sekedar memberi tanda
akan lambaian tangan
atas empat tahun dua puluh hari yang telah berjalan
adakah yang tertinggal?


i'm officially out of free-internet-connection since today... ;)

Negeri di Atas Awan

Aku pergi ke timur, menyongsong matahari yang belum lama berangkat dari peraduan. Langit terlihat biru dari dalam sini (adakah benar biru, ataukah kaca jendela ini yang membiaskan biru?). Matahari masih jauh rendah dari sepenggalah, sinarnya membiaskan langit biru muda yang cantik di sepanjang horison. Makin ke atas makin tua birunya. Di antara gradasi birunya, semburat sutra putih yang halus menghampar seperti kabut tipis.

Di atasku, helai-helai cirrus berarak, seperti lapisan kapas tipis yang berlari melewatiku. Nun jauh tampak lembar-lembar pita putih dibentangkan, terkadang meliuk, di sepanjang cakrawala. Di bawah sana, daratan kadang tak tampak, tertutup lapisan dan gumpalan kapas putih yang lembut. Seperti sebuah padang salju di negeri yang sangat jauh dari katulistiwa bumi ini. Terkadang puncak-puncak gunung menyembul di tengah kerumun mega, seperti begitu saja muncul dari ketiadaan, di tengah-tengah ketiadaan. Menggoda imaji kanakku akan sebuah negeri di atas awan.

Lihat! Di padang putih sana ada segerombolan domba putih sedang digembalakan. Domba-domba cumulus berbaris rapi, seakan tahu padang ini cukup luas untuk mereka semua. Kini kutinggalkan padang putih dan domba putih, kumasuki sebuah negeri kabut. Langit masih biru di atasku, namun di seluruh sudut horison hanya kabut putih yang tampak. Putih, tipis, luas, penuh.

Perlahan daratan menyeruak di balik kabut. Sebuah suara tanda -- perintah untuk mengenakan sabuk pengaman -- mengusik satu jam perjalanan imajiku. Sudah saatnya kutinggalkan negeri di atas awanku. Mendarat kini aku di dataran realitas yang menyengat ini :)

Baru kali ini gw naik pesawat dengan penumpang cuma 4 orang saja! Hehehe... seru gila! Serasa naik pesawat pribadi ;)

sudah dua tahun

terkadang di dalam tidur lelapnya, kupandangi ia
dulu ia hanya sepanjang lenganku mungilnya
dulu bahkan mungil tubuhnya bisa melingkar di dalam tubuhku nyaman
kini ia terlelap di sisiku, separuh panjang tubuhku sudah

Sejenak Sepi

Ia selalu butuh sejenak sepi. Sekedar sepi, sejenak waktu untuk sendiri. Dan nyaris tak didapatkannya sepinya beberapa hari ini. Dirindunya sepi.

Itulah mengapa ia terkadang lebih memilih untuk tinggal sendiri di kamarnya. Tidak bercengkerama bersama teman-temannya, tidak berjalan-jalan menghabiskan waktu dengan berkeliling kota yang dikunjunginya itu.

Itulah sebabnya terkadang ia lebih memilih duduk sendiri di kamarnya, mematikan cahaya lampu, duduk dalam kegelapan, menatap pijar cahaya lampu kota di luar jendela kamarnya, sambil menghirup secangkir kopi.

Itulah sebabnya... karena ia selalu butuh sejenak sepinya.