New Year, Every One?

Tahun Baru adalah suatu momentum peralihan dari satu tahun kalender ke tahun kalender berikutnya. Satu tahun kalender matahari yang kini kita pergunakan, terdiri dari 365 hari, dan momen yang dianggap sebagai tahun baru kini adalah tanggal 1 Januari.

Saya jadi ingin tahu sejarah Tahun Baru ini.....

Konon, perayaan pertama Tahun Baru ini dilakukan oleh bangsa Babylonia 4000 tahun lalu, tahun 2000 SM. Bangsa ini merayakannya pada tanggal 23 Maret (menurut kalender kini). Sebenarnya ini adalah saat yang lebih logis untuk merayakan tahun baru, karena ini adalah saat mulainya musim semi dan lahan mulai ditanami. Hmmmmm....

Kalau membaca sejarah, Tahun Baru yang sekarang dirayakan hampir oleh seluruh penghuni bumi pada 1 Januari, adalah warisan dari Julius Caesar, pada tahun 46 SM, ketika ia menciptakan sistem kalender baru. Kata Januari sendiri berasal dari kata Janus, nama dewa yang digambarkan memiliki 2 wajah, satu melihat ke depan, dan satu melihat kebelakang. Wow, simbol yang sangat bagus untuk peralihan tahun??!!

Tahun baru ini kemudian juga tidak selalu jatuh pada tanggal 1 Januari. Tahun Baru juga pernah diubah menjadi tanggal 25 Desember, kemudian pernah juga jatuh pada tanggal 25 Maret. Akhirnya pada abad ke 16, diubah kembali menjadi tanggal 1 Januari.

Okay.. so that's New Year. Next: How do you celebrate New Year?

  • In France, families gather and exchange gifts and greeting cards. Children often present their parents with homemade gifts to wish them Bonne Annee.
  • In Italy, a piece of mistletoe is hung over the front door to bring good luck to the entire household.
  • In Scotland, people bring delicious cakes and cookies to parties. It is believed that the first person to enter a house will receive good luck. "Auld Lang Syne," the traditional New Year's song, was written by a Scottish poet, Robert Burns, 200 years ago.
  • Children in Belgium write their parents New Year's messages on decorated paper. The children read the messages to their families on New Year's Day.
  • In Japan, New Year's is celebrated for three days, starting on January 1. Everyone receives new clothes and little work is done. On New Year's Eve, Buddhist temples ring out the old year by letting passersby each ring a huge bell once until it has rung 108 times, one time for each kind of evil in the world. On New Year's Day, it is traditional to make a pilgrimmage to a Shinto shrine or a Buddhist temple.
  • In the United States, the New Year's celebrations were originated in the 1750s by the Dutch in New Amsterdam. People make New Year's resolutions, they decide to "turn over a new leaf" and improve themselves in some way during the new year. (source: www.jeannepasero.com)
Tahun Baru pun hampir selalu dirayakan dengan 'membuat keributan': membunyikan terompet, lonceng, menembakkan senjata, atau meledakkan petasan. Seperti di Indonesia.

What do I do?
Absolutely nothing. Tahun Baru tidak pernah jadi satu hari yang berbeda, kecuali kebetulan hari ini adalah hari libur, sehingga malamnya kalau tidak mengantuk, kita bisa tidur lebih larut. Pernah juga sih dulu satu-dua kali saya ikut nongkrong di jalan, 'menjadi saksi' bagaimana tahun ini berlalu, menyaksikan keramaian orang-orang yang bersuka ria melewatkan pergantian tahun.

Tapi malam ini, saya punya rencana kecil... masih rahasia... Mudah-mudahan saya tidak terlalu malas dan mengantuk untuk melakukannya.

Anyway... Happy New Year, Everyone!!!!

Update on 2 Jan 03

Rencana kecilnya gagal total. Sesuai perkiraan, saya tertidur pada pukul 10 malam. Baru terbangun pukul 2 pagi, dan kedengarannya di luar hujan cukup lebat... ya udah deh... tidur lagi aja... :-)

xmast




merry x'mas buat si om, neng, ibu, ceceue, adek,
dan buat semuanya yang merayakan...
happy new year for all!!

Hari Ibu

Hari ini, 22 Desember, adalah peringatan Hari Ibu di Indonesia. Hari Ibu ini ternyata berbeda lho dengan Mother's Day yang dirayakan di negara-negara lain, terutama di Amerika. Perbedaannya:


  • Hari Ibu: tanggal 22 Desember, Mother's Day: on the second Sunday in May.
  • Hari Ibu: berkaitan dengan dengan sejarah perjuangan wanita di Indonesia, dan kalau tidak salah tanggalnya tersebut merupakan tanggal diadakannya kongres wanita pertama (??). Kesan pribadi saya, di sini lebih ditekankan "wanita" dari pada "ibu". Mother's Day: Kalau berdasarkan kata penggagasnya, Anna Jarvis , Mother Day ini memang didedikasikan untuk para ibu.


  • "...To revive the dormant filial love and gratitude we owe to those who gave us birth. To be a home tie for the absent. To obliterate family estrangement. To create a bond of brotherhood through the wearing of a floral badge. To make us better children by getting us closer to the hearts of our good mothers. To brighten the lives of good mothers. To have them know we appreciate them, though we do not show it as often as we ought..."

  • Kita bisa baca di koran, "Peringatan Hari Ibu yang ke-sekian" (tahun ini yang ke 74). Mother's Day tidak pernah disebut-sebut seperti itu sepertinya.
  • Peringatan Hari Ibu di Indonesia, paling banter diadakan di instansi-instansi pemerintah atau di sekolah. Kalau Mother's Day sepertinya bahkan sudah sangat komersial. Mother's Day adalah salah satu momen bagi produsen greeting card, gift, chocolate, and flowers untuk menangguk profit.
  • Di Indonesia ada Hari Ibu tapi tidak ada Hari Bapak, tidak seperti Mother's Day yang ada Father's Day-nya. Atau belum ada? Ada yang mau jadi penggagas?

Anyway, Selamat Hari Ibu....!

Notes:
Early festivals relating to the celebration of Mother's day can be traced as far back as ancient Greece, where spring ceremonies honouring Rhea, Mother of the Gods, were held. - The History of Mother's Day

A Girl


I think,
there's always a little girl hiding inside me.
She even sometimes takes over me.
And she makes me like this song
every moment I listen to it.




Baby face don't grow so fast
Make a special wish that will always last
Rub this magic lantern
He will make your dreams come true for you

Ride the rainbow to the other side
Catch a falling star and then take a ride
To the river that sings and the clover that
Brings good luck to you, it's all true

**Pink elephants and lemonade, dear Jessie
Hear the laughter running through the love parade
Candy kisses and a sunny day, dear Jessie
See the roses raining on the love parade

If the land of make believe
Is inside your heart it will never leave
There's a golden gate where the fairies all wait
And dancing moons, for you

Close your eyes and you'll be there
Where the mermaids sing as they comb their hair
Like a fountain of gold you can never grow old
Where dreams are made, your love parade
**
Your dreams are made inside the love parade
It's a holiday inside the love parade

On the merry-go-round of lovers and white turtle doves
Leprechauns floating by, this is your lullaby
Sugarplum fingertips kissing your honey lips
Close your eyes sleepy head, is it time for your bed
Never forget what I said, hang on you're already there

Close your eyes and you'll be there
Where the mermaids sing as they comb their hair
Like a fountain of gold you can never grow old
Where dreams are made, your love parade
**


Dear Jessie-Madonna

Rumah Pohon

Beberapa minggu yang lalu, keponakan-keponakan datang menginap. Mereka ribut meminta saya membuatkan sebuah 'tenda' dari kain seprei yang dibentangkan di antara sisi tempat tidur dan kursi-kursi yang dijejerkan. Dengan bantuan jarum pentul dan jepitan jemuran, akhirnya jadilah tenda idaman. Sebagai alas dipergunakan kasur gulung, bedcover, dan selimut tebal. Malam itu mereka tidur di bawah tenda, setelah puas bermain "papa-mama', dan saya jadi anaknya... *grin*
---
Dulu, saya punya rumah pohon hayalan. Hanya sebatas hayalan... Saya tidak ingat sejak kapan tepatnya saya mulai mengidam-idamkan sebuah rumah pohon. Tapi pasti terpengaruh oleh buku-buku cerita yang saya baca saat itu. Salah satunya adalah Anak-anak Bullerbyn, karya Astrid Lindgren.

Rumah pohon hayalan saya hampir persis dengan gambar ini. Dibangun bertumpu pada dahan terbesar sebuah pohon, tanpa disokong tiang penyangga. Hanya saja, tangga rumah pohon saya terbuat dari tali, sehingga bila saya sudah berada di atas, tangga tersebut bisa saya tarik agar tidak ada orang lain yang bisa naik. Di rumah pohon ini, saya akan menyimpan barang saya yang paling berharga, yaitu buku-buku cerita favorit saya. Di tempat ini saya akan melamun, membayangkan apa yang sudah saya baca berkali-kali. Saya akan duduk di tepi jendela, memandang awan dan membayangkan rasanya tidur di atasnya. Kadang-kadang saya pun akan bermalam di rumah pohon ini. Terkadang saya akan menggambar di sini, dan gambarnya akan saya tempel di dinding rumah pohon ini. Saya juga akan mencoba menulis puisi di rumah pohon ini. Orang lain terkadang saya perbolehkan naik bertandang ke rumah pohon saya. Bersama teman, rumah pohon ini akan menjelma menjadi sebuah puri dengan putri raja atau sebuah gua rahasia.
---
Rumah pohon adalah my childhood's wildest dream and deep inside, still become my obsession. Setiap saya menyaksikan sebuah rumah pohon di film yang saya tonton, misalnya Now and Then, saya akan menahan napas. Tertegun. Terpesona. Jika saya menemui sebuah tempat yang memiliki sebuah rumah pohon atau sebuah bangunan hampir seperti rumah pohon, pasti saya akan mengatakan tempat itu bagus. Di daerah Tasikmalaya, ada sebuah restoran yang memiliki sebuah mushola seperti rumah pohon, ehm.. mungkin lebih tepatnya rumah panggung sih. Di Pangandaran ada sebuah cottage yang salah satu kamarnya benar-benar dibangun di atas sebuah pohon. Kelakpun saya pasti masih akan selalu tertegun jika menemukan 'rumah pohon-rumah pohon' lainnya.

