu masa
seseorang bisa begitu saja
jatuh cinta pada seseorang lainnya...


apapun makna cinta yang ada
biarlah ia memaknai dirinya
‘met tiga tahun, yang…
:)

Catatan Senja



di setiap paruh senja yang sama
di belah jalan yang itu juga
selalu aku bersesimpang
dengan sekawanan burung terbang

aku dan burung terbang
sama-sama pulang
ke sarang

Kisah Dua Ibu:
Pantaskah Ia Cemburu Padanya?



Bunda. Ia hanya perempuan biasa. Perempuan setengah baya, ibu dari seorang anak lelaki kecil yang belum lagi bisa memanggilnya Bunda. Ia hanya perempuan biasa, yang seperti banyak perempuan lain di kota ini dan di masa ini, bekerja di luar rumah. Ia meninggalkan sarangnya, meninggalkan sang buah hati pada sang pangasuh, ketika bola matahari masih merah di sebelah timur langit. Lalu bergegas pulang sebelum semburat merah di langit berselimut hitam, agar ia bisa menemui sang buah hati sebelum terlelap dalam buaian mimpi.

Ada sebongkah besar rasa bersalah membuncah setiap kali lambaian tangan diberikan. Namun seorang sahabat mengingatkan, “kualitas lah yang penting, bukan kuantitas”. Ia pun membenarkan. Hanya saja, hati tidak pernah berdusta ketika mengatakan kecemasan, “Bunda, kualitas seperti apa yang bisa kau ciptakan, ketika dari dua belas putaran jam yang bisa kau lewatkan bersama buah hatimu, delapan putaran jam adalah saat ia terlelap?”

***

Emak. Perempuan yang dipanggil Emak itu kini kembali bertemu dengan anak perempuannya. Telah enam purnama berselang sejak terakhir kali ia tinggalkan kampungnya dan buah hatinya.

Kali ini sebagai tanda cintanya, telah diberikannya sebuah buah tangan untuk anak perempuannya itu. Sebuah pakaian seragam putih merah yang baru. Seragam yang ternyata masih terlalu besar. Ketika membelinya, perempuan itu salah menaksir ukuran tubuh si buah hati yang sudah lama tak dilihatnya.

“Mak, besok sudah mau pergi ke kota lagi?” tanya anak perempuannya.
“Iya, Emak sudah satu minggu di sini. Besok Emak sudah harus pergi lagi. Kamu yang nurut ya, sama Nenek. Nanti Emak pasti pulang kalau kamu terima rapot lagi”.

Ya, ia harus kembali ke kota. Seorang anak lelaki kecil yang memanggilnya Mbak telah menunggu di sana.

***

Bunda. Perempuan yang menyebut dirinya Bunda itu menarik napas lega karena si Mbak sudah kembali dari kampung tadi malam. Pagi ini dilihatnya sang buah hati berseru gembira memanggil dan menghampiri si Mbak. Perempuan yang menyebut dirinya Bunda itu tersenyum ikut senang. Membatin sebuah tanya dalam dirinya, “Pantaskah aku cemburu padanya?”

Gue, Aku, dan Saya

Kalau blog kamu di tulis dalam bahasa Indonesia, kata ganti apa yang kamu pakai untuk menyebutkan dirimu? Gue, aku, saya?

Ingat pelajaran Bahasa Indonesia dulu? Kata ganti orang pertama, itu istilahnya. Kata ganti orang pertama (kalau gak salah) artinya adalah kata yang dipergunakan untuk menyebutkan subjek pelaku, orang yang berbicara, si penutur dalam cerita. Dalam bentuk tunggal, contohnya: aku, daku, saya, hamba, gue (kata ini udah termasuk bahasa indonesia juga, kan?). Banyak pilihan ya? Huhuhu… itulah kelebihan sekaligus kekurangan bahasa Indonesia. Kalau bahasa Inggris kan cuma satu aja, the magic word "I".

Konsistenkah kamu dengan kata ganti yang kamu pakai untuk menyebutkan dirimu dalam blog?

Kalau saya, ternyata gak konsisten tuh. Buat yang mengikuti (dengan setia :)) blog saya dari awal, pasti bisa deh melihatnya. Awal sekali, saya pakai kata gue. Ya, karena reflek sehari-hari saya memang adalah kata gue itu. Seperti dulu sekali ketika saya menulis buku harian, maka saya mengawali blog ini juga dengan menggunakan kata gue.

