Perpisahan

Ketika sebuah perpisahan terjadi, siapakah yang lebih merasa sedih, yang ditinggalkan atau kah yang pergi meninggalkan? Ah, masih perlukah kesedihan? Bukankah memang tak ada satu pun yang abadi?

Ketika seseorang pergi untuk mengejar mimpi, masih perlukah air mata? Bukankah kepergian itu untuk kebahagiaan?

Ah... bagaimana pun air mata kadang mampu menyihir detik-detik perpisahan: menghapus debu kesal yang ada selama perjalanan bersama, menyegarkan daun kenangan, meneteskan embun doa dan asa untuk bahagia.

Untuk mereka yang pergi: Ia yang kini telah pergi ke barat untuk membangun kembali sebuah negeri yang luluh lantak. Ia yang kini telah kembali ke rumah, pada anak-anaknya. Dan ia yang telah bertahun-tahun bersama kami, yang hari ini akan meninggalkan kami untuk membentuk keluarga kecilnya sendiri.

Untuk mereka yang pergi: semoga bahagia...

ied

Selamat Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Tanya

Bunda, Obin hari ini sekolah?
- Gak, Obin hari ini gak sekolah.

Bunda hari ini kerja?
- Iya, Bunda hari ini kerja.

Tapi kenapa Bunda kerja tiap hari?


*tanya di hampir setiap pagi

Kubus



Ini 'kubus'ku. Sudah hampir lima bulan. Sampai saat ini aku suka kubus ini: hal-hal yang keluar-masuk ke dalam kubus ini, juga orang-orang yang berlalu-lalang di dalam dan luarnya. Banyak hal baru yang menarik bagiku, keluar-masuk kubus ini, walau kadang membuat sedikit pusing dan hati berdebar-debar. Orang-orang yang berkeliaran, juga sangat menarik. Muda, gembira, bersemangat, santai, ramah, ramai, walau kadang rumpi, berisik, dan berkonflik.

Dulu sekali, aku sering bertanya-tanya, bagaimana sih rasanya menyukai sebuah kubus? Karena kubusku dulu, tak kusuka. Kini aku kembali bertanya-tanya, akankah aku masih menyukai kubusku kini, kelak? Esok, lusa, sebulan, atau setahun lagi?

Aku suka kubus ini. Namun kadang, seperti saat ini di dalam kubus yang menyenangkan ini, aku sedikit merasa takut. Aku takut terkurung di dalamnya.

...

Hidup mengajari aku untuk tak lagi percaya pada cinta. Bukan, bukan lalu aku menjadi pahit dan menistakan indahnya kepak sayap cinta. Tapi cinta, kini kutahu, bisa sekejap menjelma bulu-bulu yang berterbangan: ringan, melayang, hilang...

Tapi, Tuhan, sekali lagi memperlihatkan kemahakuasan-Nya. Entah apa rencana-Nya, kali ini.

...

Lihatlah kupu-kupu itu. Sayapnya indah, bukan?

Aku jadi teringat seorang pencinta kupu-kupu. Ia tinggal di daerah pegunungan yang sejuk. Pekarangan rumahnya luas, dipenuhi dengan segala jenis tanaman yang disukai kupu-kupu. Rumahnya dipenuhi oleh kupu-kupu. Kupu-kupu hidup, kupu-kupu yang diawetkan, gambar kupu-kupu, kupu-kupu batu, ulat kupu-kupu, kepompong kupu-kupu. Serba kupu-kupu.

...

Mengetik. Mengetik apa saja. Sudah lama sekali rasanya tidak mengetikkan kalimat-kalimat kosong ataupun setengah kosong atau setengah isi. Mengetik. Mengetik saja. Apa yang terlintas. Tak ada yang terlintas. Hanya ingin mengetik. Menumpahkan kekosongan. Hingga kembali terisi.

Tulis. Tulis saja. Penuhi halaman putih ini dengan huruf-huruf. Menjelma bunyi. Entah rima entah mantra, semoga saja makna.

...

Argh... kosong kosong kosong. Isi isi isi... Hi hi hi... Seperti ketika bermain ular naga dulu. Ular naga panjangnya bukan kepalang, berjalan-jalan selalu kian kemari. Umpan yang lezat itulah yang dicari. Inilah dia yang terbelakang.... kosong kosong kosong isi isi isi...

Pasar Malam 2

Ini foto-foto pasar malam kemarin. Untuk baca keterangannya, silahkan arahkan cursor pada fotonya.


namanya juga pasar, banyak yang jualan macam-macam, dari baju, vcd, mainan, alat-alat tukang. segala ada, deh. para penjual ini rupanya ikutan keliling juga.kincir angin atau bianglala gaya pasar malam. dijalankan dengan tenaga listrik dari diesel. karena kecil, putarannya lumayan cepat. lumayan bikin saya mual :pobin, ditemenin mbak tini, seneng banget naik pesawat. pesawat mainan ini sudah bertenaga diesel.

komidi putar a la pasar malam. lihat laki-laki yang berdiri di sisi kiri? ia adalah salah satu 'tenaga pendorong' mainan ini.rumah hantu. gak sempat lihat dalamnya karena keburu tutup.kelana, tertulis di loket tiket komidi putar. itu adalah nama rombongan hiburan keliling ini. harga tiket masing-masing permainan, Rp 2500,-

kerak telor. hm.... sedap...apa sih namanya permainan ini? kalau di dufan, namanya ontang-anting. cuma yang di pasar malam ini, diputar dan diayun dengan tenaga manusia.untuk naik, harus pakai tangga yang dipegangi oleh mas-mas penjaga.

pemandangan pasar malam, dilihat dari atas bianglala.obin dan om-om penjaga komidi putar

Pasar Malam

Tempat kami tinggal, berada di pinggiran selatan Jakarta. Tinggal di pinggiran, membuat kami cukup beruntung, masih bisa mengecap hal-hal yang mungkin sudah tidak ditemukan di belahan lain Jakarta yang lebih 'kota'. Salah satu di antaranya adalah Pasar Malam.

Pasar Malam ini adalah sekelompok penyelenggara hiburan yang secara berkala berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Mereka biasanya memanfaatkan lapangan bola, kebun kosong, atau pelataran parkir stasiun kereta-api; seperti yang mereka lakukan di dekat tempat kami tinggal.

Sudah lama saya memendam keinginan untuk pergi ke Pasar Malam ini. Namun, biasa deh, saya terlalu malas. Hingga beberapa waktu yang lalu, ketika saya melihat rombongan ini kembali mampir di stasiun kereta dekat rumah... pagi-pagi sedang membongkar peralatan dan membangun tenda-tenda mereka... bulatlah tekad saya untuk mengunjunginya segera...

(foto-foto pasar malam, menyusul... )

Rheia

Aku menyukai namaku, seperti ibuku juga menyukainya. Rheia. Aku menyukai bunyinya. Suara yang dihasilkan oleh bergetarnya udara di rongga mulut. Bunyi rrreeeiii yang bergetar karena gerakan lidah pada langit-langit mulut. Ibu juga menyukai bunyinya. Ini kutahu, karena dulu sekali telah beratus-ratus kali kutanyakan sebab ia menamakanku demikian. Selalu dijawabnya,

Sebab Ibu menyukainya.

Sekali waktu aku menuntut jawaban yang lebih dari itu. Ibu lalu akan menambahkan,

Rheia. Namamu itu terdengar merdu…

Lalu terkadang aku akan kembali bertanya. Apa arti namaku?

Maka Ibu akan kembali bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan nama itu.

Namamu adalah nama seorang dokter di rumah sakit tempat kamu dilahirkan. Nama satu-satunya dokter perempuan yang ada di daftar nama dokter yang terpajang di ruang tunggu rumah sakit itu. Ibu tak ingat nama panjangnya. Tapi ibu suka sekali dengan nama depannya. Rheia. Berkali-kali Ibu mencoba mengucapkannya dengan berbagai intonasi. Bergumam, nada memanggil, bertanya, berseru… Tetap cantik. Rheia…reia... rreiyaa… Merdu bukan? Waktu kamu lahir, hanya nama itu yang muncul di benak Ibu. Maka namamu Rheia.

Aku menyukai namaku. Rheia. Makin menyukainya ketika nama itu kutemukan dalam sebuah buku yang kubaca ketika SD dulu. Buku mitologi yunani yang dipinjamkan oleh Bening.

