Latihan Darurat Kebakaran dan Evakuasi Total

Kemarin di gedung kantor saya ada latihan evakuasi total bahaya kebakaran. Yah... ini pasti gara-gara sekarang sedang banyak ancaman bom di negeri ini. Menurut teman saya, sebelum ini juga pernah dilakukan latihan sejenis yaitu waktu pasca kerusuhan 1998.

Sebenernya gak terlalu capek sih turun tangga 15 lantai (gak tahu deh kalau yang dari lantai 35, gimana rasanya ya..?). Cuma sedikit 'feeling dizzy' juga ngelihatin tangga terus selama turun. Banyak juga yang memilih untuk tidak ikut latihan dan menghilang dulu sebentar dari kantor. Tapi karena beberapa alasan di bawah ini saya memilih untuk ikut:
  • Ingin tahu... karena belum pernah.

  • Ingin tahu: tangga darurat gedung kantor saya berujung di mana ya? Selama 3 tahun ini gak pernah tahu, coba ya...

  • Itung-itung olahraga turun tangga.. udah lama gak pernah olahraga

  • Jadi ingat waktu kuliah Utilitas di Arsitektur dulu, waktu kita sedang membahas tentang fire protection. Dosen saya pernah bilang bahwa highrise building di Indonesia sebenarnya sudah banyak yang menerapkan standar fire protection utility pada perancangannya, tapi maintenance-nya rendah sekali. Apalagi manusianya, baik pengelola gedung maupun pemakainya, bodoh dan pemalas: gak ngerti bagaimana menggunakannya, boro-boro latihan evakuasi!!! Saya kan gak mau dicap bodoh dan pemalas... he..he..
Yang pasti: waktu latihan kita semua bisa tertib menunggu instruksi.. kalau pas lagi kebakaran beneran, apa bisa ya????

Seperti Sekolah Totto Chan

Keponakan saya, Luthfi, sangat beruntung punya ibu (my Sis) yang pernah membaca, menyukai, dan mengangankan sebuah sekolah seperti di kisah Totto Chan. Ia juga beruntung ketika saatnya ia masuk sekolah dasar, di sini telah ada sekolah yang menyerupai sekolah Totto Chan. Luthfi, sekarang duduk di kelas tiga di Sekolah Alam, yang berlokasi di daerah Ciganjur, Depok.

Saat saya pertama kali menemani ke sana 3 tahun yang lalu, saya langsung menyukainya. Bangunan sekolahnya adalah beberapa rumah panggung dari kayu beratapkan rumbia. Tidak ada ruang kelas yang formal dengan kursi dan meja belajar, sepertinya murid-muridnya belajar sambil duduk lesehan di lantai kayu. Halaman rumput sekolah sangat luas, bahkan di belakang masjid sekolah ada sepetak sawah kecil. Sekolah ini juga dilewati sebuah sungai kecil dengan jembatan kayu yang harus dilewati murid-muridnya untuk menuju ke kelas. Ada pula sebuah tebing yang dipergunakan untuk berlatih kegiatan panjat-memanjat. Secara fisik sekolah ini cukup mewakili impian saya akan sekolah Toto Chan, dan ternyata Luthfi pun menyukainya dan tidak menginginkan pilihan sekolah yang lain.

Saya tidak terlalu mengetahui dengan detail bagaimana metode belajarnya dilakukan. Namun ada satu hal yang mengganjal yaitu sampai saat ini Sekolah Alam ini belum mengantongi izin dari Depdiknas, karena metodenya yang mungkin dinilai aneh (untuk hal ini saya selalu membesarkan hati my luvly sister, bahwa ini bukanlah hal yang terpenting). Sekolah ini pernah mencoba memadukan kurikulum mereka dengan kurikulum Depdiknas. Namun saat ini, guru bersama-sama orang tua murid, telah memutuskan untuk benar-benar menerapkan kurikulum mereka saja, yang menurut mereka merupakan yang terbaik untuk murid-murid. For the sake of the children!!

Satu hal yang saya tahu pasti saya sukai dari sekolah ini, yaitu sekolah ini tidak materialistis, tidak seperti sekolah-sekolah alternatif lain yang kini mulai menjamur di Jakarta. Sekolah Alam ini juga memberikan kesempatan untuk anak-anak di lingkungan sekitar yang tidak mampu untuk bersekolah di sini. Mereka juga sangat membatasi ekspansinya dan tidak berpromosi. Mereka sepertinya sangat sadar, ada sebuah skala optimum yang harus dijaga agar dapat mempertahankan kualitas.

Totto Chan

Salah satu buku yang selalu menjadi “all time favorite” saya adalah buku ini. Totto Chan - Gadis Kecil di tepi Jendala, begitu judulnya dalam terjemahan bahasa Indonesia. Buku ini pertama kali saya baca ketika saya masih berusia kurang lebih 14 tahun . Sejak pertama kali membaca saya sudah sangat menyukainya, lebih tepatnya saya senang memimpikan diri saya seberuntung si gadis kecil Totto Chan.