Tapi kemudian blognya mulai kedatangan pengunjung. Waduh, gak bisa bebas curhat lagi dong ya? Hehehe. Jaim ya, istilahnya? Tapi saya memang tidak terlalu terbuka sih orangnya. Gimana dong? Lagipula kata gue itu biasanya selain mendorong bawah sadar saya buat curhat, juga sering membuat saya kelepasan ngomel bin ngedumel gak jelas. Duh, gak deh, saya sih gak pengen ngomel di internet. Cukup di dunia nyata aja. :)

Jadi deh akhirnya saya mulai memakai kata ‘saya’. Sekalian juga mencoba untuk menulis yang (sok) serius sedikit (dohh). Jadi kayaknya sih kata saya cocok.

Waktu berjalan, dan saya mulai mengenal para pengunjung blog ini. Saya merasa kata saya kadang terlalu formal. Kadang terasa terlalu mengambil jarak. Selain itu terkadang gak semua cerita cocok dengan kata saya. Ada kalanya saya ingin menulis seakan berbicara pada diri saya sendiri, seperti bergumam, bukannya bicara dengan orang lain. Karena itu, akhirnya muncul deh kata aku di blog ini.

Sekarang ini sih setiap saya mulai menulis sebuah cerita baru, saya selalu berpikir sebentar. Pakai saya, aku, atau gue? Repot? Gak juga. Buat saya malah enak, fleksibel. Untuk selanjutnya, saya sepertinya akan terus konsisten dengan ketidak-konsistenan ini. Aku, gue, atau saya. Atau yang lainnya. Atau nanti mungkin juga saya akan memakai nama saya, neenoy, sebagai kata ganti. Yah, tergantung ceritanya, tergantung suasana hati, tergantung apa pun nanti.

Eh, kalau kamu gimana?

Bergerak Makin Cepat

tiga tahun yang lalu, pergi dari rumah pukul tujuh tepat,
aku tidak akan terlambat

dua tahun lalu, aku harus pergi jam tujuh kurang seperempat,
agar tidak terlambat

mulai tahun lalu, pukul setengah tujuh aku harus sudah berangkat,
agar tidak terlambat

sekarang, agar tidak terlambat,
aku harus berangkat jam enam lewat seperempat

apakah waktu bergerak makin cepat
ataukah aku yang bergerak makin lambat?

tesss

lalu?

Report Acara Musikalisasi Puisi SDD

Wah.. gue lagi gak sempet nulis apa-apa. Juga report tentang acara kemarin. Tapi ternyata udah ada yg nulis kok. Silahkan berkunjung ke sini dan di sini :)

** duh blogger baru ini ada yang signifikan beda gak sih? gue belum sempet nih ngopreknya :(

SEGERA : Musikalisasi Puisi SDD

Ya, saya tahu ini mepet banget. Tapi anyway kayaknya saya sudah utang informasi ini, terutama buat orang-orang yang sudah sering nyasar dari search engine ke blog saya karena posting saya yang ini, ini, dan ini. :-)

NB:
Acara ini menurut informasi bukan launching kaset/ CD seperti yang pernah saya isukan dulu :-). Dan tempat katanya sangat terbatas, sehingga yang benar-benar berminat diharap menghubungi nomor telpon di bawah terlebih dahulu (untuk mendapatkan undangan).

Berikut detailnya :

Musikalisasi Puisi - Sapardi Djoko Damono

Rabu, 25 Juni 2003 (Pk. 19.00 - 21.00 WIB)
Warung Apresiasi - GOR bulungan, Jakarta Selatan

Acara :
Musikalisasi Puisi (Ari, Reda, Nana)
Pembacaan Puisi
Lelang Buku Sapardi Djoko Damono

Informasi dan konfirmasi :
Redaksi MataBaca
5483008, 5490666 ext. 4041-4043
Jakarta News FM
75816833 (Arum)


psst.. pengumuman ini bakal terhapus sendiri kalau acaranya sudah lewat... :D

info tambahan :

Buat yg gak bisa dateng / gak kebagian undangan, tapi pengen denger:
Acara ini akan disiarkan langsung di Radio Jakarta NewsFM -- 97,4 FM -- pada malam itu (25 juni), mulai jam 7 sampai 9.

D A !

"da!" begitu ia memanggilku
"da! daa!" mengalun suara itu

aku tersenyum
pura-pura tak mendengar
berharap ia memanggil kembali

"daa! daa!" teriak kecilnya

aku tersenyum
usai sudah penantianku
ujarku, "apa, sayang? bunda ada di sini"

"daa", teriak kecilnya
dan langkah kecilnya berlari menghampiriku

(Obin, yang udah bisa bilang 'da', belum 'bunda')

Penyesalan

mengutip lontar:

hmm... seandainya saja aku dulu begini....
barangkali kejadiannya akan lain. nggak seperti ini....

pernah nggak pada ngerasa seperti itu?