Rheia. Rhea. Ibu. Bunda para dewa.

Dari sebuah laci: sepotong cerita yang belum dan entah kapan akan selesai...

Dari Suatu Pagi

Pagi. Terlambat bangun. Bergegas. Mengantuk.

Jalan sungguh padat. Ada anak laki-laki berseragam sekolah menggandeng sepedanya diseberangkan sang ayah. Sampai di seberang, tepukan di bahu, lambaian tangan, sepeda dikayuh pergi.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Berjejalan kendaraan di persimpangan jalan. Ada laki-laki pembawa arang. Mengayuh sepeda terselubung bungkusan arang, terjepit di antara mesin berderu penghasil asap.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Tak ada percakapan menarik dengan teman seperjalanan. Sama-sama bosan.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Membaca lembar-lembar yang masih harus dibaca. Mengingat-ingat apa yang perlu diingat. Mereka-reka apa yang akan direka.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Satu setengah jam. Akhirnya... sampai juga.

*Cuma selingan dari suatu pagi yang biasa.

Dua Bocah Bergandeng Tangan

Pada suatu siang menjelang sore, seorang bocah laki-laki bermain sendiri di sebuah taman kota. Berlari secepat kilat menuruni tanah yang cukup terjal. Melompati perdu. Berbaring di rumput menatap langit. Mungkin berhayal jadi burung terbang. Atau mungkin pula sekedar bosan. Sudah sangat sering ia bermain di sana. Ia sudah hapal setiap tanjakan, turunan, celah perdu, pagar, kolam, rumput, debu, dan batu. Sore masih panjang. Orang masih ramai berlalu lalang. Sang ayah masih menjaja minuman ringan di depan taman.

Pada suatu siang yang sama di taman kota yang itu juga, seorang bocah laki-laki kecil lain baru tiba bersama ayah dan bundanya. Ia mulai bosan berada di dalam kendaran yang tersendat berjalan. Ia juga selalu suka halaman rumput yang luas. Karenanya ia pun segera berlari kecil menuruni taman. Menghambur ke arah rumput yang hijau. Meninggalkan ayah-bundanya.

maka dua bocah pun bertemu...

Awalnya ragu. Lalu mulai bersama berlari. Bertukar kata. Menaiki taman, tidak lewat tangga. Yang satu secepat kilat. Yang satu lagi riang tersendat-sendat, tidak terbiasa. Lalu turun kembali. Berlari melintasi rumput. Melompati perdu. Meloncati batu-batu. Yang satu bernyanyi dan menari-nari. Yang satu mengamati. Naik lagi lewat jalan memutar. Bergantian memanjat tonggak marmer yang menjelma jadi mainan seluncuran. Saling membacakan huruf-huruf di bawah tugu. Kelelahan, duduk minum bersama.

suatu sore
dua bocah bergandeng tangan
mendaki jalan setapak di taman
celoteh riang


* Untuk Aldi, teman baru Obin. Bertemu di Taman Ganesha, Bandung. Semoga suatu hari nanti bisa main bersama lagi.

Majalah



Yay! Pernik Keramik Lempoeng saya masuk majalah!
Ada di rubrik Gaya - Prayojana Majalah Gatra, 2 Juli 2005.

:)

Menyaksikan Lahirnya Gadis Kecil

Saya lupa persisnya kapan perkenalan saya yang pertama dengan lagu puisi Sapardi. Yang saya ingat, dulu di kampus, lagu “Aku Ingin” cukup sering dilantunkan pada acara-acara musik sore. Lalu pada tahun 1996, saya beruntung diajak seorang kakak dan sahabatnya, nonton acara pertunjukan musikalisasi puisi ini di TIM. Pada saat itu, saya sempat membeli sebuah kaset, “Hujan Bulan Juni”, yang kini masih saya simpan tapi suaranya makin meliuk-liuk karena terlalu sering diputar.

Awal tahun 2003, karena sebuah posting saya di blog, saya akhirnya ‘mengenal’ para penyanyi, khususnya Tatyana (Nana) yang kemudian beberapa suratnya tentang lagu puisi, ikut saya tampilkan di blog ini. Juni 2003, sebuah acara diadakan Warung Apresiasi Bulungan. Tempat yang tak seberapa luas itu, malam itu, dipenuhi penonton yang rindu mendengarkan dan menyaksikan lantunan lagu-lagu puisi Sapardi. Termasuk di antaranya, saya.

Dua tahun berlalu. Kamis malam lalu, 23 Juni 2005, saya kembali hadir di sana, di Warung Apresiasi, Bulungan. Dengan kerinduan yang sama: mendengar dan menyaksikan lantunan lagu-lagu puisi Sapardi. Dan yang terutama, ikut menyaksikan lahirnya “Gadis Kecil”.


Gadis Kecil

Dua Ibu (Reda dan Tatyana) menyanyikan puisi Sapardi Djoko Damono.

“Dalam cd ini puisi saya telah diubah menjadi nyanyian yang indah, yang merupakan tafsir penulis lagu, pemusik, dan penyanyi. Penghargaan saya sampaikan kepada usaha mereka untuk menyampaikan puisi ke khalayak yang lebih luas”Sapardi Djoko Damono.

CD album GADIS KECIL berisi 11 lagu puisi Sapardi Djoko Damono:

  1. Gadis Kecil
  2. Dalam Bis
  3. Hatiku Selembar Daun
  4. Ketika Jari-jari Bunga Terbuka
  5. Buat Ning
  6. Hutan Kelabu Dalam Hujan
  7. Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
  8. Dalam Diriku
  9. Nokturno
  10. Hujan Bulan Juni
  11. Aku Ingin

Harga Rp 50.000,- (setiap Rp 5000,-nya akan disumbangkan kepada anak-anak yang kurang beruntung).

--------------------------------------------------------------------
Gadis Kecil
Produksi Dua Ibu® 2005
Recorded, mixed, mastered at Studio 15 by Leonard 'Nyo' Kristianto
Hak Cipta © Dua Ibu
www. duaibu.com
duaibu@hotmail.com

Album ini melibatkan karya banyak seniman. Hargai kerja seni ini dengan tidak menggandakan sendiri, meng-copy, men-share CD dengan alasan apapun.



Untuk sementara CD ini sudah dapat diperoleh di:

  • Warung Apresiasi, Bulungan, Kebayoran (pukul 18.00-24.00)
  • Toko Buku BENGKEL DEKLAMASI Jose Rizal, Taman Ismail Marzuki (TIM) - Cikini.
  • Aksara Prodak Kemang: Jl. Kemang Raya 8b - T. +62 21 7199 288F. +62 21 7199 282 -- Aksara Prodak Cilandak Town Square: 2nd Floor, Unit 153, Jl. TB Simatupang Kav. 17 - T. +62 21 759 20347 -- Aksara Prodak Plaza Indonesia: LB, Unit 41 – 42 AJl. M.H. Thamrin Kav 28-30 - T./F. +62 21 310 7711 -- Email: info@aksara.com
  • EKI - Eksotika Kharmawibhangga Indonesia. Jl. Padang no. 30, Manggarai, Jakarta, email: eksotika@indo.net.id. T - 021 8313029 - 021 8312377

Selain bisa beli di tempat, EKI juga melayani pembelian dengan sistem cash on delivery (untuk Jabodetabek) dengan tambahan ongkos antar Rp 5000,-

  • Atau pesan melalui Dua Ibu, terutama untuk luar Jakarta (duaibu@hotmail.com, Tatyana, 021 – 70407823)

Saya kehilangan beberapa lagu favorit saya, di album yang baru ini. Tapi tak mengapa, karena ada banyak lagu baru yang bagus. Terutama untuk lagu satu di bawah ini. Iramanya riang dan rancak (pinjam istilah Bagja), dengan akhir yang menghentak, benar-benar seakan menghipnotis penonton, malam itu.

sajak-sajak kecil tentang cinta

/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai
gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku

(Sapardi Djoko Damono)



Bulan depan akan kembali digelar acara musikalisasi puisi SDD.
Tanggal: 20 - 21 Juli 2005
Tempat : Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki,
Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta

Untuk keterangan lebih lengkap, bisa di lihat di link
ini .

