Mimpi yang tak Terengkuh

Mimpi yang tak terengkuh tak kan pernah benar-benar terlupakan. Kita bisa saja telah melipatnya dengan rapi dan menyimpannya di tumpukan paling bawah dalam laci lemari terkunci, untuk kemudian kita buka entah kapan nanti. Kita bisa saja telah meninggalkannya begitu saja di halaman, menelantarkannya hingga akhirnya lenyap dari pandangan, terkubur oleh kepingan realitas dan serpihan waktu. Kita bisa saja menggadaikannya di pasar, menukarkannya dengan semangkuk bubur atau bahkan dengan sesuatu yang tampak lebih berkilau di mata kita.

Tapi mimpi yang tak terengkuh tak kan pernah benar-benar terlupakan. Terkadang ia akan muncul kembali tak terduga ketika kita sedang mengaduk-aduk isi laci lemari dengan terburu-buru, mencari sesuatu yang terselip. Terkadang ia akan tiba-tiba timbul menyeruak ketika kita sedang menyapu dedaunan gugur di halaman. Terkadang ia tiba-tiba hadir di hadapan kita, tergantung di etalase toko barang gadaian.

Ya, mimpi yang tak terengkuh tak kan pernah benar-benar terlupakan. Ia bisa saja tiba-tiba muncul kembali. Melambaikan tangan, berbisik halus memanggil, atau berteriak keras… menggoda kita untuk kembali mencoba merengkuhnya….

Kelak, mungkin aku akan bercerita tentang salah satu mimpiku....

Fragile



If blood will flow when flesh and steel are one
Drying in the colour of the evening sun
Tomorrow's rain will wash the stains away
But something in our minds will always stay...


***

Lelaki itu dulu adalah atasanku. Bertahun-tahun yang lalu. Tidak lama memang, hanya untuk sekitar setengah tahun saja.

Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Namun yang kuingat darinya, ia tidak seperti atasan lain pada umumnya. Ia sepertinya tidak merasa terlalu perlu untuk bersikap jaga wibawa. Tidak juga disiplin bawahannya. Sebaliknya ia kerap mengajak kami bawahannya untuk jalan-jalan, main, dan makan ke luar -- bahkan terkadang pada jam-jam kerja. Ia yang kuingat juga ramah, ramai, dan super periang.

Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Namun dulu sempat terlintas di benakku, di balik semua itu ia adalah orang yang kesepian. Di usia yang cukup lanjut itu, ia masih hidup sendiri.

Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Bertahun-tahun setelah itu, kami tidak lagi pernah bertemu. Bahkan sekedar kabar tentang dirinya pun tak pernah ku dengar lagi.

Hingga tadi malam... kudengar cerita tentang kematiannya. Sekitar sebulan yang lalu. Tepat di hari ulang-tahunnya yang ke-empat-puluh-lima. Dibunuh... Dicekik... Dibuang tubuhnya ke sungai... Ditemukan beberapa hari kemudian, entah di mana...

***

On and on the rain will fall
Like tears from a star like tears from a star
On and on the rain will say
How fragile we are how fragile we are...

(sting-fragile)

Mencitrakan Kesan, Menangkap Kesan



(Satu)

Seorang perempuan berjalan dengan santai di sebuah pusat perbelanjaan, mendorong kereta-belanjanya, sambil mengingat-ingat apa lagi yang harus dibeli olehnya. Tak jauh dari tempatnya berjalan, ada seorang perempuan lain berjalan dengan cepat berlawanan arah dengannya. Perempuan ke dua itu mendorong kereta dengan tergesa-gesa dan tiba-tiba menabraknya! Perempuan yang menabrak itu sepertinya tak menyadari bahwa perempuan yang pertama kesakitan lengannya akibat tertabrak kereta. Perempuan yang menabrak berlalu saja dengan cepat, masih dengan tergesa-gesa.

‘Hey, jalan pake mata, knapa?’ gerutu perempuan yang tertabrak pelan. ‘Tampang boleh cakep, berpendidikan. Tapi minta maaf dikit juga gak. Sok sibuk! Sok penting!’ Perempuan pertama sudah merumuskan kesannya terhadap perempuan kedua. Mereka tidak pernah bertemu lagi, namun sebuah kesan telah terbentuk.


(Dua)

Seorang perempuan secara acak mengklik sebuah nama dengan sebuah link di dunia maya. Itu lalu mengantarnya pada sebuah halaman jurnal milik seorang lelaki. Dibacanya jurnal itu, ‘lumayan’, katanya dalam hati. Tak terasa akhirnya mulai muncul suatu rutinitas baru pada hari-hari perempuan itu: menunggu tulisan baru di jurnal maya lelaki yang hanya ia kenal namanya. ‘Lelaki yang cerdas, lucu, dan bijak,’ begitu kesannya.