jawabannya:
tentu pernah, dong.
seperti beberapa hari terakhir ini,
pertanyaan sejenis mengelitik kembali

kenapa ya dulu mutusin kerja di tempat ini?
kenapa ya dulu ketika ada pilihan untuk A, malah memilih B?


tapi ayo, tak perlu berlama-lama menyesali diri
yang sudah terjadi, pasti terjadi dengan suatu tujuan
sebab segala sesuatu di semesta ini memiliki tujuan dan alasan
bahkan ia pun ada di balik kerlip bintang-bintang di atas sana

dan bila aku benar-benar percaya,
nanti pasti kan kutemukan kembali jalan itu :-)

Seorang Sahabat


Belum lama ini aku mengunjungi seorang sahabat lama. Di sana kutemui seorang wanita yang tak terlihat lagi tubuh bak modelnya. Seorang perempuan yang walaupun telah enam bulan lewat bersalin, masih terlihat kelebihan sekian kilo berat badan padanya. Namun di sana juga kutemui seorang ibu yang bahagia.

Hm… betapa waktu seakan telah terbang begitu cepat. Rasanya baru kemarin ketika kita curhat tentang kecengan atau pacar. Kini perbincangan di telepon adalah tentang anak yang susah buang air besar.

Sudah berapa lama ya? Tujuh belas tahun sudah kita saling kenal. Dua belas tahun yang lalu kita duduk satu kelas. Dan sebuah pengumuman 11 tahun yang lalu, yang meletakkan namaku persis di atas namamu, menggariskan hidup kita untuk seakan selalu bersama selama beberapa tahun kemudian.

[satu smp, satu sma, satu kelas, satu kampus, satu angkatan, satu jurusan, satu tempat kp, satu kelompok tugas akhir, satu kapling, sempat satu tempat kos, dan wah … kita juga sempat setengah tahun kerja di kantor yang sama. wehhh… apa gak bosan?]

Seingatku kita sebenarnya tidak selalu bersama-sama. Kau punya kesenangan sendiri. Aku pun punya kesenangan lain. Kau punya teman-teman lain. Aku pun juga. Kita tidak pula selalu menyenangkan bagi satu sama lain. Sekali waktu akumu, kau ingin sekali menampar mulutku yang asal bicara. Dan kau dengan ‘selalu aku - anak tunggal itu’ juga sering membuatku naik darah.

Tapi seperti sahabat, kita memang saling berbagi. Berbagi cerita dan gosip pasti. Berbagi air mata dan sedih. Berbagi kesenangan dan kegembiraan. Berbagi cemas, bingung, gelisah, dan marah. Berbagi pengaruh, yang baik juga yang buruk. Berbagi waktu mencari tempat sepi untuk berbagi sebungkus rokok. Berbagi keheningan ketika tak ada lagi yang perlu dibagi.

Hanya satu patah kata: thanks.

Apa Masalahmu?

Hari ini adalah hari ke dua kami berada di sini. Di suatu tempat di daerah yang sejuk, hijau, jauh dari keramaian kota. Kami bertiga-puluh-dua jumlahnya. Ditemani empat orang ibu yang memiliki wajah dan bicara yang sangat ramah.

Mulai kemarin sore, acara ini dimulai. Kami dibagi dalam empat kelompok secara acak, memilih tempat yang nyaman untuk duduk melingkar. Seorang ibu yang baik menemani kami. Katanya, yang kami perlukan hanyalah menceritakan diri kami masing-masing secara bergiliran dan menjadi pendengar yang baik ketika yang lain bercerita. [ya, walaupun kami telah satu tahun bersama hampir setiap hari, dari pagi hingga petang, sebenarnya kami tidak begitu dekat satu sama lain]

Aku kurang menyukai acara seperti ini. Bukan karena aku menganggap acara seperti ini tidak berguna, bukan. Hanya saja aku selalu bingung jika harus menceritakan tentang diriku. Apa yang bisa kuceritakan tentang aku. Diriku biasa-biasa saja. Hidupku datar, normal. Tidak ada yang menarik dari cerita hidupku. [Hidupku memang membosankan]

***

Hari ini adalah hari kedua. Siang ini kami duduk melingkar di lantai sebuah pendopo kecil. Angin semilir dan teduhnya pohon flamboyan di samping pendopo, membuat pendopo ini terasa nyaman walaupun matahari terik di luar sana.

Aku merasa lelah dan bosan duduk terus seperti ini. Acara tadi malam berlangsung hingga sangat larut. Dan pagi ini acara sudah dimulai kembali. Tadi pagi kami bergabung dengan kelompok lain, melakukan beberapa permainan, dan membicarakan konflik-konflik yang ada dalam kelompok besar. Saat ini kami dibagi lagi dalam kelompok kecil. Kembali diharapkan membuka diri masing-masing, membagi masalah pribadi yang dirasakan bisa mengganggu bagi perkembangan diri kami. [ah, apa lagi yang bisa kubagi, selain kenyataan bahwa diriku terlalu malas?]

