Migrasi

Judulnya, lagi pindahan ke New Blogger Beta , nih. Ah, segini dulu aja deh. Ntar kalo sempet diutak-atik lagi. Hehehe, tapi terus terang penasaran juga.

Btw, kalo dipikir-pikir, gw tuh setia banget sama Blogger. Dari pertama sampe sekarang, gak pernah pindah ke lain hati tools. Harusnya dapat penghargaan dari Blogger. Hahaha. Padahal sih faktor males aja dan juga gaptek. :p

Jarak Waktu

Kemana pun ia pergi dibawanya sebundel surat-surat yang masih tersimpan dalam sampul putihnya. Surat-surat yang tidak untuk dibaca saat ini. Karena di masing-masing sampul telah tertera tanggal-tanggal di masa depan. Momen-momen yang tepat untuk membukanya. Untuk membacanya. Kelak. Nanti.
Apa yang terlintas di pikiranmu ketika membaca sekelumit cerita di atas?

Lebih Ramah?

Beberapa waktu yang lalu, saya lagi keisengan, buka halaman haloscan.com – sistem komenting yang saya pakai duluuuu sekali (tahun 2003-2004 an) sebelum Blogger punya komsis-nya sendiri. Iseng-iseng keterusan, coba-coba log-in (duh takjub, username dan passwordnya ternyata benar, hahaha), dan lalu jadi kaget… “Haaah… komen-komen saya masih ada?!” Dulu aja, waktu masih pakai haloscan itu, komen-komen yang sudah lewat empat bulan otomatis hilang. Eh sekarang, setelah bertahun-tahun gak dipakai, malah terarsip dengan rapi.

Dan mulailah saya bernostalgia membaca sekilas komen-komen lawas itu. Hahaha, lucuuu! Itu adalah jaman ketika belum banyak orang menulis blog. Jaman ketika ngasih komen ke seluruh blog yang kita kenal masih terasa ringan (ya, seenggaknya saya saat itu ketagihan memberi dan menerima komen, hehehe). Jaman ketika komen-komen nge-junk -- seperti "Pertama!!! *jingkrak-jingkrak*" -- masih saya baca dengan senyum lebar (soalnya saya kadang juga suka nge-junk gituloh). Jaman ketika komen plesetan cerdas sangat ditunggu-tunggu, karena bisa bikin saya ketawa ngakak berguling-guling (hihihi ini hiperbola sih). Oh, btw, kalo mau tahu jenis-jenis komentar blog bisa baca di blognya Nita.

Tapiiii… ada satu hal lagi yang lebih bikin saya terpana: duluuuu saya terlihat jauh lebih ramah. Karena duluuu… hampir setiap komentar saya balas satu-persatu. Oops ntar dulu nih… TERLIHAT? Hmm… setidaknya begitu kelihatannya di mata saya (versi sekarang). Dan itu bisa berarti saya yang sekarang terlihat lebih tidak ramah… hehehe… Walaupun yang 'terlihat' itu belum tentu benar, sih -- baik yang dulu maupun yang sekarang (hehehe lagi…).

Btw, komen-komen jadul itu saya pasang lagi untuk posting-posting yang juga jadul itu. Kali-kali aja ada yang iseng pengen membandingkan. :p

Jalan Bercabang Dua

"Di dekat rumahku ada jalan yang lucu," katanya padaku tiba-tiba di tengah-tengah kebisuan kami. Lalu ia pun bercerita.

Ada persimpangan di jalur yang dilewatinya setiap pagi. Simpang jalan yang lucu. Sebuah jalur searah untuk tiga mobil kemudian memecah menjadi dua buah jalan yang lebih kecil, seperti huruf Y. Kita sebut saja kedua jalan yang lebih kecil itu, jalan baru dan jalan lama. Kedua jalan tersebut terbentang bersisian, berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh deretan bangunan. Lucunya, setelah sekitar satu kilometer, ujung kedua jalan itu akan kembali bertemu. Dan di antara deretan-deretan bangunan yang memisahkan kedua jalan tersebut, kadang masih ada tanah lapang yang kosong, sehingga para pelaju di salah satu jalan bisa memandang ke jalan yang satunya lagi untuk membandingkan tingkat kemacetan. Hanya saja jarak masih terlalu jauh, sehingga sulit untuk bisa saling melambai tangan.

Tahun lalu, dan selama bertahun-tahun sebelumnya, ia selalu melewati jalan yang di sebelah kiri, yaitu jalan yang lama. Tentu saja, karena dulu jalan yang baru belum ada. Ketika itu, jalan yang lama selalu padat sewaktu ia melewatinya di pagi hari. Kendaraan harus lewat dengan tersendat-sendat. Kini, ia selalu memilih yang baru. Namanya juga baru, jalannya terasa lebih mulus untuk melaju. Padahal ia tahu, kedua jalan toh berakhir di satu ujung yang sama.

---

"Suatu hari, mendadak aku ingin mengambil jalan lama di sebelah kiri," jelasnya padaku.

Impulsif saja, katanya. Mungkin kangen suasananya, ia mencoba memberi penjelasan yang lebih rasional (atau malah gak rasional, ya?). Ia kangen orang-orang yang ada di sisi jalan yang itu. Di situ, katanya lagi, ada sebuah bangunan sekolah dasar. Ada bapak-bapak tua bertubuh kecil -- lengkap dengan papan rambu-rambu, topi, dan peluit -- bertugas tiap pagi menghentikan kendaraan sejenak untuk menyeberangkan anak-anak sekolah. Ada rumah sangat-sangat besar dengan pagar tinggi dan papan di gerbang bertuliskan: hati-hati banyak anak-anak. Ia bilang, kata orang-orang -- karena ia belum pernah melihat sendiri -- rumah itu adalah milik seorang kaya pemurah yang punya banyak sekali anak asuh. Lalu ada lagi sebuah rumah bergaya tahun tujuh puluhan berhalaman luas, dengan seekor anjing yang berlari-lari di sana. Yah, pokoknya ia mendadak kangen dengan semua itu. Terutama anak-anak sekolah dan bapak tua penyeberang jalan itu, tegasnya lagi.

"Tapi hidup itu lucu. Benar kata orang-orang itu. Hidup memang sungguh lucu," ia berkata sambil tersenyum samar dengan pandangan yang menerawang.

"Kau tahu apa yang lalu terjadi?" tanyanya kemudian yang tentu saja aku jawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.

Belum juga sampai separuh jalan, tiba-tiba ada pengendara motor yang melambai padanya dan memberi tahu bahwa ban mobilnya bocor. Yup, bocor blas, katanya. Ada dua buah paku menancap di ban kiri belakang kendaraannya. Paku yang sengaja disebar, terbuat dari jari-jari payung yang diruncingkan. Ranjau-ranjau yang sudah menemukan korbannya.

---

"Hidup itu lucu, kan?" Entah itu tanya atau pernyataaan yang minta dukungan.

Aku manggut-manggut. Iya. Hidup itu memang lucu. Selucu jalan bercabang dua di dekat rumahnya. Jalan yang, mau tak mau, harus dipilihnya jika ingin terus. Ia tak pernah tahu apa yang akan ditemuinya di cabang pilihannya. Pun ketika ia telah akrab dengan kedua jalan itu. Pun ketika ia tahu bahwa keduanya akan berujung pada satu muara yang tak beda.

"Kau tahu apa yang lebih lucu lagi?" tanyanya kembali yang -- sekali lagi -- tentu kujawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.

"Setelah ban gembos, aku baru sadar, kalau ternyata hari itu sekolah sudah libur. Tak ada anak-anak sekolah dan si bapak tua penyeberang jalan."