Totto Chan, sebuah kisah nyata, berkisah tentang seorang gadis kecil Jepang di masa menjelang perang dunia kedua, yang sangat beruntung. Totto Chan beruntung karena mempunyai seorang ibu yang percaya bahwa gadis kecilnya sebenarnya bukan anak nakal yang mengganggu pelajaran di kelas sehingga harus dikeluarkan dari sekolah. Totto Chan beruntung karena ibunya kemudian memasukkannya ke sebuah sekolah yang sangat unik.

Totto Chan akhirnya bersekolah di Tomoe, sebuah sekolah yang ruang kelasnya dibuat dari bekas gerbong kereta api. Di sekolah ini, murid-muridnya bisa mulai mengerjakan pelajarannya hari ini dengan apa yang disukainya terlebih dahulu. Di sekolah ini, seorang petani adalah guru, karena dialah yang paling tahu tentang tanaman dan cara berkebun. Di sekolah ini acara berjalan-jalan adalah hal yang selalu dilakukan apabila murid-murid bisa menyelesaikan seluruh pelajaran sebelum waktunya. Di sekolah ini syarat bekal makanan adalah satu macam “yang dari gunung “ dan satu macam lagi “yang dari laut”, dan murid-murid menikmati bertukar makanan sambil belajar apa yang dari gunung dan apa yang dari laut. Di sekolah ini, murid-murid dianjurkan memakai pakaian terjelek yang mereka punya, karena pakaian yang bagus akan segera menjadi kotor di sini. Di sekolah ini semua anak tidak sabar untuk kembali ke sekolah esok harinya. Hhmh.. benar-benar sebuah sekolah impian.

Totto Chan juga beruntung mempunyai seorang kepala sekolah, Bapak Kobayashi, yang sangat percaya bahwa setiap anak memiliki potensi dan bahwa cara mendidik anak yang terbaik yaitu dengan memberikan kebebasan dalam berekspresi. Ada sebuah cerita yang sangat bagus, yaitu ketika dompet kesayangan Totto terjatuh dalam sebuah septic tank. Totto kemudian memutuskan untuk mencari dompetnya itu dan menggali tumpukan kotoran di septic tank tersebut!! Pak Kobayashi, menyaksikan semua itu hanya berkomentar, “Nanti kalau sudah selesai, dirapikan kembali ya…”, tanpa memarahi atau menegur sama sekali. Totto walaupun akhirnya tidak dapat menemukan dompetnya, memenuhi janjinya untuk membereskan kotoran tersebut.

Totto Chan memang adalah anak yang unik. Dulu di sekolahnya yang lama, ia suka memanggil pengamen atau berbicara dengan burung dari balik jendela kelas ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Dia sangat impulsive. Dia suka meloncat pada sesuatu yang dianggapnya menarik tanpa pertimbangan, bahkan ia pernah loncat ke dalam adukan semen di jalan. Namun Totto Chan anak yang baik, ia selalu membela dan membantu temannya yang lebih lemah. Sebuah pertanyaan pasti tersirat, bila ibunya dulu tidak memindahkannya ke Tomoe, akan jadi apa Totto Chan ketika dewasa? Yang jelas, Totto Chan kemudian tumbuh dewasa dengan berbekal kenangannya selama dua tahun di Tomoe – sekolah ini memang kemudian hancur oleh serangan pesawat pembom. Totto Chan dewasa adalah Tetsuko Kuroyanagi, seorang presenter televisi yang terkenal di Jepang.

*********
Buku Totto Chan ini pun pernah dibahas oleh Goenawan Mohamad, seorang penulis Indonesia yang sangat kaya dengan referensi. Saya kaget ketika membaca mengenai Totto Chan di salah satu buku kumpulan Catatan Pinggir-nya. Ketika itu saya mungkin sudah kuliah dan sudah agak melupakan cerita Totto Chan ini, karena bukunya juga sudah hilang dipinjam, tidak dikembalikan oleh entah siapa. Saya merasa sangat tersanjung buku yang sangat sukai, ternyata juga dibaca bahkan dibahas oleh penulis yang juga sangat saya kagumi.

Judul Buku: Totto Chan, Gadis Kecil di Tepi Jendela
(Totto Chan, The Little Girl at the Window)
Pengarang : Tetsuko Kuroyanagi

Luck, Choice of Life, Destiny, or What?

Seorang sahabat kemarin menelepon:
Teman: Ninoy.. Happy belated Birthday!!
Saya : Kok telat sih....? (sambil setengah ngambek)
Teman: Sorry... gue baru aja nyampe.
Saya : Dari mana lagi?


Untuk mempersingkat... Sahabat saya itu baru saja tiba dari perjalanan hampir 1 bulan di Afrika. Minggu depan ia akan ke suatu tempat di Selatan Perancis. Sahabat saya memang bekerja sebagai seorang aktivis lingkungan hidup (he..he.. she never like this title) di sebuah NGO. Saya paling suka mendengar cerita-cerita dari sahabat saya ini, karena buat saya kadang mendengar cerita darinya seperti membaca kisah petualangan saja.