Rumah pohon, a never-come-through dream of mine. What's yours?

...keep talking about tales, tree house,
prince and princess,
I am so childish.
You think that too?

After Mudik

Akhirnya saya bisa juga mencuri sedikit waktu untuk menulis kembali di blog ini. Kembali dari mudik, semua hal menjadi jauh lebih menyibukkan. Pekerjaan di kantor yang tertunda menggunung, ditambah lagi order-order baru sudah menanti untuk dilihat. Di rumah pun, tanpa bantuan pengasuh Obin yang minta istirahat panjang (alias berhenti), otomatis waktu luang untuk santai ngeblog jadi tidak ada. Belum lagi kondisi fisik Obin yang sedang turun, membuat ia sedikit rewel. Ujung-ujungnya, akhirnya saya juga sempat tumbang.

Tapi semua itu gak membuat saya menyesali pergi mudik kemarin. Mudik kemarin berarti 10 hari penuh saya bersama Obin, mengurus sendiri segala keperluannya (tentu dibantu suami), sesuatu hal yang langka. Mudik buat saya juga berarti mengenali lingkungan yang membesarkan suami saya, tempat ia bermain dulu, sekolahnya, dsb. Mudik kemarin juga merupakan kesempatan memperkenalkan hal-hal baru pada Obin, yang mungkin tidak akan didapatkannya di Jakarta: berjalan telanjang kaki di halaman rumput, melihat sawah, melihat bebek sungguhan yang mencari cacing di sawah, melemparkan daun-daun ke aliran sungai, memegang domba, melihat ombak di pantai, bermain pasir, dan masih banyak yang lain lagi....

bintang terang berjalan di pematang

UPDATED on 3:30 pm

Jadi inget lagu ini deh:

kemarin paman datang
pamanku dari desa
dibawakannya rambutan pisang
dan sayur mayur segala rupa
bercrita paman tentang ternaknya
berkembang biak semua...

padaku paman berjanji
mengajak libur di desa
hatiku riang tidak terkira
terbayang sudah aku di sana
mandi di sungai
turun ke sawah
menggiring ternak ke kandang...


Dulu, setiap kali mendengar atau mendendangkan lagu ini, saya selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya 'libur di desa'... Saya bersyukur... akhirnya Obin punya 'desa' untuk dia kunjungi.

Mudik, Lebaran, dan Ketupat

Mulai besok saya gak bisa ngeblog untuk beberapa hari... soalnya saya mau mudik nih... Gak pernah terbayang dulu, bahwa suatu saat saya akan ikut juga larut dalam arus keramaian musiman ini. Tapi nasib, menikah dengan lelaki Jawa, akhirnya membuat saya ikutan berbondong-bondong, beramai-ramai pulang kampung, demi adat kebiasaan, demi bisa bersilahturahmi dengan keluarga.. Hmm honestly I feel a little excitement...

Tahun ini sebenarnya bukan mudik pertama saya. Mudik pertama adalah dua tahun lalu, ketika itu saya masih pengantin baru. Tapi saat itu saya baru mudik pada Lebaran hari kedua. Lebaran tahun lalu saya tidak ikut mudik, karena saat itu anak saya Obin baru berumur 1bulan, masih terlalu kecil kan? Tahun ini adalah pertama kali pulang kampung membawa Obin ... wahhh... pamer anak nih... ha..ha...ha....

Buat semuanya, saya ucapkan SELAMAT LEBARAN.. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN...

Hm...di sana nanti makan ketupatnya pakai apa ya??? hm....

Still talking about Time

Einstein's Dreams by Alan Lightman, adalah sebuah buku yang mempesona saya. Buku ini bukan berisi mengenai teori-teori fisika Einstein... bukan. Buku ini lebih tepatnya merupakan sebuah kumpulan cerita imaginatif mengenai konsep waktu, terdiri dari kisah-kisah pendek, dan tokoh Einstein menjadi benang merah yang menjadikan 'mimpi-mimpi' ini berhubungan menjadi sebuah novel.

Buku ini merupakan kumpulan dari tiga puluh kisah, gagasan, dan imaginasi tentang waktu. Di suatu cerita, waktu bagaikan sebuah lingkaran yang mengelilingi dirinya sendiri. Semua peristiwa akan selalu berulang, setepat-tepatnya dan tiada berakhir. Di kisah yang lain, waktu adalah seperti aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing dan tiupan angin. Bahkan terkadang, gangguan kosmis dapat menyebabkan aliran sungai waktu berbalik arah. Ada dunia yang manusia hanya hidup satu hari. Di dunia lain, waktu memiliki tiga dimensi seperti ruang, setiap peristiwa akan membawa tiga kejadan yang berbeda. Di kisah lain, waktu adalah indera. Seperti rasa bisa asin atau manis; maka suatu episode bisa berjalan lambat atau cepat, teratur atau acak, bersebab atau tanpa sebab; bergantung pada latar belakang sejarah dan pengalaman masing-masing.

Setiap konsep waktu menimbulkan konsekuensi yang berbeda pada kehidupan manusia yang menjalaninya. Pada suatu dunia, ada suatu tempat dimana waktu berhenti. Di dunia seperti ini, orang tua yang tidak ingin kehilangan anaknya, berjalan menuju tempat ini. Di sini pula sepasang kekasih berpelukan abadi, tak akan ada gairah yang hilang dan tak akan ada cinta yang pupus. Di dunia lain, waktu berlalu lebih lambat, bagi orang-orang yang bergerak, sehingga di dunia ini semua orang bergegas, semua orang berpergian dengan kecepatan yang tinggi untuk memperoleh waktu. Orang-orang bahkan tinggal di dalam rumah dan bangunan yang bergerak. Ada dunia lain yang waktunya berjalan semakin lambat pada tempat yang semakin tinggi. Di dunia ini semua orang tinggal di pegunungan, bahkan beberapa orang membuat bangunan-bangunan di atas tiang-tiang, untuk memaksimalkan efeknya. Di dunia ini, ketinggian akhirnya menjadi status.

Buku ini juga berkisah tentang karakter manusia, yang disederhanakan menjadi dua tipe yang bertolak belakang. Dalam menghadapi suatu konsep waktu, kedua tipe manusia ini selalu memiliki respon yang juga berbeda. Di suatu dunia, waktu adalah abadi, manusia hidup selamanya. Di dunia seperti ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama berkeyakinan bahwa tidak ada alasan untuk terburu-buru, karena waktu tak terbatas, segala sesuatu dapat terpenuhi, hingga akhirnya mereka selalu hidup dalam kesantaian. Kelompok yang lain beranggapan bahwa dengan kehidupan yang abadi ini, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan; ada tumpukan karir yang tidak terhingga, ada pernikahan dalam kesekian kali yang tak terbayangkan. Di dunia lain yang tidak berlaku hubungan sebab-akibat, para ilmuwan menjadi putus asa, karena ramalan mereka berubah menjadi pascadiksi, dan persamaan-persamaan berubah menjadi pembenaran. Sebaliknya di dunia seperti itu, seniman riang gembira, karena ketidakpastian menjadi jiwa dari lukisan, musik, serta novel mereka. Mereka dapat bertindak tanpa harus ada penjelasan, tanpa harus melihat masa silam.

A tale-like story selalu menyenangkan bagi saya. A poetic story hampir selalu dapat menggugah perasaan saya. Kedua hal ini menjadi darah dan daging dari buku ini, a poetic tale-like story, that's why this book amazed me so much. Imaginasi-imaginasi tentang waktu ini diceritakan bagai sebuah dongeng, dan dampak dari masing-masing waktu bagi kehidupan manusia diceritakan dengan puitisnya:

Bayangkan dunia tanpa waktu, hanya bayang-bayang...
seorang bocah di tepi laut, terpesona oleh samudera yang pertama kali dilihatnya...
Bekas telapak kaki di hamparan salju di pulau musim dingin...
Seorang lelaki dan perempuan berdekapan telanjang...
Debu beterbangan, terlihat dari cahaya yang melintasi jendela...
Ciuman pertama... Planet-planet terjerat di angkasa, samudra, keheningan...
Butir air di jendela... tali tergulung... kuas kuning...


atau seperti ini...

Andaikan waktu adalah soal kualitas dan bukan kuantitas,
seperti cahaya malam yang menaungi pepohonan, saat bulan naik dan menyisiri garis-garis pohon. Waktu hadir, tetapi tak bisa diukur...
Di dunia seperti ini, peristiwa-peristiwa dicatat berdasarkan warna langit, nada suara panggilan tukang perahu, perasaan bahagia atau cemas tatkala seseorang memasuki ruangan...
Panjang-pendek waktu antara dua peristiwa bergantung pada seberapa kontrasnya peristiwa-peristiwa itu, intensitas cahaya, sudut jatuh cahaya dan bayang-bayang, sudut pandang pelakunya.
Beberapa orang berusaha melakukan kuantifikasi terhadap waktu, demi mengurai waktu, membedah waktu.
Mereka berubah menjadi batu...

...

... what's time anyway?

Click-Clock

Saya yakin pasti bukan saya sendiri yang punya kebiasaan memajukan jam beberapa menit (hayo ngacung!). Jam dinding di kamar saya, yang berada tepat di muka tempat tidur, seringnya lebih maju sekitar 10 menit. Kenapa dibuat lebih cepat? Ya.. karena saya sering malas bangun dan akhirnya terlambat pergi ke kantor. Ada pengaruhnya? Gak ada sih... setiap kali saya melihat jam itu, saya pasti akan bilang "ah.. masih ada waktu 10 menit lagi" dan ... tidur lagi... Namun, suatu ketika jam itu mati karena baterenya perlu diganti. Setelah diganti, jamnya tidak saya majukan seperti biasanya. Akibatnya parah... bawah sadar saya masih menganggap jam itu lebih cepat 10 menit seperti biasanya... he..he..