Hingga akhirnya tiba suatu kesempatan, bertemulah perempuan itu dengan lelaki pemilik jurnal yang selalu ditunggu-tunggunya. Sebuah jabat tangan mengiringi kata sapa, ‘hai!’ Kini nama menjelma wajah, menjelma sosok. ‘Hm… tak seperti yang kukira. Tubuhnya tak setinggi yang kusangka, dan juga tak setampan yang kuharapkan’, kata perempuan itu sambil tertawa dalam hati, mentertawai dirinya sendiri.

Lalu perbincangan pun dimulai. Tak lancar. Lelaki dan perempuan itu sama-sama tak bercerita selancar mereka bercerita di jurnal mereka. ‘Ia tak begitu lucu lagi. Lagipula suaranya kenapa gemetaran seperti itu? Sungguh tidak terlihat kecerdasan seperti yang selama ini kukira’, kembali si perempuan berkata dalam hati. Telah hadir kesan yang lain.


(Tiga)

Seorang perempuan duduk di sebuah kursi kereta api eksekutif Bandung -Jakarta. Di pangkuannya duduk seorang anak kecil. Seorang lelaki setengah baya tak lama kemudian datang dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu menyapa dengan ramah si anak kecil, ‘hai adek, ketemu lagi’. Perempuan itu segera mengenali sosok si laki-laki. Ia adalah lelaki yang tadi sengaja berjongkok dan mengajak anaknya bercanda, dilihatnya dari kejauhan waktu mereka masih di peron. Perempuan itu pun lalu membatin, ‘lelaki yang ramah, senang anak kecil.’ Perempuan itu telah membatinkan sebuah kesan.

Selesai sebuah percakapan singkat ramah-tamah, lelaki itu mulai sibuk berbicara dengan telepon genggamnya. Tertangkap jelas oleh si perempuan apa yang dibicarakan oleh lelaki itu, walaupun perempuan itu berusaha untuk tak mencuri dengar. Tertangkap olehnya, lelaki itu sedang berbicara bisnis, tetap dengan gaya bicara yang ramah dan luwes. Tentang suatu negosiasi. Berhubungan dengan manajemen seorang artis. Tentang suatu harga yang harus dibayarkan. Tentang suatu angka yang harus dinaikkan. Tentang nomor rekening untuk membagikan selisih angka yang dinaikkan. Terus bicara lelaki itu, dengan tertawa-tawa, dengan luwes, dengan akrab, tetap dengan ramah. Juga menyelipkan sumpah dengan nama Tuhan sekali-kali… Perempuan itu menghela napas perlahan. Telah tertanam sebuah kesan yang lain. ‘Ah sudahlah, bukan urusanku. Lagipula semua di mana-mana memang sudah seperti ini.’ Keluh perempuan itu di dalam hati.

Percakapan ringan ramah-tamah lalu berlanjut. Tentang anak. Tentang bayi yang sedang ditunggu kelahirannya. Lelaki itu tiba-tiba berkata, ‘Nanti setelah kondekturnya memeriksa tiket, saya akan pindah tempat duduk. Rasanya di gerbong sebelah ada tempat kosong. Biar si Dedek bisa duduk sendiri dan tidur lebih nyaman.’ Perempuan itu sejenak terpana, namun segera ia berkata, ‘Wah, terima-kasih.’ Maka ada kesan lain yang terbentuk.


. . .

‘Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya’, kata pepatah. Menurutku itu tak sepenuhnya benar, atau pun salah. Karena bagaimana pun, tak akan bisa dihindari, kita manusia selalu membuat penilaian. Manusia mencitrakan kesan. Manusia menangkap kesan. Selalu seperti itu. Kesan pertama, kesan ke-dua, kesan ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya. Selalu ada kesan. Baik atau buruk. Atau netral. Ada kesan.

Sepertinya tidak terlalu perlu untuk dipermasalahkan bagaimana seseorang menangkap suatu kesan. Mungkin yang lebih penting adalah memiliki suatu kesadaran (dan keikhlasan untuk mengakui) betapa kesan yang ditangkap itu bisa saja tidak benar. Ada kemungkinan untuk salah. Baik kesan pertama, kesan ke-dua, ke-tiga, atau ke-sekian. Baik atau buruk suatu kesan, bisa saja tidak tepat.

Karena sesungguhnya seorang manusia punya banyak lapisan pada dirinya, punya banyak sisi. Kita tak kan pernah benar-benar tahu. Kita, manusia, tak kan pernah benar-benar bisa mengenali dan memahami seorang manusia lainnya.

Terinspirasi oleh friendster :D

Main, Yuk!



Katanya; dalam setiap diri orang dewasa tersembunyi sesosok anak yang selalu ingin bermain. Kata saya; beruntunglah saya yang memiliki anak yang masih kecil, sehingga punya alasan kuat untuk memainkan permainan anak-anak.