Buat saya pengalaman hidupnya cukup bikin iri hati. Bagaimana tidak? Kami berteman sejak masih duduk di SMP; namun perjalanan hidup, pilihan-pilihan yang kami buat, dan nasib (tentunya) membuat kehidupan saya dan sahabat saya ini bagai bumi dan langit. Di usia 29 tahun ini, hidup saya sudah terjebak pada kehidupan rutin "pergi pagi pulang menjelang malam" pekerja kantor di Jakarta. Di malam hari saya memanfaatkan semua waktu yang tersisa untuk dapat menunaikan peran sebagai "a half time mother". Sahabat saya sebaliknya, kehidupan pekerjaannya sangatlah menarik. Namun di lain pihak ia sudah mulai resah. "Her biological clock" sudah mulai memanggil, sementara belum juga ditemukannya "the other half".

Sigh..kita memang harus bersyukur dan berbahagia dengan kehidupan yang kita jalani. Saya pun takkan pernah mau menukarkan kebahagiaan saya saat ini dengan kehidupan siapa pun juga.

Anthony De Mello



Baru hari ini saya tahu pengarang dari sebuah cerita yang telah saya ketahui sejak saya duduk di bangku SMP. Boneka Garam, sebuah cerita pendek menyerupai dongeng, secara tidak sengaja saya dapatkan dari seorang kakak. Cerita ini langsung mengobsesi pikiran saya sebagai seorang anak SMP yang masih bingung dengan jati dirinya (sampai sekarang juga masih), dan langsung masuk buku harian tentunya.

Hari ini, thanks to internet technology, saya akhirnya tahu siapa pengarangnya. Adalah Anthony De Mello yang menuliskan cerita ini dalam bukunya Burung Berkicau (The Song of the Bird). Anthony De Mello adalah seorang biarawan Katolik dari India, meninggal pada tahun 1987.

Saya adalah seorang muslim, ternyata selama ini mengagumi sebuah karya seorang biarawan. "Wisdom" memang tidak mengenal batas agama.


Boneka Garam
Sebuah boneka garam berjalan beribu-ribu kilometer menjelajahi daratan, sampai akhirnya ia tiba di tepi laut.
Ia amat terpesona oleh pemandangan baru, massa yang bergerak-gerak, berbeda dengan segala sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.
'Siapakah kau?' tanya boneka garam kepada laut.
Sambil tersenyum laut menjawab:
'Masuk dan lihatlah!'
Maka boneka garam itu menceburkan diri ke laut. Semakin jauh masuk ke dalam laut, ia semakin larut, sampai hanya tinggal segumpal kecil saja. Sebelum gumpalan terakhir larut, boneka itu berteriak bahagia: 'Sekarang aku tahu, siapakah aku!'


A link to another writings by Anthony de Mello in Bahasa Indonesia.

Googlism

Googlism.com will find out what Google.com thinks of you, your friends or anything!

I just find out another amazing thing on Google. It's called Googlism. Let's check!

Who am I ? Who is Ninoy?
(wah.. ternyata semuanya tentang ninoy aquino)
ninoy is a looming giant in our struggle for freedom and democracy
ninoy is my hero
ninoy is in perfect happiness in heaven
ninoy is typical kapampangan always in a hurry
ninoy is a political blasphemy
ninoy is about to rise from the grave to give you and kris the boot
ninoy is enough for me
ninoy is led by goverment officials through airport lounge and waiting plane to the us
ninoy is still correct even unto this day
ninoy is still alive
ninoy is a graduate of university of the philippines college of fine arts and he started out in advertising
ninoy is a big insult to aquino's martyrdom

what google think about jakarta
(Ternyata Jakarta ngetop juga di google....ada lebih dari 80 entry untuk jakarta, gue pilih beberapa aja yang menarik)
jakarta is high on octane
jakarta is a mean
jakarta is safe
jakarta is tense
jakarta is a city of some ten million inhabitants
jakarta is a true melting pot of culinary tastes
jakarta is a city of contrasts; the traditional and the modern
jakarta is the capital and largest city of the southeast asian nation of indonesia
jakarta is not different from cities all over the globe
jakarta is a city of many facets and each facet is as much fascinating as is the other
jakarta is capital of indonesia provide with various problem including wild animal accumulated problem
jakarta is going to be ready for the corrs fans
jakarta is 20 hours 20 minutes and to bali is 22 hours 15 minutes
jakarta is an incongruous mixture of gleaming tower blocks
jakarta is unable to deal with all its garbage
jakarta is convenient
jakarta is an apache umbrella project that includes 3 subprojects related to jsp and servlet technology
jakarta is the most expensive city in indonesia
jakarta is home to many multinational
jakarta is an architect
jakarta is facing more and more headache for parking
jakarta is a city that has learned tolerance like few others in asia
jakarta is running
jakarta is a black and white city
jakarta is mortally wounded

Sayangnya nama panjang gue Kurniati Rahmadini gak ada di google. Hiks

Haloscan

Hari ini gue nambahin chater box dan ganti fasilitas commenting dari enetation jadi haloscan. Udah itu doang.... Kagak nulis juga heehehe

Fairground Attraction

Fairground Attraction? Benda apaan sih tuh? He.. he.. Mungkin jarang sekali orang yang tahu bahwa ini adalah sebuah grup musik dari Inggris di awal dekade 90 (atau akhir 80?). Jangankan di Indonesia, mungkin di negara asalnya sendiri banyak yang gak tahu, karena sekarang grup ini sudah tinggal sejarah.


