Debu Cinta Kama
(disadur dari kisah Kama-Rati)

Pada suatu masa di negeri para dewa, adalah Kama sang dewa asmara berpasang dengan Rati sang belahan raga. Kama tampan mempesona, Rati cantik meluluhkan jiwa. Asmara antara mereka membara. Penuh hasrat meraga, kesenangan semata.

Kama berkelana dengan busur dan anak panah bunga. Menggoda dewi dan dewa, memanah racun asmara. Siapa pun terkena anak panahnya, tak kan mampu mengelak dari getar dan demam asmara.

Alkisah Kama menunai tugas penting dari sang Indra. Membangunkan Siwa dari tapa brata. Kama pun menggoda Siwa dengan pesona dan anak panah bunga. Siwa murka. Dibakarnya Kama dengan mata ketiganya. Kama akhirnya hanya menjadi debu nan hampa.

Rati gundah gulana. Memohon ia pada sang Siwa, Kama kembali jadi belahan raganya. Siwa tergugah hatinya. Kama kembali ada, namun tanpa raga. Hanya sang jiwa, bertebaran abadi sebagai debu cinta. Menabur cinta yang menjiwa pada seisi jagat raya.

...dan seperti yang telah digariskan
debu cinta telah ditebarkan
hingga pada suatu ruang suatu masa
seseorang bisa begitu saja
jatuh cinta pada seseorang lainnya...


apapun makna cinta yang ada
biarlah ia memaknai dirinya
‘met tiga tahun, yang…
:)

Catatan Senja



di setiap paruh senja yang sama
di belah jalan yang itu juga
selalu aku bersesimpang
dengan sekawanan burung terbang

aku dan burung terbang
sama-sama pulang
ke sarang

Kisah Dua Ibu:
Pantaskah Ia Cemburu Padanya?



Bunda. Ia hanya perempuan biasa. Perempuan setengah baya, ibu dari seorang anak lelaki kecil yang belum lagi bisa memanggilnya Bunda. Ia hanya perempuan biasa, yang seperti banyak perempuan lain di kota ini dan di masa ini, bekerja di luar rumah. Ia meninggalkan sarangnya, meninggalkan sang buah hati pada sang pangasuh, ketika bola matahari masih merah di sebelah timur langit. Lalu bergegas pulang sebelum semburat merah di langit berselimut hitam, agar ia bisa menemui sang buah hati sebelum terlelap dalam buaian mimpi.

Ada sebongkah besar rasa bersalah membuncah setiap kali lambaian tangan diberikan. Namun seorang sahabat mengingatkan, “kualitas lah yang penting, bukan kuantitas”. Ia pun membenarkan. Hanya saja, hati tidak pernah berdusta ketika mengatakan kecemasan, “Bunda, kualitas seperti apa yang bisa kau ciptakan, ketika dari dua belas putaran jam yang bisa kau lewatkan bersama buah hatimu, delapan putaran jam adalah saat ia terlelap?”

***

Emak. Perempuan yang dipanggil Emak itu kini kembali bertemu dengan anak perempuannya. Telah enam purnama berselang sejak terakhir kali ia tinggalkan kampungnya dan buah hatinya.

Kali ini sebagai tanda cintanya, telah diberikannya sebuah buah tangan untuk anak perempuannya itu. Sebuah pakaian seragam putih merah yang baru. Seragam yang ternyata masih terlalu besar. Ketika membelinya, perempuan itu salah menaksir ukuran tubuh si buah hati yang sudah lama tak dilihatnya.

“Mak, besok sudah mau pergi ke kota lagi?” tanya anak perempuannya.
“Iya, Emak sudah satu minggu di sini. Besok Emak sudah harus pergi lagi. Kamu yang nurut ya, sama Nenek. Nanti Emak pasti pulang kalau kamu terima rapot lagi”.

Ya, ia harus kembali ke kota. Seorang anak lelaki kecil yang memanggilnya Mbak telah menunggu di sana.