***

Salah satu cita-cita yang ingin saya lakukan selama tidak bekerja adalah lebih sering mengajak Obin jalan-jalan. Selama ini Obin agak kurang pengalaman jalan-jalan. Selama ini kami – orang-tuanya – biasanya pada akhir pekan lebih senang menghabiskan waktu di rumah saja. Nah, sekarang saya bisa kapan saja mengajak Obin jalan-jalan (walaupun kenyataannya masih gak sering juga sih, hehehe). Dudukkan Obin di car-seat, bawa bekal serta perlengkapan untuknya secukupnya, maka kami berdua pun siap melaju. Sekedar untuk belanja bulanan, ke toko buku, atau khusus untuk menjajal tempat-tempat permainan anak di sekitar selatan Jakarta.

Tempat bermain dengan kolam bola, tangga, perosotan, dan terowongan sekarang ini sedang jadi tempat main favorit. Buat Obin, tentu ini bagus buat keterampilan motorik-kasarnya, memberinya kesempatan untuk mengeksplor, untuk bertemu dan bermain dengan teman sebaya, menjadi berani, dsb, dsb… Buat saya -- dengan alasan anak di bawah tiga tahun harus disertai pendamping orang dewasa -- ada kesempatan untuk duduk membenamkan kaki di kolam bola, memanjat-manjat, loncat-loncatan di jaring, merangkak-rangkak di terowongan, dan main perosotan yang meliuk-liuk!!! Cihuiii….!!!!

Sedikit catatan:
Ada perbedaan yang mencolok pada tempat permainan anak yang di Depok dengan yang di kawasanPondok Indah. Di tempat pertama, teman ‘sepermainan’ saya adalah para orang-tua juga. Sementara di tempat yang satu lagi, saya menjadi satu-satunya orang-tua yang ‘bermain’ di antara para ‘baby-sitter’. :-)

Mainan Siapa Gerangan?

Saya suka sama mainan jaman dulu atau mainan tradisional. Mainan yang gak akan kita temukan pada toko mainan di segala jenis modern-market saat ini. Paling-paling kita masih bisa menemukannya di pasar tradisional atau dijual oleh penjaja mainan kaki-lima. Walaupun gak bisa dibilang sebagai koleksi, saya punya beberapa mainan seperti ini.

Kapal othok-othok, begitu saya menyebutnya. Gak jelas juga apa nama mainan ini sebenarnya. Kapal-kapalan ini dibelikan oleh hubby pada penjaja mainan sekitar kebon binatang di Bandung. Terbuat dari seng, kapal-kapalan ini (seharusnya) bisa berjalan di atas air. Caranya, kapal diapungkan dulu dalam baskom berisi air. Lalu di dalam rongga badan kapal ini, kita beri kapas yang sudah dibasahi minyak kelapa, kemudian kita nyalakan. Kapal ini (harusnya) akan berjalan dan mengeluarkan bunyi ‘othok-othok-othok-othok’. Begitulah. Cuma sayangnya, kapal othok-othok yang saya miliki ini belum pernah sukses ‘berlayar’.

Kura-kura seng ini juga dibeli di dekat kebon-binatang di Bandung, bertahun-tahun yang lalu. Dengan mekanisme yang sederhana, kura-kura ini bisa bergerak-gerak. Di bagian bawah badannya ada karet yang dipuntir, pemberat, dan gulungan tali kasur. Bila tali kasur itu kita tarik-ulur, maka kura-kura ini akan bergerak maju-mundur. Lucu. Selain berbentuk kura-kura, kalau tidak salah sebenarnya mainan sejenis ini juga ada dalam wujud binatang lain.

Burung tanah-liat ini bentuknya sih sama sekali tidak menarik. Tidak juga bisa bergerak lucu. Tapi burung ini bisa berbunyi “huhu-huhu” kalau kita tiup dari bagian ekornya. Belinya di mana ya dulu? Wah lupa…

Gasing dari bambu ini belinya di Malioboro, Jogja. Ukuran bambunya cukup besar, diameter sekitar sepuluh sentimeter. Bila diputar cepat-cepat dengan tali pemutarnya, maka gasing akan melompat, lalu berputar. Kalau kita memutarnya cukup kuat, akan terdengar bunyi berdengung yang cukup keras. Ngunnnnggggg… Hati-hati bila mencoba menangkap dan menghentikan gasing dengan tangan, ketika putarannya masih kencang. Salah-salah tangan bisa tergores dan luka (hehe boong deng… )

Namanya juga peluit, berarti memainkannya dengan cara ditiup. Sebenarnya ada dua macam peluit bambu yang saya temukan. Yang pertama, seperti yang ada pada gambar sebelah. Yang kedua lebih kecil, namun memiliki alat seperti katup pada ujung bawahnya. Katup ini bisa disorong-sorong, sehingga nada suara yang dihasilkan oleh peluit bisa beragam tinggi-rendahnya.