Apa masalahmu? Temanku, si jenius, ditanya oleh seorang teman yang lain, mengapa ia sering sekali datang terlambat. Si jenius, dengan wajah serius tapi lucu, bercerita bahwa ia adalah seorang penghayal dan pemimpi yang hebat. Ia sering hanyut dalam mimpinya dan ini mengakibatkan ia sering terlambat bangun. Kalaupun ia terbangun, ia sering tergiur melanjutkan mimpinya dalam lamunan. [ah.. si jenius ini memang sungguh kocak]

Temanku - si gadis hitam manis - bercerita bahwa bapaknya baru dikhianati teman dalam berbisnis. Keluarga mereka akibatnya saat ini tengah dililit hutang yang sangat besar. Ia juga bercerita tentang ibunya yang kerap menyalahkan bapaknya yang mudah percaya pada orang lain. Temanku ini sedih, karena mungkin mereka harus melepaskan rumah mereka. Juga karena situasi di rumahnya yang tidak lagi damai. [siapa pernah sangka bahwa gadis hitam manis yang selalu siap menolong ini sedang dilanda masalah?]

***

Tiba-tiba gadis berkerudung temanku ikut berbicara. Seluruh pasang mata memandang dirinya. Suaranya lirih dan bergetar. Matanya menunduk. Tangan kanannya memainkan jemarinya, membuat gerakan seakan menulis di lantai, seakan gerakan itu akan mengumpulkan keberaniannya.

"Saya mempunyai masalah yang saya rasakan sangat menghambat diri saya." Gadis berkerudung itu terbata memulai ceritanya.

"Masalah yang sebenarnya sudah lama sekali terjadi." Katanya lagi sebelum terdiam kembali.

"Terjadi waktu saya masih sangat kecil." Suaranya sangat bergetar seperti hendak menangis.

"Sejak peristiwa itu saya tumbuh menjadi seorang yang pemalu, sangat berbeda dengan kakak dan adik-adik saya. Saya tidak berani berbicara dengan orang lain, apalagi di depan umum. Saya gemetaran bila harus bicara [ya, suaranya memang selalu bergetar]. Saya juga lemah dan mudah sakit." [ia waktu itu hampir pingsan ketika pulang naik kereta bersamaku]

Kami terdiam. Ibu yang baik akhirnya berkata, bertanya lebih tepatnya, "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

Gadis berkerudung itu tiba-tiba pecah tangisnya, "Saya tidak bisa bercerita tentang itu."

Dengan terisak dan suara yang bergetar, gadis berkerudung itu melanjutkan, "Saya masih sangat kecil waktu itu. Saya waktu itu bahkan tidak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri saya. Apa yang telah dilakukan orang itu. Hanya saja saya merasakan itu adalah sesuatu yang amat salah, menakutkan, memalukan." Ia terdiam lagi.

"Saya sungguh tidak bisa bercerita tentang peristiwa itu. Tidak bisa. Maafkan saya" isak gadis berkerudung itu.

"Tidakkah ada seseorang yang tahu? Yang pernah kau ceritai?" tanya seorang temanku.

"Tidak seorang pun. Tidak pernah sekali pun saya menceritakannya ini pada seseorang. Tidak pada kedua orang-tua saya, tidak pula pada saudara-saudara saya. Mereka tidak pernah tahu apa yang pernah terjadi pada saya."

***

Kami kini benar-benar terdiam. Tidak tahu mesti berkata apa lagi. [Dan aku tiba-tiba merasa teramat malu karena telah menganggap hidupku yang normal ini membosankan]

Perubahan



Pada suatu perjalanan, seorang teman pernah bercerita. Ia bercerita tentang kisah cintanya yang kandas setelah sepuluh tahun lamanya.

Tidak benar kalau kami sudah tidak saling sayang lagi, katanya. Hanya saja kami makin lama makin seperti dua orang asing. Duniaku dan dunianya makin terasa berbeda. Mungkin jarak memang sedikit banyak berbengaruh pada hubungan kami. [Mereka memang beberapa tahun terakhir terpisah oleh jarak]. Aku sebenarnya tidak ingin menyalahkan jarak.

Ibuku punya perumpamaan yang bagus untuk menjelaskan apa yang terjadi pada kami, katanya lagi. Katanya, kami berdua adalah dua individu yang memang berbeda, bagaikan dua buah bentuk geometris yang berbeda. Misalkan aku segitiga dan ia adalah segi empat. Sepuluh tahun yang lalu pun kami sudah seperti itu. Tapi saat itu, ia adalah segi-empat yang cocok dengan segitigaku. Sesuai ukurannya, sesuai posisinya, sehingga kami pun merasa bisa saling berbagi ruang dan sudut.