***

Bunda. Perempuan yang menyebut dirinya Bunda itu menarik napas lega karena si Mbak sudah kembali dari kampung tadi malam. Pagi ini dilihatnya sang buah hati berseru gembira memanggil dan menghampiri si Mbak. Perempuan yang menyebut dirinya Bunda itu tersenyum ikut senang. Membatin sebuah tanya dalam dirinya, “Pantaskah aku cemburu padanya?”

Gue, Aku, dan Saya

Kalau blog kamu di tulis dalam bahasa Indonesia, kata ganti apa yang kamu pakai untuk menyebutkan dirimu? Gue, aku, saya?

Ingat pelajaran Bahasa Indonesia dulu? Kata ganti orang pertama, itu istilahnya. Kata ganti orang pertama (kalau gak salah) artinya adalah kata yang dipergunakan untuk menyebutkan subjek pelaku, orang yang berbicara, si penutur dalam cerita. Dalam bentuk tunggal, contohnya: aku, daku, saya, hamba, gue (kata ini udah termasuk bahasa indonesia juga, kan?). Banyak pilihan ya? Huhuhu… itulah kelebihan sekaligus kekurangan bahasa Indonesia. Kalau bahasa Inggris kan cuma satu aja, the magic word "I".

Konsistenkah kamu dengan kata ganti yang kamu pakai untuk menyebutkan dirimu dalam blog?

Kalau saya, ternyata gak konsisten tuh. Buat yang mengikuti (dengan setia :)) blog saya dari awal, pasti bisa deh melihatnya. Awal sekali, saya pakai kata gue. Ya, karena reflek sehari-hari saya memang adalah kata gue itu. Seperti dulu sekali ketika saya menulis buku harian, maka saya mengawali blog ini juga dengan menggunakan kata gue.

Tapi kemudian blognya mulai kedatangan pengunjung. Waduh, gak bisa bebas curhat lagi dong ya? Hehehe. Jaim ya, istilahnya? Tapi saya memang tidak terlalu terbuka sih orangnya. Gimana dong? Lagipula kata gue itu biasanya selain mendorong bawah sadar saya buat curhat, juga sering membuat saya kelepasan ngomel bin ngedumel gak jelas. Duh, gak deh, saya sih gak pengen ngomel di internet. Cukup di dunia nyata aja. :)

Jadi deh akhirnya saya mulai memakai kata ‘saya’. Sekalian juga mencoba untuk menulis yang (sok) serius sedikit (dohh). Jadi kayaknya sih kata saya cocok.

Waktu berjalan, dan saya mulai mengenal para pengunjung blog ini. Saya merasa kata saya kadang terlalu formal. Kadang terasa terlalu mengambil jarak. Selain itu terkadang gak semua cerita cocok dengan kata saya. Ada kalanya saya ingin menulis seakan berbicara pada diri saya sendiri, seperti bergumam, bukannya bicara dengan orang lain. Karena itu, akhirnya muncul deh kata aku di blog ini.

Sekarang ini sih setiap saya mulai menulis sebuah cerita baru, saya selalu berpikir sebentar. Pakai saya, aku, atau gue? Repot? Gak juga. Buat saya malah enak, fleksibel. Untuk selanjutnya, saya sepertinya akan terus konsisten dengan ketidak-konsistenan ini. Aku, gue, atau saya. Atau yang lainnya. Atau nanti mungkin juga saya akan memakai nama saya, neenoy, sebagai kata ganti. Yah, tergantung ceritanya, tergantung suasana hati, tergantung apa pun nanti.

Eh, kalau kamu gimana?

Bergerak Makin Cepat

tiga tahun yang lalu, pergi dari rumah pukul tujuh tepat,
aku tidak akan terlambat

dua tahun lalu, aku harus pergi jam tujuh kurang seperempat,
agar tidak terlambat

mulai tahun lalu, pukul setengah tujuh aku harus sudah berangkat,
agar tidak terlambat

sekarang, agar tidak terlambat,
aku harus berangkat jam enam lewat seperempat

apakah waktu bergerak makin cepat
ataukah aku yang bergerak makin lambat?