Tapi memang hampir semua alat penunjuk waktu di rumah saya kacau balau alias gak ada yang sama. Ada yang lebih cepat 5 menit, ada yang 10 menit, ada yang lebih lambat karena memang putaran jamnya lebih lebih lambat. Saya jadinya kadang-kadang berpikir, lalu apa gunanya jam buat saya ya? Toh semuanya gak ada yang menunjukkan waktu yang sama, gak ada yang pas. Pas? Tepat? Tepat waktu itu jadinya relatif. Tepat dibanding apa? Terhadap jam yang mana? Terhadap bunyi *dong* yang ada hotline 103? Terhadap siaran berita malam TVRI? Atau terhadap mesin absen di lantai kantor saya? (Parahnya, mesin absen ini juga ketepatannya relatif terhadap jam si teknisi yang memperbaikinya bila rusak).

Saya jadi ingat sebuah cerita yang pernah saya baca, kalau gak salah ditulis oleh Fuad Hassan. Ceritanya ada seseorang yang di rumahnya memiliki tiga buah jam: yang pertama lebih cepat 10 menit, yang kedua tepat waktu, yang ketiga terlambat 10 menit. Seorang sahabatnya bertamu dan menyadari hal ini, bertanya kepadanya, kenapa ia punya 3 buah jam yang menunjukkan waktu yang berbeda. Si empunya jam menjawab, "Jam yang pertama saya tujukan buat tamu yang membosankan dan menyebalkan, jam yang kedua buat tamu yang lugas, yang ketiga buat tamu yang menyenangkan seperti kamu". Si empunya jam melanjutkan, "...karena kitalah yang mengendalikan waktu... jangan sampai kita yang dikendalikan oleh waktu."

Hm.... kalau dalam kasus saya, yang memajukan jam agar tidak terlambat bangun, apa bisa berarti saya sudah mengendalikan waktu???

Wajah Nan Akrab, Tak Dikenal

Saya termasuk dari sejumlah besar manusia-manusia Jakarta yang tenggelam dalam kehidupan yang begitu rutin. Pagi hari berbondong-bondong meninggalkan rumah, berdesak-desakan di jalan, di kendaraan umum, di stasiun, di terminal, menuju tempat mencari nafkah. Di sore hari kembali berdesak-desakan kembali ke rumah masing-masing.

Hidup rutin kita, manusia Jakarta, secara tidak sengaja saling bersinggungan. Lucunya kita tidak saling mengenal. Namun rutinitas dari hari kehari, dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, membuat kita dapat mengenali wajah-wajah tertentu yang kemudian jadi terasa begitu akrab - namun tetap tak dikenal.

Buat saya, wajah ini adalah wajah si Ibu tukang sapu di perempatan Mampang. Di pagi hari, saat saya berpas-pasan dengannya biasanya adalah saatnya ia sudah menyapu seperempat dari bagiannya. Si ibu berperawakan agak gemuk pendek ini, hanya kulit wajahnya yang hitam saja yang terlihat. Seluruh tubuhnya tertutup seragamnya yang biru muda ditambah kerudung, helm kerja, dan sepatu bot, untuk melindunginya dari sengatan matahari dan debu jalan. Sesekali tampak giginya yang putih, menyembul di antara senyum senangnya pada kendaraan yang melambatkan diri untuk memberinya sesuatu, terkadang uang terkadang makanan. Hmm... ternyata bukan saya seorang saja yang merasa 'akrab' dengan si Ibu tukang sapu.

Wajah-wajah ini terkadang juga sedemikian akrabnya, sehingga ketika mereka tiba-tiba tidak hadir dalam rutinitas kita, kita merasa kehilangan. Di perempatan Mampang juga, biasanya ada seorang pengemis laki-laki dengan wajah yang selalu tersenyum. Ia biasanya menepuk-nepukkan tangan, tanpa bernyanyi atau berkata apa-apa, di muka jendela kendaraan beroda empat. Wajahnya menampakkan kecerdasan yang kurang, tapi senyumnya yang sangat ramah selalu dapat meluluhkan hati para pengendara untuk memberikannya sekedar seratus rupiah. Senyumnya bagi saya, seperti sebuah kesegaran di tengah kepadatan dan kekesalan. Namun, sudah beberapa tahun ini saya tidak lagi pernah melihatnya. Saya tidak tahu kemana ia pergi, atau karena apa, yah.. karena saya tidak pernah mengenalnya.
...
Bagi saya, wajah akrab ini adalah wajah si pak ogah di putaran 'kampus tercinta', tempat saya memotong jalan tiap pagi hari. Wajah ini juga saya temui di sore hari, pada wajah si pengemis laki-laki cilik yang sekarang tengah beranjak remaja, di perempatan super macet TB Simatupang. Wajah ini adalah wajah si penjual "apa-saja-tergantung-musim" yang agak gondrong di sekitar perempatan Kuningan - Gatot Subroto, di sore hari. Juga wajah si pengamen wanita dengan gitarnya di Kuningan, yang sekarang sudah mulai banyak juniornya.

Wajah-wajah itu demikian akrabnya buat saya... tapi saya tidak pernah mengenal mereka...

UPDATED on Thursday, 21 Nov 02, morning ---------------------

Pagi ini saya, seperti biasa terlambat lagi berangkat dari rumah. Ketika sampai di perempatan Mampang, seperti biasa saya mengambil jalur paling kanan, menunggu lampu hijau nyala kembali. Mobil ke dua di depan saya melambai memangil si Ibu tukang sapu. Si ibu mendekat dan tersenyum seperti biasanya. Saya juga ikutan senyum sendiri... dan hey.. si Ibu berjalan ke arah saya, melihat saya tersenyum, ia membalas senyuman saya.. begitu ramah!! Gosh... suddenly I felt today is gonna be very bright for me...

Dan saya mendadak inget sepotong dari lagu Accidently Kelly Street dari Frente:
accidently kelly street
where friends and strangers sometimes meet...
accidently kelly street
i never thought life could be so sweet...

Teletubbies

Tinky-winky.. Dipsy .. Laa-laa.. Po... Mungkin sudah sangat-sangat ketinggalan bila saya baru menulis tentang Teletubbies sekarang. Tapi saya memang sangat tertarik melihat fenomena Teletubbies ini. Bukan karena saya senang dengan empat tokoh boneka yang riang-gembira ini, bukan juga karena tontonan ini menarik buat saya. Bukaaan... Bonekanya menurut saya kurang lucu, dan tontonannya pun bagi saya sangat membosankan... adegan dan kata-kata yang diulang-ulang.. rasanya lambaat sekali.

Yang justru saya suka adalah mengamati ekspresi bayi dan balita yang sedang menontonnya. Keponakan-keponakan saya semuanya otomatis berhenti bermain jika Teletubbies mulai muncul di TV. Di ruang tunggu di sebuah RS ibu dan anak, saya melihat banyak anak-anak melongo melihat aksi boneka-boneka ini membuat kue dari mesin kue mereka. Anak saya, Obin, sejak masih 6 bulan, menurut orang rumah (hiks.. gak lihat sendiri), ikut tertawa jika si bayi matahari tertawa. Bahkan menurut bapaknya Stella, ibunya Stella siap dicuekin kalau anaknya sedang nonton Teletubbies ini.

Entah apa yang ada di benak para bayi dan balita, ketika mereka menyaksikan Teletubbies. Mungkin mereka suka warna-warnanya yang cerah, mungkin mereka suka bentuk-bentuknya yang sederhana, mungkin juga mereka suka suara kebayi-bayiannya. Entahlah... Yang jelas buat saya, Telutubbies, merupakan suatu bukti nyata bahwa anak-anak dan orang dewasa memandang dunia dengan kacamata yang sangaaat berbeda. Benar juga kata si Little Prince "Grown-ups never understand anything by themselves, and it is tiresome for children to be always and forever explaining things to them"

Yah... perlu waktu yang sangat lama dan melelahkan bagi orang dewasa untuk bisa mengerti dunia anak-anak. Konon butuh riset yang bertahun-tahun sampai akhirnya film Teletubbies ini siap tayang. Menurut Anne Wood (founder and creative director of Ragdoll Productions) "We spend a lot of time watching very young children: how they play; how they react to the world around them; what they say"

Teletubbies, saat ini sudah dinikmati dan disukai oleh anak-anak di 20 negara, upah dari keseriusan orang dewasa untuk mengerti anak-anak. Hmm.. padahal anak-anak itu sebenarnya sangat simple. "Children are the same the world over. They grow, they learn language, they learn to talk and to think the same, wherever they grow up." (Andy Davenport, co-creator and scriptwriter of Teletubbies)
Le Petit Prince


The Little Prince , by Antoine De Saint-Exupery (author and illustrator). Pasti sudah banyak yang tahu buku ini, soalnya termasuk buku klasik. Tapi kalau anda belum tahu, wajar aja, kan buku jaman lama ..grin. Saya sendiri, walau sudah lama pernah dengar, baru dapat kesempatan membaca dan mempunyai buku ini sekitar 3 tahun yang lalu.

Buku ini bagi saya seperti sebuah misteri (mudah-mudahan gak berlebih-lebihan). Sekilas dibaca dan dilihat ini buku anak-anak, buku dongeng, karena ya memang isinya absurd (but simple) seperti dongeng dan penuh ilustrasi seperti layaknya buku anak-anak. Namun menurut banyak orang (saya lebih dulu banyak membaca review-nya daripada bukunya, so I'm no longer objective), buku ini sangat penuh pemikiran. Tentang karakter manusia (dewasa): haus kekuasan, kerakusan, kesombongan, kepatuhan yang buta; semuanya disimbolkan oleh tokoh-tokoh (king, businessman, geographer, lamplighter) yang ditemui si Pangeran Kecil dalam petualangannya.

Little Prince juga mengajarkan tentang persahabatan (simbolized by fox) dan cinta (rose).


"Tame me." The little prince asked "What is it to tame?" The fox replies, "It is to establish ties. ..to me, you are nothing more than a little boy who is just like a hundred thousand other little boys and I have no need of you. ....But if you tame me , than we shall need each other. To me, you will be unique in all the world. To you, I shall be unique in all the world."

"It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye." "It is the time you have wasted for your rose that makes your rose so important." "You become responsible , forever, for what you have tamed. You are responsible for your rose..."

"You are beautiful, but you are empty. One could not die for you. To be sure, an ordinary passerby would think that my rose looked just like you--the rose that belongs to me. But in herself alone she is more important than all the hundreds of you other roses: because it is she that I have watered; because it is she that I have put under the glass globe; because it is she that I have sheltered behind the screen; because it is for her that I have killed the caterpillars (except the two or three that we saved to become butterflies); because it is she that I have listened to, when she grumbled, or boasted, or even sometimes when she said nothing. Because she is my rose."