Waktu pun berjalan, kami masing-masing harus berubah. Namun ternyata kami berubah ke arah yang berbeda, dengan kecepataan yang berbeda, dengan besaran yang berbeda. Lingkungan yang berbeda pun mungkin membuat perubahan itu makin ke arah yang berbeda. Tiba-tiba sepuluh tahun kemudian, aku masih segitiga dan ia masih segiempat. Namun kami bukan lagi dua bentuk yang bisa saling mengisi dan berbagi.

***

Cerita temanku itu sudah lebih dari tujuh tahun berlalu. Namun ada kesan khusus sehingga sampai kini pun aku masih mengingatnya. Mungkin karena kurasakan ada kebenaran pada perumpaman itu. Mungkin...

Tulisan Tanganku

oleh: sang pendongeng

Sudah larut malam. Entah kenapa aku belum bisa tidur.

Aku buka laci mejaku. Kuambil buku lusuh itu. Kamu belum pernah melihatnya. Sudah lama aku tidak menulis di dalamnya. Buat aku ini adalah diary-ku. Bukan buku diary bagus dan imut yang sering kamu lihat di toko buku. Cuma buku tulis murah, tebal, bergaris, dengan hard cover.

Tetapi dulu aku suka menulis di situ. Catatan-catatan gak penting. Uneg-uneg. Hal-hal senang dan sedih tentang aku dan kata-kataku. Tentang hari-hari susah dan hari-hari kemenangan.

Entah kenapa aku ingin menulis lagi di dalamnya setelah sekian lama. Lucu ya, di jaman seperti ini, orang sudah malas menulis tangan dibanding mengetik pada keyboard. Agenda, jurnal dan diary pun telah pindah ke dalam piringan magnetik hard disk, disket, memory PDA, dan server weblog sebagai catatan harian online, seperti punya kamu.

Entah kenapa aku ingin melihat lagi goresan tulisan tanganku yang jelek, tapi jujur. Goresan yang bahkan sudah mengucap kata tanpa harus merangkai huruf-hurufnya. Bahkan kadang aku tidak menulis dengan huruf, karena aku menggambar di dalamnya.

Iya, aku ingin menulis lagi di dalamnya setelah sekian lama. Mungkin karena ada gejolak debar tak beraturan dalam dadaku. Walaupun tidak banyak yang bisa kutulis, karena aku sudah tak mampu menterjemahkan rasa dalam urutan kata.

***

Aku ingin menulis malam ini. Di buku tulis lusuhku. Suatu saat bila aku tak mampu berkata-kata di depanmu, bisa kurobek bagian kecil pada halaman ini, dan kusampaikan padamu. Dan kamu bisa mendengar batinku bicara melalui goresan itu. Aku cuma ingin menulis, dan semoga kamu dengar, "aku kangen kamu".

***

(terimakasih buat pemilik perahu kertas)

Aku Suka Menulis

‘Aku ternyata suka menulis!’, kataku suatu hari pada seseorang.
[Aku mengatakannya seperti Archimedes berseru eureka!]

‘Aku menulis maka aku ada’, tulisku suatu hari.
[Aku berujar seperti layaknya Descartes berfilsafat cogito ergo sum]

Aku mengatakan itu semua bukan tanpa alasan, bukan tanpa proses.
Kalau diingat-ingat aku sudah menulis sejak dulu sekali.
SD menulis puisi
SMP menulis diary
SMA menulis catatan harian
Kuliah menulis jurnal harian
Sekarang menulis weblog
[Sebuah proses yang bagus bukan?]

Dari proses itu kutemukan ternyata menulis lebih kusuka dari banyak hal.
Seperti olahraga yang memang tak pernah bisa dan tak pernah suka.
Seperti menggambar yang dulu sebelum kuliah ngakunya suka.
Seperti matematika yang dulu suka, sebelum menjadi kalkulus.
Seperti menari yang baru belajar setelah tubuh terlanjur kaku.
Seperti bahasa asing yang lebih sering bikin lidah terbelit.
Seperti main musik yang uhhh kok susah banget.
Seperti main game yang lebih sering kalah.
Seperti memasak yang hmm malu ah…

Ya, kalau menulis aku suka.
Tapi ternyata masih ada yang aku jauh lebih suka:
A k u s u k a t i d u r !
[itu sebab blog ini jarang diupdate]

semu

maafkan aku
karena hadirku semu

maafkan aku
karena egoisku

Jangkrik

Beberapa hari yang lalu, sepulang makan siang, di emperan belakang gedung kantor terlihat ada orang menjual jangkrik mainan di dalam kotak-kotak kecil. Dalam satu kotak ada seekor jangkrik mainan seukuran jari, sekilas tampak seperti terbuat dari sejenis logam. Jangkrik itu mengeluarkan bunyi mengkerik persis seperti jangkrik sungguhan. krik krikk...