UPDATE: 18 JULI 2005

MAAF, ACARA DI ATAS DINYATAKAN BATAL! Berikut adalah email penjelasan dari Dua Ibu :

Yth. Sahabat Dua Ibu,

Melalui email ini kami beritahukan bahwa kita semua belum bisa berjumpa pada tanggal 20-21 Juli 2005 y.a.d di TIM dalam sebuah acara yang diberi tajuk "Hujan Bulan Juni" oleh penyelenggara.Kami urung tampil dan acara itu sendiri dibatalkan.

Saat ini kami sedang merancang sebuah event khusus dari Dua Ibu untuk Anda semua. Doakan agar semuanya lancar -- di tengah kesibukan kerja sehari-hari -- supaya kami dapat mewujudkan keinginan Anda semua untuk menikmati koleksi lagu puisi Sapardi Djoko Damono secara live.

Mohon maaf sebesar-besarnya, terimakasih banyak atas segenap perhatian serta kerjasama Anda semua, dan keep in touch!

Salam sejahtera,

Dua Ibu[ Reda & Tatyana ]

Baca tulisan-tulisan blogger lain yang hadir juga pada acara peluncuran 'Gadis Kecil' kemarin:

Puisi untuk Juni

ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis --
di pinggir padang ada pohon dan seekor burung

GADIS KECIL - sapardi djoko damono, 2001

Dua Ibu

Siapakah mereka?
Mereka adalah Nana dan Reda Gaudiamo. Dua ibu yang biasa melantunkan dengan merdu lagu-lagu puisi Sapardi Djoko Damono.

Kedua ibu ini pun masing-masing telah membukukan karya cerpen mereka. Nana (atau dikenal juga dengan Tatyana), dengan kumcer Jakarta Kafe dan Single Mom’s Day Out. Reda dengan kumcer Bisik-bisik.

Mengapa mereka?
Karena dua ibu ini tak lama lagi akan meluncurkan kembali album musikalisasi puisi Sapardi tersebut.

Lalu?
Dua ibu ini membuka pintu bagi segala sapa dan tanya tentang album musikalisasi serta buku karya mereka. Jangan ragu mengetuk pintu rumah mereka: duaibu@hotmail.com.

Baca di blog ini cerita lain dari "Dua Ibu" dan karya mereka:
Musikalisasi Puisi
Jakarta Kafe, Sebuah Paket
Report Acara Musikalisasi Puisi
Sapardi Djoko Damono, Lagi??? - Sebuah Sejarah
Menunggu 'Hujan Bulan Juni' di Bulan Juni
Hujan Bulan Juni

Pergi Tidak Pergi

Pergi, tidak, pergi? Pergi? Tidak? Atau pergi?

Perempuan itu bimbang. Ia tetap melaju di jalan tol. Pergi? Tidak?
Ingin ia pergi. Untuk sejenak waktu bagi dirinya sendiri.

Pergi? Tidak? Ia harus cepat ambil keputusan. Secepat datangnya dua pintu tol lagi. Yang harus dilewati, bila tidak pergi yang ia pilih. Tangannya meraih telepon genggam. Kini jadi alat bantu ambil keputusan.

“Yang, aku pergi, ya? Ada acara ini di situ. Pengen dateng.”

“Ya, atur aja.”

Klik. Pergi.

---

Tapi masih ada tapi. Lalu menelepon kembali. Sebuah suara riang kecil menyapa di ujung sana, “Halooo! Ini siapa?”

“Halo! Ini Obin? Bin, ini Bunda. Obin lagi apa?”

“Obin lagi main. Bunda, Obin udah punya cerita buat Bunda. Obin udah bikin cerita.”

“Oya? Ceritanya apa? Ayo cerita. Bunda pengen denger.”

“Gak. Ceritanya bukan buat di telpon. Ceritanya nanti. Udah, ya. Daaa!!”

Klik. Putus.
Pergi?

---

Ia menelepon lagi. Suara kecil lagi yang terdengar, “Haloooo! Ini siapa lagi, sih?”

“Ini Bunda lagi. Bin, Bunda pulangnya agak malem ya? Bunda ada acara.”

“Gak. Bunda pulangnya sekarang! Obin mau cerita. Obin bikin kejutan buat Bunda.”

“Ceritanya nanti kalau Bunda pulang dari acara ya...”

“Gaaakk. Bunda pulangnya sekarang aja!”

Hening sejenak.

“Obin mau ceritanya, sekarang, ya?”

“Iya!”

“Oke, deh... Bunda pulang sekarang.”

Klik.
Menepi. Pintu tol dilewati.

Tidak pergi.

Musikalisasi Puisi

Posting kali ini adalah untuk:

  • Orang-orang yang kerap 'nyasar' ke blog saya ini, karena kata-kata kunci antara lain; musikalisasi puisi, Sapardi Djoko Damono, aku ingin, hujan bulan juni.
  • Orang-orang yang sempat membaca tulisan-tulisan lama saya tentang musikalisasi puisinya Sapardi (Hujan Bulan Juni, Menunggu 'Hujan Bulan Juni' di Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono, Lagi??? - Sebuah Sejarah, Report Acara Musikalisasi Puisi); dan kemudian menyempatkan diri untuk menulis di kotak komentar, kotak sapa, buku tamu, atau bahkan melayangkan e-mail kepada saya untuk bertanya: di mana bisa mendapatkan kaset/ cd musikalisasi puisi itu, kapan akan kembali dirilis, dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya.
  • Teman-teman yang pernah mendengar -- entah di mana -- beberapa musikalisasi-puisi Sapardi yang cukup terkenal, seperti 'Aku Ingin' dan 'Hujan Bulan Juni'. Lalu menyukainya, tapi selama ini bingung bagaimana cara mendapatkan kaset atau CD-nya.
  • Teman-teman yang belum pernah sekali pun mendengarkan musikalisasi puisi tersebut, yang jadi penasaran mengapa saya berulang-kali menulis tentang hal itu. :p

Untuk mereka, berikut pesan singkat dari Mbak Reda Gaudiamo di kotak komentar saya:

Hai Neenoy,

Setelah hampir dua tahun mendengar namamu dan sempat beberapa kali mampir ke Perahu Kertas, hari ini saya nekat memperkenalkan diri. Saya, Reda. Teman nyanyinya Nana.

Lewat pesan pendek ini, saya ingin berbagi kabar, bahwa album kami akan segera muncul (beneran!), karena hari ini, master-nya sudah selesai dan siap digandakan minggu depan. Bila segalanya lancar, Juni nanti sudah selesai dan siap didengarkan.

Terima kasih yang amat sangat kepada Neenoy dan teman-teman di Perahu Kertas yang sudah memberi dukungan kepada kami, dua ibu ini. Tanpa doa dan nyala harapan kalian yang begitu benderang, rasanya langkah kami tak akan seringan ini.

Thank you!

Much love, reda

PS: kalau sempat, sila mampir ke Kinokuniya Plaza Senayan, tg. 19 Mei '05, jam 18 - 20.00 wib. Nana mau launch buku barunya!



Buat Mbak Nana & Mbak Reda, semoga semua lancar. Semoga Juni ini kita sudah bisa menikmatinya.... Wah, gak sabar, deh! Btw, lagunya apa aja nih? Ada lagu baru, gak? :)


UPDATE (1 Juni 2005):

Tatyana dan Reda Gaudiamo dapat disapa di duaibu@hotmail.com

Tujuh Belas Bulan

Tujuh belas bulan, Bintang. Tujuh belas bulan, hampir setiap waktu aku ada di sisimu. Menyahut dan menghampirimu, setiap kali kau memanggil, “Bunda!” Menemani bobok siangmu. Membujuk tidur siangmu dengan tawar-menawar berapa buku yang akan dibaca sebagai pengantar lelap. Membujuk suapmu dengan cerita tentang mesin dalam tubuh yang perlu diisi makanan padat (kau menyukai penjelasan yang logis bukan?). Mendekap takutmu pada petir yang terasa sejengkal di atas kepala, betapapun sudah berulang kali kita bercerita tentang kembang api yang berloncatan dari gumpalan awan. Mengusap dan mengecup setiap sakitmu pada kepala (atau lutut atau lengan) yang seringkali terbentur karena kau selalu saja berlari dan meloncat tak hati-hati. Tujuh belas bulan, aku hampir selalu ada untuk memandang suara tawamu dan mendekap setiap tangismu.

