Rheia

Aku menyukai namaku, seperti ibuku juga menyukainya. Rheia. Aku menyukai bunyinya. Suara yang dihasilkan oleh bergetarnya udara di rongga mulut. Bunyi rrreeeiii yang bergetar karena gerakan lidah pada langit-langit mulut. Ibu juga menyukai bunyinya. Ini kutahu, karena dulu sekali telah beratus-ratus kali kutanyakan sebab ia menamakanku demikian. Selalu dijawabnya,

Sebab Ibu menyukainya.

Sekali waktu aku menuntut jawaban yang lebih dari itu. Ibu lalu akan menambahkan,

Rheia. Namamu itu terdengar merdu…

Lalu terkadang aku akan kembali bertanya. Apa arti namaku?

Maka Ibu akan kembali bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan nama itu.

Namamu adalah nama seorang dokter di rumah sakit tempat kamu dilahirkan. Nama satu-satunya dokter perempuan yang ada di daftar nama dokter yang terpajang di ruang tunggu rumah sakit itu. Ibu tak ingat nama panjangnya. Tapi ibu suka sekali dengan nama depannya. Rheia. Berkali-kali Ibu mencoba mengucapkannya dengan berbagai intonasi. Bergumam, nada memanggil, bertanya, berseru… Tetap cantik. Rheia…reia... rreiyaa… Merdu bukan? Waktu kamu lahir, hanya nama itu yang muncul di benak Ibu. Maka namamu Rheia.

Aku menyukai namaku. Rheia. Makin menyukainya ketika nama itu kutemukan dalam sebuah buku yang kubaca ketika SD dulu. Buku mitologi yunani yang dipinjamkan oleh Bening.

Rheia. Rhea. Ibu. Bunda para dewa.

Dari sebuah laci: sepotong cerita yang belum dan entah kapan akan selesai...

Dari Suatu Pagi

Pagi. Terlambat bangun. Bergegas. Mengantuk.

Jalan sungguh padat. Ada anak laki-laki berseragam sekolah menggandeng sepedanya diseberangkan sang ayah. Sampai di seberang, tepukan di bahu, lambaian tangan, sepeda dikayuh pergi.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Berjejalan kendaraan di persimpangan jalan. Ada laki-laki pembawa arang. Mengayuh sepeda terselubung bungkusan arang, terjepit di antara mesin berderu penghasil asap.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Tak ada percakapan menarik dengan teman seperjalanan. Sama-sama bosan.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Membaca lembar-lembar yang masih harus dibaca. Mengingat-ingat apa yang perlu diingat. Mereka-reka apa yang akan direka.

Menguap.

Jalan sungguh padat. Satu setengah jam. Akhirnya... sampai juga.

*Cuma selingan dari suatu pagi yang biasa.

Dua Bocah Bergandeng Tangan

Pada suatu siang menjelang sore, seorang bocah laki-laki bermain sendiri di sebuah taman kota. Berlari secepat kilat menuruni tanah yang cukup terjal. Melompati perdu. Berbaring di rumput menatap langit. Mungkin berhayal jadi burung terbang. Atau mungkin pula sekedar bosan. Sudah sangat sering ia bermain di sana. Ia sudah hapal setiap tanjakan, turunan, celah perdu, pagar, kolam, rumput, debu, dan batu. Sore masih panjang. Orang masih ramai berlalu lalang. Sang ayah masih menjaja minuman ringan di depan taman.

Pada suatu siang yang sama di taman kota yang itu juga, seorang bocah laki-laki kecil lain baru tiba bersama ayah dan bundanya. Ia mulai bosan berada di dalam kendaran yang tersendat berjalan. Ia juga selalu suka halaman rumput yang luas. Karenanya ia pun segera berlari kecil menuruni taman. Menghambur ke arah rumput yang hijau. Meninggalkan ayah-bundanya.

maka dua bocah pun bertemu...

Awalnya ragu. Lalu mulai bersama berlari. Bertukar kata. Menaiki taman, tidak lewat tangga. Yang satu secepat kilat. Yang satu lagi riang tersendat-sendat, tidak terbiasa. Lalu turun kembali. Berlari melintasi rumput. Melompati perdu. Meloncati batu-batu. Yang satu bernyanyi dan menari-nari. Yang satu mengamati. Naik lagi lewat jalan memutar. Bergantian memanjat tonggak marmer yang menjelma jadi mainan seluncuran. Saling membacakan huruf-huruf di bawah tugu. Kelelahan, duduk minum bersama.

suatu sore
dua bocah bergandeng tangan
mendaki jalan setapak di taman
celoteh riang


* Untuk Aldi, teman baru Obin. Bertemu di Taman Ganesha, Bandung. Semoga suatu hari nanti bisa main bersama lagi.