Buku ini misteri buat saya. Begitu banyak yang bisa diungkapkan dalam sebuah buku yang kecil dan tipis ini. Begitu banyak orang yang membacanya, anak-anak dan orang dewasa, dari masa ke masa. Begitu banyak analisis dibuat untuk buku ini, bahkan konon buku ini juga dibahas di perkuliahan di fakultas psikologi. Begitu banyak orang yang terinspirasi.... What a little book?!!

100 Years Teddy Bear

Tahun 2002 ini boneka beruang teddy bear ternyata merayakan ulang tahun yang ke-100. Menurut Marianne Clay dari teddybearandfriends.com , boneka yang bersahabat ini, lahir di dua belahan bumi yang berbeda, yaitu Jerman dan Amerika Serikat. Namun kedua-duanya muncul pada saat bersamaan, yaitu tahun 1902, tanpa saling berhubungan satu sama lainnnya (nice coincidence). Kalau menurut 'sejarah' versi Theodore Roosevelt (presiden amerika), ulang tahun Teddy Bear ini tepatnya jatuh pada bulan ini, November.

Saya waktu kecil tidak terlalu suka boneka (read:netral). Ada yang ngasih, syukur. Kalau gak ada, gak minta, dan gak akan pernah beli sendiri. Namun saya juga punya sebuah boneka Teddy Bear, hadiah ulang tahun waktu saya sudah kuliah (he..he..). Sekarang bonekanya jadi milik Obin. Ada boneka lain yang lebih saya suka, namanya Chewing, yaitu a doggie plush toy, yang badannya gepeng seolah-olah dia sedang tengkurep. Yang satu ini saya suka banget... soalnya si Chewing ini pasrah banget sih.. bisa jadi bantal dan bisa juga jadi alas duduk... terus kupingnya yang panjang bisa disimpul jadi berbagai bentuk.. he...he...Sayang si Chewing sudah tidak ada. Saya juga gak nemu foto yang lebih mirip dari foto ini di internet .

Others, what's your favourite toy?

Hujan Bulan Juni

Kini November, bukan Juni. Hujan pun masih segan menyapa Jakarta. Lalu, mengapa Hujan Bulan Juni??
Weedee, kemarin posting mengenai sebuah lagu dari sajak karya Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin. Waah.. saya sukaaa sekali puisi ini dan lagunya. Bahkan saya punya 1 kaset musikalisasi puisi-puisinya Sapardi, judulnya Hujan Bulan Juni. Saya pun pernah nonton pagelaran musikalisasi puisi ini di TIM... ughh... it's been a looong-looong ago

Sapardi, puisi-puisinya saja sudah bagus, jadi tambah bagus lagi setelah dilantunkan dengan manis, penuh perasaan, dan diiringi petikan gitar. Soo.. sweeet...

Selain Aku Ingin, puisi yang saya sangat suka adalah Hujan Bulan Juni ini. Pesannya sama dengan Aku Ingin: cinta yang sederhana, cinta yang tidak menuntut, atau pinjam kata-katanya dee "cinta yang membebaskan"... waah... jadi melankolik deeh....


Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu



Saya malah pernah mencoba bikin cerpen, inspired by puisi ini... tapi gagal. too mellow... he..he...

Norman Rockwell

Kalau saya bilang Norman Rockwell adalah ilustrator yang paling saya sukai, berarti saya bohong besar. Soalnya, sepertinya ilustrator yang saya tahu memang cuma dia ini. Tapi saya gak bohong bahwa saya memang benar-benar suka sama karya-karyanya. Setiap karyanya ada ceritanya masing-masing, dan banyak yang penuh humor. Tingkat kedetailan gambarnya…wow… Belum lagi ekspresi tokoh-tokoh dalam ilustrasinya, sangat hidup: rasa puas, senang, takut, marah, sedih, capek, etc semuanya sangat nyata.

Dua gambar di bawah ini adalah salah satu (eh salah dua) ilustrasi favorit saya. Yang pertama judulnya The Gossips, yang ke dua Going and Coming. Coba deh klik untuk melihat image yang lebih besar. (maaf kalau agak berat ngedownloadnya, soalnya saya ingin memperlihatkan detail yang saya maksud).

the gossips going and coming

The Gossips
Sepertinya, judulnya sudah sangat menjelaskan, bukan? Tapi coba perhatiin alurnya, dan ekspresi-ekspresi tokohnya. Hua.. ha..ha.. lucu banget. Sepertinya kita jadi langsung tahu ‘the whole story’:

Si Ibu sumber gosip, sambil bisik-bisik bilang ke temannya,
“Eh.. tahu gak? Si John kan ….”
Gosip terus beredar… “Uh… yang bener…?” kata ibu yang bertopi hitam.
Gosip berlanjut… “Eh, kata si anu, Si John ….”
Terus…berlanjut, lewat telpon, dari istri ke suami, dan terus…
“Hua..ha..ha… tahu gak, Si John katanya ….” Kata Si Bapak botak dengan cerutu.
“Hua… ha.. ha…” temannya tertawa terbahak-bahak…
Dan akhir ceritanya… coba lihat sendiri ya!?

Going and Coming
Ilustrasi ini tentang sebuah keluarga yang pergi berlibur. Coba lihat apa yang mereka bawa di atas mobil, dan tebak kemana mereka pergi? Lihat juga background dan pencahayaan di kedua gambar. Yang pertama terlihat berkas-berkas sinar matahari, dan yang kedua di latar belakangnya sudah ada cahaya lampu jalan dan rumah.

Yang paling asyik adalah memperhatikan ekspresi anggota keluarga pada saat mereka berangkat dan pulang. Saat berangkat, Si Bapak menyetir dengan tegak. Anak-anak, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, semuanya semangat dan gembira, tidak sabar untuk segera sampai di tempat berlibur. Bahkan anjing mereka pun antusias sekali. Kontras dengan saat kembali… mereka semua tampak kelelahan.. Ibu tertidur, Bapak menyetir dengan mengantuk, si anak perempuan, walaupun tetap dengan gelembung permen karet, tapi juga sudah capek. Tapi, coba deh lihat ekspresi si Nenek… he…he…he... tetap sama aja saat pergi maupun pulang.

Masih banyak karya Norman Rockwell lain yang saya suka. Mau lihat? Di sini atau di sini. And for anybody out there, who is your favourite artist? I wanna know...

Notes: All images are from The Norman Rockwell Museum at Stockbridge. I took them without permission :-}

How do you want to be called by your children?

Itu pertanyaan saya hari ini. Di Indonesia, panggilan yang umum untuk ortu biasanya antara lain: mama-papa, mami-papi, ayah-ibu, bapak-ibu, ayah-bunda. Kalau berbau dialek daerah atau pengaruh asing: enyak-babe, abah-umi, emak-bapak, etc.

Premis sementara saya saat ini; Umumnya ada hubungan antara panggilan yang kita inginkan dengan panggilan yang kita pakai untuk ortu kita. Buat pasangan suami-istri yang punya background panggilan ortu yang sama, pasti cenderung untuk menerapkan panggilan itu juga kalau mereka nanti punya anak. Namun buat yang backgroundnya beda, baru deh timbul kompromi atau improvisasi.

My Sis, adalah contoh kompromi dan improvisasi yang bagus. Berlatar belakang pangilan ibu-ayah dan mami-papi, akhirnya dipilih jalan tengah: mama-papa.

Kalau saya lain lagi ceritanya. Saya memangil ortu dengan ibu dan ayah, sementara suami ber-ibu dan bapak. Tapi akhirnya kami (saya lebih tepatnya) memilih panggilan ayah dan bunda. Why? Because I like the sounds of 'ayah' and 'bunda'. The sounds? Yup... I don't like to be called "Ibu", it could be becomes "Buuuuu...!!! Boouuu...!!!" Kayak tukang abu yang suka lewat depan rumah dulu... hi..hi....
Tapi argumen saya yang lebih masuk akal buat Suami, yaitu: Saya tidak suka panggilan Ibu-Bapak karena panggilan ini tidak special. Ibu bisa untuk semua ibu-ibu: Ibu Guru, Ibu Lurah, Ibu Dosen, dan ibu-ibu PKK. Begitu juga Bapak. He..he.. Suami mengalah akhirnya. :-)

Lain lagi ceritanya dengan My Bro. Dia dan istrinya punya latar belakang panggilan yang sama: ibu-ayah, dan mereka memang berencana memakai panggilan ini untuk anak-anaknya. Tapi, ketika anak pertama mereka mulai belajar bicara, si anak keduluan memanggil ibunya dengan Mama. Akhirnya jadilah mereka Mama-Ayah... he..he...

So, how do you want to be called by your children? And what's your reason? Ada yang mau dipanggil dengan nama aja? Saya pernah juga kepikiran seperti ini. Tapi sepertinya culture di sekeliling saya sangat tidak mendukung, jadi saya lupakan ide ini.

Oya.. saya punya satu pesan. Kalau anda ingin menjadi orang pertama yang bisa dipanggil oleh anak anda nanti, sebaiknya anda memilih panggilan MAMA - PAPA. Atau BAPAK juga lumayan. Pengalaman saya sudah membuktikan... he..he.. Anak saya yang berumur 1 tahun, sudah bisa bilang mama papa bapak kaka gaga..... Saya masih harus banyak bersabar sampai akhirnya ia bisa bilang: Bunda!!!

Sikat Gigi

Setiap berapa lama anda mengganti sikat gigi? Kalau saya gak pernah ngeh berapa lama saya baru mempensiunkan sikat gigi saya. Rasanya sih pasti kurang dari 1 tahun, tapi pasti lebih dari 3 bulan. Biasanya sih si sikat gigi saya pecat, kalau di dasar sikat gigi mulai tampak sisa pasta gigi yang gak hilang, atau kalau bulu-bulunya udah mekar.

Saya jadi iseng nge-browsing tentang masalah ganti sikat gigi ini. Eh, ketemu hasil riset (doing by a dental health product). Katanya, walaupun para ahli merekomendasikan untuk mengganti sikat gigi setiap tiga bulan sekali, namun hampir separuh responden (47%) mengaku bahwa mereka tidak mengganti sikat gigi sesering ini (termasuk saya he... he...).