Aku ingat betul, Bintang. Kau menandai awal masa tujuh belas bulan itu, dengan sapa ‘bunda’ yang bulat, tak lagi sekedar ‘da’. Saat ini kau telah bisa mendongeng tentang daun yang punya rumah, bercerita tentang segala rupa mesin rekaan, berkata “Obin punya ide” sembari memaparkan gagasan brilianmu, membangunkanku dengan berisik ketika subuh, bahkan memberi nasehat untuk orang-orang di sekelilingmu. Dan kau selalu dapat meluluhkan hatiku, dengan tatap mata kecilmu yang menyertai bisik pelanmu, “Bunda… Obin sayang Bunda.”

Masa tujuh belas bulan berlalu. Kini kita akan mulai menjalani bentang masa yang baru. Aku akan kembali memulai ritual yang dulu. Memelukmu erat di pagi dan sore (atau malam?) hari. Melambaikan tangan dan ciuman di pagi hari. Mengharap tawamu berlari menyapaku di sore (atau malam?) hari. Dan… menata hati agar tak cemburu pada setiap gelak tawamu yang bukan untukku.

Untuk apa aku pergi? Untuk siapa? Untukmu kah? Untukku kah? Aku tak pernah benar-benar tahu seperti aku tak pernah tahu seperti apa masa depan. Ah, apakah pergi adalah yang terbaik? Ataukah tinggal? Yang aku tahu, aku telah berserah pada Yang Maha Tahu. Dan ketika kesempatan itu diberikan, maka aku akan menjalaninya sambil berharap ini lah yang terbaik untuk kita.

Tujuh belas bulan, Bintang. Tujuh belas bulan yang mungkin akan segera terlupa oleh lemahnya ingatanmu dan ingatanku. Namun kuharap, itu adalah tujuh belas bulan yang akan selalu mengendap di bawah sadarmu dan bawah sadarku. Mengutas benang tak rapuh antara kau dan aku.

Tentang Anak dan Soal Manusia Mendarat di Bulan



“Bunda, ayo baca cerita ini!” seru Obin sambil memegang salah satu buku favoritnya. Sebuah buku tipis tentang alam semesta.

“Ayo, Bunda! Baca!”

Maka mulailah saya membacakannya. Tentang bumi yang berputar, matahari di langit, siang dan malam, cahaya bulan. Kadang saya membaca kata demi kata yang tertera di sana. Kadang, kalau sedang malas, saya memilih untuk menceritakan dengan kata-kata sendiri saja. Dan Obin selalu saja siap menyela, dengan tanya, “Bunda, tanda panah ini apa?” (Obin, entah kenapa selalu tertarik pada ‘tanda panah’ yang ditemuinya di mana saja: di buku, di jalan, di mana-mana.)

“Oh, itu arah cahaya matahari! Yang ini, sinar matahari ke bumi, jadinya bumi di sebelah sini siang. Kalau yang ini, sinar matahari ke bulan, lalu dipantulkan bulan ke bumi. Jadi bumi yang sebelah sini, malam, tapi bisa lihat sinar yang dipantulkan bulan.” Saya menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk gambar di buku.

Lalu kami akan sampai di halaman buku yang bercerita tentang penelitian dan pendaratan di bulan. Lalu saya akan teringat suatu hal...

***

Beberapa tahun yang lalu (sudah cukup lama sebenarnya), marak beredar gugatan terhadap kisah pendaratan manusia di bulan ini. Saya tidak begitu peduli.

Sudah lama saya sadar bahwa, dalam beberapa hal tertentu saya cenderung apatis. Sudah lama saya tidak merasa terlalu perlu menyempatkan membaca tajuk surat kabar atau menyaksikan acara berita di televisi. Dunia silahkan berotasi dan berevolusi dalam kebisingannya sendiri, saya sudah cukup sibuk dengan dunia kecil saya saja.

Begitu pula tentang kisah manusia mendarat di bulan. Selama ini saya tak pernah tergerak untuk mencari tahu.

Tapi seorang anak ternyata mampu merubah sikapmu pada dunia.

Kini saya peduli. Kini saya ingin tahu. Karena seorang Obin yang saat ini punya cita-cita jadi astronot (entah apa lagi cita-citanya bulan depan :)). Maka saya berusaha mencari tahu. Lalu menemukan site ini, yang memuat pro dan kontra yang cukup berimbang tentang pendaratan manusia di bulan.

Tapi hehehe... saya masih bingung, nih...! Mana yang benar, sih? Ada yang bisa bantu saya?

***

Haruskah saya membacakan utuk Obin, halaman yang bercerita tentang pendaratan di bulan itu, sebagai kisah nyata? Ataukah dongeng?

Atau biarkan saja sebagaimana adanya? Biar saja ia yang mencari tahu sendiri kelak, jika ia mau. Mungkin nanti ia juga akan menjadi seperti saya, menjadi tak begitu peduli. Atau mungkin ia sendiri yang kelak akan pergi ke sana... ke bulan... :)

Gugur

Berita kematian seseorang di televisi atau koran sudah menjadi terlalu biasa. Tak kan pernah benar-benar menyentakmu... kecuali bila ternyata kau mengenalnya...

***

Ia adalah Igo... serasa tak percaya waktu tak sengaja menatap fotonya di televisi kemarin sore. Tak mengenalnya dengan dekat, tak pernah juga sekelas waktu berseragam putih-abu dulu. Tapi aku masih bisa mengenali wajahnya. Masih bisa mengingat sosoknya yang tinggi besar. Masih bisa mengenangnya sebagai teman yang pintar dan suka melucu.

Tak pernah tahu (dan juga tak sangka) ternyata setelah lulus S1 di Unbraw, ia memilih untuk berkarir di militer. Seorang teman dekatnya, di mailing-list alumni, mengatakan, Igo yang cemerlang memilih untuk berkarir di TNI dari bawah, karena idealismenya.

Selamat jalan Igo... sepanjat doa untukmu dan untuk keluargamu.

CERPEN: DEBU CINTA

Dimuat di majalah Femina no.12, 24-30 Maret 2005
Terima kasih untuk AAA Bulan Trisna Djelantik.
Cerpen ini diinspirasi oleh pementasan Legong Asmarandana–nya.



DI SEBUAH GEDUNG PERTUNJUKAN…
Rati duduk di kursi penonton. Ia menatap ke arah panggung di depannya. Panggung itu sudah hampir siap. Layar putih telah digantungkan di belakangnya. Sebuah pintu masuk rumah Bali yang disebut angkul-angkul, dalam ukuran kecil dan berukiran khas Bali, berdiri di tengah kanan panggung, dihiasi dengan kain poleng, kain bercorak kotak-kotak hitam putih, dan bunga kamboja putih. Sebuah undak-undakan, simbol batu besar tempat bertapa, telah disulap hadir di bagian kiri panggung. Ranting meranggas menaungi batu. Pokok-pokok ranting kecil lain, dengan kamboja putih pada pucuk-pucuknya, berbaris acak melatarbelakangi panggung.

Panggung yang cantik. Sederhana namun memukau. Esok di atas panggung itu, pementasan besar tari Legong Semarandana akan digelar. Kisah terbakarnya pasangan dewa-dewi asmara, Dewa Kamanjaya dan Dewi Ratih, akan dikemas dalam rangkaian gerak tarian klasik dari Pulau Dewata.

Seusai gladi bersih yang melelahkan, Rati duduk di kursi penonton, bersandar memandang ke arah panggung. Esok di atas panggung itu, ia akan menjelma menjadi sang dewi asmara, Dewi Ratih.


ESOK HARINYA, DI BELAKANG PANGGUNG….
Rati bercermin, menatap wajahnya di kaca. Cantik kata orang. Ayu, seperti namanya, Ni Made Ayu Sekar Rati. Di cermin, ada wajah bundar dengan mata bulat yang selalu berbinar. Rambut hitam, yang panjangnya melewati bahu, kini tampak tergelung. Kerut halus mulai tampak samar di sudut-sudut mata dan bibir, suatu tanda bahwa pemiliknya kerap tersenyum, sekaligus pertanda pertambahan usia. Di cermin yang besar itu tampak wajah khas wanita Bali yang cantik di usia menjelang tiga puluh.

“Rati!”

Rati mendengar namanya dipanggil. Ia menghentikan goresan pensil alis di tangannya dan menolehkan kepala ke arah pintu, jauh di sebelah kanan. Rati melihat seorang wanita, yang wajahnya tak asing lagi, melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Wanita itu berjalan perlahan menghampiri kursinya.

