Pernik Keramik



Berapa banyak orang yang cukup beruntung, bisa memiliki hobi yang sekaligus menghasilkan uang? Itulah yang sekarang ingin saya lakukan. Ingin saya buktikan. Bahwa hobi baru sekaligus obsesi lama saya – keramik – bisa menghasilkan uang.

Setelah belajar keramik selama tiga bulan, maka saya pun memulainya. Saya belum mahir membuat peralatan makan. Cangkir dan mangkok yang saya buat belumlah cantik dan layak jual. Hanya cukup layak untuk dipakai sendiri. Apalagi pot dan guci keramik yang besar. Resikonya masih terlalu tinggi. Maka saya akhirnya memutuskan untuk membuat benda-benda kecil saja dulu. Pernak-pernik kecil yang sangat saya sukai sejak dulu. Yaitu perhiasan dari keramik, terutama kalung (pendant).

Satu bulan penuh saya habiskan untuk memproduksi sekitar 1500 keping pernik keramik ini. Ya, sedemikian banyak, untuk memenuhi satu oven untuk satu kali pembakaran. Hasilnya? Tidak seratus persen memuaskan. Maklum, bisa dibilang ini adalah proses produksi yang pertama. Walaupun begitu, setelah disortir, paling tidak sekitar 700 – 800 keping keramik layak untuk dijadikan perhiasan.

Setelah sibuk belanja segala rupa tali, kait kalung, peniti, dan plastik kemasan; mulai lah proses berikutnya. Yaitu mengubah keping-keping tersebut menjadi kalung, bros, dan jepit rambut. Lalu saya mengemasnya dalam kemasan plastik bening dan memberinya label serta keterangan, agar jadi cantik dan informatif. Siap untuk dijual!

Belum banyak usaha yang saya lakukan untuk menjualnya, sampai saat ini. Pembeli pertama adalah kakak saya sendiri, Itoy, bersama seorang temannya. Penglaris... penglaris…! Thanks, Sis! Selain itu saya juga sudah menitipkannya pada keponakan saya, Luthfi, untuk dijual oleh kelasnya pada acara Market Day Sekolah Alam, seminggu yang lalu. Hasilnya ternyata lumayan. Dalam beberapa jam saja, dengan pangsa pasar terbatas pada keluarga Sekolah Alam, telah laku sekitar 30 keping bros dan kalung. Makasih ya, Luthfi! Lalu seorang sepupu yang bertandang, menawarkan diri untuk membantu menjualkannya. Pagi ini ia menelepon, memberi tahu bahwa lima keping contoh kalung yang ia bawa laris manis. Ia berencana akan datang kembali segera, untuk mengambil lebih banyak lagi kalung. Ah… senangnya…!

Kamu benar, Dy. Proses membuatnya saja sudah menyenangkan. Membayangkannya dipakai oleh orang lain lebih menyenangkan lagi. Apalagi kalau dapat uangnya…. Hehehe… ;-)

***

Saya sudah upload beberapa foto pernik keramik yang saya buat. Senang sekali rasanya bila kalian menyempatkan untuk melihatnya di sini (atau link 'pernik keramik' pada sidebar). Karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan:

  • Saya membuat cukup banyak ragam pendant dan brooch. Karena saya masih dalam tahap menjajaki selera pasar juga. Target pasar saya sebenarnya adalah remaja perempuan, terutama anak sekolah dan kuliahan. Tapi tentu tidak menutup kemungkinan yang lain. Pertanyaannya sederhana, di antara sekian banyak foto yang ada, manakah yang kamu suka?
  • Mengenai ukuran pendant, saya pribadi menyukai yang mungil. Tapi ternyata ada juga yang menyukai pendant dengan ukuran yang agak besar. Kamu pilih yang mana? Yang kecil (1,5-2 cm), yang besar (2-3 cm), atau bahkan yang lebih kecil atau lebih besar lagi?
  • Adakah saran tempat atau jalur untuk menjualnya? Punya info tentang bazaar lingkungan, perumahan, kantor, sekolah, atau kampus? Atau cara untuk mendapatkan info-info ini? Semuanya akan sangat membantu.
  • Last but not least. Ada yang tertarik? Bisa menghubungi saya lewat email ini. :)

Trimakasih. Trimakasih. Trimakasih….

“Yang, kunci pintunya dong…”



Aku merasa seperti si Bibi Tutup Pintu di majalah Bobo saja, yang selalu berteriak “Tutup pintu!” pada setiap anggota keluarga kelinci yang lupa menutup pintu. Setiap saat, suamiku harus lagi dan lagi diingatkan agar menekan tombol central lock untuk mengunci pintu mobil yang kami kendarai.

Setiap kali mobil melaju keluar dari pekarangan, aku harus selalu merapalkan mantra ini, “Kunci pintu dong…”. Pernah juga aku pura-pura lupa, sekedar ingin tahu apakah ia akan ingat sendiri bila tidak aku ingatkan. Ternyata tidak. Yang ada malah aku yang jadi ikutan lupa.