Waktu saya sakit minggu lalu, saya juga jadi sempat baca-baca majalah Tempo yang sudah lewat. Ada artikel kecil yang bahas tentang masalah ganti sikat gigi ini. Artikel ini menekankan pentingnya mengganti sikat gigi ketika kita sedang dan setelah sakit, terutama flu dan radang tenggorokan. Juga ditekankan bahwa sikat gigi adalah sumber kuman penyakit, karena kondisinya selalu lembab. Kita disarankan mengganti sikat gigi sebulan sekali !!! Bahkan kalau perlu sebaiknya kita punya 2 buah sikat gigi sekaligus, untuk dipakai bergantian agar si sikat gigi sempat kering. Wah... kalau saya jadi marketing produk sikat gigi, ini artikel pasti saya jadikan bahan advertising. Bisa meningkatkan sales sekaligus dengan 2 jurus: "pembelian lebih sering" dan "pemakaian lebih banyak" .. huebat..huebat...

Anyway... karena habis sakit radang tenggorokan, saya sepertinya harus ganti sikat gigi nih...

Latihan Darurat Kebakaran dan Evakuasi Total

Kemarin di gedung kantor saya ada latihan evakuasi total bahaya kebakaran. Yah... ini pasti gara-gara sekarang sedang banyak ancaman bom di negeri ini. Menurut teman saya, sebelum ini juga pernah dilakukan latihan sejenis yaitu waktu pasca kerusuhan 1998.

Sebenernya gak terlalu capek sih turun tangga 15 lantai (gak tahu deh kalau yang dari lantai 35, gimana rasanya ya..?). Cuma sedikit 'feeling dizzy' juga ngelihatin tangga terus selama turun. Banyak juga yang memilih untuk tidak ikut latihan dan menghilang dulu sebentar dari kantor. Tapi karena beberapa alasan di bawah ini saya memilih untuk ikut:
  • Ingin tahu... karena belum pernah.

  • Ingin tahu: tangga darurat gedung kantor saya berujung di mana ya? Selama 3 tahun ini gak pernah tahu, coba ya...

  • Itung-itung olahraga turun tangga.. udah lama gak pernah olahraga

  • Jadi ingat waktu kuliah Utilitas di Arsitektur dulu, waktu kita sedang membahas tentang fire protection. Dosen saya pernah bilang bahwa highrise building di Indonesia sebenarnya sudah banyak yang menerapkan standar fire protection utility pada perancangannya, tapi maintenance-nya rendah sekali. Apalagi manusianya, baik pengelola gedung maupun pemakainya, bodoh dan pemalas: gak ngerti bagaimana menggunakannya, boro-boro latihan evakuasi!!! Saya kan gak mau dicap bodoh dan pemalas... he..he..
Yang pasti: waktu latihan kita semua bisa tertib menunggu instruksi.. kalau pas lagi kebakaran beneran, apa bisa ya????

Seperti Sekolah Totto Chan

Keponakan saya, Luthfi, sangat beruntung punya ibu (my Sis) yang pernah membaca, menyukai, dan mengangankan sebuah sekolah seperti di kisah Totto Chan. Ia juga beruntung ketika saatnya ia masuk sekolah dasar, di sini telah ada sekolah yang menyerupai sekolah Totto Chan. Luthfi, sekarang duduk di kelas tiga di Sekolah Alam, yang berlokasi di daerah Ciganjur, Depok.

Saat saya pertama kali menemani ke sana 3 tahun yang lalu, saya langsung menyukainya. Bangunan sekolahnya adalah beberapa rumah panggung dari kayu beratapkan rumbia. Tidak ada ruang kelas yang formal dengan kursi dan meja belajar, sepertinya murid-muridnya belajar sambil duduk lesehan di lantai kayu. Halaman rumput sekolah sangat luas, bahkan di belakang masjid sekolah ada sepetak sawah kecil. Sekolah ini juga dilewati sebuah sungai kecil dengan jembatan kayu yang harus dilewati murid-muridnya untuk menuju ke kelas. Ada pula sebuah tebing yang dipergunakan untuk berlatih kegiatan panjat-memanjat. Secara fisik sekolah ini cukup mewakili impian saya akan sekolah Toto Chan, dan ternyata Luthfi pun menyukainya dan tidak menginginkan pilihan sekolah yang lain.

Saya tidak terlalu mengetahui dengan detail bagaimana metode belajarnya dilakukan. Namun ada satu hal yang mengganjal yaitu sampai saat ini Sekolah Alam ini belum mengantongi izin dari Depdiknas, karena metodenya yang mungkin dinilai aneh (untuk hal ini saya selalu membesarkan hati my luvly sister, bahwa ini bukanlah hal yang terpenting). Sekolah ini pernah mencoba memadukan kurikulum mereka dengan kurikulum Depdiknas. Namun saat ini, guru bersama-sama orang tua murid, telah memutuskan untuk benar-benar menerapkan kurikulum mereka saja, yang menurut mereka merupakan yang terbaik untuk murid-murid. For the sake of the children!!

Satu hal yang saya tahu pasti saya sukai dari sekolah ini, yaitu sekolah ini tidak materialistis, tidak seperti sekolah-sekolah alternatif lain yang kini mulai menjamur di Jakarta. Sekolah Alam ini juga memberikan kesempatan untuk anak-anak di lingkungan sekitar yang tidak mampu untuk bersekolah di sini. Mereka juga sangat membatasi ekspansinya dan tidak berpromosi. Mereka sepertinya sangat sadar, ada sebuah skala optimum yang harus dijaga agar dapat mempertahankan kualitas.

Totto Chan

Salah satu buku yang selalu menjadi “all time favorite” saya adalah buku ini. Totto Chan - Gadis Kecil di tepi Jendala, begitu judulnya dalam terjemahan bahasa Indonesia. Buku ini pertama kali saya baca ketika saya masih berusia kurang lebih 14 tahun . Sejak pertama kali membaca saya sudah sangat menyukainya, lebih tepatnya saya senang memimpikan diri saya seberuntung si gadis kecil Totto Chan.

Totto Chan, sebuah kisah nyata, berkisah tentang seorang gadis kecil Jepang di masa menjelang perang dunia kedua, yang sangat beruntung. Totto Chan beruntung karena mempunyai seorang ibu yang percaya bahwa gadis kecilnya sebenarnya bukan anak nakal yang mengganggu pelajaran di kelas sehingga harus dikeluarkan dari sekolah. Totto Chan beruntung karena ibunya kemudian memasukkannya ke sebuah sekolah yang sangat unik.

Totto Chan akhirnya bersekolah di Tomoe, sebuah sekolah yang ruang kelasnya dibuat dari bekas gerbong kereta api. Di sekolah ini, murid-muridnya bisa mulai mengerjakan pelajarannya hari ini dengan apa yang disukainya terlebih dahulu. Di sekolah ini, seorang petani adalah guru, karena dialah yang paling tahu tentang tanaman dan cara berkebun. Di sekolah ini acara berjalan-jalan adalah hal yang selalu dilakukan apabila murid-murid bisa menyelesaikan seluruh pelajaran sebelum waktunya. Di sekolah ini syarat bekal makanan adalah satu macam “yang dari gunung “ dan satu macam lagi “yang dari laut”, dan murid-murid menikmati bertukar makanan sambil belajar apa yang dari gunung dan apa yang dari laut. Di sekolah ini, murid-murid dianjurkan memakai pakaian terjelek yang mereka punya, karena pakaian yang bagus akan segera menjadi kotor di sini. Di sekolah ini semua anak tidak sabar untuk kembali ke sekolah esok harinya. Hhmh.. benar-benar sebuah sekolah impian.

Totto Chan juga beruntung mempunyai seorang kepala sekolah, Bapak Kobayashi, yang sangat percaya bahwa setiap anak memiliki potensi dan bahwa cara mendidik anak yang terbaik yaitu dengan memberikan kebebasan dalam berekspresi. Ada sebuah cerita yang sangat bagus, yaitu ketika dompet kesayangan Totto terjatuh dalam sebuah septic tank. Totto kemudian memutuskan untuk mencari dompetnya itu dan menggali tumpukan kotoran di septic tank tersebut!! Pak Kobayashi, menyaksikan semua itu hanya berkomentar, “Nanti kalau sudah selesai, dirapikan kembali ya…”, tanpa memarahi atau menegur sama sekali. Totto walaupun akhirnya tidak dapat menemukan dompetnya, memenuhi janjinya untuk membereskan kotoran tersebut.

Totto Chan memang adalah anak yang unik. Dulu di sekolahnya yang lama, ia suka memanggil pengamen atau berbicara dengan burung dari balik jendela kelas ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Dia sangat impulsive. Dia suka meloncat pada sesuatu yang dianggapnya menarik tanpa pertimbangan, bahkan ia pernah loncat ke dalam adukan semen di jalan. Namun Totto Chan anak yang baik, ia selalu membela dan membantu temannya yang lebih lemah. Sebuah pertanyaan pasti tersirat, bila ibunya dulu tidak memindahkannya ke Tomoe, akan jadi apa Totto Chan ketika dewasa? Yang jelas, Totto Chan kemudian tumbuh dewasa dengan berbekal kenangannya selama dua tahun di Tomoe – sekolah ini memang kemudian hancur oleh serangan pesawat pembom. Totto Chan dewasa adalah Tetsuko Kuroyanagi, seorang presenter televisi yang terkenal di Jepang.

*********
Buku Totto Chan ini pun pernah dibahas oleh Goenawan Mohamad, seorang penulis Indonesia yang sangat kaya dengan referensi. Saya kaget ketika membaca mengenai Totto Chan di salah satu buku kumpulan Catatan Pinggir-nya. Ketika itu saya mungkin sudah kuliah dan sudah agak melupakan cerita Totto Chan ini, karena bukunya juga sudah hilang dipinjam, tidak dikembalikan oleh entah siapa. Saya merasa sangat tersanjung buku yang sangat sukai, ternyata juga dibaca bahkan dibahas oleh penulis yang juga sangat saya kagumi.

Judul Buku: Totto Chan, Gadis Kecil di Tepi Jendela
(Totto Chan, The Little Girl at the Window)
Pengarang : Tetsuko Kuroyanagi

Luck, Choice of Life, Destiny, or What?