Kok gue bisa tahu? Perkenalan pertama gue dengan grup musik ini adalah di era RCTI masih pakai dekoder (ada yang ingat tahun berapa tepatnya?). Waktu itu video klip jadi tontonan yang "wow". Salah satu video klip yang cukup sering ditayangkan adalah dari grup musik ini. Lagunya adalah Perfect dan Find My Love, baru belakangan gue tahu memang ternyata jadi hits di Inggris pada waktu itu. Musiknya cukup impressive (buat gue dan kakak-kakak gue waktu itu), sehinggga akhirnya kakak gue beli kasetnya. Setelah beli kasetnya, we really falled in love with this group... and for me.. I still do.

How should I describe their music...? I'll try... though I'm never good in critics.

  • Musiknya ringan dan riang... refreshing... Gue sangat menikmati just by humming their song, atau dinyanyiin dengan teriak-teriak di kamar mandi atau di mobil di tengah kemacetan Warung Buncit:-)... Enak dinyanyiin sambil jalan sambil lompat-lompat (?) ..bahkan enak untuk dipakai untuk menari-nari sendiri di kamar... :-)

  • Liriknya beberapa lugas, beberapa puitis, kadang-kadang nakal, temanya juga cukup luas. Yang paling banyak sih memang tema cinta (jatuh cinta, first kiss, patah hati, jomblo etc). Tapi ada juga tema sosial (perang, krisis ekonomi). Ada beberapa yang liriknya diambil dari puisi kuno Inggris, kata-katanya masih paka bahasa Inggris Kuno, seperti Ay, Thee.. etc.. gue kagak ngerti dah. Terus ada 1 lagu yang benar-benar lucu, yaitu tentang kucing, namanya Clare, yang making love di atas roof top.. he..he..he..

  • Musiknya kaya. Musiknya ada unsur jazznya, ada beat popnya, banyak unsur akustik, ada nuansa folknya (celtic), bahkan ada yang iramanya waltz!! Alat musik yang mereka pakai utamanya: gitar elektrik, gitar akustik, Mexican acoustic bass, drum, dan perkusi. Di beberapa lagu dibantu dengan accordian, piano, harpa kecil, trumpet, trombone, mandolin, clarinet, harmonica, tuba, vibraphone, glockenspiel (what's this?). waw.... asyik kan?

  • Vokalnya ..... amazing. Nama vokalisnya Eddie Reader. Vokalnya impressive: sangat expressive dan penuh emosi. Gak bisa komentar banyak untuk yang satu ini, sangat disarankan untuk mendengar sendiri....

  • Last but not Least: Ever Lasting. Gue gak pernah bosan... bahkan sampai sekarang...

Gue pernah punya dua albumnya yang pernah beredar di Indonesia The First of a Million Kisses dan Ay Fond Kiss. Tapi yang pertama hilang... hiks (ada yang masih punya gak...? gue pengen copy doong:-)). Album yang tertinggal sebenarnya udah lama gak gue dengerin. Gue mendadak inget lagi gara-gara bulan lalu iseng dengerin HardRock FM, si Indra (penyiar baru GMHR, yang gantiin Farhan) memutar lagu Perfect dan dia bilang kalau dia fans berat grup musik ini. Wah.... gue punya teman juga nih ternyata....

Wanna know what other people think about them? Check what they said on Amazon.com. Wanna visit a fan's site? Check this one. It has a very good overview of this group. Wanna sneak out the lyrics? Here. Wanna hear some of the song? Check out here or on Amazon free sample (you'll need Real One Player)

My Condolences for Bali

i want to hear a commedy waltz tonight...
i've heard the news and it's always the same...
never any laughs just trouble again...
i want to hear a commedy waltz tonight...

- a song by Fairground Attraction

I don't read newspaper for Bali Tragedy, because it will only give me a pressure. I don't want to care at all about all the conspiracy theories behind the accident. Here, I just want say my condolences to all those killed and injured, with any nationalities, as well as the families whose left behind. Also for all Ballinesse people who might lost their earnings, their jobs, from now being. Also for Indonesia, as a country - not the government, for having another trial and hardship.

There can be no excuse or justification. Just sorrow and pain.

Today's Update

Hari ini nambahin Search Engine (powered by Freefind). He..he..kayak isinya bakal banyak aja sampai perlu search engine segala.

Update

Hari ini nambahin Guestbook pakai signmyguestbook dan fasilitas comment pakai enetation
Hayo... dicoba... dicoba....

Sebuah Pertanyaan tentang Hidup

Another writing from the past........ just a fluttering thoughts of life

“Bagaimana kamu akan menjalani hidupmu esok hari, Ninoy?”
Sebuah pertanyaan yang kayaknya harus segera kamu pikirkan jawabannya. Mau apa kamu? Itulah masalahnya….