Hujan Semalam

Mari kita rayakan hujan. Butir-butiran segar yang turun menyiram bumi. Setelah sekian lama kering menguningkan rumput-rumput, meluruhkan daun-daun, menggunduli ranting-ranting. Setelah beberapa mendung tapi tak hujan.

Semalam hujan luruh menderas selepas magrib. Mengharumi tanah. Menguar aroma basah. Angin menggoyang cabang-cabang kencang. Daun-daun, ranting-ranting menari bersama.

Mari kita rayakan hujan. Duduklah sebentar di teras bersamaku. Kita menyanyi berdua. Lagu kesukaan kita, yang sudah lama tak kita dendangkan. Ayo kita bersimpuh di beranda. Menghitung kodok-kodok yang bermunculan dan berlompatan di pekarangan. Mendengar bunyi air yang turun dari ujung talang. Membiarkan wajah menyegar disapa angin yang basah.

Mari kita rayakan hujan. Bersama daun-daun. Ranting-ranting. Pohon-pohon. Rumput-rumput. Kodok-kodok. Tanah basah. Desau angin. Bersama kita melisan syukur.

Maaf





Selamat Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir Batin

maaf
maaf
maaf




*image by itypeit (via okke)

Mengambang dan Berayun

Terbaring malas di kamar. Kala itu pagi. Selembar koran di tanganmu. Kau baca. Lalu mulailah kalimat-kalimat bergulir di udara. Dialog. Monolog. Antara hakikat dan syariat.

Di luar jendela, ada layang-layang tersangkut di ujung atap. Menggantung pada sejengkal benang. Kertas putihnya terkoyak. Tinggal buluh rangka dan sisa sobekan, berayun-ayun dicanda angin kemarau.

Melengkung sudut bibirmu. Suara menyublim dalam ruang. Mengambang. Hakikat dan syariat hilang dalam angin. Hanya ada layang-layang robek berayun-ayun di depan matamu.

Bangkok dan Bunga

Image hosted by Webshots.com

"Wow, kota ini penuh dengan bunga!" Itu salah satu kesan saya mengenai kota Bangkok, saat pertama kali menyusuri jalan-jalannya di awal Maret tahun ini.

Bunga, bunga, bunga.... Di sepanjang jalan yang saya lalui, saya melihat banyak sekali pohon peneduh dengan kerumun bunga merah muda pucat. Memenuhi kota. Cantik. Bahkan di pelataran parkir tempat saya menginap, kaki saya melangkah di antara serpihan gugur bunga yang sama. Pepohonan berbunga itu, di mata saya sekilas terlihat seperti bungur atau (mungkin) sakura. Entahlah, saya tidak tahu banyak tentang tanaman.

Saat itu, saya sempat bertanya pada An - rekan kerja saya di Thailand (ya, saya pergi untuk urusan kerja) – apa nama bunga yang mendominasi pemandangan di kota Bangkok itu. Ternyata dia juga tidak tahu, "I don’t know, I just call it sakura," katanya sambil tertawa. Hehehe... ternyata dia sama saja dengan saya, gak ngerti tanaman.

Image hosted by Webshots.com Selain kerumun bunga merah muda, saat itu Bangkok juga dipercantik oleh pepohonan dengan juntaian bunga berwarna kuning. Kali ini An bisa menjawab, "We call it King’s Flower. Warna kuning itu, warnanya raja. Orang-orang menganggap pohon ini sebagai pohon keberuntungan. Jadi banyak yang menanamnya di halaman tempat usahanya. Seperti di restoran ini."

---

Bangkok memang penuh bunga, dan sepertinya bunga memang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Thailand.

Image hosted by Webshots.com Selain tanaman peneduh jalan yang berbunga, kita bisa melihat bunga-bunga hias di berbagai sudut kota. Penjual berbagai bentuk bunga -- bunga hidup, bunga potong, bunga tabur, roncean bunga -- juga mudah ditemui di mana-mana. Roncean bunga (phuang malai) bahkan dijual dengan cara diasongkan di pinggir-pinggir jalan.

Bahkan... bunga pun bisa jadi penganan. Dalam satu perjalanan ke tempat wisata di pinggir kota Bangkok, saya sempat mencicipi berbagai jenis bunga goreng! Yup... digoreng seperti tempura. Frangipani goreng, bougenville goreng, asoka goreng, blue-butterfly-pea goreng, dan... lain-lain yang saya lupa atau tidak tahu namanya. Rasanya? Yang saya ingat, bougenville terasa getir. Sementara blue-butterfly-pea terasa agak manis.

---

Dalam perjalanan ke-dua ke Bangkok, September lalu, dalam hati saya berharap akan disambut oleh kerumun bunga yang sama. Hahaha, saya harus kecewa. Saya lupa. Ternyata seperti 'flamboyan saya', pohon-pohon berbunga ini pun punya musimnya sendiri. (Dan sekarang, Oktober, adalah musim flamboyan! Beberapa batang flamboyan di sepanjang perjalanan saya ke kantor mulai berbunga. Senangnya :p )




Dari hasil pencarian di internet (hey, penasaran!), akhirnya saya dapatkan nama bunga merah muda tersebut. Tabebuia rosea atau Chompu phanthip (chompu= pink, Thai). Pohon bunga tropis yang sebenarnya berasal dari Brazil, memiliki bunga berbentuk terompet dengan bebeberapa varian warna. Tanaman ini ternyata salah satu bagian dari proyek penanaman pohon di kota Bangkok.

Sedangkan King’s Flower adalah Cassia fistula. Pohon berbunga kuning keemasan ini memang sudah disahkan menjadi salah satu simbol kerajaan Thailand. Bahkan sejak 1987, dicanangkan proyek penanaman sembilan juta batang pohon ini di seluruh Thailand dan ditargetkan selesai pada tahun 2007 mendatang. Wow…


Btw, baru ngeh, blog saya ternyata kemarin ultah ke-4. Hehehe...

Cerita Perjalanan: Kuala Lumpur

Dari mana ya mulai ceritanya?

Hmm… Semua ini berawal di sekitar akhir tahun 2005, ketika seorang teman bercerita tentang sebuah promosi yang diadakan oleh maskapai penerbangan ini. Saya tergoda. Suami saat itu bilang, “Kenapa kamu gak pergi sendiri aja?” (maksudnya: tanpa Obin dan dirinya, gitu). Ay, ay… saya gak begitu kaget sih sama sarannya ini. Tapi supaya lebih yakin lagi, saya masih nanya,
Bener, nih? Rela?
- Iya
Ridho?
- Iya. Ridho. Beneran. (sambil ketawa)
Jadi akhirnya saya pun booking tiket murah itu (Jkt-KL-Bkk-KL-Jkt, total sekitar 800 ribu rupiah), dengan jadwal yang sama dengan rencana teman saya. Sedikit gambling, soalnya masih lama banget gitu lho, dan kondisinya tiket itu tidak bisa dibatalkan atau dialihkan.

September 2006. Akhirnya berangkatlah kami. Rombongan terdiri dari delapan orang. Delapan? Yup. Saya sendiri, ex-teman sekantor saya, N, dengan ibunya, budenya, dan adiknya; dan teman lain, E, dengan ibunya dan budenya. Hehehe, karena semuanya perempuan, sudah dapat diduga belanja-belanji akan masuk dalam agenda. Hahaha.

Kuala Lumpur . Terus terang, KL awalnya bukanlah tujuan kami. Cuma maskapai ini tidak punya penerbangan langsung Jkt – Bkk. Jadi harus mampir ke KL dulu.