Sempat terlintas pikiran untuk iseng mampir dan membeli sebuah untuk Obin. Tapi tidak jadi. Namun sambil berjalan, masih terpikir juga jangkrik mainan itu. Sudah sedemikian langka kah suara jangkrik di kota ini? Begitu dirindukannya?

***

Tadi malam aku sedang duduk malas di ruang keluarga, berusaha menahan kantuk untuk menyelesaikan sebuah buku. Ibu tiba-tiba membuka pintu kamarnya. Ia keluar sebentar. Mengeluhkan bahwa ia tidak bisa tidur, karena suara jangkrik yang terdengar sangat berisik dari kamarnya. Tak lama kemudian ibu pun kembali masuk ke kamar.

Kutajamkan telinga. Ya, suara jangkrik di luar terdengar sangat ramai. Seolah ada sekawanan yang sedang bersaut-sautan. Tidak biasanya seramai ini.

Aku jadi tersenyum geli sendiri. Ibuku malam ini tidak bisa tidur karena suara jangkrik. Sementara pada saat yang sama, di suatu tempat entah di mana, mungkin ada seseorang yang tidak bisa tidur karena tiadanya suara jangkrik ini.

krikk.. krikk... krikk.. krik... :-)

week-end husband and wife

[suatu hari minggu, di kamar, lagi nemenin obin bobok siang]

hubby: yang, berapa tahun kita udah nikah?
gue: ehmm... [ngitung] hampir tiga tahun...
hubby: berapa lama sebenernya kita tidur bareng-bareng kayak gini?
gue: [nyengir] yah, kurang lebih sepertiganya.
hubby: hehehe... berarti kita efektif married baru satu tahun dong.
gue: hu-uh...

***
[suatu makan siang, di rumah seorang sahabat]

teman: trus, sekarang rencana ke depannya gimana? lima tahun lagi err.. dua tahun lagi deh?
gue: dua tahun lagi, ya masih kayak gini aja dulu.
teman: gak takut obin gak deket sama ayahnya?
gue: gak, lah... kan kalo ayahnya ke sini, giliran ayahnya yang ngajak main.
teman: atau gak takut obin nanyain gitu?
gue: obin rasanya malah udah nganggap itu yang normal. tapi yah, kita lihat aja nanti gimana.
teman: lu sendiri, gimana?
gue: hahaha.. i'm getting used to it. asik lho, sering ngerasa kangen. malah kadang-kadang gue berpikir kalau gue mendadak hidup seperti layaknya normal couple, whoa.... jangan-jangan gue bakal bosen setengah mati.
teman: [nyengir] dasar lu! ... [diam] ... tapi bener sih... bosen.
gue: nah, lho! gue gak ikut-ikutan... hihihi....

my justification:
if we're happy with the way we chose, why bother what others think about us ;-)

a bundle of thanks to my parents that always support our decision

Suatu Sore di Jakarta

Seorang lelaki, dalam perjalanan pulang dari kantornya. Rumahnya di selatan Jakarta. Tiap sore ia hanya perlu mengendarai mobilnya sejauh dua puluh tujuh kilometer. Namun perjalanan itu akan menghabiskan waktunya paling tidak satu setengah jam. Kepadatan lalu lintas sudah menjadi hal yang biasa di kota ini. Penat telah jadi rutinitas. Sebuah rutinitas yang melelahkan.

Pikiran lelaki itu menerawang. Hari ini amat melelahkan. Hari ini bawahannya telah membuat kesalahan yang cukup fatal. Sepanjang hari ini harus ia habiskan untuk membereskan masalah itu saja. Pukul enam tiga puluh dua, lelaki itu telah meninggalkan kantor. Saat ini, dilihatnya jam tangannya telah menunjukkan pukul tujuh tepat. Pikirannya menerawang kembali. Terbayang olehnya wajah anak lelakinya. Betapa sudah lama ia tidak bermain bersama anaknya. Pasti saat ini anaknya sedang dininabobokkan oleh istrinya di kamar. Pasti ketika ia sampai di rumah kelak, anaknya telah pulas tertidur. Terbayang oleh lelaki itu tatapan istrinya sesampainya di rumah. Walaupun istrinya akan menyapa dengan ramah, ia selalu merasa dapat menangkap sirat tatapan mata istrinya. Tatapan mata yang seakan setengah menyalahkan dirinya dan setengah lagi memohon agar ia dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga. Sesuatu yang ia pun sangat menginginkannya.