Hidup itu apa sih sebenarnya? Yang gue tahu, hidup itu penuh dengan pilihan. Tapi apakah 'hidup dengan pilihannya' itu seperti "one way ticket”, sekali kita memilih kita tidak bisa (atau tidak boleh) kembali ke titik awal? Atau hidup itu sebenarnya “trial and error” , coba dan coba lagi sampai akhirnya ketemu yang benar, yang cocok, yang pas? Kalau benar hidup itu “trial and error”, sampai kapan kita harus mencoba sampai akhirnya bisa menemukan yang benar itu? Apa gak buang-buang waktu? Kalau salah terus gimana? Gak ketemu-ketemu juga yang benar, sampai mati.

Tapi mungkin sebenarnya hidup itu bukan “one way ticket” bukan juga “trial and error”. Mungkin bisa sekaligus kedua-duanya, atau bukan kedua-duanya, atau bisa juga keduanya bergantian dijalani. Mungkin juga. Atau sebenarnya tergantung orang yang menjalaninya, jadi bukan suatu definisi yang bersifat universal.

Ada orang yang menganggap bahwa hidup itu seperti one way ticket. Begitu dia memutuskan sesuatu, tidak ada istilah salah dengan pilihan atau keputusannya itu. Tidak ada rumusan menyesal dalam kamusnya. Baginya hidup itu pendek. Hidup itu terlalu singkat, sehingga tidak ada waktu untuk kembali. Yang dilakukan adalah menjalani hidupnya, sesuai dengan pilihan-pilihan yang telah diputuskannya, dengan sebaik-baiknya. Yang harus dia kerjakan adalah memberi makna bagi kehidupannya yang telah ia pilih itu. Toh, di dalam pilihan hidupnya itu, ia juga akan dihadapkan pada pilihan-pilihan lagi. Nah, kembali lagi ke pilihan-pilihan itu, bukankah sebenarnya melaju terus atau kembali juga merupakan suatu pilihan? Bingung kan lu, Noy? Benar-benar lingkaran setan.

Sekarang yang satunya lagi, yang trial and error. Gue misalkan hidup itu seperti sebuah proses kerja, atau apa itu namanya… ehm… metoda ilmiah kali, yach? Atau proses kerja tertutup? Terserah deh apa namanya, gue lupa. Tapi yang jelas pada bagannya selalu ada loop yang kembali, sebagai suatu umpan balik. Kalau gue misalkan hidup seperti itu, sebenarnya sih sama sekali bukan trial and error murni. Setidak-tidaknya untuk memulai mencoba kembali seseorang sudah punya bekal pengetahuan bahwa apa yang sudah dikerjakannya kurang tepat atau salah. Boleh juga, hidup kayak gini. Mungkin ini hampir seperti istilah mundur satu langkah untuk maju dua langkah… (kalau bisa seratus langkah.. he.. he..)

Hidup seperti cerita Boneka Garam itu sebenarnya bisa dikategorikan kemana yach? Ceritanya kan dia berjalan-jalan keliling dunia, sampai akhirnya dia ketemu laut yang sangat mempesonanya, lalu yang akhirnya memanggilnya untuk terjun ke dalamnya, sampai akhirnya dia larut dengan bahagia karena bisa menemukan jati dirinya. He… he… sebuah cerita dongeng yang sangat ingin gue percaya bisa terjadi pada diri sendiri. Cerita yang sangat mengobsesi gue. But, is it in ‘one way ticket’ or ‘trial and error’ category? Susah untuk dikategorikan. Tapi mungkin kalau gue rekayasa ceritanya, gue bumbu-bumbuin lagi sedikit di bagian perjalanan si Boneka Garam keliling dunia – sebelum bertemu laut – mungkin bisa dimasukkan ke kategori trial and error. Misalkan dia berjalan-jalan sampai di gunung, “Yup, this is not my place” kata si Boneka Garam. Terus dia turun gunung, jalan terus sampai ke gurun pasir, juga dengan kesimpulan “It isn’t either!” (si Boneka Garam, dari garam Inggris kali yach?…). Lalu dia jalan lagi sampai akhirnya ketemu laut. Kan jadi ceritanya bisa dibilang trial and error.

Tapi kalau saja -- misalkan – dia ketemu sungai atau ekstrimnya sebuah sumur. Terus dia nyemplung, plung!!, ke dalamnya. Dia sebenarnya pasti larut juga, tapi gak sampai ke penemuan hakikat ke-garam-annya itu. Gimana dong? Eh.. tapi bisa juga sih.. kan hukum alamnya siklus air, akhirnya lewat laut juga, sehingga si Boneka Garam yang nyemplung di air sumur, akhirnya bisa juga ketemu rekan-rekannya sesama partikel garam di laut. Berarti dengan nyemplung di air sumur itu, dia sudah berada di arah yang lumayan benar. Cuma jadinya cerita Boneka Garamnya jadi panjang dan ngawur.. he.. he.. Yap, cerita Boneka Garam versi gue ini, bisa digolongkan ke hidup jenis trial and error juga.

