Tentang Anak dan Soal Manusia Mendarat di Bulan



“Bunda, ayo baca cerita ini!” seru Obin sambil memegang salah satu buku favoritnya. Sebuah buku tipis tentang alam semesta.

“Ayo, Bunda! Baca!”

Maka mulailah saya membacakannya. Tentang bumi yang berputar, matahari di langit, siang dan malam, cahaya bulan. Kadang saya membaca kata demi kata yang tertera di sana. Kadang, kalau sedang malas, saya memilih untuk menceritakan dengan kata-kata sendiri saja. Dan Obin selalu saja siap menyela, dengan tanya, “Bunda, tanda panah ini apa?” (Obin, entah kenapa selalu tertarik pada ‘tanda panah’ yang ditemuinya di mana saja: di buku, di jalan, di mana-mana.)

“Oh, itu arah cahaya matahari! Yang ini, sinar matahari ke bumi, jadinya bumi di sebelah sini siang. Kalau yang ini, sinar matahari ke bulan, lalu dipantulkan bulan ke bumi. Jadi bumi yang sebelah sini, malam, tapi bisa lihat sinar yang dipantulkan bulan.” Saya menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk gambar di buku.

Lalu kami akan sampai di halaman buku yang bercerita tentang penelitian dan pendaratan di bulan. Lalu saya akan teringat suatu hal...

***

Beberapa tahun yang lalu (sudah cukup lama sebenarnya), marak beredar gugatan terhadap kisah pendaratan manusia di bulan ini. Saya tidak begitu peduli.

Sudah lama saya sadar bahwa, dalam beberapa hal tertentu saya cenderung apatis. Sudah lama saya tidak merasa terlalu perlu menyempatkan membaca tajuk surat kabar atau menyaksikan acara berita di televisi. Dunia silahkan berotasi dan berevolusi dalam kebisingannya sendiri, saya sudah cukup sibuk dengan dunia kecil saya saja.

Begitu pula tentang kisah manusia mendarat di bulan. Selama ini saya tak pernah tergerak untuk mencari tahu.

Tapi seorang anak ternyata mampu merubah sikapmu pada dunia.

Kini saya peduli. Kini saya ingin tahu. Karena seorang Obin yang saat ini punya cita-cita jadi astronot (entah apa lagi cita-citanya bulan depan :)). Maka saya berusaha mencari tahu. Lalu menemukan site ini, yang memuat pro dan kontra yang cukup berimbang tentang pendaratan manusia di bulan.

Tapi hehehe... saya masih bingung, nih...! Mana yang benar, sih? Ada yang bisa bantu saya?

***

Haruskah saya membacakan utuk Obin, halaman yang bercerita tentang pendaratan di bulan itu, sebagai kisah nyata? Ataukah dongeng?

Atau biarkan saja sebagaimana adanya? Biar saja ia yang mencari tahu sendiri kelak, jika ia mau. Mungkin nanti ia juga akan menjadi seperti saya, menjadi tak begitu peduli. Atau mungkin ia sendiri yang kelak akan pergi ke sana... ke bulan... :)

Gugur

Berita kematian seseorang di televisi atau koran sudah menjadi terlalu biasa. Tak kan pernah benar-benar menyentakmu... kecuali bila ternyata kau mengenalnya...

***

Ia adalah Igo... serasa tak percaya waktu tak sengaja menatap fotonya di televisi kemarin sore. Tak mengenalnya dengan dekat, tak pernah juga sekelas waktu berseragam putih-abu dulu. Tapi aku masih bisa mengenali wajahnya. Masih bisa mengingat sosoknya yang tinggi besar. Masih bisa mengenangnya sebagai teman yang pintar dan suka melucu.

Tak pernah tahu (dan juga tak sangka) ternyata setelah lulus S1 di Unbraw, ia memilih untuk berkarir di militer. Seorang teman dekatnya, di mailing-list alumni, mengatakan, Igo yang cemerlang memilih untuk berkarir di TNI dari bawah, karena idealismenya.