“Dewi, kau masih saja datang,” ucap Rati pada Dewi, sahabatnya ketika masih kuliah dulu.

“Aku baru hamil enam bulan, Rati. Tentu saja aku masih boleh jalan-jalan. Apalagi, malam ini. Aku tidak akan melewatkannya,” kata Dewi sambil mengamati sekitarnya. “Boleh, kan, aku duduk menunggu di sini?” tanya Dewi kemudian.

Rati mengangguk. “Boleh saja. Duduk saja di sini, di sebelahku,” ujar Rati, sambil menunjuk kursi plastik kosong di dekatnya.

“Kau datang bersama Dadi?” tanya Rati.

“Ya, pasti dong. Masa, sih, ia tega membiarkan istri dan calon anaknya berpergian sendiri,” ujar Dewi, sambil mengelus-elus perutnya yang sudah tampak besar.

“Mana dia?” tanya Rati.

“Ia menunggu di luar. Merokok. Rikuh, katanya. Kau berias sendiri, Rati?” tanya Dewi, sambil mengamati sahabatnya. Rati sudah mengenakan kain dan pakaian menarinya yang berwarna hijau keemasan. Ia juga sudah mengenakan riasan wajah, yang kini sedang dirapikannya.

“Sebenarnya, ada perias.” Rati menunjuk ke beberapa perias yang terlihat sibuk bekerja, merias para penari, baik pria maupun wanita. “Tapi aku lebih senang berdandan sendiri. Lagipula, biarlah mereka membantu anak-anak yang lain.”

Dewi melihat dan mengamati ruang belakang panggung itu. Terlihat kesibukan di sekelilingnya. Beberapa penari wanita yang belum berganti pakaian sedang didandani. Terlihat beberapa penari pria. Mereka juga ikut didandani. Beberapa penari yang telah berias, terlihat saling bantu merapikan pakaian.

“Kau yang paling senior, ya?” tanya Dewi pada Rati.

Rati berhenti berdandan sejenak, tersenyum, sambil memandang bayangan wajah sahabatnya di cermin. “Tepatnya, sih, aku termasuk yang paling tua.”

“Kau teruskan saja riasanmu itu, Rati. Aku paling senang mengamatimu saat berdandan,” ujar Dewi.

“Sudah hampir selesai, kok. Aku cuma sedang merapikan alis. Sekarang tinggal memasang bija,” Rati terus berbicara, namun tangannya tetap sibuk bekerja, menggambar bija, titik putih di tengah keningnya, di antara ke dua matanya.

“Kau masih saja cantik, Rati. Seperti dulu,” kata Dewi memuji sahabatnya.

“Kau juga cantik, calon ibu.”

“Basa-basi. Aku gembrot kayak gini, kok.”

“Dewi, aku tidak basa-basi. Kau calon ibu yang cantik. Dari jauh saja aku bisa melihat wajahmu yang kelihatan bersinar. Kau terlihat sangat cantik.”

Rati kemudian berdiri, mengambil setumpuk pernak-pernik pakaian tari. “Nah, karena kau ada di sini, kau bisa jadi asistenku untuk memakai pernak-pernik ini,” kata Rati, sambil tertawa. Rati pun lalu menunjukkan pada Dewi cara memasang semua pernak-pernik itu, dari tutup dada, hiasan pinggang, gelang lengan, hingga gelung kepala.

“Ibumu tidak datang, Rati?” tanya Dewi, sambil berdiri membantu Rati memasang penutup dada dari kulit berhias prada.

“Tidak, merepotkan sekali untuk terbang dari Bali ke Jakarta, hanya untuk menyaksikan aku menari. Aku sudah terlalu sering menari. Sudah tidak terlalu penting lagi.”

“Tapi kali ini, kan, berbeda, Rati. Ini adalah pertunjukkan besar. Kali ini kau menari di gedung kesenian yang paling terkenal di Jakarta,” bantah Dewi.

“Baginya sama saja, Dewi. Lagi pula, ia juga dulu penari. Baginya, ini bukan hal yang sangat istimewa.” Rati sejenak menghela napas. “Selain itu mungkin ia masih marah padaku. Minggu lalu aku meneleponnya, ingin mengundangnya datang ke Jakarta. Hanya saja telepon itu berakhir dengan pertengkaran,” lanjut Rati kemudian.

“Ada apa lagi?” Dewi bertanya. Tangannya sibuk memasangkan semacam gelang pada lengan Rati.

“Ia mencoba mengenalkanku pada seorang pria Bali yang lain lagi. Aku menolaknya.”

Dewi tertawa, “Kenapa kau begitu alergi dengan pria Bali?”

“Bukan begitu. Dengar, aku tidak alergi dengan pria Bali, sama sekali tidak. Aku hanya alergi pada usaha perjodohan itu.”

“Ibumu, kan, hanya ingin yang terbaik bagimu. Ia ingin agar kau bisa mendapatkan jodoh yang punya keyakinan sama denganmu. Ia ingin kau bisa melupakan Fajar. Melupakan kisah cintamu dengan Fajar, yang kau tahu sendiri, memang tak akan menuju ke mana-mana, mengingat segala perbedaan itu.”

“Ya, aku tahu. Aku pun telah berusaha, kau tahu, kan? Sudah berapa kali aku mencoba untuk berkenalan dan menjalani pendekatan dengan calon-calon ibuku itu?”

“Dua kali?” Dewi mengingat-ingat.

“Tiga kali. Apa yang aku temui? Pertama, seorang pria yang terlalu pengecut sehingga menduakan wanita. Di belakangku dan di belakang orang tuanya, ternyata ia masih terus berhubungan dengan kekasih lamanya, yang kebetulan juga beragama lain. Pria kedua, pria egois yang bodoh. Belum apa-apa ia sudah memintaku untuk meninggalkan pekerjaanku, untuk menjadi ibu rumah tangga. Aku menari pun ia tidak suka. Tolol. Baru tahu aku ada pria Bali yang tak suka melihat pasangannya menari.”

“Ya, kau sudah pernah cerita. Anom dan Karna, kan?”

Rati mengangguk. Dewi telah selesai memasang segala pernak-pernik di tubuh Rati. Rati kembali bercermin, sementara Dewi memandangi dirinya. Rati tersenyum puas, “Sekarang tinggal memasang gelung itu,” kata Rati, sambil menunjuk sebuah gelung kepala, mahkota keemasan berhias rangkaian bunga kamboja putih, yang terletak di atas meja rias.

“Tolong lagi ya, Dew.”

“Bagaimana dengan pria yang ketiga? Aku belum pernah dengar ceritanya,” tanya Dewi kembali, sembari membantu Rati memasang gelung.

“Yang ketiga, Bli Adi, sebenarnya lumayan. Lumayan tampan. Yang lebih penting, ia pintar dan enak diajak bicara. Tapi, ia mundur. Ia bilang aku terlalu sempurna. Kau dengar itu? Terlalu sempurna?! Aku tak habis pikir apa maksudnya. Tapi, sudahlah. Tak ingin aku pikirkan.”

“Kau sudah terlalu mapan, Rati. Terlalu mandiri. Pria biasanya takut pada wanita yang terlalu mapan dan mandiri,” Dewi tak segan mengutarakan pikirannya.

Rati tersenyum, “Ah, kau bicara seperti ibuku saja.”

Seorang pria yang memakai udeng di kepalanya menghampiri Rati dan memutus pembicaraan mereka. “Rati, lima belas menit lagi pertujukkan dimulai. Kau sudah siap?” tanya pria itu.

Nggih, Bli Putu. Sedikit lagi,” jawab Rati, sambil bergegas merapikan kerumun bunga-bunga di gelung kepalanya.

“Sudah, Dewi,” ujar Rati pada Dewi kemudian, melanjutkan pembicaraan mereka. “Aku sudah lelah mencari. Sudah capai mencoba. Dua kali putus cinta, tiga kali dijodohkan, sudah sangat cukup. Kalau memang sudah takdirku untuk tidak berjodoh, aku pun sudah tidak peduli. Akan aku buktikan bahwa aku bisa hidup sendiri dan tetap bahagia.”