Tapi kayaknya gak akan menjawab masalah gue deh kalau gue gak mencoba mengaplikasikannya ke kehidupan gue sendiri. Sekarang gue coba, deh.

Lima tahun yang lalu, gue dihadapkan dengan pilihan, mau sekolah apa gue, dan gue sudah pilih (walaupun dengan pertimbangan yang sekarang gue nilai sangat dangkal) Gue sudah pilih: Arsitektur. Lima tahun gue jalani dengan pikiran: “This is not the very right place for me, I can’t be optimal here”. Tapi toh, akhirnya gue bisa melewati masa-masa itu dengan hasil yang gak jelek-jelek amat, lumayan malah. Ternyata gue bisa survive juga… Apa standar optimal gue itu terlalu muluk? Atau bahkan gue gak tahu standar optimal gue itu seperti apa, sampai di mana? Mungkin juga begitu. Kalau gue ditanya seseorang, “Elu bilang, elu gak cocok di arsitektur: terus menurut elu, lu cocoknya di mana? He..he.. gue pasti bilang, “Gak tahu!” “Terus elu maunya apa?” Gue pasti jawab, “Gak tahu juga!”. Ditanggung orang yang nanya pasti sebel. Gue juga sebel kok.

So, Ninoy… elu maunya apa? Sekarang elu sudah sampai lagi di suatu titik, elu harus memutuskan elu mau apa, mau ke mana, mau ngapain...

Setelah gue pikir-pikir, mungkin, filsafat one-way ticket itu lebih cocok buat gue. Terbukti dari lima tahun yang sudah gue jalani di Arsitektur, dan akhirnya survive juga. Untuk selanjutnya, kayaknya gue gak punya cukup keberanian untuk banting stir, karena gue gak dimodalin dengan pengetahuan tentang apa mau gue sebenarnya, mau banting stir kemana, ke kiri atau ke kanan? Itu cuma dua pilihan. Kalau disuruh memutuskan berapa derajatnya sehingga alternatif pilihannya jadi tambah banyak, wah tambah gak tahu gue…. Toh, setelah lima tahun ini, gue jadi bisa yakin bahwa gue punya kemampuan untuk beradaptasi yang lumayan. Keyakinan ini bisa jadi modal juga kan, untuk terus aja maju. So with anything you’ve chose, make it worthy. Just do the best with the life that you’ve chose!

“Hidup mengalir seperti air” , kata si Seno Gumira. Elu berpikir itu terlalu pasif, Noy? Terlalu ‘gak ngapa-ngapain’ dan tergantung aliran air? Ah, gak juga kok. Selama airnya masih mengalir, kan berarti bergerak. Dinamis juga, kan?

“Hidup itu gak pernah pasti: Gak ada yang pasti dalam hidup, kecuali ketidakpastian itu sendiri”. Pernyataan itu juga gak sepenuhnya pesimistik. Malahan bisa jadi alasan untuk optimis: Kalau benar gak ada yang pasti dalam hidup, berarti gak ada alasan untuk takut memilih. Toh, selalu masih ada kesempatan untuk balik. Bahkan kalau elu memilih one way ticket itu, juga gak berarti elu gak bisa memilh yang trial and error. Itu juga suatu pilihan kan?

Sebenarnya one way ticket, trial and error, mengalir seperti air, atau hidup seperti cerita Boneka Garam, kayaknya sama aja semua. Hidup itu pilihan, hidup itu berarti memilih, berarti mencari terus. Karena memilih dan mencari itulah, manusia bisa dibilang hidup. Soalnya manusia yang sudah mati, gak lagi bisa melakukannya.

Dan buat seorang Ninoy yang gak punya ambisi tertentu yang besar, yang gak pernah tahu maunya sebenarnya apa, tapi juga gak pernah merasa puas sekali dengan hidupnya, kayaknya gak akan pernah ketemu yang namanya laut seperti lautnya si Boneka Garam. Sepertiya justru seharusnya gue beranggapan, kalau gue sudah menemukan lautnya gue, berarti yang namanya perncarian sudah selesai, yang berarti selesai pula yang namanya kehidupan itu. ‘Laut’ itu yang harus dicari, tapi hakikat kehidupan itu sendiri ada pada pencariannya.

Yap… kesimpulan yang cukup melegakan? Mudah-mudahan… Tapi gak menutup kemungkinan untuk terjadi perubahan pandangan dan adanya kesimpulan baru -- selama gue masih hidup.

Bandung, 20 Juli 1997

Ada Apa dengan Cinta

Waahhh... telat banget yah gue baru nonton AADC semalam :-) But still better late than never to watch a nice movie like AADC. Komentar gue, BAGUS. Filmnya ringan, entertaining, castingnya tepat dengan karakter tokoh, Dian Sastro mainnya bagus, Nicholas Saputranya coool.... :-)

Gue sih gak akan mecoba nulis kritik film di sini, soalnya gue gak bakat jadi kritikus... Lagian pasti udah banyak yang nulis kayak gini. Coba aja search di google, pasti banyak deh. Bahkan ada yang membahas dari sisi marketingnya. Gue akuin memang Miles Production jago dalam marketing dan promosi film-film produksi mereka. Petualang Sherina dan AADC sudah 'heboh' jauh sebelum nongol di bioskop.