Image hosted by Webshots.comDi KL kami hanya dua malam, menginap di sebuah hotel di kawasan Bukit Bintang – Pudu. Ini hotel, menurut opa-opa yang jaga, umurnya sudah 30 tahun. Hotelnya hihihi… sangat sekedarnya, dengan lobi yang berantakan dan lift yang berbunyi-bunyi seram. Hahaha... maklum, kami cari yang muraaah tapi strategis. Yang penting tempat tidur dan kamar mandi lumayan bersih. Dan saya dapet bonus tambahan, view dari jendela kamar saya lumayan keren. Bisa lihat KL Tower dan puncak Menara Petronas.

Image hosted by Webshots.comSampai di KL sudah menjelang malam. Tapi pukul 7 pm-nya KL masih terang benderang. Malam itu kami jalan kaki ke kawasan China Town (Petaling Street). Mampir makan malam di semacam area food-court di pinggir jalan. Saya nyoba kerang bakar dan nasi lemak. Ah, ya nasi lemak ini kayaknya makanan nasionalnya Malaysia. Di mana-mana ada nasi lemak: di pinggir jalan, di terminal bis, di airport, di atas pesawat, di mana-mana lah. Sayang saya lupa foto. Semacam nasi uduk kali ya, disajikan (nampaknya) selalu bersama ikan teri goreng, telur rebus, rendang, dan sambal.

Image hosted by Webshots.comPetaling Street itu adalah kawasan pasar tempat jual barang-barang murah dan tersedia juga barang-barang tiruan gitu. Menurut saya sih biasa aja. Barang-barangnya kayak Mangga Dua aja. Souvenir yang ada di sini juga standar banget. Palingan gantungan kunci, hiasan meja, atau asbak bergambar Petronas. Kaos T-shirt, walaupun ada beberapa yang menarik gambarnya, kualitas bahannya gak bagus. Ada sih beberapa dagangan yang menarik hati -- untuk di foto dan dicicipi -- seperti penjual berangan panggang. Rasanya, saya bilang sih kayak hmmm… makan biji nangka atau duren gitu… hihihi.

Balik pulang ke hotel, para ibu dan bude memutuskan istirahat, sedangkan yang muda-muda -- saya masih muda, lho! -- memutuskan jalan lagi. Jalan kaki terus!!! Kali ini menelusuri Jalan Bukit Bintang dan terusssss lagiiii kemana kaki membawa, hehehe. Enak jalan kaki di KL. Trotoarnya besar-besar dan nyaman. Kesan sekilas saya KL memang bersih, rapi, dan teratur. Selain itu dimana-mana masih bertebaran bendera Malaysia, karena mereka memang baru aja ulang tahun. Dum.. dumm.. dumm.. jalan terus, sambil foto-foto, memotret objek, menjadi objek, jalan sampe kaki super pegel. Dan lewat tengah malam, akhirnya menyerah pada… ‘taksi!’ :p

Image hosted by Webshots.comHari kedua di KL, pagi-pagi udah siap-siap pergi lagi. Tujuan: Menara Kembar Petronas. Nyobain monorail -nya KL, terus nyambung lagi dengan LRT Kelana Jaya, turun di KLCC, tepat di bawah Petronas. Nice. Menikmati naik kendaraan-kendaraan cepat ini (tentu) disertai dengan menghela napas… membadingkan dengan… ahh, sudahlah :p Di Petronas, potret-potret-potret lagi. Gak bisa naik ke jembatannya (sky bridge), karena kuota pengunjung di hari itu udah penuh. Lihat-lihat sebentar ke dalam, ke Suria KLCC, kompleks mall di dasar Petronas Tower.

Image hosted by Webshots.comTujuan berikutnya adalah: Genting Highland , sebuah kawasan wisata (mall, theme park, casino, hotel, dll) di puncak gunung, sekitar 40 km dari KL. Caranya, naik LRT ke Terminal Putra. Lalu dari sini beli tiket terusan: Bus dan Sky Way ke Genting, pulang-pergi, termasuk main gratis di Outdoor Themepark-nya atau free-buffet di sebuah restoran di Genting (optional). Tiket terusan ini relatif murah (26 RM – untuk weekdays). Jadi dari terminal Putra itu, kami naik bis ke Gombak, dari gombak naik Skyway Cable Car ke Genting. Wiiihhh… skyway-nya cukup impresif: melintas di atas hutan hujan tropis, menembus kabut.

Image hosted by Webshots.comSampai di Genting, para ibu dan bude memilih memakai tiketnya untuk makan. They’re happy with the food :). Saya milih main dong. Outdoor ThemePark-nya Genting gak terlalu istimewa sih, kalau saya bilang. Lebih bagus Dufan. Cuma memang Genting punya beberapa wahana yang gak dipunyai Dufan. Selain itu di Genting dingiiinnn…brrr… gak panas menyengat.

Image hosted by Webshots.comGak banyak wahana yang saya coba, soalnya kami sudah pesan bus balik ke KL yang sore, jadi waktunya gak banyak. Langsung pilih beberapa permainan yang seru, yang belum pernah dicoba. Pertama Space Shot (turbo drop), dihempas dari ketinggian sekitar 56 meter. Wowww…! Lalu Flying Coaster, kayak roller coaster tapi dalam posisi berbaring jadi serasa superman lagi terbang gitu. Udah lama banget nih gak naik permainan yang bikin jantung serasa mau copot kayak gini… hehehe… Asik juga.

Indoor ThemePark juga biasa, kayak di Bandung Supermall aja. Cuma di Genting ada Snow World dan Sky Venture. Tiket terusan saya gak termasuk indoor theme park ini. Saya gak terlalu pengen lihat Snow World, pengennya Sky Venture, sky-diving simulator. Pengen banget ngerasain terbang!!! Hiks sayang, pas saya ke sana (sampai usaha 2x), ditutup sementara karena hujan. Memang gak jodoh. :(

Di Genting, saya juga sempat lihat-lihat ke dalam kasino. Wah… saya gak ada yang ngerti gimana cara mainnya. Lihat orang-orang yang pada main judi itu: takjub. Mata merah, muka kusut, tapi tetap terus pasang taruhan lagi, lagi, lagi…

Image hosted by Webshots.comSelesai dari Genting, balik lagi ke KLCC. Potret-potret Petronas di waktu malam. Keren. Cuma ya karena hanya dengan kamera digital biasa, kurang memuaskan hasilnya. Gak bisa nangkap keseluruhan menara, dan hasilnya sering goyang karena gak pakai tripod.



Image hosted by Webshots.comHari ke-tiga, saya cuma menghabiskan waktu di airport. Dari hotel naik taksi ke KL Center, lalu naik bis ke airport. Rombongan teman-teman dapat tiket penerbangan yang siang. Sementara penerbangan saya di sore hari. Cuacanya jelek. Penerbangan siang sempat tertunda sekitar 1,5 jam. Untung yang saya relatif on-time. Di pesawat, sengaja saya cari tempat duduk di belakang sayap, dan menghabiskan waktu dua jam dengan memotret perubahan awan dan warna langit. Dan membaca buku. Terbang menuju Bangkok…

Catatan tambahan:
  • Terlalu sering makan nasi lemak, membuat ekskresi saya kurang beres. Hehehe.
  • Sejak Maret 2006 kalau naik penerbangan murah ini ke KL, kita ternyata tidak akan mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), bandara yang konon -- soalnya belum lihat sendiri :( -- super megah, lebih keren dari Changi. Mendaratnya di LCC (Low Cost Carrier) Terminal – halah namanya aja udah low cost hehehe – sekitar 20 km dari KLIA.
  • Air mineral di KL lebih mahal dari di Indonesia. Harga untuk 0,5 liter air (beli di 7eleven), kalo gak salah sekitar 2 RM (kurang lebih 5000 rupiah). Sekilas, harga-harga barang di KL kayaknya memang agak lebih mahal dari di Jakarta.
  • Apa lagi ya?? Entar ditambahin lagi deh kalo inget.



selamat menunaikan ibadah puasa
maafkan kesalahan-kesalahan saya, ya

Kolase Perjalanan

kuala lumpur & genting highland
bangkok

Klik, untuk memperbesar gambar.
Cerita... menyusul ya, kalau sempat :p

Kembali

Hai, udah balik nih. Bagaimana liburannya? Rasanya hmm.. campur-campur.