Seorang sahabat kemarin menelepon:
Teman: Ninoy.. Happy belated Birthday!!
Saya : Kok telat sih....? (sambil setengah ngambek)
Teman: Sorry... gue baru aja nyampe.
Saya : Dari mana lagi?


Untuk mempersingkat... Sahabat saya itu baru saja tiba dari perjalanan hampir 1 bulan di Afrika. Minggu depan ia akan ke suatu tempat di Selatan Perancis. Sahabat saya memang bekerja sebagai seorang aktivis lingkungan hidup (he..he.. she never like this title) di sebuah NGO. Saya paling suka mendengar cerita-cerita dari sahabat saya ini, karena buat saya kadang mendengar cerita darinya seperti membaca kisah petualangan saja.

Buat saya pengalaman hidupnya cukup bikin iri hati. Bagaimana tidak? Kami berteman sejak masih duduk di SMP; namun perjalanan hidup, pilihan-pilihan yang kami buat, dan nasib (tentunya) membuat kehidupan saya dan sahabat saya ini bagai bumi dan langit. Di usia 29 tahun ini, hidup saya sudah terjebak pada kehidupan rutin "pergi pagi pulang menjelang malam" pekerja kantor di Jakarta. Di malam hari saya memanfaatkan semua waktu yang tersisa untuk dapat menunaikan peran sebagai "a half time mother". Sahabat saya sebaliknya, kehidupan pekerjaannya sangatlah menarik. Namun di lain pihak ia sudah mulai resah. "Her biological clock" sudah mulai memanggil, sementara belum juga ditemukannya "the other half".

Sigh..kita memang harus bersyukur dan berbahagia dengan kehidupan yang kita jalani. Saya pun takkan pernah mau menukarkan kebahagiaan saya saat ini dengan kehidupan siapa pun juga.

Anthony De Mello



Baru hari ini saya tahu pengarang dari sebuah cerita yang telah saya ketahui sejak saya duduk di bangku SMP. Boneka Garam, sebuah cerita pendek menyerupai dongeng, secara tidak sengaja saya dapatkan dari seorang kakak. Cerita ini langsung mengobsesi pikiran saya sebagai seorang anak SMP yang masih bingung dengan jati dirinya (sampai sekarang juga masih), dan langsung masuk buku harian tentunya.

Hari ini, thanks to internet technology, saya akhirnya tahu siapa pengarangnya. Adalah Anthony De Mello yang menuliskan cerita ini dalam bukunya Burung Berkicau (The Song of the Bird). Anthony De Mello adalah seorang biarawan Katolik dari India, meninggal pada tahun 1987.

Saya adalah seorang muslim, ternyata selama ini mengagumi sebuah karya seorang biarawan. "Wisdom" memang tidak mengenal batas agama.


Boneka Garam
Sebuah boneka garam berjalan beribu-ribu kilometer menjelajahi daratan, sampai akhirnya ia tiba di tepi laut.
Ia amat terpesona oleh pemandangan baru, massa yang bergerak-gerak, berbeda dengan segala sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.
'Siapakah kau?' tanya boneka garam kepada laut.
Sambil tersenyum laut menjawab:
'Masuk dan lihatlah!'
Maka boneka garam itu menceburkan diri ke laut. Semakin jauh masuk ke dalam laut, ia semakin larut, sampai hanya tinggal segumpal kecil saja. Sebelum gumpalan terakhir larut, boneka itu berteriak bahagia: 'Sekarang aku tahu, siapakah aku!'


A link to another writings by Anthony de Mello in Bahasa Indonesia.

Googlism

Googlism.com will find out what Google.com thinks of you, your friends or anything!

I just find out another amazing thing on Google. It's called Googlism. Let's check!

Who am I ? Who is Ninoy?
(wah.. ternyata semuanya tentang ninoy aquino)
ninoy is a looming giant in our struggle for freedom and democracy
ninoy is my hero
ninoy is in perfect happiness in heaven
ninoy is typical kapampangan always in a hurry
ninoy is a political blasphemy
ninoy is about to rise from the grave to give you and kris the boot
ninoy is enough for me
ninoy is led by goverment officials through airport lounge and waiting plane to the us
ninoy is still correct even unto this day
ninoy is still alive
ninoy is a graduate of university of the philippines college of fine arts and he started out in advertising
ninoy is a big insult to aquino's martyrdom

what google think about jakarta
(Ternyata Jakarta ngetop juga di google....ada lebih dari 80 entry untuk jakarta, gue pilih beberapa aja yang menarik)
jakarta is high on octane
jakarta is a mean
jakarta is safe
jakarta is tense
jakarta is a city of some ten million inhabitants
jakarta is a true melting pot of culinary tastes
jakarta is a city of contrasts; the traditional and the modern
jakarta is the capital and largest city of the southeast asian nation of indonesia
jakarta is not different from cities all over the globe
jakarta is a city of many facets and each facet is as much fascinating as is the other
jakarta is capital of indonesia provide with various problem including wild animal accumulated problem
jakarta is going to be ready for the corrs fans
jakarta is 20 hours 20 minutes and to bali is 22 hours 15 minutes
jakarta is an incongruous mixture of gleaming tower blocks
jakarta is unable to deal with all its garbage
jakarta is convenient
jakarta is an apache umbrella project that includes 3 subprojects related to jsp and servlet technology
jakarta is the most expensive city in indonesia
jakarta is home to many multinational
jakarta is an architect
jakarta is facing more and more headache for parking
jakarta is a city that has learned tolerance like few others in asia
jakarta is running
jakarta is a black and white city
jakarta is mortally wounded

Sayangnya nama panjang gue Kurniati Rahmadini gak ada di google. Hiks

Haloscan

Hari ini gue nambahin chater box dan ganti fasilitas commenting dari enetation jadi haloscan. Udah itu doang.... Kagak nulis juga heehehe

Fairground Attraction

Fairground Attraction? Benda apaan sih tuh? He.. he.. Mungkin jarang sekali orang yang tahu bahwa ini adalah sebuah grup musik dari Inggris di awal dekade 90 (atau akhir 80?). Jangankan di Indonesia, mungkin di negara asalnya sendiri banyak yang gak tahu, karena sekarang grup ini sudah tinggal sejarah.


Kok gue bisa tahu? Perkenalan pertama gue dengan grup musik ini adalah di era RCTI masih pakai dekoder (ada yang ingat tahun berapa tepatnya?). Waktu itu video klip jadi tontonan yang "wow". Salah satu video klip yang cukup sering ditayangkan adalah dari grup musik ini. Lagunya adalah Perfect dan Find My Love, baru belakangan gue tahu memang ternyata jadi hits di Inggris pada waktu itu. Musiknya cukup impressive (buat gue dan kakak-kakak gue waktu itu), sehinggga akhirnya kakak gue beli kasetnya. Setelah beli kasetnya, we really falled in love with this group... and for me.. I still do.

How should I describe their music...? I'll try... though I'm never good in critics.

  • Musiknya ringan dan riang... refreshing... Gue sangat menikmati just by humming their song, atau dinyanyiin dengan teriak-teriak di kamar mandi atau di mobil di tengah kemacetan Warung Buncit:-)... Enak dinyanyiin sambil jalan sambil lompat-lompat (?) ..bahkan enak untuk dipakai untuk menari-nari sendiri di kamar... :-)

  • Liriknya beberapa lugas, beberapa puitis, kadang-kadang nakal, temanya juga cukup luas. Yang paling banyak sih memang tema cinta (jatuh cinta, first kiss, patah hati, jomblo etc). Tapi ada juga tema sosial (perang, krisis ekonomi). Ada beberapa yang liriknya diambil dari puisi kuno Inggris, kata-katanya masih paka bahasa Inggris Kuno, seperti Ay, Thee.. etc.. gue kagak ngerti dah. Terus ada 1 lagu yang benar-benar lucu, yaitu tentang kucing, namanya Clare, yang making love di atas roof top.. he..he..he..

  • Musiknya kaya. Musiknya ada unsur jazznya, ada beat popnya, banyak unsur akustik, ada nuansa folknya (celtic), bahkan ada yang iramanya waltz!! Alat musik yang mereka pakai utamanya: gitar elektrik, gitar akustik, Mexican acoustic bass, drum, dan perkusi. Di beberapa lagu dibantu dengan accordian, piano, harpa kecil, trumpet, trombone, mandolin, clarinet, harmonica, tuba, vibraphone, glockenspiel (what's this?). waw.... asyik kan?

  • Vokalnya ..... amazing. Nama vokalisnya Eddie Reader. Vokalnya impressive: sangat expressive dan penuh emosi. Gak bisa komentar banyak untuk yang satu ini, sangat disarankan untuk mendengar sendiri....

  • Last but not Least: Ever Lasting. Gue gak pernah bosan... bahkan sampai sekarang...

Gue pernah punya dua albumnya yang pernah beredar di Indonesia The First of a Million Kisses dan Ay Fond Kiss. Tapi yang pertama hilang... hiks (ada yang masih punya gak...? gue pengen copy doong:-)). Album yang tertinggal sebenarnya udah lama gak gue dengerin. Gue mendadak inget lagi gara-gara bulan lalu iseng dengerin HardRock FM, si Indra (penyiar baru GMHR, yang gantiin Farhan) memutar lagu Perfect dan dia bilang kalau dia fans berat grup musik ini. Wah.... gue punya teman juga nih ternyata....

Wanna know what other people think about them? Check what they said on Amazon.com. Wanna visit a fan's site? Check this one. It has a very good overview of this group. Wanna sneak out the lyrics? Here. Wanna hear some of the song? Check out here or on Amazon free sample (you'll need Real One Player)

My Condolences for Bali

i want to hear a commedy waltz tonight...
i've heard the news and it's always the same...
never any laughs just trouble again...
i want to hear a commedy waltz tonight...

- a song by Fairground Attraction

I don't read newspaper for Bali Tragedy, because it will only give me a pressure. I don't want to care at all about all the conspiracy theories behind the accident. Here, I just want say my condolences to all those killed and injured, with any nationalities, as well as the families whose left behind. Also for all Ballinesse people who might lost their earnings, their jobs, from now being. Also for Indonesia, as a country - not the government, for having another trial and hardship.

