Seperti Sekolah Totto Chan

Keponakan saya, Luthfi, sangat beruntung punya ibu (my Sis) yang pernah membaca, menyukai, dan mengangankan sebuah sekolah seperti di kisah Totto Chan. Ia juga beruntung ketika saatnya ia masuk sekolah dasar, di sini telah ada sekolah yang menyerupai sekolah Totto Chan. Luthfi, sekarang duduk di kelas tiga di Sekolah Alam, yang berlokasi di daerah Ciganjur, Depok.

Saat saya pertama kali menemani ke sana 3 tahun yang lalu, saya langsung menyukainya. Bangunan sekolahnya adalah beberapa rumah panggung dari kayu beratapkan rumbia. Tidak ada ruang kelas yang formal dengan kursi dan meja belajar, sepertinya murid-muridnya belajar sambil duduk lesehan di lantai kayu. Halaman rumput sekolah sangat luas, bahkan di belakang masjid sekolah ada sepetak sawah kecil. Sekolah ini juga dilewati sebuah sungai kecil dengan jembatan kayu yang harus dilewati murid-muridnya untuk menuju ke kelas. Ada pula sebuah tebing yang dipergunakan untuk berlatih kegiatan panjat-memanjat. Secara fisik sekolah ini cukup mewakili impian saya akan sekolah Toto Chan, dan ternyata Luthfi pun menyukainya dan tidak menginginkan pilihan sekolah yang lain.

Saya tidak terlalu mengetahui dengan detail bagaimana metode belajarnya dilakukan. Namun ada satu hal yang mengganjal yaitu sampai saat ini Sekolah Alam ini belum mengantongi izin dari Depdiknas, karena metodenya yang mungkin dinilai aneh (untuk hal ini saya selalu membesarkan hati my luvly sister, bahwa ini bukanlah hal yang terpenting). Sekolah ini pernah mencoba memadukan kurikulum mereka dengan kurikulum Depdiknas. Namun saat ini, guru bersama-sama orang tua murid, telah memutuskan untuk benar-benar menerapkan kurikulum mereka saja, yang menurut mereka merupakan yang terbaik untuk murid-murid. For the sake of the children!!

Satu hal yang saya tahu pasti saya sukai dari sekolah ini, yaitu sekolah ini tidak materialistis, tidak seperti sekolah-sekolah alternatif lain yang kini mulai menjamur di Jakarta. Sekolah Alam ini juga memberikan kesempatan untuk anak-anak di lingkungan sekitar yang tidak mampu untuk bersekolah di sini. Mereka juga sangat membatasi ekspansinya dan tidak berpromosi. Mereka sepertinya sangat sadar, ada sebuah skala optimum yang harus dijaga agar dapat mempertahankan kualitas.

1 comment:

Anonymous said...

waaaaaaaaaaah. jadi penasaran euy!! jadi ngiri dengan masa sekolah saya dulu huhuhuhuhu....