CERPEN: SEPERTI DAUN GUGUR

oleh: Rahmadini
dimuat di Majalah Sekar edisi 103/13, 20 Februari- 6 Maret 2013

seperti daun gugur
Ada selembar daun gugur terbang di atas jalanan padat yang dilalui Mira sore ini. Daun kecoklatan itu melayang pelan dihembus angin yang tak terlalu kencang. Mira tersenyum. Semua akan baik-baik saja. 
 
Mira menghela napas perlahan dan menatap selembar daun kering lain yang sedang menari di atas kendaaraan di depannya. Sungguh pemandangan yang selalu disukainya. Daun-daun yang melepaskan diri dari ujung-ujung ranting. Mereka seakan sedang menarikan tarian yang begitu cantik. Tarian kebebasan.

Ya, semua akan baik-baik saja. 

Ada test-pack yang baru saja ia beli di dalam tasnya. Tak lama lagi ia segera akan tiba di rumah dan segala kekhawatirannya akan sirna.

Semua akan baik-baik saja.
----

Ketika Gun tiba, Mira masih terbaring di tempat tidurnya. Entah sudah berapa jam ia di sana, tergolek dengan mata menerawang dalam gelap. Kedua matanya sembab dan basah. Kenapa ini bisa terjadi?

Langkah kaki Gun terdengar mendekat. Lelaki yang dicintainya.


“Yang, aku pulang. Kamu sudah tidur, ya?”

Gun membuka pintu dan menyalakan lampu. Cahaya menerangi kamar itu dan Gun merasakan ada sesuatu yang tidak biasa.

“Sudah malam begini, kenapa jendela masih terbuka?” tanya Gun heran. Dilihatnya Mira masih mengenakan pakaian kerjanya, berbaring di atas tempat tidur dengan mata merah dan rambut yang kusut. “Mir, kamu kenapa?” Gun duduk di sisi tempat tidur dan mengulurkan tangannya ke wajah Mira. “Kamu sakit, Mir?”

Mira mengerjapkan matanya yang terasa perih. Ia menggeleng. Tangannya lemah mengulurkan sebuah strip kecil berwarna putih kepada Gun.

“Apa ini?”
Test-pack, Gun. Aku sudah terlambat dua minggu.”

Gun memandang strip putih itu. Ini adalah pertama kalinya ia melihat secara langsung benda yang dinamakan test-pack itu. Gun tidak mengerti. Ia tidak bisa mencerna apa yang telah terjadi.
“Positif, Gun. Aku hamil,” tangis Mira kembali meledak.
Gun terpana. “Bagaimana bisa, Mir?”
Mira menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Gun.”
----

Catatan Kecil dari Buku “The Road to Mecca”

Saya saat ini sedang membaca buku “The Road to Mecca”, yang ditulis oleh Muhammad Asad. Ia adalah seorang jurnalis dan diplomat berasal dari Eropa (lahir di Ukraine dari keluarga Yahudi). Diterbitkan pada tahun 1954, buku ini adalah oto-biografinya, menceritakan tentang hidupnya hingga usia 32 tahun, proses peralihan agamanya menjadi Islam, dan tentang perjalanannya ke Mekah.

Saya baru saja mulai membacanya malam ini. Masih jauh dari selesai. Jadi tulisan ini bukan review. Ini adalah sebuah catatan kecil karena ada sebuah cerita yang bagi saya sangat mengesankan. Begitu terkesannya, sampai-sampai saya merasa harus berhenti membaca dan menuliskannya di sini. Saat ini juga.

---

Ini kisah ketika Muhammad Asad (ketika itu belum memeluk Islam) tinggal sementara waktu di kediaman pamannya di Yerusalem. Tetangga sang paman, seorang Arab yang dipanggil Haji, kerap menjadi melakukan shalat berjamaah di pekarangan rumahnya. Muhammad Asad mengamati ibadah itu dengan takjub.

Several times a day he assembled them for prayer and, if it was not raining too hard, they prayed in the open: all the men in а single, long row and he as their imam in front of them. They were like soldiers in the precision of their movements -they would bow together in the direction of Месса, rise again, and then kneel down and touch the ground with their foreheads; they seemed to follow the inaudible words of their leader, who between the prostrations stood barefoot on his prayer carpet, eyes closed, arms folded over his chest, soundlessly moving his lips and obviously lost in deep absorption: you could see that he was praying with his whole soul.

Muhammad Asad terusik menyaksikan sebuah ibadah yang berupa gabungan doa dan gerakan tubuh, hingga akhirnya ia pun tergugah untuk bertanya pada orang tua itu tentang shalat.


It somehow disturbed me to see so real а prayer combined with almost mechanical body movements, and one day asked the hajji, who understood а little English:

“Do you really believe that God expects you to show Him your respect by repeated bowing and kneeling and prostration? Might it not better only to look into oneself and to pray to Him in the stillness of one’s hearth? Why all these movements of your body?”

As soon as I had uttered these words I felt remorse, for I had not intended to injure the old man's religious feelings. But the hajji did not appeal in the least offended. He smiled with his toothless mouth and replied:

“How else then should we worship God? Did He not create both, soul and body, together? And this being so, should man not pray with his body as well as with his soul?”

--

Muhammad Asad terusik ketika melihat ibadah shalat dan menanyakan mengapa muslim beribadah tidak dengan hanya ‘hati’ dan doa yang lirih, tapi juga gerakan badan yang menyeluruh.

Saya juga terusik: Mengapa saya, yang lahir sebagai muslim dan telah diajarkan shalat sejak kecil, tidak pernah menanyakan hal yang sangat mendasar dan penting dari ibadah yang saya lakukan itu. Lebih memalukan lagi, saya juga tidak tahu apa jawabannya.