Selamat jalan Igo... sepanjat doa untukmu dan untuk keluargamu.

CERPEN: DEBU CINTA

Dimuat di majalah Femina no.12, 24-30 Maret 2005
Terima kasih untuk AAA Bulan Trisna Djelantik.
Cerpen ini diinspirasi oleh pementasan Legong Asmarandana–nya.



DI SEBUAH GEDUNG PERTUNJUKAN…
Rati duduk di kursi penonton. Ia menatap ke arah panggung di depannya. Panggung itu sudah hampir siap. Layar putih telah digantungkan di belakangnya. Sebuah pintu masuk rumah Bali yang disebut angkul-angkul, dalam ukuran kecil dan berukiran khas Bali, berdiri di tengah kanan panggung, dihiasi dengan kain poleng, kain bercorak kotak-kotak hitam putih, dan bunga kamboja putih. Sebuah undak-undakan, simbol batu besar tempat bertapa, telah disulap hadir di bagian kiri panggung. Ranting meranggas menaungi batu. Pokok-pokok ranting kecil lain, dengan kamboja putih pada pucuk-pucuknya, berbaris acak melatarbelakangi panggung.

Panggung yang cantik. Sederhana namun memukau. Esok di atas panggung itu, pementasan besar tari Legong Semarandana akan digelar. Kisah terbakarnya pasangan dewa-dewi asmara, Dewa Kamanjaya dan Dewi Ratih, akan dikemas dalam rangkaian gerak tarian klasik dari Pulau Dewata.

Seusai gladi bersih yang melelahkan, Rati duduk di kursi penonton, bersandar memandang ke arah panggung. Esok di atas panggung itu, ia akan menjelma menjadi sang dewi asmara, Dewi Ratih.


ESOK HARINYA, DI BELAKANG PANGGUNG….
Rati bercermin, menatap wajahnya di kaca. Cantik kata orang. Ayu, seperti namanya, Ni Made Ayu Sekar Rati. Di cermin, ada wajah bundar dengan mata bulat yang selalu berbinar. Rambut hitam, yang panjangnya melewati bahu, kini tampak tergelung. Kerut halus mulai tampak samar di sudut-sudut mata dan bibir, suatu tanda bahwa pemiliknya kerap tersenyum, sekaligus pertanda pertambahan usia. Di cermin yang besar itu tampak wajah khas wanita Bali yang cantik di usia menjelang tiga puluh.

“Rati!”

Rati mendengar namanya dipanggil. Ia menghentikan goresan pensil alis di tangannya dan menolehkan kepala ke arah pintu, jauh di sebelah kanan. Rati melihat seorang wanita, yang wajahnya tak asing lagi, melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Wanita itu berjalan perlahan menghampiri kursinya.

“Dewi, kau masih saja datang,” ucap Rati pada Dewi, sahabatnya ketika masih kuliah dulu.

“Aku baru hamil enam bulan, Rati. Tentu saja aku masih boleh jalan-jalan. Apalagi, malam ini. Aku tidak akan melewatkannya,” kata Dewi sambil mengamati sekitarnya. “Boleh, kan, aku duduk menunggu di sini?” tanya Dewi kemudian.

Rati mengangguk. “Boleh saja. Duduk saja di sini, di sebelahku,” ujar Rati, sambil menunjuk kursi plastik kosong di dekatnya.

“Kau datang bersama Dadi?” tanya Rati.

“Ya, pasti dong. Masa, sih, ia tega membiarkan istri dan calon anaknya berpergian sendiri,” ujar Dewi, sambil mengelus-elus perutnya yang sudah tampak besar.

“Mana dia?” tanya Rati.

“Ia menunggu di luar. Merokok. Rikuh, katanya. Kau berias sendiri, Rati?” tanya Dewi, sambil mengamati sahabatnya. Rati sudah mengenakan kain dan pakaian menarinya yang berwarna hijau keemasan. Ia juga sudah mengenakan riasan wajah, yang kini sedang dirapikannya.