Lelaki itu tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Disadarinya kaca mobil mulai terlihat kabur, dipenuhi oleh butir-butir halus air hujan. Cahaya lampu mobil dari arah yang berlawanan menjadi lebih menyilaukan. Ah, sial! Dinyalakannya wiper mobilnya. Dalam hati ia masih mengumpat hujan yang turun. Hujan berarti perjalanan pulangnya akan jauh lebih lama lagi. Ia tidak habis pikir kenapa hujan gerimis saja dapat menambah kemacetan di kota ini sedemikian rupa.

Mobilnya berjalan makin enggan, sesekali bahkan terpaksa berhenti bergerak sama sekali. Hey, mengapa truk di depan tidak juga jalan, sadarnya. Sementara kendaraan-kendaraan di lajur kirinya sudah mulai berjalan lagi. Hey, kenapa sih? Dibunyikannya klakson mobil karena tidak sabar. Namun truk itu tidak bergeming sedikit pun. Sial! Mogok mungkin? Dilihatnya jarak antara mobilnya dan truk itu sudah terlajur rapat. Dilihatnya pula dari kaca spion, mobil sedan di belakangnya juga berjarak sangat dekat. Damn!! Tidak mungkin lagi untuk pindah jalur. Dilihatnya lagi truk di depannya. Di atas bak truk yang tidak berisi barang tersebut, berdiri tiga orang laki-laki, mungkin kenek atau buruh. Tiga lelaki itu berdiri merapat ke sisi kiri bak sambil melihat ke pinggir jalan. Seseorang di antara mereka berseru dan menunjuk pada sesuatu di pinggir jalan itu.

Lelaki di dalam mobil itu makin geram. Kembali dibunyikannya klakson mobilnya. Heh, kalau truk kalian mogok, kenapa kalian tidak segera turun dan melakukan sesuatu? Hampir saja ia membuka kaca jendela, untuk memaki, ketika dilihatnya seorang lelaki berlari ke arah truk dan segera dibantu naik oleh lelaki yang di atas truk. Lelaki yang berlari itu membawa bungkusan kecil yang kemudian dibagi-bagikannya kepada teman-temannya. Apa yang mereka lakukan? Lelaki di dalam mobil itu terpana.

Truk itu pun kemudian berjalan lagi. Dan rasa kesal lelaki di mobil itu memuncak, menyadari bahwa ia harus berhenti karena menunggu seorang kenek truk yang membeli sesuatu di warung pinggir jalan. Shit!! Sambil kembali menyetir diamatinya para kenek truk itu membuka bungkusan kecil yang dilihatnya tadi. Apa itu? Apa yang mereka beli? Apa yang membuatku harus menunggu? Namun apa yang kemudian dilihatnya membuatnya semakin terpana.

Ia melihat empat orang kenek berdiri di atas bak truk yang kosong.
Ia melihat empat orang kenek membuka baju kaos mereka,
kemudian bertelanjang dada.
Ia melihat empat orang lelaki sedang mandi hujan sambil mencuci rambut mereka.
Ya, ia melihat empat orang lelaki dewasa,
di atas truk kosong yang berjalan di bawah curahan air hujan,
sedang b e r k e r a m a s dengan gembira.

Lelaki di dalam mobil itu tertegun. Terpana. Ternganga.
Tak lama kemarahannya pun sirna. Hilang. Lenyap.
Seperti busa-busa shampo yang hanyut diguyur air hujan yang semakin deras.

Tentang Sebuah Kota

Ada sebuah kota kecil di pinggir pantai di bagian tengah sebuah pulau. Di peta Indonesia pulau ini membentuk huruf K dengan tangkai bengkok ke kanan. Di kota itulah aku lahir dari rahim ibuku. Di kota itu untuk pertama kalinya aku mempergunakan paru-paruku menghirup udara pantainya, juga menjejakkan tapak pertamaku di tanahnya yang berpasir.

Namun kenanganku atas kota ini nyaris tak ada, karena aku telah meninggalkannya pada usia yang sangat dini. Yang aku punya hanyalah potongan-potongan gambar -- terbentuk dari setumpuk album foto lama dan seribu cerita yang dikisahkan sejuta kali oleh seluruh anggota keluarga. Membentuk gambaran yang sukar dibedakan dari kenangan itu sendiri.

***
Rumah kami sangat dekat dengan laut. Di halaman rumah, aku yang baru bisa berjalan, bisa memungut serpihan kerang laut di antara kerikil dan pasir. Di dekat rumah kami, kata kakak-kakakku, ada parit yang airnya mengalir ke laut. Di parit itu, mereka -- kakak dan teman-temannya akan berseluncur sepanjang siang. Atau di lain hari mereka akan bermain di tepi pantai, mengumpulkan kerang, terjun dari dak kapal, dan berenang di laut dengan menggunakan ban dalam mobil.