Kisah Kursi Roda [Catatan Perjalanan Haji #2]

Masjidil Nabawi, Madinah. Akhir bulan September. Saat itu menjelang azan Zuhur. Seorang laki-laki asal Indonesia, usia mendekati paruh baya, sedang mendorong kursi roda seorang perempuan tua. Saya duga itu ibunya. Ia berjalan di pelataran Masjid Nabawi, mengarahkan kursi roda sang ibu ke area shalat bagi jemaah perempuan.

Sampai di sana, di pelataran masjid yang dinaungi payung-payung besar, si anak lelaki mencari tempat yang cocok bagi ibunya untuk melaksanakan shalat berjamaah. Diparkirkannya kursi roda di area yang masih agak kosong, namun dipastikan akan termasuk saf shalat perempuan. Lalu sang ibu ditinggalkannya, karena area shalat untuk laki-laki terpisah cukup jauh. Beberapa saat selepas shalat Zuhur, ketika kepadatan orang-orang yang keluar dari masjid mulai menyurut, si anak lelaki akan kembali menghampiri ibunya dan mendorongnya pulang.

---
Saat itu, barisan saya berada tak jauh dari kursi roda ibu itu. Waktu Zuhur dan Asar biasanya saya memang memilih untuk shalat di pelataran masjid. Area dalam masjid yang diperuntukkan bagi jamaah perempuan tidak begitu luas. Agar bisa shalat berjamaah di dalam masjid, kami harus datang berjam-jam sebelumnya. Padahal hotel tempat saya tinggal agak jauh dari masjid, dengan berjalan kaki perlu waktu sekitar 30 menit. Sementara pagi hingga siang hari biasanya kami para jamaah banyak yang memilih beristirahat di penginapan. Sedangkan setelah Zuhur adalah waktu makan siang. Jadi walaupun siang terasa sangat terik, saya memilih untuk shalat berjamaah di luar.

Berlindung di bawah bayang payung-payung besar Masjidil Nabawi yang dibuka saat matahari mulai tinggi, dan ditutup menjelang waktu Maghrib. Sedapat mungkin saya akan mencari posisi yang dapat terpapar hembusan uap air segar dari kipas angin yang terpasang di tiang-tiang payung.

---
Duduk menanti waktu shalat di pelataran masjid ini, membuat saya bisa memperhatikan ‘perilaku’ kursi roda tersebut. Ternyata bukan hanya satu atau dua yang saya temukan. Bahkan kadang kursi-kursi roda itu memang seperti sengaja berkumpul membentuk kelompok-kelompok di pelataran masjid. Mungkin berkelompok untuk kenyamanan mereka. Mungkin agar tidak terlalu mengganggu saf jemaah lain.

Adalah wajar mereka shalat di pelataran. Aksesibilitasnya termudah untuk pemakai kursi roda. Lagi pula pelataran masjid adalah wilayah netral, yang boleh dilalui baik jemaah perempuan dan laki-laki. Perempuan-perempuan pengguna kursi roda itu dari berbagai bangsa selain Indonesia; Turki, India, Bangladesh, dan lainnya. Umumnya usia mereka memang sudah lanjut. Ada yang ditemani oleh anak perempuan atau saudara perempuannya. Namun sering pula saya dapati yang sendiri tanpa pendamping perempuan. Ketika shalat selesai dan orang-orang mulai beranjak dari saf-nya, mereka tetap tinggal di situ. Duduk berzikir di atas kursi rodanya, menunggu penjemput , sementara di sekelilingnya orang-orang lain berlalu-lalang.

Menyaksikan mereka, otomatis membuat saya sangat bersyukur. Kami, saya dan suami, telah diberi kesempatan untuk melakukan ibadah haji di usia yang relatif muda. Ketika badan masih sehat dan kuat. Masih mampu berjalan sendiri tanpa harus dibantu oleh orang lain. Masih bisa melakukan seluruh rangkaian ibadah wajib maupun sunnah tanpa kendala jasmani yang berarti.

Rasa haru pun tak kuasa timbul. Terutama tatkala menjadi saksi bakti para anak pada orang-tuanya. Mereka menghajikan ibu bapaknya. Mendampingi mereka. Mendorongkan kursi rodanya dengan sabar. Memperbaiki letak kerudung ibunya yang mulai menampakkan helai-helai rambut. Mengambilkan air minum untuknya. Bahkan terkadang tanpa ragu menggendong orang-tuanya di punggung ketika harus menaiki tangga.

---
Beberapa hari kemudian. Masih di Masjidil Nabawi, Madinah. Awal Oktober. Kali ini menjelang shalat Asar. Suara azan sudah mulai berkumandang. Saya dan para jemaah lain yang masih berjalan menuju masjid, segera bergegas agar dapat tiba di barisan sebelum shalat dimulai.

Di pintu gerbang pekarangan masjid, mata saya tertumbuk kembali pada sebuah kursi roda. Seorang perempuan yang sudah lanjut usia duduk di kursi roda itu. Tapi kali ini yang mendorong adalah seorang laki-laki yang juga sudah tua: suaminya…

Lelaki tua itu berpeluh, berusaha mendorong kursi roda istrinya agar bergerak lebih cepat, mengejar waktu shalat. Melihat pasangan tua itu, tak tertahankan mata saya terasa basah. Kerongkongan medadak tercekat. Selarik doa pun terucap di hati:
Ya Robb, yang telah menganugerahkan kasih-sayang di antara pasangan tua itu, sayangilah mereka. Ya Rahman, yang telah memberikan mereka usia yang panjang dan kesempatan untuk mengunjungi-Mu, berilah mereka kemudahan. Ampuni dosa-dosa mereka. Kelak, perkenankanlah mereka untuk bertemu kembali. Selalu bersama, di surga-Mu…