Salut juga buat angkatan perfilman Indonesia sekarang. Coba lihat, mereka begitu 'yakin', segala upaya mereka lakukan buat kebangkitan dunia film kita. Dari Jiffest sampai Festival Film Independent, semuanya bikin kita 'melek' bahwa film bukan cuma Hollywood dan Bollywood. Bahkan dengan acara FTV (acara banci: setengah sinetron-setengah film) para penonton TV kita diajari bahwa acara sinetron negeri sendiri bisa juga berkualitas. Gue juga lihat dengan FTV ini, mereka pelan-pelan bisa unjuk gigi bahwa mereka bisa buat film bagus. Hebat, mereka sadar : Banyak jalan menuju Roma. Sekali lagi, SALUT!

Oya.. barusan intip official sitenya AADC. Keren juga. Niat. Bagian dari promosi pasti.

CERPEN: Boneka Garam

memulai blogger baru ini, hari ini.... cerita di bawah adalah cerpen pertama gue (dan satu-satunya yang selesai sampai saat ini.. he..he..), inspired by my obsession of "boneka garam' story. silahkan dibaca, boleh dikritik... uhmm... but please consider that i'm just a beginner, your critics might kill this new 'seed' :-)

BONEKA GARAM

Andini pusing. Anaknya Mita, sedang mengajukan aksi mogok. Sepanjang hari, sepulang sekolah, ia mendekam saja di dalam kamarnya. Menolak untuk pergi les biola seperti yang biasa dilakukannya setiap Selasa dan Jumat. “Mita, hayo siap-siap.. Sudah jam setengah empat, nanti kamu terlambat lesnya.” Panggil Andini sambil mengetuk kamar anaknya.

“Gak mau les, ah…! Males…!” teriak Mita dari dalam kamar.
“Kamu kan sudah tidak les Selasa kemarin. Hari ini les dong. Kalau nggak les lagi, nanti gak bisa jago, lho.”
“Mita bosen! Mita pengen berhenti aja, Ma..!”

Andini akhirnya membuka pintu kamar anaknya yang ternyata tidak dikunci. Dilihatnya Mita sedang berbaring menelungkup di tempat tidur. Tangannya sedang memegang komik Asterix kesayangannya.
“Lho Mita.. Kok tiba-tiba kamu ingin berhenti les begitu. Ada apa, sih? Cerita dong, sama Mama.” Mita diam saja, tidak menyahut.

Andini duduk di tempat tidur sambil bertanya, “Kenapa? Apa gurunya galak?” Mita berbalik menghadap ibunya dan menggeleng. “Lalu kenapa? Mita lagi gak enak badan?, tanya Andini lagi sambil meraba kening anaknya. “Nggak! Mita bosen. Abis susah banget, sih! Mita gak bisa-bisa!”
“Lho, mita gak boleh gitu dong! Mita kan memang baru tiga bulan belajar biolanya. Justru supaya cepat bisa, Mita harus rajin-rajin latihan.”
“Mama kok maksa, sih! Pokoknya Mita gak mau les lagi”
“Mama gak memaksa. Dulu kan kamu sendiri yang mau belajar biola, terus minta biola untuk hadiah ulang tahun yang kedua belas kemarin. Baru tiga bulan belajar sudah mau berhenti. Tahun lalu kamu juga ingin ikut Marching Band. Eh, baru sebentar belajar, terus bosan. Kamu gak boleh cepat menyerah begitu."
“Pokoknya Mita gak mau dipaksa-paksa. Mita mau berhenti!”, teriak Mita. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Yah, sudahlah, terserah Mita…! Mama tidak akan memaksa”.

Andini akhirnya menyerah. Ia keluar dari kamar anaknya sambil menghela napas. Ia bingung menghadapi anaknya yang semata wayang ini. Mita selalu begitu. Cepat tertarik dengan suatu hal, tetapi cepat pula merasa bosan. Padahal ia merasa bahwa ia sudah memberikan kebebasan pada anaknya untuk memilih hal-hal yang disukainya. Kalau ia hendak menuruti keinginannya pribadi, tentu ia akan memaksa Mita untuk belajar tari di sanggar yang dilatihnya sendiri. Tapi ia tidak pernah memaksakan keinginannya tersebut, sejak ia lihat Mita ogah-ogahan dilatihnya.

Pusing memikirkan Mita, Andini berbaring di tempat tidurnya sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum. Aksi mogok Mita mengingatkannya pada diri sendiri ketika ia masih sangan kecil, kira-kira baru tujuh tahun. Waktu itu ia mogok menari, dan ia menangis karena merasa dipaksa oleh ibunya. Persis seperti Mita saat ini.