“Tapi, Rati, punya seseorang untuk berbagi kebahagian jauh lebih membahagiakan.”
Rati menatap sababatnya, lama. “Kau bahagia, Dewi?” tanyanya.

“Ya, sangat.”

“Syukurlah.”

Dewi tersenyum tulus pada Rati, “Akan tiba giliranmu, Rati. Percayalah. Jangan pernah putus asa.”

PANGGUNG GELAP DAN SUNYI….
Hanya ada dua cahaya temaram dari obor di samping panggung. Kesunyian panggung tiba-tiba pecah oleh alunan dinamis gending dan tabuh Bali, tanda bagi para penari untuk mulai naik ke atas pentas. Lampu panggung menyorot para penari dan sebagian lagi lampu menaburkan cahaya bintang nan cantik. Maka dimulailah jagat pentas kisah para dewa.

(Alkisah, para dewa bercengkerama di kahyangan, merayakan kedamaian surga. Bidadari pun menari penuh suka. Hingga tiba-tiba suatu huru-hara kejahatan datang mengganggu. Surga porak-poranda. Maka, bermusyawarahlah para dewa dan diputuskan untuk minta bantuan pada Dewa Siwa yang sedang bertapa. Dewa Indra pun mengutus Kamanjaya, sang dewa asmara, untuk membangunkan Siwa dalam tapa bratanya.

Kamanjaya lalu berpamitan pada Dewi Ratih, sang istri terkasih, sang belahan jiwa. Pasangan dewa-dewi yang tengah di mabuk asmara ini terpaksa berpisah. Kamanjaya lalu pergi menunaikan tugasnya. Dengan pesonanya, Kamanjaya menggoda Siwa. Siwa tidak terusik. Kamanjaya menarik busur dan anak panah pun meluncur. Tetap Siwa tidak terusik. Datang Dewi Ratih menyusul, membantu kekasihnya. Berdua, dewa-dewi asmara ini, mengeluarkan segenap kesaktian mereka. Siwa terusik. Sang Siwa meledak marah. Asap tebal menyelimutinya, Siwa menjelma angkara, Siwa menjelma Rangda.)

Suara gamelan dan tabuh riuh, menggambarkan angkara yang menyelimuti Siwa. Rati, yang menjelma menjadi Ratih, dan penari Kamanjaya meliuk-liuk menarikan perseteruan. Penari Siwa bertopeng Rangda, menarikan kemarahan.

(Siwa menjelma angkara, Siwa menjelma Rangda. Dibakar olehnya pasangan kekasih ini, Kamanjaya dan Ratih, dengan mata ketiganya, hingga hancur raga mereka menjadi debu yang bertebaran. Lalu disabdakan oleh Siwa, jiwa keduanya akan tetap abadi. Menebar debu cinta ke seisi jagat raya. Menitis pada setiap pasangan di bumi dan di surga, menyatukan kembali abadi cinta mereka.)

Malam jadi sunyi. Purnama lampu sorot di langit panggung menambah suasana sunyi. Perlahan terdengar suara tembang diiringi bunyi seruling syahdu. Menembangkan syair janji cinta Kamanjaya dan Ratih.
…dan seperti yang telah digariskan,
debu cinta telah ditebarkan,
hingga pada suatu masa pada suatu tempat,
seseorang bisa begitu saja jatuh cinta,
kepada seseorang lainnya…
Syair dan suara suling melenyap sunyi. Cahaya meremang padam. Tinggal berkas cahaya obor melatar depan panggung.

DI PELATARAN PARKIR, MALAM HARI….
Mbok Rati pulang menyetir sendiri?” Beberapa pria penabuh gamelan yang berpapasan dengan Rati menyapa sopan. Mereka lebih muda dari Rati, karena itu menyapanya dengan panggilan Mbok.

Nggih, sendiri saja. Selamat malam semua,” jawab Rati.

“Malam, Mbok. Hati-hati.”

Suksma,” jawabnya berterima kasih dalam bahasa Bali.

Rati melangkah keluar menuju pelataran parkir, melangkahkan kaki dalam gelap temaram. Dalam hatinya, Rati melafalkan kembali syair janji cinta Kamanjaya dan Ratih, janji cinta mereka pada seisi jagat raya.

Air mata mulai mengembang di sudut-sudut mata Rati. Ia hapus dengan punggung tangannya, seraya mencoba menepis keraguan yang mulai muncul pada dirinya. Keraguan yang lahir atas penantian yang tak kunjung berakhir. Ia coba membungkus sisa-sisa asa yang mulai merapuh oleh waktu. Mencoba untuk bertahan. Menanti terpaan debu cinta yang telah dijanjikan,
“… seperti yang telah digariskan, debu cinta telah ditebarkan, hingga pada suatu masa, pada suatu tempat, seseorang bisa begitu saja jatuh cinta kepada seseorang lainnya…”

Cerpen

Uh... akhirnya cerpen saya -- dikirim ke majalah femina hampir dua tahun yang lalu -- dimuat juga (femina no.12, 24-30 maret 2005). Hehehe, salah sendiri sih. Sebenarnya cerpen itu saya kirim untuk jajal ikutan lomba cerpen femina tahun 2003. Seperti biasa dibuat menjelang akhir tenggat dan hasilnya sudah diperkirakan tidak akan menang. Buat saya, waktu itu memang lebih sebagai pacu untuk menulis lebih panjang dari biasanya (mencapai syarat minimal 1500 kata aja sudah susah payah lho). Tapi hasilnya yah, lumayan ternyata. Setidaknya dapat surat pemberitahuan bahwa cerpen saya itu tetap akan dimuat.

Lalu saya diminta untuk mengirimkan disket yang berisi file aslinya. Berhubung waktu itu sedang tugas di luar kota cukup lama, saya tidak bisa langsung mengirimkannya. Malah akhirnya lupa, hingga akhirnya ada telpon dari pihak majalah yang menagih kiriman. Udah gitu masih pake nawar lagi, harusnya kirim disket tapi saya maunya kirim file via email aja (repot gitu lho, mesti cari-cari disket dulu, mana disk drivenya suka ngadat lagi :p).

Dan waktu berlalu, tak ada berita tentang cerpen saya itu. Kadang kalau lagi ingat, sempat juga berniat menelpon untuk tanya kabarnya. Tapi baru niat aja, belum pernah jadi telpon juga. Sampai akhirnya kemarin, majalah feminanya telpon, memberi kabar pemuatan cerpen ini. "Iya nih, Mbak, baru dimuat sekarang. Cerpennya keselip."

Setelah majalah ada di tangan, saya baca lagi cerpen jadul itu. Hihihi... masih terasa garing seperti waktu saya kirim dulu. Banyak yang rasanya (sekarang) masih bisa saya edit lagi. Terutama di bagian ini, itu, dan juga percakapan yang rasanya (sekarang) masih terlalu formal dan baku. Editor mengubah sedikit. Judulnya dipersingkat, "Debu Cinta" saja. Lalu catatan-catatan kaki untuk bahasa Balinya tidak ditampilkan, namun diselipkan di dalam cerita.

Eh... pada beli dan baca ya... *promosi :p*. Ini kan tulisan pertama saya yang masuk majalah. Eh... gak deng. Ini tulisan kedua. Yang pertama itu sekitar dua puluh tahun yang lalu (kelas 4 atau 5 SD?), waktu 'cerpen' saya dimuat di majalah Bobo. :p

Momo, Gadis Kecil dan Pencuri Waktu



Judul: Momo
Pengarang : Michael Ende
Penerjemah: Hendarto Setiadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Juli 2004
Jumlah halaman: 320


Momo adalah seorang anak perempuan kecil, hidup di suatu kota di negeri yang tidak terikat waktu dan tempat, di masa kini yang abadi. Ia tinggal sendiri di reruntuhan amfiteater di kota tersebut. Semua orang, dewasa dan anak-anak, menyukainya. Momo sebenarnya hanya diam mendengarkan percakapan, kisah, pertengkaran, permainan yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Namun entah kenapa, hanya dengan diam dan sabarnya itu, orang lain seakan mendapat pencerahan, inspirasi, bahkan penyelesaian masalah.