There can be no excuse or justification. Just sorrow and pain.

Today's Update

Hari ini nambahin Search Engine (powered by Freefind). He..he..kayak isinya bakal banyak aja sampai perlu search engine segala.

Update

Hari ini nambahin Guestbook pakai signmyguestbook dan fasilitas comment pakai enetation
Hayo... dicoba... dicoba....

Sebuah Pertanyaan tentang Hidup

Another writing from the past........ just a fluttering thoughts of life

“Bagaimana kamu akan menjalani hidupmu esok hari, Ninoy?”
Sebuah pertanyaan yang kayaknya harus segera kamu pikirkan jawabannya. Mau apa kamu? Itulah masalahnya….


Hidup itu apa sih sebenarnya? Yang gue tahu, hidup itu penuh dengan pilihan. Tapi apakah 'hidup dengan pilihannya' itu seperti "one way ticket”, sekali kita memilih kita tidak bisa (atau tidak boleh) kembali ke titik awal? Atau hidup itu sebenarnya “trial and error” , coba dan coba lagi sampai akhirnya ketemu yang benar, yang cocok, yang pas? Kalau benar hidup itu “trial and error”, sampai kapan kita harus mencoba sampai akhirnya bisa menemukan yang benar itu? Apa gak buang-buang waktu? Kalau salah terus gimana? Gak ketemu-ketemu juga yang benar, sampai mati.

Tapi mungkin sebenarnya hidup itu bukan “one way ticket” bukan juga “trial and error”. Mungkin bisa sekaligus kedua-duanya, atau bukan kedua-duanya, atau bisa juga keduanya bergantian dijalani. Mungkin juga. Atau sebenarnya tergantung orang yang menjalaninya, jadi bukan suatu definisi yang bersifat universal.

Ada orang yang menganggap bahwa hidup itu seperti one way ticket. Begitu dia memutuskan sesuatu, tidak ada istilah salah dengan pilihan atau keputusannya itu. Tidak ada rumusan menyesal dalam kamusnya. Baginya hidup itu pendek. Hidup itu terlalu singkat, sehingga tidak ada waktu untuk kembali. Yang dilakukan adalah menjalani hidupnya, sesuai dengan pilihan-pilihan yang telah diputuskannya, dengan sebaik-baiknya. Yang harus dia kerjakan adalah memberi makna bagi kehidupannya yang telah ia pilih itu. Toh, di dalam pilihan hidupnya itu, ia juga akan dihadapkan pada pilihan-pilihan lagi. Nah, kembali lagi ke pilihan-pilihan itu, bukankah sebenarnya melaju terus atau kembali juga merupakan suatu pilihan? Bingung kan lu, Noy? Benar-benar lingkaran setan.

Sekarang yang satunya lagi, yang trial and error. Gue misalkan hidup itu seperti sebuah proses kerja, atau apa itu namanya… ehm… metoda ilmiah kali, yach? Atau proses kerja tertutup? Terserah deh apa namanya, gue lupa. Tapi yang jelas pada bagannya selalu ada loop yang kembali, sebagai suatu umpan balik. Kalau gue misalkan hidup seperti itu, sebenarnya sih sama sekali bukan trial and error murni. Setidak-tidaknya untuk memulai mencoba kembali seseorang sudah punya bekal pengetahuan bahwa apa yang sudah dikerjakannya kurang tepat atau salah. Boleh juga, hidup kayak gini. Mungkin ini hampir seperti istilah mundur satu langkah untuk maju dua langkah… (kalau bisa seratus langkah.. he.. he..)

Hidup seperti cerita Boneka Garam itu sebenarnya bisa dikategorikan kemana yach? Ceritanya kan dia berjalan-jalan keliling dunia, sampai akhirnya dia ketemu laut yang sangat mempesonanya, lalu yang akhirnya memanggilnya untuk terjun ke dalamnya, sampai akhirnya dia larut dengan bahagia karena bisa menemukan jati dirinya. He… he… sebuah cerita dongeng yang sangat ingin gue percaya bisa terjadi pada diri sendiri. Cerita yang sangat mengobsesi gue. But, is it in ‘one way ticket’ or ‘trial and error’ category? Susah untuk dikategorikan. Tapi mungkin kalau gue rekayasa ceritanya, gue bumbu-bumbuin lagi sedikit di bagian perjalanan si Boneka Garam keliling dunia – sebelum bertemu laut – mungkin bisa dimasukkan ke kategori trial and error. Misalkan dia berjalan-jalan sampai di gunung, “Yup, this is not my place” kata si Boneka Garam. Terus dia turun gunung, jalan terus sampai ke gurun pasir, juga dengan kesimpulan “It isn’t either!” (si Boneka Garam, dari garam Inggris kali yach?…). Lalu dia jalan lagi sampai akhirnya ketemu laut. Kan jadi ceritanya bisa dibilang trial and error.

Tapi kalau saja -- misalkan – dia ketemu sungai atau ekstrimnya sebuah sumur. Terus dia nyemplung, plung!!, ke dalamnya. Dia sebenarnya pasti larut juga, tapi gak sampai ke penemuan hakikat ke-garam-annya itu. Gimana dong? Eh.. tapi bisa juga sih.. kan hukum alamnya siklus air, akhirnya lewat laut juga, sehingga si Boneka Garam yang nyemplung di air sumur, akhirnya bisa juga ketemu rekan-rekannya sesama partikel garam di laut. Berarti dengan nyemplung di air sumur itu, dia sudah berada di arah yang lumayan benar. Cuma jadinya cerita Boneka Garamnya jadi panjang dan ngawur.. he.. he.. Yap, cerita Boneka Garam versi gue ini, bisa digolongkan ke hidup jenis trial and error juga.

Tapi kayaknya gak akan menjawab masalah gue deh kalau gue gak mencoba mengaplikasikannya ke kehidupan gue sendiri. Sekarang gue coba, deh.

Lima tahun yang lalu, gue dihadapkan dengan pilihan, mau sekolah apa gue, dan gue sudah pilih (walaupun dengan pertimbangan yang sekarang gue nilai sangat dangkal) Gue sudah pilih: Arsitektur. Lima tahun gue jalani dengan pikiran: “This is not the very right place for me, I can’t be optimal here”. Tapi toh, akhirnya gue bisa melewati masa-masa itu dengan hasil yang gak jelek-jelek amat, lumayan malah. Ternyata gue bisa survive juga… Apa standar optimal gue itu terlalu muluk? Atau bahkan gue gak tahu standar optimal gue itu seperti apa, sampai di mana? Mungkin juga begitu. Kalau gue ditanya seseorang, “Elu bilang, elu gak cocok di arsitektur: terus menurut elu, lu cocoknya di mana? He..he.. gue pasti bilang, “Gak tahu!” “Terus elu maunya apa?” Gue pasti jawab, “Gak tahu juga!”. Ditanggung orang yang nanya pasti sebel. Gue juga sebel kok.

So, Ninoy… elu maunya apa? Sekarang elu sudah sampai lagi di suatu titik, elu harus memutuskan elu mau apa, mau ke mana, mau ngapain...

Setelah gue pikir-pikir, mungkin, filsafat one-way ticket itu lebih cocok buat gue. Terbukti dari lima tahun yang sudah gue jalani di Arsitektur, dan akhirnya survive juga. Untuk selanjutnya, kayaknya gue gak punya cukup keberanian untuk banting stir, karena gue gak dimodalin dengan pengetahuan tentang apa mau gue sebenarnya, mau banting stir kemana, ke kiri atau ke kanan? Itu cuma dua pilihan. Kalau disuruh memutuskan berapa derajatnya sehingga alternatif pilihannya jadi tambah banyak, wah tambah gak tahu gue…. Toh, setelah lima tahun ini, gue jadi bisa yakin bahwa gue punya kemampuan untuk beradaptasi yang lumayan. Keyakinan ini bisa jadi modal juga kan, untuk terus aja maju. So with anything you’ve chose, make it worthy. Just do the best with the life that you’ve chose!

“Hidup mengalir seperti air” , kata si Seno Gumira. Elu berpikir itu terlalu pasif, Noy? Terlalu ‘gak ngapa-ngapain’ dan tergantung aliran air? Ah, gak juga kok. Selama airnya masih mengalir, kan berarti bergerak. Dinamis juga, kan?

“Hidup itu gak pernah pasti: Gak ada yang pasti dalam hidup, kecuali ketidakpastian itu sendiri”. Pernyataan itu juga gak sepenuhnya pesimistik. Malahan bisa jadi alasan untuk optimis: Kalau benar gak ada yang pasti dalam hidup, berarti gak ada alasan untuk takut memilih. Toh, selalu masih ada kesempatan untuk balik. Bahkan kalau elu memilih one way ticket itu, juga gak berarti elu gak bisa memilh yang trial and error. Itu juga suatu pilihan kan?

Sebenarnya one way ticket, trial and error, mengalir seperti air, atau hidup seperti cerita Boneka Garam, kayaknya sama aja semua. Hidup itu pilihan, hidup itu berarti memilih, berarti mencari terus. Karena memilih dan mencari itulah, manusia bisa dibilang hidup. Soalnya manusia yang sudah mati, gak lagi bisa melakukannya.

Dan buat seorang Ninoy yang gak punya ambisi tertentu yang besar, yang gak pernah tahu maunya sebenarnya apa, tapi juga gak pernah merasa puas sekali dengan hidupnya, kayaknya gak akan pernah ketemu yang namanya laut seperti lautnya si Boneka Garam. Sepertiya justru seharusnya gue beranggapan, kalau gue sudah menemukan lautnya gue, berarti yang namanya perncarian sudah selesai, yang berarti selesai pula yang namanya kehidupan itu. ‘Laut’ itu yang harus dicari, tapi hakikat kehidupan itu sendiri ada pada pencariannya.

Yap… kesimpulan yang cukup melegakan? Mudah-mudahan… Tapi gak menutup kemungkinan untuk terjadi perubahan pandangan dan adanya kesimpulan baru -- selama gue masih hidup.

