Awalnya…

Awalnya adalah rasa sakit. Dalam rintihannya. Bahkan erangan. Simbah peluhnya. Gigi mengatup. Tak lagi mampu menahan rasa. Sakit. Ngilu. Nyeri. Dalam. Tajam. Robek. Pecah... Hingga saat itu. Saat hadirmu berawal. Menerobos garbanya.

Awalnya adalah rasa sakit. Rasa sakit yang absurd. Seperti dongeng kecilmu. Buncah ingin tahu gadismu. Bahkan jadi teror keperempuananmu. Hingga akhirnya kau alami sendiri. Hanya bila kau cukup beruntung. Rasa sakit yang semerta menyentakmu. Kembali pada awalmu. Pada rasa sakit itu.

Awalnya adalah rasa sakit. Tak selesai. Karena lalu pun adalah rasa sakit. Dalam pilunya. Dalam butiran bening di sudut matanya. Ketika dingin hatimu akan asanya. Dingin wajahmu akan hadirnya. Ketika delik mata dan lisanmu tajam. Menikam jantungnya.

Maka…. Untuk perempuan itu. Untuk rasa sakit itu. Tiga puluh satu tahun yang lalu. Terima kasih. Untuk perempuan itu. Untuk rasa sakit itu. Mungkin hingga kini. Maaf....

Keponakanku Presiden! :)



Yap, keponakanku, Luthfi, seorang presiden.
Presiden Siswa Sekolah Alam yang baru.
Dan aku adalah seorang tante yang sangat bangga pada keponakannya. :)

Liputan acara Pemilu Presiden Siswa Sekolah Alam kemarin,
insya Allah, akan dapat disaksikan pada:
Acara Nuansa Pagi RCTI,
Sabtu 16/10/04 antara pukul 05.30-06.30 pagi.


Sedangkan cerita dan foto liputan oleh Mama Luthfi,
bisa dibaca di blog Cerita Sekolah Alam.

PS.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan
Mohon maaf lahir dan batin

Kisah Dua Jembatan: Waktu Tidak Berhenti



Saat itu sore hari. Sekitar pukul empat. Kami sudah berkendara sepanjang hari. Pagi masih gelap ketika kami meninggalkan Jakarta. Kami terus berkendara. Sesekali berhenti untuk hal-hal yang penting saja.

Saat itu sore hari. Sekitar pukul empat. Ketika tiba-tiba ia berkata, “Lihat jembatan itu. Mau berhenti dulu sebentar?”

Aku sejenak berpikir. Jarak yang masih harus ditempuh cukup jauh, dan aku ingin kami bisa tiba di tempat tujuan sebelum hari kembali gelap. Maka jawabku, “Gak usah, ah!” Tak mempedulikan perkataanku, ia melambatkan laju mobil ketika kami melewati jembatan itu. Saat itu sore hari. Sekitar pukul empat. Kami pun berhenti di situ.

Ada dua buah jembatan yang membentang di atas sebuah sungai. Sebuah jembatan tua berdampingan bersisian dengan sebuah jembatan baru yang kokoh. Yang satu tampak lebih ringkih, yang lain tampak kokoh gagah. Yang satu sudah bolong melompong, yang lain masih halus mulus. Yang satu sudah coklat mengkusam oleh waktu, yang satu masih kelabu betonnya baru. Keduanya membentang berdampingan bersisian di atas sebuah sungai, Serayu katanya.

Kami bertiga – aku, ia, dan anak kami – lalu berjalan di atas jembatan yang sudah berwarna suram. Angin segera mempermainkan helai-helai rambutku. Anak kami berjalan sambil melompat-lompat riang, menarik-narik tangan hendak melihat segala sesuatu. Lubang di jembatan, pagar besi, sungai yang mengering, truk yang sedang mandi di kejauhan. Ketika itu pun aku sudah tahu, aku sudah sangat memaafkan ketidak-peduliannya atas jawabku tadi. Aku sangat berterimakasih malah.

Tak lama, kami kembali berkendara. Kukatakan terima-kasihku kepadanya. Ia pun mengaku, “Ketika melihat jembatan itu, aku tiba-tiba teringat sebuah tulisan yang belum lama kubaca. Tentang orang-orang yang selalu ikut berlari bersama waktu. Tak ada waktu untuk menikmati hal-hal kecil yang dilaluinya. Ingat itu, tiba-tiba aku ingin berhenti di jembatan tadi.”