Menyenangkan sekali melihat hal-hal baru. Menghirup aroma kota yang berbeda. Menelusuri jalan-jalan yang asing. Memandang kerlip lampu yang tak sama. Berpas-pasan dengan wajah-wajah yang tak dikenal. Mendengar percakapan yang tidak dimengerti. Mengecap rasa yang tak biasa.

Ada beberapa rencana yang gak kesampaian sih, karena berbagai hal. Bikin penasaran dan gak puas. Sempat juga ketipu-ketipu dikit, hehehe.. hey, tapi malah menambah pengalaman, kan?

Senangnya juga, Obin dan Ayah baik-baik aja di rumah. Jadi hati rasanya tenang. Tiap telpon ke rumah, suara Obin tetap riang. He's really a big boy now. :)

Anyway, thanks untuk semua yang udah komen di posting sebelumnya. Ya, Atta, ini berkaitan dengan tiket murah yang saya beli hampir setahun yang lalu... ;)

* foto-foto menyusul

Mom's Days Out

Uhm... Saya mau nanya, nih...

Jadi gini ceritanya, ada seorang ibu. Ceritanya dia bakalan pergi liburan, nih. Sendiri. Seminggu. Ibu itu punya anak yang masih balita. Apa? Oh, bukan. Dia bukan full-time mom. Dia kerja, kok. Full time. Senin sampai Jumat. Selain week-end, tiap hari ketemu anaknya paling satu-dua jam, pagi-pagi. Kalau malem, seringnya anaknya udah bobok. Gitu.

Nah, pertanyaan saya gini nih, "Ibu itu egois gak sih?"


Silakan dijawab. Gak usah sungkan-sungkan. Sementara itu, saya pergi dulu ya!!!! Sampai ketemu lagi.... :)



----

PS (buat Ayah dan Obin):
Ayah sama Obin, jangan sering-sering berantem ya, selama Bunda gak ada... hihihi... :p

Mengingat Lupa

Terkadang kita -- mungkin secara tak sadar -- kerap menghindar dari sepenggal ingatan tertentu. Melupa. Menafikan segala yang membangkitkan kenangan atas serentang masa yang ingin dilupa. Meletakkan sebuah album foto di bagian lemari yang sukar dijangkau dan membiarkannya berdebu. Menghilangkan nama sebuah kota dari peta kehidupan. Menutup telinga atas sebuah topik percakapan. Memalingkan wajah atas episode tertentu pada sebuah film. Melompati dua atau tiga paragraf dari sebuah novel yang sedang dibaca.

Atau... menekan tombol 'stop' secara reflek, setiap kali rekaman fragmen tertentu dari masa lalu berputar. ‘Berhentilah, cukup sampai di situ saja.’

---

Mengenang kota itu, dua puluh tahun silam, awalnya membawa rasa hangat di hatinya. Teman-teman kecil, sekolah berdinding papan tak berpagar di dekat ‘rawa’, kepala sekolah berkulit legam yang bersahaja, guru baru yang membuka mata, permainan di hijau tanah lapang, perkemahan sabtu minggu, bukit di belakang sekolah, jajanan di rumah seberang, bulir-bulir kuning akasia, sepokok bambu di sudut jalan, rumput jarum menusuk kaus kaki, sungai kecil berjembatan kayu…

Lalu ia akan terkenang rumahnya dulu. Rumah besar itu, pekarangan yang sungguh lapang, segala pohon jambu di halaman belakang, kandang ayam, sumur timba tak terpakai, seekor anjing menandak gembira, bermain monopoli dan menang, kamar-kamar kosong, ruang tidur luas untuk dirinya sendiri….

Lalu...


STOP! Sampai di situ saja. Karena melarut berarti... rasa getir di kerongkongan, butir bening di sudut mata, dan rasa bersalah yang -- ia tahu -- semestinya tak ada.

---

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, di atas pintu keluar sebuah supermaket di suatu kota, ada sebilah papan (biru?) bertuliskan kata mutiara. Hiasan yang tak menyolok mata, tak menuntut perhatian khalayak, namun tetap ganjil untuk sebuah supermarket. Aku sendiri tak kan pernah memperhatikannya, apabila seseorang tak menunjukkannya padaku.

Kalau tak salah begini, bunyinya:

Happiness, it's nothing more than a good health and a poor memory.

Hmm… begitukah? Dan sekarang, masih adakah tulisan itu di sana?

Setelah Liburan Panjang

Selasa pagi. Waktunya kembali bekerja. Bangun pagi dengan happy, mood gw lagi bagus. Libur panjang kemarin sangat menyenangkan. Main pasir dan ombak, berkejaran bertiga di sepanjang pantai, memandang wajah kecil yang ceria... ah... :)

Di jalan. Hari pertama kembali bekerja. Macet. Gak heran, deh. Semua orang kembali sibuk. Macet banget. Gak masalah. Soalnya mood gw lagi bagus.

Lihat di luar! Rumput-rumput di pembatas jalan mulai menguning. Kering. Tapi kemarau punya keindahannya sendiri. Ini saat daun-daun coklat melepas satu-satu dari ujung ranting. Lihat mereka terbang melayang pelan? Menari bersama angin. Mengapung di udara. Meliuk. Mengambang. Lalu jatuh perlahan di atas jalan.

Macet luar bisa. Sudah dua jam berkendara, belum separuh perjalanan dilewati. Tapi mood gw lagi bagus. Jadi, santai aja, ya. Toh, apa sih yang gw kejar?

Eh, kenapa motor di seberang jalan itu? Kok tiba-tiba oleng dan terbalik? Sebuah motor lain melambat dan pengendaranya turun membantu. Seseorang dari pelataran bangunan juga ikut menolong. Untunglah, sepertinya semua baik-baik saja. Dan ya, mood gw lagi bagus.

Hey, itu bukan daun, yang melayang-layang di atas mobil di depan. Itu kupu-kupu hitam putih. Sayapnya tidak mengepak. Hanya membentang, mengapung di atas angin. Gak heran gw sempat salah sangka. Tuh, kan. Kupu-kupu itu sedang pura-pura jadi daun gugur :p. Mengepak sesekali untuk terbang naik, lalu kembali mengambang di udara, mengikuti geliat-geliut angin.

Wow, sudah tiga jam. Masih di sini-sini aja. Hey, tapi mood gw lagi bagus. Itu papan pengumuman berwarna kuning, yang bertuliskan "maaf-perjalanan-anda-terganggu-ada-pekerjaan-busway", gak boleh merusak mood gw.

Baca, baca buku lagi aja, deh. Toh jalan merayap kayak siput. Baca buku tebal yang sudah beberapa hari nongkrong di mobil. Buku cerita pendek-pendek tentang dunia yang bijak dan indah. Tumben nih, bisa selesai sampai tiga bab sekaligus.

Hmmm... mesin mobil makin panas. Pendingin udara harus dimatikan sesekali, supaya suhu mesin kembali normal. Udara di luar (dan di dalam) terasa semakin bikin gerah. Keringat mulai membasahi ketiak. Untung deh tadi gak pake baju tebal. Hahaha, ya, mood gw masih bagus, kok.

Tiga setengah jam lebih. Akhirnya sampai di perempatan jalan itu. Oh ternyata, kalau jam segini, Nano dan Pepen sudah tidak ada. Mungkin mereka mangkal di tempat lain yang lebih strategis.