Bandung, 20 Juli 1997

Ada Apa dengan Cinta

Waahhh... telat banget yah gue baru nonton AADC semalam :-) But still better late than never to watch a nice movie like AADC. Komentar gue, BAGUS. Filmnya ringan, entertaining, castingnya tepat dengan karakter tokoh, Dian Sastro mainnya bagus, Nicholas Saputranya coool.... :-)

Gue sih gak akan mecoba nulis kritik film di sini, soalnya gue gak bakat jadi kritikus... Lagian pasti udah banyak yang nulis kayak gini. Coba aja search di google, pasti banyak deh. Bahkan ada yang membahas dari sisi marketingnya. Gue akuin memang Miles Production jago dalam marketing dan promosi film-film produksi mereka. Petualang Sherina dan AADC sudah 'heboh' jauh sebelum nongol di bioskop.

Salut juga buat angkatan perfilman Indonesia sekarang. Coba lihat, mereka begitu 'yakin', segala upaya mereka lakukan buat kebangkitan dunia film kita. Dari Jiffest sampai Festival Film Independent, semuanya bikin kita 'melek' bahwa film bukan cuma Hollywood dan Bollywood. Bahkan dengan acara FTV (acara banci: setengah sinetron-setengah film) para penonton TV kita diajari bahwa acara sinetron negeri sendiri bisa juga berkualitas. Gue juga lihat dengan FTV ini, mereka pelan-pelan bisa unjuk gigi bahwa mereka bisa buat film bagus. Hebat, mereka sadar : Banyak jalan menuju Roma. Sekali lagi, SALUT!

Oya.. barusan intip official sitenya AADC. Keren juga. Niat. Bagian dari promosi pasti.

CERPEN: Boneka Garam

memulai blogger baru ini, hari ini.... cerita di bawah adalah cerpen pertama gue (dan satu-satunya yang selesai sampai saat ini.. he..he..), inspired by my obsession of "boneka garam' story. silahkan dibaca, boleh dikritik... uhmm... but please consider that i'm just a beginner, your critics might kill this new 'seed' :-)

BONEKA GARAM

Andini pusing. Anaknya Mita, sedang mengajukan aksi mogok. Sepanjang hari, sepulang sekolah, ia mendekam saja di dalam kamarnya. Menolak untuk pergi les biola seperti yang biasa dilakukannya setiap Selasa dan Jumat. “Mita, hayo siap-siap.. Sudah jam setengah empat, nanti kamu terlambat lesnya.” Panggil Andini sambil mengetuk kamar anaknya.

“Gak mau les, ah…! Males…!” teriak Mita dari dalam kamar.
“Kamu kan sudah tidak les Selasa kemarin. Hari ini les dong. Kalau nggak les lagi, nanti gak bisa jago, lho.”
“Mita bosen! Mita pengen berhenti aja, Ma..!”

Andini akhirnya membuka pintu kamar anaknya yang ternyata tidak dikunci. Dilihatnya Mita sedang berbaring menelungkup di tempat tidur. Tangannya sedang memegang komik Asterix kesayangannya.
“Lho Mita.. Kok tiba-tiba kamu ingin berhenti les begitu. Ada apa, sih? Cerita dong, sama Mama.” Mita diam saja, tidak menyahut.

Andini duduk di tempat tidur sambil bertanya, “Kenapa? Apa gurunya galak?” Mita berbalik menghadap ibunya dan menggeleng. “Lalu kenapa? Mita lagi gak enak badan?, tanya Andini lagi sambil meraba kening anaknya. “Nggak! Mita bosen. Abis susah banget, sih! Mita gak bisa-bisa!”
“Lho, mita gak boleh gitu dong! Mita kan memang baru tiga bulan belajar biolanya. Justru supaya cepat bisa, Mita harus rajin-rajin latihan.”
“Mama kok maksa, sih! Pokoknya Mita gak mau les lagi”
“Mama gak memaksa. Dulu kan kamu sendiri yang mau belajar biola, terus minta biola untuk hadiah ulang tahun yang kedua belas kemarin. Baru tiga bulan belajar sudah mau berhenti. Tahun lalu kamu juga ingin ikut Marching Band. Eh, baru sebentar belajar, terus bosan. Kamu gak boleh cepat menyerah begitu."
“Pokoknya Mita gak mau dipaksa-paksa. Mita mau berhenti!”, teriak Mita. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Yah, sudahlah, terserah Mita…! Mama tidak akan memaksa”.

Andini akhirnya menyerah. Ia keluar dari kamar anaknya sambil menghela napas. Ia bingung menghadapi anaknya yang semata wayang ini. Mita selalu begitu. Cepat tertarik dengan suatu hal, tetapi cepat pula merasa bosan. Padahal ia merasa bahwa ia sudah memberikan kebebasan pada anaknya untuk memilih hal-hal yang disukainya. Kalau ia hendak menuruti keinginannya pribadi, tentu ia akan memaksa Mita untuk belajar tari di sanggar yang dilatihnya sendiri. Tapi ia tidak pernah memaksakan keinginannya tersebut, sejak ia lihat Mita ogah-ogahan dilatihnya.

Pusing memikirkan Mita, Andini berbaring di tempat tidurnya sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum. Aksi mogok Mita mengingatkannya pada diri sendiri ketika ia masih sangan kecil, kira-kira baru tujuh tahun. Waktu itu ia mogok menari, dan ia menangis karena merasa dipaksa oleh ibunya. Persis seperti Mita saat ini.

***************

Pikirannya pun melayang ke peristiwa yang terjadi hampir tiga puluh tahun yang lalu. Ia ingat ketika itu, ketika ia menangis, ayahnya menyuruhnya duduk di sebelahnya dan Andini kecil pun menurut. Ayahnya kemudian berkata, “Dini, ayah punya cerita bagus. Tapi kamu harus berhenti menangis dulu”, kata ayahnya sambil mengusap airmatanya. “Mau dengar, kan?, tanya ayahnya.

Tanpa menunggu persetujuannya, ayahnya meneruskan, “Ceritanya tentang sebuah boneka yang terbuat dari garam. Nah, boneka garam ini suatu hari pergi berjalan-jalan, jauuuuh sekali, menjelajah dunia. Akhirnya ia tiba di tepi laut. Kamu sudah sering lihat laut dan kamu masih senang kan kalau kita jalan-jalan ke laut?” Andini kecil sudah berhenti menangis dan ia mengangguk. “Nah berbeda dengan si boneka garam, ia belum pernah lihat laut. Baginya laut itu pemandangan baru yang luar biasa. Ia sangat terpesona dengan laut yang begitu luas dan biru, dengan ombak yang bergerak-gerak ke tepi pantai. Baginya laut berbeda dengan segala sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.” Andini kecil mulai tertarik pada cerita ayahnya.

“Lalu dengan rasa penuh ingin tahu, si boneka garam bertanya kepada laut, ‘Siapakah kau?’ tanyanya. Mendengar pertanyaan dari boneka garam tersebut, laut tersenyum dan menjawab, ‘Masuk saja dan lihatlah sendiri!’. Kamu tahu apa yang dilakukan boneka garam itu setelah mendengar jawaban laut yang bisa bicara itu?”. Andini kecil menggeleng. "Boneka garam itu lalu menceburkan dirinya ke dalam laut. Karena ia terbuat dari garam maka ia pun larut. Semakin masuk ke dalam air ia pun semakin larut, sampai akhirnya tinggal segumpal saja, dan lama kelamaan ia benar-benar habis melarut. Tapi boneka garam itu tidak sedih, malah ia sangat bahagia. Kamu tahu kenapa ia bahagia”. Andini kecil menggeleng lagi. “Karena ia sebelumnya tidak tahu bahwa ia terbuat dari garam. Ia baru tahu hal itu setelah ia masuk dan larut ke dalam laut.”

Andini tersenyum. Betapa masih membekas diingatannya peristiwa itu. Sebenarnya pada waktu itu ia tidak langsung mengerti kaitan cerita ayahnya dengan keadaannya sendiri. Pada waktu itu ayahnya hanya mengatakan bahwa ia sebenarnya pandai menari. Pada dasarnya ia akui bahwa ia memang senang belajar menari bersama teman-temannya, dan menurut gurunya ia cukup pandai menari. Tetapi terkadang, sebagai anak kecil, ia sering merasa bosan. Ayahnya, pada waktu itu, mengumpamakan menari buat dirinya seperti laut bagi si boneka garam. Sama-sama suatu hal yang menarik dan menyenangkan. Ayahnya juga bilang, supaya ia bisa bahagia seperti boneka garam ia tidak boleh putus asa menari. Dengan cerita yang belum terlalu dimengertinya itu, ayahnya berhasil membujuknya untuk tetap menari. Setiap kali ia kembali merasa bosan, ayahnya mengingatkannya kembali dengan cerita boneka garam tersebut, “Katanya mau seperti boneka garam…”

Semakin dewasa, Andini semakin mengerti cerita ayahnya ini. Ia mengerti bahwa ia harus menemukan dirinya sendiri, dengan jalan menekuni dengan serius hal yang menarik baginya. Setelah mencoba berbagai hal baru yang menarik – menari, teater, dan sebagainya – ia menemukan bahwa saat-saat paling membahagiakannya adalah ketika ia menari. Bahkan kini, walaupun ia telah berkeluarga, menari tetaplah menjadi bagian dari hidupnya. Ah, betapa bijak ayahnya dulu.

****************

Andini kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan kembali menuju kamar Mita. Ia merasa harus membagi cerita tersebut dengan anaknya. Sesampai di kamar Mita, dilihatnya mata Mita masih merah akibat menangis. Andini pun duduk dan meraih kepala anaknya.

“Mita sayang, coba ke sini, dengar Mama sebentar. Mama tiba-tiba ingat cerita yang dulu pernah diceritakan kakekmu kepada Mama. Waktu itu Mama masih kecil sekali. Bahkan lebih kecil dari kamu. Waktu itu Mama juga sedang habis menangis karena merasa dipaksa latihan menari.” Mata Mita terbelalak tidak percaya, “Mama pernah menangis karena gak mau latihan menari?”
“Iya… Waktu itu kakekmu lalu bercerita tentang boneka garam. Kamu sudah pernah dengar?”. Mita menggeleng. “Ceritanya sih seperti dongeng saja, tapi bagus sekali. Ceritanya begini… Ada sebuah boneka yang terbuat dari garam, suatu hari ia berjalan-jalan mengelilingi dunia… jauh sekali ia berjalan…”

Bandung, 19 November 1996