“Sebenarnya, ada perias.” Rati menunjuk ke beberapa perias yang terlihat sibuk bekerja, merias para penari, baik pria maupun wanita. “Tapi aku lebih senang berdandan sendiri. Lagipula, biarlah mereka membantu anak-anak yang lain.”

Dewi melihat dan mengamati ruang belakang panggung itu. Terlihat kesibukan di sekelilingnya. Beberapa penari wanita yang belum berganti pakaian sedang didandani. Terlihat beberapa penari pria. Mereka juga ikut didandani. Beberapa penari yang telah berias, terlihat saling bantu merapikan pakaian.

“Kau yang paling senior, ya?” tanya Dewi pada Rati.

Rati berhenti berdandan sejenak, tersenyum, sambil memandang bayangan wajah sahabatnya di cermin. “Tepatnya, sih, aku termasuk yang paling tua.”

“Kau teruskan saja riasanmu itu, Rati. Aku paling senang mengamatimu saat berdandan,” ujar Dewi.

“Sudah hampir selesai, kok. Aku cuma sedang merapikan alis. Sekarang tinggal memasang bija,” Rati terus berbicara, namun tangannya tetap sibuk bekerja, menggambar bija, titik putih di tengah keningnya, di antara ke dua matanya.

“Kau masih saja cantik, Rati. Seperti dulu,” kata Dewi memuji sahabatnya.

“Kau juga cantik, calon ibu.”

“Basa-basi. Aku gembrot kayak gini, kok.”

“Dewi, aku tidak basa-basi. Kau calon ibu yang cantik. Dari jauh saja aku bisa melihat wajahmu yang kelihatan bersinar. Kau terlihat sangat cantik.”

Rati kemudian berdiri, mengambil setumpuk pernak-pernik pakaian tari. “Nah, karena kau ada di sini, kau bisa jadi asistenku untuk memakai pernak-pernik ini,” kata Rati, sambil tertawa. Rati pun lalu menunjukkan pada Dewi cara memasang semua pernak-pernik itu, dari tutup dada, hiasan pinggang, gelang lengan, hingga gelung kepala.

“Ibumu tidak datang, Rati?” tanya Dewi, sambil berdiri membantu Rati memasang penutup dada dari kulit berhias prada.

“Tidak, merepotkan sekali untuk terbang dari Bali ke Jakarta, hanya untuk menyaksikan aku menari. Aku sudah terlalu sering menari. Sudah tidak terlalu penting lagi.”

“Tapi kali ini, kan, berbeda, Rati. Ini adalah pertunjukkan besar. Kali ini kau menari di gedung kesenian yang paling terkenal di Jakarta,” bantah Dewi.

“Baginya sama saja, Dewi. Lagi pula, ia juga dulu penari. Baginya, ini bukan hal yang sangat istimewa.” Rati sejenak menghela napas. “Selain itu mungkin ia masih marah padaku. Minggu lalu aku meneleponnya, ingin mengundangnya datang ke Jakarta. Hanya saja telepon itu berakhir dengan pertengkaran,” lanjut Rati kemudian.

“Ada apa lagi?” Dewi bertanya. Tangannya sibuk memasangkan semacam gelang pada lengan Rati.

“Ia mencoba mengenalkanku pada seorang pria Bali yang lain lagi. Aku menolaknya.”

Dewi tertawa, “Kenapa kau begitu alergi dengan pria Bali?”

“Bukan begitu. Dengar, aku tidak alergi dengan pria Bali, sama sekali tidak. Aku hanya alergi pada usaha perjodohan itu.”

“Ibumu, kan, hanya ingin yang terbaik bagimu. Ia ingin agar kau bisa mendapatkan jodoh yang punya keyakinan sama denganmu. Ia ingin kau bisa melupakan Fajar. Melupakan kisah cintamu dengan Fajar, yang kau tahu sendiri, memang tak akan menuju ke mana-mana, mengingat segala perbedaan itu.”