Empat jam. Akhirnya sampai juga. "Hey, harusnya elo udah nyampe Bandung, tuh!" Tawa menderai, "iya nih... eh, sebentar lagi udah waktunya makan siang, ya?" Untung mood gw lagi bagus...

Sudut







Ah, ya. Kemarin nemu hasil scan sketsa ini di rumah. Dy, inget gak? :)

Ada sedikit cerita tentang 'sudut' yang terletak di lantai dua sebuah kos-kosan berdinding bata ekspos itu. Di jendela besar di sisi tempat tidur itu, si pemilik sudut suka nongkrong malam-malam, menatap malam, sampai akhirnya gak tahan karena kedinginan. Pemandangan favorit dan 'kebanggaannya': puncak Gedung Sate, langsung tepat di depan jendela (dari jauuuuh sih, tapi lumayan jelas, kok).

Looking at those sketches, I can jot down a long list of memories. Lima tahun tinggal di situ, gitu lho. And yes, the room was quite a picture of my self :). Ah, jadi kangen suasananya...

* yang bikin sketsa bukan saya :)

Duh...

Kalau badan lagi meriang-meriang kayak gini, paling enaknya dibalur minyak kayu putih, terus bobok pake selimut di sekujur tubuh. Kalau hidung mampet bikin gak bisa bobok, apa daya harus menenggak obat flu.

Kalau badan lagi meriang-meriang tapi di kantor... enaknya ngapain ya?

--- dilanjutin

Setiap habis posting yang rada-rada gloomy, ada rasa gak sreg. Padahal kan blog punya sendiri ini, ya? Heran... hehehe. Beberapa orang malah membuat blog sebagai pelampiasan segala uneg-uneg dan maki-maki. Tapi saya selalu terngiang-ngiang omongan seorang teman yang udah lama gak ketemu. Tentang aura negatif. Hahaha...

Yah, begitulah. Jadi, setiap ada posting bernada sedih-keluh-kesal-marah yang berhasil lolos nongol di blog ini, pasti itu diikuti sekelumit perasaan bersalah pada pemiliknya. Bahwa ia (iya, saya) sudah ikut bertanggung jawab menyebarkan aura negatif di dunia maya ini... (dohh)

Dihapus saja? Hmm... tapi kan itu posting jujur. Kasihan kalau dihapus. Eksistensinya gak diakui. Duh... makin ngawur aja. Sorry...

Pakai disclaimer-jangan-dibaca-kalau-gak-mau-ikutan-gloomy? Haruskah?

Karangan Iseng

Siang-siang, dapet sms dari si Neng pemilik Alas-Kaki-Merah. Katanya, dirinya ada gawean yang menantang di sini, yakni menciptakan karangan dengan "missing letter" atawa "abjad yang hilang". Tadinya sayah males. Tapi si Eneng emang hebat, bisa meyakinkan sayah hingga terinspirasi iseng. Jadilah ini dia karangan tanpa abjad ... hm... ada deh...


Mesin Hebat Yang Bikin Nginap

Menjawab tantangan Kke agar bikin karangan iseng kayak gini. Hmm… bagaimana caranya agar hanya pakai a – e – i ? Mari-mari kita karang.

---

Cerita tentang apa ya? Cerita tentang Bintang aja deh. Bintang beberapa hari kemarin ada pengalaman pertama lagi. Menginap sendiri tidak sama Nda dan Ayah.

Hebat memang daya tarik game mesin-pintar-dengan-layar-besar-dan-papan-ketik (agar tidak mengetik istilah tenarnya, hehe). Nama game-nya adalah incredible machine. Game lawas sih. Tapi masih gres bagi Bintang. Lebih-lebih ini adalah jelmaan kegemarannya mengarang hayal tentang mesin. Biasanya sih, dia senang menggambarkannya di atas kertas saja.

“Ini mesin yang bisa meledak, Nda.” kata Bintang.
“Ayah, ini pipa air bersih, air ini akan mengalir ke pipa yang ini. Nanti akan dipancarkan ke sini.” cerita lain Bintang tentang gambar mesin ciptaannya.

Dengan kegemaran ini, bisa dibayangkan kan, bagaimana senangnya dia ketika lihat ada game “incredible machine” di tempat tinggal Kiki, anaknya kakaknya Nda (nah… :p). Setelah sepanjang hari main tapi bergiliran dan tidak senang karena hanya sebentar-sebentar mainnya, menjelang magrib Bintang masih tidak hendak balik (alah, bahasanya :p). Ayah iseng nanya, “Nginep aja, ya?”. Pikir-pikir hanya sebentar, Bintang segera meng-iya-kan. Malah Nda dan Ayah yang jadi menganga, “Bener, nih?”. “Iya, bener.”

Alhasil, malamnya Ayah dan Nda kesepian. Gak ada yang teriak-teriak, cerita-cerita, dan nyanyi, dan nangis. Ayah sampai bilang gini, “Kangen ya. Gimana kita samperin aja, Nda?”

Akhirnya gak jadi kami samperin sih. Lagian ini kan pengalaman pertamanya menginap di tempat “asing” tanpa kami. Langkah besar baginya. Meski demi bermain game, hehehe. Dan, kabar dari ipar saya, Bintang malamnya hanya terlelap sebentar. Dia begadang sampai pagi dengan alasan gak bisa lelap lagi. Padahal sih, demi main game tanpa disela ‘teman-teman’ kecilnya.

---

Yah, begini saja ceritanya si karangan hanya dengan a-e-i. Ternyata bisa. Jritt, Kke. Sayah gak kerja nih jadinya. Hehehe…

Kita

tak usah ada lingkar di jari
tangan tak menggenggam air
tanda tak kuasa ikatkan hati

tak perlu ucapkan janji
itu daun tua di ujung ranting
siap jatuh dihela angin

kita, bisikkan saja doa


selamat enam tahun
walau tanpa lingkar di jari
: kita


;)

Ketika Bergerak

domba
pohon pisang
lelaki mencangkul
tiga tumpuk kayu bakar
sawah kosong basah
sepeda
bendera putih
tanah merah
gerombolan merpati terbang
lembu ekornya mengayun


ouch, kereta ini berlari lebih cepat dari pada kemampuanku untuk mencerna apa yang aku lihat

pohon berjajar
tiga lelaki di atas bukit
sawah
kebun singkong
asap merang
becak
lampu jalan menyala
tambak
di mana-mana tambak... luas...
sawah lagi. luas sekali


ah, rasanya seperti anak kecil, untuk pertama kalinya melihat segala sesuatu

payung rubuh di pinggir tambak
atap biru
para-para
stasiun kecil
kebun tebu
tanah merah
lengkung kabel telepon... turun... naik...
alang-alang
lapangan bola
sekawanan domba berusaha naik undakan


di atas kereta yang berjalan, tak mudah menulis. aku bahkan nyaris tak bisa membaca tulisan tanganku sendiri

sawah yang baru ditanami padi
tanah pekuburan
pohon cemara
domba makan rumput
bunga flamboyan merah


kereta berhenti, kurasa kusudahkan saja eksperimen isengku kali ini. menyenangkan juga rasanya :)


* disalin dari selembar coretan yang terselip di dalam tas, ditulis di atas kereta jakarta-bandung beberapa bulan yang lalu

Blog Lain

apa kamu punya blog lain yang lebih privat?
ya, ada

kenapa?
kadang ada yang saya gak bisa tulis di sini. gak nyaman.

sejak kapan?
udah lama juga kayaknya deh. pastinya udah lebih dari setahun.

rutin?
gak. kadang berbulan-bulan sama sekali gak diisi, ditengokin juga gak. kadang (walau jarang) diisi tiap hari dengan satu dua kalimat gak penting.. hehe

anonim?
yah, sepertinya begitu. walau gak mungkin seratus persen anonim, kan? ;)

gak ada yang tahu?
mana saya tahu.. :p

kalau ada yang tahu?
ya, sudahlah.. itu resiko

benar-benar menulis 'apa adanya' di blog yang lain itu?
tidak juga. tidak seratus persen 'saya' juga :)

lho?
hmm... gini, anggap aja saya perlu beberapa laci. ada coretan-coretan yang ditaruh di laci yang ini, ada yang disimpan di laci yang satu lagi. tapi ada juga coretan-coretan yang saya buang, tidak saya simpan di laci mana pun. begitu... :)
eh, saya balik nanya nih, kalau kamu punya gak?