Hingga suatu ketika, kota itu mulai didatangi oleh Tuan Kelabu, pria-pria berpakaian kelabu, dengan topi dan tas kelabu, selalu menghisap cerutu yang juga kelabu. Kemunculan mereka tidak disadari, namun kehadirannya selalu membawa suasana dingin. Mereka adalah pencuri waktu. Perlahan tapi pasti, tuan-tuan kelabu ini mulai menghasut setiap orang untuk menghemat waktu. Semakin orang menghemat waktu, semakin mereka kekurangan waktu; karena tanpa disadari tuan-tuan kelabu ini menghisap waktu dari setiap orang.
Padahal waktu adalah kehidupan. Dan kehidupan itu berpusat dalam hati.

***

Novel yang ditulis oleh Michael Ende ini -- sudah diterjemahkan dalam 40 bahasa -- sebenarnya adalah sebuah dongeng. Cerita anak-anak, namun menggugat dunia orang dewasa dan dunia masa kini. Mempertanyakan hakikat dari kesuksesan dan kemajuan dalam definisi orang-orang modern. Semua orang kini berlomba-lomba mempergunakan waktu semaksimal mungkin, dengan jargon waktu adalah uang atau waktu sangat berharga hingga jangan disia-siakan. Karenanya semua serba terburu-buru hingga tidak ada lagi ruang untuk tegur-sapa, senda-gurau, kasih-sayang, bahkan untuk sekedar melamun sejenak.

Di kisah Momo ini, anak-anak -- yang paling tak peduli waktu -- adalah sosok yang paling terabaikan. Orang-tua tak lagi bermain bersama mereka, anak-anak dititipkan di 'Depot Anak-anak' dengan dalih untuk kepentingan mereka sendiri kelak. Anak-anak tak lagi bermain dengan kardus, kain taplak robek, atau gundukan tanah -- mainan sederhana yang bisa menjelma jadi apa saja dalam imajinasi kanak. Tapi anak diberi mainan-bagus-yang-hanya-bisa-melakukan-satu-hal-saja. Anak-anak diajarkan untuk menjadi orang dewasa yang kerap merasa bosan dan berkata, "Aku ingin lebih banyak barang lagi!"

Sebenarnya banyak lagi hal yang diungkapkan dalam roman dongeng ini. Setiap orang mungkin akan 'membaca'nya secara berbeda. Memang kisah hayal Momo ini sebenarnya adalah cermin kehidupan kita sehari-hari. Ditulis oleh Michael Ende pada tahun 1973, Momo sungguh tetap dapat menggambarkan dengan tepat situasi yang kita hadapi saat ini. Bahkan bisa jadi akan semakin relevan di masa-masa mendatang. Seperti yang dikatakan olah penumpang misterius di bagian penutup,
“Kisah tadi saya ceritakan seakan-akan telah terjadi. Sebenarnya, saya juga bisa menceritakannya seolah-olah baru akan terjadi di masa depan. Bagi saya tidak banyak bedanya.”

***

Ada buku yang sangat menarik atau menghibur, tapi kau rasa cukup satu kali saja membacanya. Ada buku yang kau tahu akan kau baca dan baca lagi kelak. Momo, bagi saya adalah tipe buku yang ke dua. Akan saya letakkan di rak buku, berdekatan dengan Little Prince, Totto Chan, dan beberapa buku lainnya. Suatu saat nanti pasti akan saya baca kembali, dan mungkin juga dengan suatu pengertian yang sama sekali baru...

Keibuan



Menurutmu, apakah setiap perempuan memiliki naluri keibuan? Saya pribadi akan mengiyakan pertanyaan di atas, walaupun saya tahu kata ‘setiap perempuan’ pastinya adalah sebuah generalisasi, karena bagaimanapun perkecualian pasti ada.

Kembali pada naluri keibuan, pertanyaannya kemudian berlanjut, kapankah naluri itu muncul? Setiap perempuan mungkin akan punya jawaban yang berbeda. Saya pernah baca pengakuan seorang perempuan yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi ibu dan punya anak (sejak main dengan boneka?). Saya pribadi baru benar-benar merasakannya ketika saya mengandung, sejak secara sadar mengetahui ada yang hidup dalam tubuh saya. Memang pada dasarnya saya bukan tipe penyayang anak-anak, karenanya (ini berhubungan sebab-akibat gak ya?) juga bukan seseorang yang digandrungi anak-anak.

***

Masih sehubungan dengan naluri keibuan, belum lama ini saya menemukan sebuah istilah yang menarik dan baru buat saya, yaitu allomother. Tidak saya temukan artinya di wikipedia dan ensiklopedia serta kamus online lainnya. Namun dari beberapa artikel yang saya dapatkan melalui google, istilah ini kerap dipergunakan dalam penelitian mengenai perilaku binatang.

Allo, berasal dari kata Yunani, berarti ‘lain’ (other). Allomother, entah apa padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia (ibu asuh?), diartikan sebagai individu selain ibu yang ikut mengasuh anak. Di dunia primata (juga pada gajah), salah satu tipe allomother yang umum adalah betina-betina muda dalam sebuah komunitas. Betina muda primata membantu menggendong, mencarikan makanan, menjaga bayi primata dari pemangsa dan bahaya lainnya. Betina gajah bahkan membantu sejak proses persalinan. Buat si ibu, bentuk-bentuk pengasuhan ini menguntungkan karena memberinya waktu untuk beristirahat, untuk mencari makan, bahkan untuk persiapan bereproduksi kembali :). Buat sang bayi, ini adalah bagian dari proses belajar bersosialisasi. Buat para betina muda, ini seperti sebuah latihan, kursus, persiapan diri untuk menjadi seorang ibu!

***

Kadang lucu juga bagaimana kita manusia bisa bercermin pada perilaku binatang (lho, memang di ilmu biologi, manusia digolongkan dalam ‘animal kingdom’ kan? :) ). Yah, paling tidak saya sih yang jadinya ‘bercermin’ pada kasus allomother di dunia binatang ini.

Sebagai ibu, saya saat ini sangat terbantu oleh orang-orang lain di rumah yang ikut mengasuh Obin. Dua di antaranya adalah perempuan yang belum menikah, yaitu sepupu saya dan si mbak. Obin sendiri sangat senang bermain dengan keduanya (menurut saya, terutama karena keduanya adalah tipe penyayang anak sekaligus tipe yang digandrungi anak-anak).

Lalu saya menengok ke belakang, ketika saya hamil. Ya, pada momen-momen ini lah saya mulai merasakan munculnya naluri keibuan. Jadi senang memandangi keponakan yang sedang tidur, jadi lebih sabar menghadapi keponakan yang rewel, mulai mengamati dengan tekun cara menyuapi dan memandikan, bahkan dengan suka rela mengasuh keponakan lebih dari lima menit :D.

Setelah membaca mengenai allomother, saya jadi berpikir bahwa munculnya naluri keibuan adalah sebuah proses yang mulai saya alami jauh sebelum saya mengandung. Mungkin dimulai sejak… hmmm… perkenalan saya dengan bayi pertama dalam keluarga. Karena saya tidak punya adik, bayi di sini berarti adalah keponakan pertama saya yang lahir tujuh tahun sebelum Obin…

Berikut adalah beberapa kesimpulan saya sementara ini. Pertama, menjadi ‘ibu’ adalah sebuah proses yang bisa dipelajari, juga bisa dimulai jauh sebelum seorang perempuan memiliki anak sendiri. Kedua, hadirnya seorang bayi atau anak dalam komunitas terdekat (misalnya keluarga) dapat membantu mengasah naluri keibuan ini.

Ada yang punya pemikiran atau pengalaman yang lain?

Jakarta Kafe, Sebuah Paket

Sebuah paket sampai beberapa waktu yang lalu. Dari seseorang yang sebenarnya tak begitu saya kenal. Selama ini, saya dan dirinya, terhubung oleh beberapa email dan satu kali pertemuan saja. Ia yang saya panggil dengan sebutan Mbak. Email-emailnya mengesankan seseorang yang ramah. Satu kali pertemuan membuat dirinya terkesan sangat ekspresif. Kini sebuah paket, membuat kesan saya bertambah lagi: ia sangat senang membuat kejutan! :).

Paket itu, terbungkus dalam amplop berwarna coklat, sempat kembali ke atas mejanya beberapa minggu yang lalu dengan catatan ‘alamat tidak lengkap’. Akhirnya sampai juga di tangan saya yang -- karena penasaran ingin tahu apa isinya -- langsung merobek bungkusnya dengan tak sabar. Sebuah kalender meja 2005 dan sebuah buku kumpulan cerpen. Di halaman pertama buku itu tertulis… Pro: Neenoy, happy new-year 2005… dan sebuah paraf namanya.