Salah satu tetangga kami adalah keturunan arab, Bibi Eka kami memanggilnya. Ia mempunyai sebuah warung, tempat ia memanjakan kami. Kakakku bercerita ia sering membantu Bibi Eka menjaga warungnya. Kata ibuku, aku adalah boneka kesayangan almarhumah. Sampai sekarang pun terkadang kami masih membicarakan keluarga Bibi Eka. Bahkan kami mengabadikan namanya pada sebuah resep masakan favorit kami: "sambal goreng bibi eka".

Jika lebaran tiba, rumah kami sepanjang hari, akan penuh dengan tamu, entah dari mana saja. Juga anak-anak kecil dari seluruh penjuru kota kecil itu akan berdatangan. Mereka tidak hanya bersalaman dan bersilahturahmi, tetapi dapat dipastikan akan ikut duduk, makan kue, permen, sirup, sampai juga ketupat dan makanan mengenyangkan lainnya.

Ah betapa banyaknya potongan gambar yang ada, walaupun betapa sedikitnya yang bisa kuingat...

kebun singkong di belakang rumah kami.
kandang babi milik tetangga di belakang rumah.
seekor rusa peliharaan di halaman rumah.
anak rusa.
bak penampung air hujan dari talang atap, tempat kakak-kakak mandi berendam.
telur bebek temuan.
bendi (delman) milik tetangga depan rumah.
naik bendi dengan cuma-cuma, karena si kusir sedang naksir pembantu kami.
kuku kaki kakakku yang tergilas roda bendi ketika sedang asik bermain.
anoa (babi rusa) yang mengejar kakakku.
pengasuhku yang akan menggendong dan menggoyangku dengan semangat agar aku tertidur...

Itulah sebagian dari potongan-potongan gambar yang aku punya atas kota itu, dan masih banyak potongan gambar yang lain.

***
Aku memang hanya punya 'kenangan' atas kenangan keluargaku untuk masa sekitar tiga puluh tahun silam. Namun 'kenangan' itu berkata bahwa kota itu adalah kota yang menyenangkan. Mengingat orang-orang di kota itu, berarti mengingat orang-orang yang ramah, sahabat serta kerabat yang bagai keluarga sendiri. Kota itu adalah kota yang kecil, normal, menyenangkan, dan damai.

Aku hanya punya 'kenangan' manis atasnya. Tapi entah apa yang dipunyai oleh anak-anak yang hidup di kota itu beberapa tahun terakhir ini. Adakah takut yang mereka punya? Adakah rasa sakit menyisa? Ataukah dendam?

Dan anak-anak lain dimana pun juga, di tempat-tempat yang telah didera konflik dan perang. Kenangan apakah yang akan mereka miliki tiga puluh tahun kelak, ketika mereka dewasa? Dan itupun jika mereka cukup beruntung untuk dapat tetap hidup hari ini, saat ini.

Posting ini juga untuk kakak-kakak tersayang
yang telah mencuri hak milik 'kenangan' atas kota kelahiran adikmu ini.
Gue yang lahir di sana, kalian yang punya berjuta memori tentangnya hehehe...
Btw, tidak sangka ternyata kalian pembaca setia blog ini.
I love you bro, sis...

Belajar Mencinta

Cinta, sedang naik daun, dibicarakan di sana-sini. Tapi cinta memang tema yang tidak pernah surut sepanjang sejarah peradaban manusia. Pertanyaan saya tentang cinta kali ini, terpancing setelah saya membaca beberapa cerita yang ditulis dengan begitu menarik oleh pemilik blog ini.

Tidak bisakah manusia belajar untuk mencinta?

Ngerti sih ini tidak ideal. Bukan juga seperti kamus cintanya Kahlil Gibran yang bilang bahwa jika cinta dari awal sudah tidak ada, maka ia tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.

Tapi bukankah kita manusia adalah mahluk yang belajar? Yang dianugerahi Tuhan kemampuan untuk beradaptasi yang menakjubkan? Kita manusia, meskipun tidak mudah, bukankah bahkan bisa belajar mencintai diri sendiri? Jadi tidakkah kita juga bisa belajar mencinta?

Witing tresna jalaran saka kulina, kata orang Jawa. Cinta datang karena terbiasa. Apakah hal ini hanya sekedar pepatah yang sedemikian tidak mungkin untuk diwujudkan?

(Hanya sebuah pertanyaan yang tiba-tiba begitu saja timbul dan tidak terbendung)