Sepenggal Ritual Pagi

Pertama kali ia tersenyum menyapa dari balik kaca mobil, saya tak mengenalinya. Awalnya saya pikir ia sekedar menawarkan majalah. Namun ia tetap tersenyum lebar dan mengangguk, walaupun secara reflek saya sudah melambaikan telapak tangan tanda tidak berminat. Sekian detik diperlukan sampai akhirnya saya menyadarinya. Ah... dia. Pantas saja. Yang saya kenali bukan dirinya di sini dan di sore hari yang meremang. Biasanya, yang saya tahu, dia di sudut sana dan di pagi hari. Buat saya dia bukan sekelumit wajah yang familiar, tapi sebagai sosok dalam sepenggal ruang dan waktu yang eksak: pukul delapan pagi di perempatan lampu merah itu.

Saya balas mengangguk dan tertawa. Lalu melaju lagi karena sudah saatnya bergerak.

Saya masih terkejut karena dia masih mengenali saya: satu dari ratusan (ribuan?) kendaraan yang lewat jalan itu setiap harinya. Ya, kami memang pernah punya satu cerita yang mengaitkan kami. Tapi tetap saja saya tak menyangka dia masih akan mengenali saya, di antara ratusan kendaraan yang melewatinya tanpa membeli barang dagangannya karena memang tak memerlukannya.

Sampai kini tiap pagi saya masih melewati perempatan lampu merah itu, sekitar pukul delapan pagi. Hampir setiap pagi saya akan melihat dirinya dan seorang temannya yang lain di sana. Lalu kami akan saling tertawa dan mengangkat tangan menyapa dari balik kaca jendela. Begitu saja. Hampir tiap pagi. Rasanya memang ada yang kurang. Saya masih tidak tahu namanya dan nama temannya.

---

Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian bulan ritual itu berlalu, saya menurunkan kaca jendela ketika kendaraan terhenti oleh lampu bertanda merah. Bertanya padanya, "Mas namanya siapa?" Ia menggumamkan namanya tak jelas. "Siapa?" tanya saya lagi. "Saya, Nano." "Kalau Mas yang satu lagi itu siapa?" "Pepen." Saya tersenyum dan mengangguk sekali lagi, sebelum akhirnya kembali melaju.

On Work

Saya perhatikan, mood saya dalam bekerja, punya grafik naik dan turun yang cukup drastis. Biasanya, setelah selesai sebuah proyek yang cukup besar, mood langsung turun drastis. Apalagi kalau proyek berikutnya masih ada jeda waktu yang cukup lama.

Seperti sekarang...

Merapikan meja, sudah. Merevisi daftar pekerjaan berikut, yang ternyata panjang juga, sudah. Tapi masih aja belum bergerak maju. Procastinating aja terus... :p

Well, Obin lusa akan terima rapot (udah saatnya lagi? time does fly). Abis itu liburan.

Liburan?

Membaca Laskar Pelangi, Mengenang Sepenggal Masa Kecil

Tulisan ini sebenarnya sudah mulai saya tulis beberapa bulan yang lalu. Lama menggantung, baru sempat saya selesaikan dan posting sekarang. Bahasannya jauh lebih ringkas dari rencana semula.

cover
Judul buku : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang (2005)

Saya terlambat. Setelah beberapa kali sekilas melihat judul ini di beberapa blog, saya jadi tergoda untuk membacanya.

Short comment for this book: I like it. Alot.

Belum banyak (atau belum ada?) penulis Indonesia yang mengangkat topik sejenis ini: pengalaman masa kecil dan pendidikan.

Bukan bermaksud menyamakannya dengan karya-karya seperti Totto Chan (Tetsuko Kuroyanagi), Dua Belas Pasang Mata (novel, Sakae Tsuboi), atau Not One Less (movie, Zhang Yimou). Tentu saja berbeda. Tapi saya akui, membaca Laskar Pelangi mengingatkan saya pada karya-karya di atas: sama-sama memotret kehidupan anak-anak yang terpinggirkan (karena miskin ataupun karena ‘ berbeda’) dalam usaha untuk mendapatkan pendidikan. Tentang masa kecil yang bahagia. Juga tentang sosok guru yang luar biasa, yang mencerahkan, penuh pengorbanan, dan selalu membekas dalam ingatan anak didiknya.

---

Mungkin pendapat saya tentang Laskar Pelangi juga dipengaruhi melankoli yang sangat subjektif. Novel ini membuat saya mengenang sepenggal masa kecil saya. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya melewati sekitar tiga setengah tahun masa sekolah dasar di sebuah kota di Pulau Bangka. Pulau itu bersebelahan dengan Pulau Belitung (Belitong) -- yang menjadi setting Laskar Pelangi -- dan juga merupakan pulau penghasil timah.

Sedikit banyak saya dapat memahami ketimpangan yang terjadi antara masyarakat miskin Melayu Belitong dengan kaum penguasa pertambangan timah, seperti yang dikisahkan dalam Laskar Pelangi. Walaupun tidak semegah dan seeksklusif Sekolah PN Timah Belitong dalam novel, sekolah saya dulu adalah SD Negeri yang kebetulan berada di tengah-tengah komplek perumahan karyawan timah. Walaupun bangunan sekolah saya dulu hanya semi permanen dengan dinding separuh bata dan separuh papan -- tapi tidak juga separah SD Muhammadiyah dalam kisah Laskar Pelangi yang nyaris rubuh -- sekolah saya memang cukup makmur. Banyak murid sekolah saya adalah anak petinggi pejabat timah. Tingkat kehidupan yang lebih makmur sebanding dengan prestasi sekolah. Sekolah saya saat itu adalah salah satu SD favorit, yang menghasilkan lulusan dengan rata-rata nilai ujian tertinggi, yang sering menang lomba kecerdasan, ketangkasan dan lain-lainnya. Hampir seperti --- walau tidak seekstrim -- yang terjadi di Sekolah PN Timah Belitong dalam Laskar Pelangi. Sementara SD Muhammadiyah dalam novel, adalah sekolah yang serba miskin, dengan jumlah guru hanya dua orang termasuk kepala sekolah, dan nyaris ditutup karena jumlah murid yang tidak memenuhi kuota.

---

Ada beberapa hal yang sedikit mengganggu ketika membaca Laskar Pelangi. Kisah ini mengambi rentang waktu yang cukup panjang. Masa sebelas anggota Laskar Pelangi mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah sendiri adalah sekitar 9 tahun. Fragmen-fragmen pengalaman mereka berada di kisaran waktu ini. Namun saya merasakan penulis kurang membantu pembaca untuk mengetahui penggal waktu yang tepat untuk masing-masing fragmen. Apakah peristiwa A terjadi ketika mereka masih berusia 10 tahun, ataukah 14 tahun? Saya harus benar-benar teliti membacanya untuk membayangkan usia dan sosok anggota Laskar Pelangi ketika suatu penggal peristiwa terjadi. Selain itu ada beberapa hal kecil lainnya yang juga mengganggu. Hey, tapi semua itu tidak mengurangi rasa salut saya terhadap karya ini.