***

Benar, Sayang… Waktu terus berlari. Dua jembatan yang berdampingan bersisian di atas Sungai Serayu itu adalah bukti. Waktu terus bergerak. Jembatan lama akan melapuk oleh waktu. Tergantikan yang baru. Karena waktu tidak membeku. Waktu tidak berhenti. Tapi, kita bisa sejenak berhenti. Menikmati waktu.

[cerita maya]



.....

Mereka memanggilku Maya. Mereka menyapaku Maya.
Mereka memanggilnya Maya. Mereka menyapa dirinya Maya. Aku jatuh cinta.

.satu.

Sudah dua tahun aku menulis jurnal di alam maya ini. Kuberi nama “cerita maya”, tertulis di bagian kiri atas halaman jurnal dengan jenis huruf verdana tebal.

[cerita maya] - aku maya bercerita

Menulis di dunia maya sungguh menyenangkan. Aku bisa bercerita tentang apa saja. Aku menulis tentang suka juga duka. Aku berkisah tentang kehidupan hingga kematian. Aku bercerita segala sesuatu tentang cinta; cinta pertama, asmara membara, hasrat meraga, luka menganga, air mata buaya.

Aku menulis tentang hujan kepagian, senja keemasan, warna pelangi, pagi berkabut, embun di rumput, sebatang jamur, daun gugur, tanah merah, bunga merekah. Aku bercerita tentang pijar kembang api, kerlip bintang, kedip kunang-kunang. Aku bercerita tentang kicau burung di pagi hari, sekawan burung terbang pulang ke sarang, dan burung gereja yang mati tersengat kawat berlistrik. Aku bercerita tentang mata kedutan, mata bintitan, bau badan, kepala bisulan, jari kapalan. Aku cerita tentang digigit anjing, disengat lebah, jari terkena ulat bulu, kaki tertusuk bulu babi. Aku bercerita tentang mendonorkan darah, memanjat atap rumah, terkurung di kamar mandi, ditilang polisi.

Ya, aku bercerita tentang apa saja. Aku sungguh-sungguh dapat bercerita tentang apa saja di jurnal maya ini.

Sudah dua tahun ia menulis jurnal di alam maya ini. Ia beri nama “cerita maya”, tertulis di bagian kiri atas halaman jurnalnya dengan jenis huruf verdana tebal.

[cerita maya] - aku maya bercerita

Membaca tulisannya di dunia maya ini sungguh menyenangkan. Ia bercerita tentang apa saja.

Ia menulis tentang hujan kepagian, senja keemasan, warna pelangi, pagi berkabut, embun di rumput, sebatang jamur, daun gugur, tanah merah, bunga merekah. Ia bercerita tentang pijar kembang api, kerlip bintang, kedip kunang-kunang di kegelapan. Ia bercerita tentang kicau burung di pagi hari, sekawan burung terbang pulang ke sarang, dan burung gereja yang mati tersengat kawat berlistrik. Ia bercerita tentang mata kedutan, mata bintitan, bau badan, kepala bisulan, jari kapalan. Ia cerita tentang digigit anjing, disengat lebah, jari terkena ulat bulu, kaki tertusuk bulu babi. Ia bercerita tentang mendonorkan darah, memanjat atap rumah, terkurung di kamar mandi, ditilang polisi.


Ya, ia bercerita tentang apa saja. Dan aku sungguh-sungguh membaca semua ceritanya tentang apa saja di jurnal mayanya ini.

.dua.

Suatu hari aku menerima sebuah email singkat darinya, seorang lelaki.

Maya,
Sungguh senang membaca jurnalmu. Aku telah
membacanya semua, dan akan selalu menunggu ceritamu yang baru.
Salam kenal,
Aku lelaki


Suatu hari aku mengirim sebuah email singkat untuknya. Tak lama ia pun membalasnya. Singkat.

Hai,
Terimakasih sudah membaca semua cerita di
jurnalku. Juga terimakasih atas emailnya.
Salam, aku maya

.....

Aku maya, kau panggil aku Maya. Sudah kukatakan aku adalah maya, tapi kau sebut aku Maya. Tidak kah kau nyana?

Ia katakan ia adalah maya. Aku panggil ia Maya. Aku jatuh cinta. Ternyata ia maya. Nyata mayanya. Siapa nyana?


Lagi gak sempet nulis-nulis cerita baru.
Ini hasil bongkar-bongkar file arsip lama.
Sedianya adalah cerpen untuk ikutan
April Poject-nya
Cinila.com yang lalu.
Tapi apa daya, gak pernah selesai :)