***************

Pikirannya pun melayang ke peristiwa yang terjadi hampir tiga puluh tahun yang lalu. Ia ingat ketika itu, ketika ia menangis, ayahnya menyuruhnya duduk di sebelahnya dan Andini kecil pun menurut. Ayahnya kemudian berkata, “Dini, ayah punya cerita bagus. Tapi kamu harus berhenti menangis dulu”, kata ayahnya sambil mengusap airmatanya. “Mau dengar, kan?, tanya ayahnya.

Tanpa menunggu persetujuannya, ayahnya meneruskan, “Ceritanya tentang sebuah boneka yang terbuat dari garam. Nah, boneka garam ini suatu hari pergi berjalan-jalan, jauuuuh sekali, menjelajah dunia. Akhirnya ia tiba di tepi laut. Kamu sudah sering lihat laut dan kamu masih senang kan kalau kita jalan-jalan ke laut?” Andini kecil sudah berhenti menangis dan ia mengangguk. “Nah berbeda dengan si boneka garam, ia belum pernah lihat laut. Baginya laut itu pemandangan baru yang luar biasa. Ia sangat terpesona dengan laut yang begitu luas dan biru, dengan ombak yang bergerak-gerak ke tepi pantai. Baginya laut berbeda dengan segala sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.” Andini kecil mulai tertarik pada cerita ayahnya.

“Lalu dengan rasa penuh ingin tahu, si boneka garam bertanya kepada laut, ‘Siapakah kau?’ tanyanya. Mendengar pertanyaan dari boneka garam tersebut, laut tersenyum dan menjawab, ‘Masuk saja dan lihatlah sendiri!’. Kamu tahu apa yang dilakukan boneka garam itu setelah mendengar jawaban laut yang bisa bicara itu?”. Andini kecil menggeleng. "Boneka garam itu lalu menceburkan dirinya ke dalam laut. Karena ia terbuat dari garam maka ia pun larut. Semakin masuk ke dalam air ia pun semakin larut, sampai akhirnya tinggal segumpal saja, dan lama kelamaan ia benar-benar habis melarut. Tapi boneka garam itu tidak sedih, malah ia sangat bahagia. Kamu tahu kenapa ia bahagia”. Andini kecil menggeleng lagi. “Karena ia sebelumnya tidak tahu bahwa ia terbuat dari garam. Ia baru tahu hal itu setelah ia masuk dan larut ke dalam laut.”

Andini tersenyum. Betapa masih membekas diingatannya peristiwa itu. Sebenarnya pada waktu itu ia tidak langsung mengerti kaitan cerita ayahnya dengan keadaannya sendiri. Pada waktu itu ayahnya hanya mengatakan bahwa ia sebenarnya pandai menari. Pada dasarnya ia akui bahwa ia memang senang belajar menari bersama teman-temannya, dan menurut gurunya ia cukup pandai menari. Tetapi terkadang, sebagai anak kecil, ia sering merasa bosan. Ayahnya, pada waktu itu, mengumpamakan menari buat dirinya seperti laut bagi si boneka garam. Sama-sama suatu hal yang menarik dan menyenangkan. Ayahnya juga bilang, supaya ia bisa bahagia seperti boneka garam ia tidak boleh putus asa menari. Dengan cerita yang belum terlalu dimengertinya itu, ayahnya berhasil membujuknya untuk tetap menari. Setiap kali ia kembali merasa bosan, ayahnya mengingatkannya kembali dengan cerita boneka garam tersebut, “Katanya mau seperti boneka garam…”

Semakin dewasa, Andini semakin mengerti cerita ayahnya ini. Ia mengerti bahwa ia harus menemukan dirinya sendiri, dengan jalan menekuni dengan serius hal yang menarik baginya. Setelah mencoba berbagai hal baru yang menarik – menari, teater, dan sebagainya – ia menemukan bahwa saat-saat paling membahagiakannya adalah ketika ia menari. Bahkan kini, walaupun ia telah berkeluarga, menari tetaplah menjadi bagian dari hidupnya. Ah, betapa bijak ayahnya dulu.

****************

Andini kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan kembali menuju kamar Mita. Ia merasa harus membagi cerita tersebut dengan anaknya. Sesampai di kamar Mita, dilihatnya mata Mita masih merah akibat menangis. Andini pun duduk dan meraih kepala anaknya.

“Mita sayang, coba ke sini, dengar Mama sebentar. Mama tiba-tiba ingat cerita yang dulu pernah diceritakan kakekmu kepada Mama. Waktu itu Mama masih kecil sekali. Bahkan lebih kecil dari kamu. Waktu itu Mama juga sedang habis menangis karena merasa dipaksa latihan menari.” Mata Mita terbelalak tidak percaya, “Mama pernah menangis karena gak mau latihan menari?”
“Iya… Waktu itu kakekmu lalu bercerita tentang boneka garam. Kamu sudah pernah dengar?”. Mita menggeleng. “Ceritanya sih seperti dongeng saja, tapi bagus sekali. Ceritanya begini… Ada sebuah boneka yang terbuat dari garam, suatu hari ia berjalan-jalan mengelilingi dunia… jauh sekali ia berjalan…”

Bandung, 19 November 1996