Saya tidak langsung menyadari bahwa buku itu adalah karyanya. Selama ini saya mengenalnya dengan sebuah nama yang berbeda dari nama pengarang yang tertulis di sampul buku. Namun setelah membaca profil pengarang (tanpa foto), menemukan beberapa hal yang bisa dihubung-hubungkan, dan tentunya dengan pertanyaan yang kemudian dibenarkan olehnya; jelaslah semua: pengirim dan pengarang buku adalah orang yang sama.

Sekali lagi terima-kasih, Mbak (Tatyana)! Saya suka dua-duanya: kejutannya dan juga bukunya. Terima-kasih, ya…

***

Jakarta Kafe
– kumpulan cerita
Tatyana
Gramedia Pustaka Utama, 2004

Buku ini berisi lima belas cerita pendek yang mengambil tempat di – atau setidaknya berhubungan dengan – kafe.

Kenapa saya menyukainya? Mungkin karena tuturnya yang sederhana tapi seperti membuai. Mungkin karena banyak tokoh dalam cerita terasa dekat dengan diri saya, yaitu lelaki atau perempuan tiga puluh sekian tahun yang sudah berkeluarga. Atau karena kisah-kisahnya adalah fragmen nyata dari orang-orang yang mungkin saya kenal: pekerja kantor dalam bis kota, duduk sendiri di kafe sambil mendengar percakapan pengunjung lain, mantan suami-istri yang bergiliran mengasuh anak, mendengar kisah sahabat yang akan bercerai, dsb. Mungkin juga karena kekuatan deskripsi dari settingnya. Sebuah bis yang penuh padat berjalan di tengah kemacetan dan hujan deras, terasa begitu nyata. Sebuah kafe terasa utuh dengan aktifitas orang-orang yang ada di dalamnya, alunan musik yang tenang, lirik-lirik lagu yang sekali-kali tergumam.

Bagaimanapun, saya rasa komentar Reda Gaudiamo di sampul belakang, sangat tepat menggambarkan isi buku ini:

Seperti suasana kafe yang tenang, dengan alunan lagu samar terdengar, jauh dari kesan ramai. Tetapi justru di balik ketenangan itu tersimpan banyak hal. Tepatnya, segala faset yang sangat akrab dengan keseharian kita. Dengan gaya bercerita yang mengalir, bahkan terkadang seperti orang bergumam, Tatyana mengajak kita duduk. Mengobrol ringan dengan suara rendah, tentang perempuan, anak, kekasih, keluarga, kerja, juga tentang being single... Menengok hari silam, membayangkan hari esok. Tanpa luapan emosi berlebihan. Sesuatu yang sudah lama tak sempat dilakukan banyak orang. Terutama oleh perempuan kota...


update, on April 8, 2005

Review "Jakarta Kafe" lain , bisa di lihat di Sriti.com

Apa Bedanya?



Minggu pagi yang cerah, kita berjalan di taman. Mengikuti jalan setapak perlahan, lenganmu menggandeng lenganku. Kita melintasi sepasang remaja yang duduk di bangku taman. Tak berniat mencuri dengar, kata-kata si gadis tertangkap olehku cukup jelas, “Apa sih bedanya cinta dan sayang?”

Kita terus berjalan pelan. Tiba-tiba kau berbisik padaku, “Apa kita dulu pernah senorak mereka tadi?”

Aku terkekeh. Ternyata kau juga mendengarnya. “Tentu. Kau lupa?”

“Tidak, aku tidak lupa kau pernah senorak itu,” katamu tersenyum menggodaku.

“Jadi menurutmu, apa sih bedanya cinta dan sayang?”

“Apakah kedua hal itu masih ada bedanya buat kita, Nek?”

Sambil tersenyum, aku merapatkan lenganku padamu.



Flash-fiction 100 kata ini seharusnya
untuk meramaikan acaranya Blogfam.
Tapi hihihi… kelupaan ngirimnya.
Ya, sudah… diposting di blog aja, dalam rangka Valentine :p

Identitas



Sebagian orang memilih untuk menjadi anonim dalam blognya. Ada saat-saat aku juga berharap menjadi anonim, tanpa nama, tanpa jati-diri. Sudah terlambat. Dua tahun lebih memelihara blog ini, identitasku bertebaran di mana-mana. Memang sih, tidak ada profil detail yang aku tulis. Hanya saja bila ada seseorang yang terlalu iseng menelusuri satu persatu postingku sejak awal hingga kini, ia akan mendapatkan cukup banyak data tentang diriku. Dari nama hingga tanggal-tanggal khusus… dari kegemaran hingga ukuran sepatu? Untung yang terakhir itu belum pernah kutulis.

Burukkah itu?

Terapi Membaca

Dulu pada data diri di bagian kanan blog ini, saya menambahkan pernyataan bahwa saya suka membaca. Lalu saya hapus karena saya malu sendiri dengan pernyataan itu. Kenyataannya saya mengalami penurunan dalam minat dan kemampuan membaca. Setumpuk buku di atas rak, tebal dan juga tipis, hanya terbaca beberapa halaman pertamanya saja. Beberapa lagi malah nyaris belum pernah dibuka.

Seorang teman dulu sekali pernah berkata bahwa buku yang belum dibaca itu seperti hutang. Ia merasa bersalah setiap kali melihat buku-buku itu. Saya hanya tertawa mendengar pernyataannya. Ketika itu, buku yang tidak pernah saya baca sampai selesai hanya buku-buku kuliah saja, dan saya (hampir) sama sekali tidak merasa bersalah karenanya.

Sejak mengalami penurunan kemampuan membaca, saya jadi tahu bagaimana perasaan teman saya itu. Saya memandang buku-buku tak terbaca dengan perasaan bersalah, terutama sih karena telah mengeluarkan uang percuma untuk membelinya. Saya juga akhirnya berhenti membeli buku-buku baru, karena toh saya masih punya hutang untuk menuntaskan yang lama.

Itu terjadi sampai sekitar dua bulan yang lalu, ketika suatu hari membelikan buku untuk si kecil di toko buku yang tidak terlalu jauh dari rumah. Toko buku itu pasti sengaja ya, menempatkan rak buku anak-anak di bagian paling belakang, sehingga orang tua yang mengantar harus terlebih dulu melewati tumpukan buku-buku yang menggiurkan. Saya jadi tergoda…

Saya akhirnya mulai menjalankan terapi membaca. Tentunya saya memulai terapi ini dengan buku-buku yang ringan terlebih dulu. Saya masih trauma dengan buku tebal, bertempo lambat, apalagi bermuatan filsafat atau lain-lain yang terlalu sulit dicerna otak saya. Tak terasa dua bulan ini saya nyaris tenggelam lagi dalam lembar-lembar buku. Beberapa buku yang saya baca cukup menarik. Ada yang sangat bagus malah.

***

Sebenarnya saya sedang tidak tahu hendak menulis apa di blog ini. Tapi ternyata saya sudah menelantarkan blog ini terlalu lama. Mungkin, bila nanti saya masih belum menemukan hal-hal menarik (bagi saya) untuk ditulis di sini, saya akan menulis ulasan beberapa buku saja. Mungkin lho…

Menghalau Sedih

Seorang teman, yang kehilangan dua belas orang saudaranya di Aceh, belum lama kembali dari tanah Banda itu. Ia menceritakan kisah duka yang ia dengar dan ia lihat di sana. Mungkin air mata sudah habis mengering. Mungkin hati sudah lelah meratap. Maka kini ia bercerita seolah tanpa duka. Bahkan disela dengan sedikit canda.

“Orang-orang yang pergi justru adalah orang yang baik-baik. Yang sangat baik”, katanya.

“Dua minggu sebelum peristiwa, aku ada di sana. Kami sudah berencana untuk memperpanjang waktu kunjungan. Tapi tidak jadi.”

“Hm… dipikir-pikir, bila aku ada di sana saat itu, mungkin aku masih akan diselamatkan-Nya. Aku masih terlalu banyak dosa untuk dipanggil oleh-Nya”, katanya lagi. Kali ini sambil tertawa.

***

Ada banyak cara untuk menghalau kesedihan. Sepertinya temanku itu memilih dengan cara mentertawai diri sendiri.