“Ya, aku tahu. Aku pun telah berusaha, kau tahu, kan? Sudah berapa kali aku mencoba untuk berkenalan dan menjalani pendekatan dengan calon-calon ibuku itu?”

“Dua kali?” Dewi mengingat-ingat.

“Tiga kali. Apa yang aku temui? Pertama, seorang pria yang terlalu pengecut sehingga menduakan wanita. Di belakangku dan di belakang orang tuanya, ternyata ia masih terus berhubungan dengan kekasih lamanya, yang kebetulan juga beragama lain. Pria kedua, pria egois yang bodoh. Belum apa-apa ia sudah memintaku untuk meninggalkan pekerjaanku, untuk menjadi ibu rumah tangga. Aku menari pun ia tidak suka. Tolol. Baru tahu aku ada pria Bali yang tak suka melihat pasangannya menari.”

“Ya, kau sudah pernah cerita. Anom dan Karna, kan?”

Rati mengangguk. Dewi telah selesai memasang segala pernak-pernik di tubuh Rati. Rati kembali bercermin, sementara Dewi memandangi dirinya. Rati tersenyum puas, “Sekarang tinggal memasang gelung itu,” kata Rati, sambil menunjuk sebuah gelung kepala, mahkota keemasan berhias rangkaian bunga kamboja putih, yang terletak di atas meja rias.

“Tolong lagi ya, Dew.”

“Bagaimana dengan pria yang ketiga? Aku belum pernah dengar ceritanya,” tanya Dewi kembali, sembari membantu Rati memasang gelung.

“Yang ketiga, Bli Adi, sebenarnya lumayan. Lumayan tampan. Yang lebih penting, ia pintar dan enak diajak bicara. Tapi, ia mundur. Ia bilang aku terlalu sempurna. Kau dengar itu? Terlalu sempurna?! Aku tak habis pikir apa maksudnya. Tapi, sudahlah. Tak ingin aku pikirkan.”

“Kau sudah terlalu mapan, Rati. Terlalu mandiri. Pria biasanya takut pada wanita yang terlalu mapan dan mandiri,” Dewi tak segan mengutarakan pikirannya.

Rati tersenyum, “Ah, kau bicara seperti ibuku saja.”

Seorang pria yang memakai udeng di kepalanya menghampiri Rati dan memutus pembicaraan mereka. “Rati, lima belas menit lagi pertujukkan dimulai. Kau sudah siap?” tanya pria itu.

Nggih, Bli Putu. Sedikit lagi,” jawab Rati, sambil bergegas merapikan kerumun bunga-bunga di gelung kepalanya.

“Sudah, Dewi,” ujar Rati pada Dewi kemudian, melanjutkan pembicaraan mereka. “Aku sudah lelah mencari. Sudah capai mencoba. Dua kali putus cinta, tiga kali dijodohkan, sudah sangat cukup. Kalau memang sudah takdirku untuk tidak berjodoh, aku pun sudah tidak peduli. Akan aku buktikan bahwa aku bisa hidup sendiri dan tetap bahagia.”

“Tapi, Rati, punya seseorang untuk berbagi kebahagian jauh lebih membahagiakan.”
Rati menatap sababatnya, lama. “Kau bahagia, Dewi?” tanyanya.

“Ya, sangat.”

“Syukurlah.”

Dewi tersenyum tulus pada Rati, “Akan tiba giliranmu, Rati. Percayalah. Jangan pernah putus asa.”

PANGGUNG GELAP DAN SUNYI….
Hanya ada dua cahaya temaram dari obor di samping panggung. Kesunyian panggung tiba-tiba pecah oleh alunan dinamis gending dan tabuh Bali, tanda bagi para penari untuk mulai naik ke atas pentas. Lampu panggung menyorot para penari dan sebagian lagi lampu menaburkan cahaya bintang nan cantik. Maka dimulailah jagat pentas kisah para dewa.