Kodok lompat ini mungkin agak berbeda. Gak terlalu tepat disebut sebagai mainan tradisional, karena sudah bukan buatan tangan pasti. Kodok ‘made ini china’ ini saya beli pada penjaja kaki-lima di sebuah jembatan penyeberangan di Jakarta. Terbuat dari seng, bila kitar putar pegas-putarnya, kodok ini lalu akan melompat-lompat. Mainan yang cukup bagus untuk diletakkan di atas meja kantor dan dimainkan kalau lagi bosan. Hehe.

Masih ada beberapa mainan lagi sebenarnya; ada boneka yang bisa digerakkan dengan tali, ada mainan dari tanah liat dan kertas semen yang gak jelas bentuknya tapi bisa berbunyi ‘ngek-ngok’, ada mainan dengan tongkat dan roda yang bisa didorong hingga berbunyi ‘tek-tek-tek’, dan macam-macam lagi. Tapi sekali lagi saya bukan kolektor yang baik. Kadang mainan-mainan ini tergeletak begitu saja, rusak, hilang, atau terbuang ke tempat sampah. Namun kalau kebetulan melewati tempat-tempat yang cukup ‘eksotis’, saya masih menyempatkan untuk lirik-lirik, kali-kali aja masih menemukan mainan serupa. :-)

***

Mainan jaman dulu, saya lebih suka menyebutnya begitu; walaupun sebenarnya ini bukan mainan saya ketika kecil dulu. Entah kenapa saya gak pernah main dengan mainan-mainan ini dulu. Mungkin kah ini mainan jaman orang-tua kita? Atau kakek-nenek kita? Atau adakah di antara kalian yang memainkannya ketika kecil dulu?

Terselip-Ketik

Saya sering terselip-ketik. Maksudnya salah ketik gitu. Mungkin karena saya memang tidak pandai mengetik. Tidak semua jari termanfaatkan dengan baik, ketika saya mengetik. Tapi lumayanlah, setidaknya saya mengetik tidak hanya dengan satu atau sebelas jari.

Tapi ada yang menarik. Saya perhatikan salah satu kesalahan yang sering saya lakukan ketika mengetik (dan juga ketika menulis) adalah saya sering melupakan kata-kata ‘tidak’ (bukan, enggak, dll) dalam kalimat (yang seharusnya) negatif. Alih-alih menulis “Maaf, saya tidak sempat balas e-mailnya, soalnya saya sibuk sekali.” eh jadinya malah “Maaf, saya sempat balas e-mailnya, soalnya saya sibuk sekali.” Jadilah sebuah kalimat yang maknanya jelas… ups gak jelas.

Tapi itu masih mendingan, karena kalimat di atas adalah kalimat majemuk. Masih ada anak kalimat yang menjelaskan, sehingga orang yang membaca mungkin jadi bertanya-tanya sebentar tapi kemudian memaklumi kalau ini adalah salah ketik. Coba kalau selip-ketik ini terjadi pada kalimat-kalimat singkat pada SMS. Misalnya, ketika saya seharusnya kirim SMS, “Gue gak jadi pergi”; eh saya malah mengetik pesan “Gue jadi pergi”. Wah, ini kan bisa fatal akibatnya.

Apakah terselip-ketik seperti ini termasuk Freudian Slip (slip of the memory, slip of the mind, slip of the tongue, slip of the pen)? Kalau benar, berarti ‘bawah sadar’ seperti apa yang berusaha muncul ketika saya terselip-ketik kalimat (yang maunya sih) negatif itu. ‘Bawah sadar’ seperti apa yang tertekan oleh ‘kesadaran’ saya, sampai-sampai selip-ketik itu terjadi?

Apakah saya sedang berbohong? Ketika saya terselip ketik tidak sempat”, sebenarnya saya memang sempat, dan saya bohong waktu saya bilang saya sedang sibuk.

Atau semi bohong? Waktu saya bilang “Gue gak jadi pergi”, faktanya saya memang tidak jadi pergi, tapi mungkin dengan terpaksa karena 'bawah sadar' saya sebenarnya ingin pergi.

Tapi kenapa cukup sering terjadi ya? Apa berarti saya sering bohong?

Kalau memang saya sering bohong, tapi kenapa selip-ketik yang sering terjadi (dan terperhatikan) itu berhubungan dengan kata ‘tidak’? Apakah karena ‘bawah sadar’ saya punya penolakan atau ketakukan terhadap kata ‘tidak’ ini?

Well… mungkin kalau Freud masih hidup dia bisa kasih analisis panjang lebar tentang hal ini. :-)