Ulasan saya tentang buku ini, mungkin kurang memberikan gambaran yang jelas. Silakan baca berbagai ulasannya yang lain di berbagai tempat atau bisa berkunjung ke blog sang penulis.

salah paham

ketika disalah-artikan, apa yang kau lakukan?


misalnya;

ketika komen-komen di blogmu,
mencerminkan orang salah mengerti apa yang kau tulis ;-)
apa yang akan kau lakukan?

atau teman di sekelilingmu
menyalah-artikan sikapmu;
apa yang akan kau lakukan?

atau ketika orang yang kau anggap dekat
tidak tepat memahami dirimu;
apa yang akan kau lakukan?

ketika kau membiarkan orang terdekat,
salah mengartikan dirimu
ada apa?


ketika kau membiarkan
komen-komen di blogmu, teman-teman, bahkan orang terdekat,
salah mengartikan dirimu
: ada apa denganmu?

ada yang...

asing
pada diri sendiri

asing
yang nyaman
really?

ataukah
hanya letih?

rasanya seperti
jalan
melayang

Ciganjur Festival

perbesar gambar

Hari/ Tanggal: Sabtu-Minggu/ 6-7 Mei 2006
Pukul : 8.30 - 12.30 wib

more info: Ciganjur Festival - Sekolah Alam

Sore ini...

Hampir pukul enam sore. Sepi. Benar-benar sepi. Semua sudah pulang. Ditemani secangkir kopi.

Meja berantakan. Sudah waktunya sedikit dirapikan. Walau akan kembali berantakan dalam waktu dua hari. Ah, nanti-nanti saja, deh...

Di luar, Jakarta badai. Hujan deras. Langit hitam. Meretak oleh kilat.

Suara. Derung komputer. AC. Klakson mobil tak sabar di kejauhan. Gemuruh langit.

Benar-benar hampir pukul enam sore. Lampu dan dingin udara akan padam. Pilihan. Segera berkemas dan bergabung dengan barisan kendaraan. Atau menunggu sejenak dengan ditemani remang lampu meja.

Aih, besok long week-end lagi...

Berlaku sama kah?

Lucu.

Baru saja dirimu memutuskan untuk membebaskan diri dari perasaan harus tetap meneruskan blog-mu. Membebaskan diri dari kekang idealisme-ngeblog yang (tentu) kamu ciptakan sendiri. Baru saja...

dan kini kamu seperti mendapatkan semangat baru untuk meneruskannya...

Lucu.


***

Hmmm... for a second thought...

Bermain-main dengan kata: Mencoba mengganti setiap kata "blog/ ngeblog" pada kalimat-kalimat di atas dengan kata-kata lain. Tugas. Tanggung-jawab. Pekerjaan. Relation-ship. Perkawinan. Hmmm... Kata apa saja. Cinta. Mimpi. Hidup...

Berlaku sama kah?

sungai, jembatan, dan gerbang

Akan kuceritakan sebuah dongeng...

ada seseorang yang tinggal di tepi sebuah sungai yang lebar. keinginan terbesarnya adalah untuk pergi menyeberangi sungai, melihat dengan mata kepalanya sendiri sisi lain dari sungai yang ia telah kenal sejak ia lahir.

ada sebuah jembatan yang menyeberangi sungai itu. namun pada jembatan itu ada sebuah gerbang. gerbang itu tidak dijaga oleh siapa pun. tidak juga memiliki kunci atau palang perintang. namun gerbang itu tak pernah terbuka untuk dirinya. ya, ia pernah melihat gerbang itu terbuka, dan beberapa orang telah melewatinya, dari ke dua sisinya.

ia sendiri, telah beberapa kali mencoba dan gagal. gerbang itu tak pernah bisa dibuka olehnya, bahkan dengan mendorongnya, mencongkelnya, dan berbagai usaha paksa lainnya. tidak bisa juga ia mencoba menyelinap ketika orang lain melaluinya.

setelah beberapa kali mencoba dan gagal, ia mulai melupakannya. terkadang ia benar-benar lupa akan keinginannya itu. namun kadang ia teringat kembali dan menghabiskan waktu luangnya untuk duduk di tepi sungai. memandangi jembatan sambil berharap gerbang penutupnya akan terbuka untuk dirinya.

suatu hari, ia kembali teringat keinginannya itu, namun dilihatnya gerbang tidak juga terbuka untuknya. ia memicingkan mata, berusaha memandang ke seberang sungai. keinginannya sangat besar. ia putuskan akan menyeberangi sungai dengan segala upaya. bila gerbang tidak juga terbuka dan jembatan itu tak bisa dilaluinya, ia akan mencari jalan lain. ia putuskan untuk berjalan menyusuri sungai mencari cara lain untuk menyeberanginya. mungkin saja nanti akan kutemukan jembatan yang lain atau mungkin sebuah sampan, pikirnya. ia pun mulai melangkah.

belum jauh ia melangkah menyusuri sungai, didengarnya suara gerbang berderik. ia menoleh. dilihatnya pintu gerbang yang menutup jembatan itu terbuka. tak ada orang lain di dekat situ. hanya ada dirinya sendiri....


Telah kuceritakan sebuah dongeng. Setiap orang mungkin akan 'membaca' dengan caranya sendiri. Seperti juga 'membaca' makna sebuah peristiwa.

Lingkaran



Minggu lalu kami berdua mengajak Obin menghadiri acara ulang tahun putra teman kami. Di sana, saya bertemu beberapa teman lama. Masing-masing telah membawa putra-putri mereka. Terasa lucu. Beberapa belas tahun lalu, kami hanyalah remaja-remaja berseragam putih abu-abu. Saat itu sungguh tidak terbayangkan bahwa belasan tahun mendatang kami semua akan menjadi orang-tua yang mengantar anaknya menghadiri ulang tahun anak teman...

Sambil menyaksikan anak-anak kecil itu bermain bola-bola atau balon, saya tidak bisa tidak jadi berpikir... how time flies... (klise, hehehe).

Dalam perjalanan pulang, masih dengan rasa takjub yang agak aneh, saya jadi teringat percakapan selintas dengan seorang teman yang lain. Kali ini tidak terjadi belasan tahun yang lalu. Hanya sekitar sepuluh tahun yang lalu...

---

Teman: Kenapa sih, semua orang harus hidup dalam pola yang begitu-begitu aja.

Gimana?

Teman: Ya, begitu... lahir, gede harus sekolah, kuliah, kerja, kawin, punya anak, dst..

*saya diam, menunggu kemana arah pembicaraan selanjutnya*

Teman: Kepikiran gak sih, kalau hidup itu mungkin gak mesti seperti itu?

Saya saat itu pun, tidak terlalu punya jiwa "ingin menentang segala kemapanan". Setidaknya dalam tingkatan yang jauh lebih rendah dari teman saya itu. Jadi saya tidak menjawab pertanyaan (atau pernyataan) -nya. Sebenarnya sih juga karena saya tidak tahu apa jawabannya.

---

Dalam perjalanan pulang dari acara ulang tahun anak seorang teman, saya jadi teringat percakapan itu. Sekarang saya tahu apa jawabannya. Setidaknya jawaban yang saya percaya berlaku untuk diri saya sendiri.

Saya... hanyalah setetes air yang tunduk pada siklusnya. Demi berlangsungnya kehidupan. Demi keberadaan dirinya sendiri.

Sebuah titik yang tunduk pada lingkaran kehidupan.

On Blogging

Saya ngeblog, seperti berenang berayun-ayun terbawa ombak. Naik turun gelombang. Spektrum rasanya pun berwarna-warni. Ada masa terkagum-kagum dengan teknologi ini, dengan segala kemungkinan baru yang ditawarkan. Ada masa eksperimen. Ada periode narcis (yeah... :p). Ada periode sosialisasi, sapa-sini-sapa-sana. Ada masanya diam. Diam tapi tetap membaca. Atau diam dan pergi.