(Alkisah, para dewa bercengkerama di kahyangan, merayakan kedamaian surga. Bidadari pun menari penuh suka. Hingga tiba-tiba suatu huru-hara kejahatan datang mengganggu. Surga porak-poranda. Maka, bermusyawarahlah para dewa dan diputuskan untuk minta bantuan pada Dewa Siwa yang sedang bertapa. Dewa Indra pun mengutus Kamanjaya, sang dewa asmara, untuk membangunkan Siwa dalam tapa bratanya.

Kamanjaya lalu berpamitan pada Dewi Ratih, sang istri terkasih, sang belahan jiwa. Pasangan dewa-dewi yang tengah di mabuk asmara ini terpaksa berpisah. Kamanjaya lalu pergi menunaikan tugasnya. Dengan pesonanya, Kamanjaya menggoda Siwa. Siwa tidak terusik. Kamanjaya menarik busur dan anak panah pun meluncur. Tetap Siwa tidak terusik. Datang Dewi Ratih menyusul, membantu kekasihnya. Berdua, dewa-dewi asmara ini, mengeluarkan segenap kesaktian mereka. Siwa terusik. Sang Siwa meledak marah. Asap tebal menyelimutinya, Siwa menjelma angkara, Siwa menjelma Rangda.)

Suara gamelan dan tabuh riuh, menggambarkan angkara yang menyelimuti Siwa. Rati, yang menjelma menjadi Ratih, dan penari Kamanjaya meliuk-liuk menarikan perseteruan. Penari Siwa bertopeng Rangda, menarikan kemarahan.

(Siwa menjelma angkara, Siwa menjelma Rangda. Dibakar olehnya pasangan kekasih ini, Kamanjaya dan Ratih, dengan mata ketiganya, hingga hancur raga mereka menjadi debu yang bertebaran. Lalu disabdakan oleh Siwa, jiwa keduanya akan tetap abadi. Menebar debu cinta ke seisi jagat raya. Menitis pada setiap pasangan di bumi dan di surga, menyatukan kembali abadi cinta mereka.)

Malam jadi sunyi. Purnama lampu sorot di langit panggung menambah suasana sunyi. Perlahan terdengar suara tembang diiringi bunyi seruling syahdu. Menembangkan syair janji cinta Kamanjaya dan Ratih.
…dan seperti yang telah digariskan,
debu cinta telah ditebarkan,
hingga pada suatu masa pada suatu tempat,
seseorang bisa begitu saja jatuh cinta,
kepada seseorang lainnya…
Syair dan suara suling melenyap sunyi. Cahaya meremang padam. Tinggal berkas cahaya obor melatar depan panggung.

DI PELATARAN PARKIR, MALAM HARI….
Mbok Rati pulang menyetir sendiri?” Beberapa pria penabuh gamelan yang berpapasan dengan Rati menyapa sopan. Mereka lebih muda dari Rati, karena itu menyapanya dengan panggilan Mbok.

Nggih, sendiri saja. Selamat malam semua,” jawab Rati.

“Malam, Mbok. Hati-hati.”

Suksma,” jawabnya berterima kasih dalam bahasa Bali.

Rati melangkah keluar menuju pelataran parkir, melangkahkan kaki dalam gelap temaram. Dalam hatinya, Rati melafalkan kembali syair janji cinta Kamanjaya dan Ratih, janji cinta mereka pada seisi jagat raya.

Air mata mulai mengembang di sudut-sudut mata Rati. Ia hapus dengan punggung tangannya, seraya mencoba menepis keraguan yang mulai muncul pada dirinya. Keraguan yang lahir atas penantian yang tak kunjung berakhir. Ia coba membungkus sisa-sisa asa yang mulai merapuh oleh waktu. Mencoba untuk bertahan. Menanti terpaan debu cinta yang telah dijanjikan,
“… seperti yang telah digariskan, debu cinta telah ditebarkan, hingga pada suatu masa, pada suatu tempat, seseorang bisa begitu saja jatuh cinta kepada seseorang lainnya…”