Tak jarang aku jadi merasa kesal. “Pintunya dong, sayang…! Kok mesti diingetin terus, sih!”, kataku sambil cemberut. Atau kalau lagi kumat mau mens, bisa jadi merepet lebih panjang, “Kunci pintu dong! Ini kan Jakarta. Bukan Bandung. Tiba-tiba bisa aja ada yang buka pintu pas kita di perempatan lampu merah! Kan bahaya!”

Tadinya aku berharap kebiasaan mengunci pintu ini akan tumbuh dengan sendirinya ketika kami sudah punya momongan. Ya, kan ceritanya sudah harus merasa lebih bertanggung-jawab. Tapi ternyata tidak tuh… tetap saja peran si Bibi Tutup Pintu harus terus aku jalani. Aku curiga juga, jangan-jangan ia sebenarnya ‘menikmati’ omelanku itu. Huh!

***

Anak kami kini sudah hampir tiga tahun usianya. Di mobil, kini ia senang duduk sendiri di kursi belakang. Mengunci pintu mobil kini jadi semakin penting. Karena, walaupun sudah mengerti bahayanya bermain-main dengan handle pintu mobil, terkadang tangannya masih terlalu ‘gatal’ untuk menarik-memencet-menekan segala sesuatu yang menurutnya bisa dimainkan. Lalu apakah hal ini membawa suatu perubahan?

Tidak. Tidak ada yang berubah. Suamiku tetap selalu lupa menekan tombol pengunci otomatis pintu mobil. Dan aku tetap selalu menjadi si Bibi Tutup Pintu yang bertugas mengingatkan.

Ah… tidak, aku salah. Ternyata ada kok yang berubah… Dulu aku mengatakan, “Kunci pintunya dong…” dengan hati kesal. Kini aku mengatakannya sambil mengulum senyum di hati…

Apa Alasan Berhenti Ngeblog?

Jadi bertanya-tanya, kira-kira apa aja sih alasan orang-orang berhenti ngeblog. Berhenti. Bukan sekedar hiatus. Tapi berhenti dengan niat berhenti. Atau niatnya berhenti sebentar aja, tapi keterusan :)

Apa ya?

Ngeblog ternyata gak asik
Ini terutama alasan berhenti untuk para blogger baru. Baru satu-dua kali posting, atau baru satu-dua bulan aja ngeblog. Ngeblog itu bukan gue banget deh

Kehabisan bahan
Bahan, materi, itu syarat utama untuk ngeblog. Kehabisan bahan, writers’s block, gak ada ide lain, cuma-itu-aja-yang-aku-tahu, kok-nulis-tentang-itu-itu-aja, mentok… Ya, rasanya ini jadi alasan yang cukup sering untuk berhenti ngeblog.

Gak ada waktu lagi untuk ngeblog
Sibuk. Kerjaan, tugas, deadline, tesis (dan lain-lain) numpuk banget. Gak ada abis-abisnya. Hiks…

Perubahan dalam hidup
Baru nikah, baru punya anak, baru tempat kerjanya, dan segala hal baru lainnya yang mengakibatkan terjadinya pergeseran prioritas ngeblog dari (mungkin) tadinya paling pertama (ha!) jadi paling bontot.

Susah online
Karena pindah ke daerah terpencil yang gak ada koneksi internet sama sekali, kehilangan tempat online gratisan buat orang-orang yang tadinya ngeblog dari kantor (gue banget deh... hehehe... ), balik ke Indonesia untuk bloggers yang tadinya sempat tinggal di luar negeri (dial up mahal!)

Rasa tidak aman
Pada diri bloggers tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman, tidak aman untuk menulis tentang hal pribadi secara online. Bagaimana bila blognya dibaca dan ditemukan oleh orang yang mengenalnya di dunia nyata?

Capek ngarang
Ada aja blog-blog yang memang fiktif. Ceritanya fiktif. Bahkan profilnya pun bisa saja fiktif. Yeah… apa yang gak mungkin sih di dunia maya ini? Buat jenis blog seperti ini, si penulis pada akhirnya sangatlah mungkin akan merasa kelelahan.

Capek diteror
Hehehe… mungkin ada aja kali yang kayak gini. Internet kan penuh dengan orang-orang yang ‘sakit’… hehehe… Ada yang punya pengalaman kayak gini?

Malas dan Bosan
Malas nulis. Bosan nulis. Malas blogwalking Bosan blogwalking. Malas komen. Bosan komen. Malas. Bosan. Salah satu penyakit laten manusia kan? Lalu kenapa bosan? Kenapa malas? Ups… gak usah dibahas deh. Bisa jadi bahan postingan sendiri itu…

Ada alasan lain? Ada yang mau nambahin?


***

Namun apa pun alasan di baliknya, berhenti ngeblog sama alaminya dengan “berhenti-berhenti” yang lain. Seperti berhenti ngempeng, berhenti ngompol, berhenti merokok, berhenti menulis diary, berhenti menstruasi, dan berhenti-berhenti yang lainnya lagi.

Karena sesuatu yang berawal selalu akan berakhir.

Gak kok… saya gak berniat untuk berhenti ngeblog ... :-)
Belum…