Masih ingin terus ngeblog. Cuma, waktu dan energi ekstra untuk menulis sudah jadi barang mewah sekarang. Gak punya lagi energi untuk menangkap ide-ide yang terbang berkelebatan, lalu menekuri dan mengolahnya jadi kata-kata.

Mungkin blog ini mesti di... ehm... redefinisi? Gak ingin berhenti total, soalnya. Masih suka kangen nulis, tapi tanpa daya untuk menuliskan sesuatu secara agak panjang, terstruktur, apalagi tuntas. Jadi mungkin saya akan mulai ngeblog potongan-potongan apa saja yang saya ingin tulis. Sekedar serpih. Apa saja. Demi sekedar tetap menulis.

Entahlah...

Sendirian

"Mbak, kok tahan sih pulang-pergi nyetir sendiri gitu."

Saya mengernyit bingung, "Maksudnya? Capek?"

"Kan sepi, Mbak. Gak ada temen ngobrol. Berjam-jam gitu. Saya sih gak betah."

***

Orang beda-beda ya?

Saya suka berkendara sendiri. Capek? Memang, mau gimana lagi. Kesal karena macet? Kalau macetnya masih standar-standar aja, udah gak bikin kesal lagi. Masak sih mau kesal tiap hari? Rugi sendiri kan?

Tapi baru kali ini saya dengar komentar, "Apa gak sepi?" Hihihi... gak tuh... Sumpah deh, gak pernah kepikiran begitu sama sekali. Saya suka sepi, ternyata. Saya suka sepinya berkendara sendiri. Sempat, saya punya rekan seperjalanan. Tapi rekan perjalanan yang suka mengeluhkan kemacetan di-sepanjang-jalan-yang-memang-macet-gak-bisa-diapa-apain-lagi? Sepuluh kali lebih baik, sendirian aja.

Berkendara sendirian? Saya bisa banget baca buku (kayaknya saya gak sendirian soal baca buku sambil nyetir di Jakarta, beberapa kali saya lihat pengendara di sebelah saya, juga membaca). Pengen suara-suara? Setel musik atau radio. Kalau lagi gak ingin baca atau dengar suara-suara, ya bengong aja, sendiri.


***

Belum lama ini saya naik kereta lagi ke Bandung. Sendiri. Kapan ya terakhir naik kereta ke Bandung sendirian? Sudah lama juga rasanya. Ternyata ngangenin juga nih naik kereta sendirian ke Bandung. Tiga jam-an. Rasanya waktunya pas gitu untuk bengong sendiri, sambil kadang baca buku, sambil kadang lihat lembah dan sawah dari jendela, sambil kadang ketiduran sebentar.

Dulu, waktu masih jaman kuliah di Bandung, ide-ide untuk tugas-tugas seringnya kepepet muncul di kereta. Draft makalah juga seringnya ditulis di kereta. Sekarang? Keinginan untuk menulis topik gak penting ini di blog, munculnya juga di perjalanan dengan kereta kemarin.

Damn, saya ternyata suka jalan sendiri. (Mungkin sepanjang saya gak nyasar atau lost in translation). :)

Another New Year...


Tahun yang baru lagi, 2006. Masih harus membiasakan diri untuk menuliskannya, 2_0_0_6.

Saya lagi ingin menulis, jadi mari mencoba menulis. Tentang apa? Tentang malam tahun baru yang baru lewat? Tidak ada yang spesial, karena kami sudah tertidur sebelum pukul sepuluh malam. Lalu menulis tentang apa? Tentang resolusi tahun baru? Sigh... terlalu malas untuk punya resolusi...

Bagaimana dengan menghitung nikmat yang diterima selama 2005? Belum pernah saya benar-benar menyempatkan diri untuk duduk menekur dan mendaftar seluruh anugrah nikmat ataupun rejeki. Oh, bukan berarti saya tidak pernah bersyukur. Maksud saya begini... saya hanya tidak pernah merinci duka dan bahagia dalam sebuah daftar, imajiner apalagi tertulis.

Tapi gak ada salahnya kan bila kali ini mencoba?
2005... apa yang sudah saya lalui?

Di tahun 2005, saya kembali bekerja. Pekerjaan yang cukup menantang dan menarik, rekan kerja yang menyenangkan. Saya sangat bersyukur akan hal ini. Bekerja dengan senang, ...paling tidak, sekarang saya tahu bagaimana rasanya menyukai 'pekerjaan'.

2005, Obin mulai sekolah... Pengalaman baru buat dirinya. Dan juga buat kami, orang tuanya. Dari hal sesederhana 'menyekolahkan anak' ini, saya belajar sungguh banyak hal. Pertama tentang menghadapi kegagalan. Ini sangat personal sebenarnya. Saya baru sadar bahwa saya jarang mengalami kegagalan dan rasa kecewa karena gagal. Bukan... bukan karena saya selalu berhasil. Tapi lebih karena saya nyaris tidak punya ambisi atau obsesi besar. Tapi ternyata menyekolahkan Obin di sekolahnya sekarang, harus saya akui adalah impian saya, yang pernah saya coba abaikan karena tidak ingin memaksakan impian saya padanya. Rasa kecewa ketika tidak dapat menyekolahkannya di sana, benar-benar membuka mata saya betapa saya ternyata sangat menginginkannya. Sekali lagi ini sangat personal dan tidak ingin saya tulis panjang lebar di sini. Kedua, saya belajar tentang tawakal, berserah diri kepada-Nya, berusaha semaksimal mungkin dan percaya bahwa Ia-lah yang maha tahu apa yang terbaik. Alhamdulillah setelah Ia menguji saya dengan kecewa, membuat saya belajar tentang tawakal... Ia pun membukakan jalan. Insya Allah, impian saya sejalan dengan kehendak-Nya. Itu baru dua hal, masih banyak yang saya pelajari dari sini... bagaimana mencoba menerima anak apa adanya, bagaimana berusaha menjadi orang tua yang kreatif: selalu bermain tarik ulur antara bersikap 'konsisten' dan 'luwes'... dan masih banyak lagi.

Salah satu yang terbaik di tahun 2005 lalu, saya dan suami tidak lagi menjadi 'week-end husband and wife'. Finally, setelah 5 tahun menikah... :) Kami berdua nyaris tidak punya target untuk kehidupan kami. Benar-benar hidup mengalir saja. Bukannya tanpa masalah, hidup seperti ini. Tak jarang ini bahkan menjadi salah satu pemicu pertengkaran. Tapi walaupun tanpa tenggat waktu, kami berdua punya tujuan-tujuan yang sama, ke mana akan mengarahkan sauh. Ternyata cepat atau lambat, selama kami tetap berusaha untuk setia pada tujuan; Insya Allah kami akan mencapainya...
(I love you, Ayah...)

Tiga hal di atas, serta udara yang saya hirup, nikmat kesehatan yang seringkali saya lupakan dan kerapkali tak saya jaga, air dan makanan yang masuk ke dalam tubuh saya, orang tua yang tak pernah berkurang kasih sayangnya, keluarga yang selalu 'ada', orang-orang di sekeliling yang kadang menjadi cermin diri, dan berjuta 'nikmat' lain yang sering saya lupakan... ; atas semua hal itu saya bersyukur.

Duka dan kecewa? Rasanya tak ada lagi yang perlu dituliskan. Rasanya menjadi begitu tak berarti dibanding nikmat yang saya terima. Lagipula di dalam setiap duka dan kecewa, Insya Allah ada nikmat yang perlu saya syukuri...

Selamat 2006!