Kisah Dua Ibu:
Pantaskah Ia Cemburu Padanya?



Bunda. Ia hanya perempuan biasa. Perempuan setengah baya, ibu dari seorang anak lelaki kecil yang belum lagi bisa memanggilnya Bunda. Ia hanya perempuan biasa, yang seperti banyak perempuan lain di kota ini dan di masa ini, bekerja di luar rumah. Ia meninggalkan sarangnya, meninggalkan sang buah hati pada sang pangasuh, ketika bola matahari masih merah di sebelah timur langit. Lalu bergegas pulang sebelum semburat merah di langit berselimut hitam, agar ia bisa menemui sang buah hati sebelum terlelap dalam buaian mimpi.

Ada sebongkah besar rasa bersalah membuncah setiap kali lambaian tangan diberikan. Namun seorang sahabat mengingatkan, “kualitas lah yang penting, bukan kuantitas”. Ia pun membenarkan. Hanya saja, hati tidak pernah berdusta ketika mengatakan kecemasan, “Bunda, kualitas seperti apa yang bisa kau ciptakan, ketika dari dua belas putaran jam yang bisa kau lewatkan bersama buah hatimu, delapan putaran jam adalah saat ia terlelap?”

***

Emak. Perempuan yang dipanggil Emak itu kini kembali bertemu dengan anak perempuannya. Telah enam purnama berselang sejak terakhir kali ia tinggalkan kampungnya dan buah hatinya.

Kali ini sebagai tanda cintanya, telah diberikannya sebuah buah tangan untuk anak perempuannya itu. Sebuah pakaian seragam putih merah yang baru. Seragam yang ternyata masih terlalu besar. Ketika membelinya, perempuan itu salah menaksir ukuran tubuh si buah hati yang sudah lama tak dilihatnya.

“Mak, besok sudah mau pergi ke kota lagi?” tanya anak perempuannya.
“Iya, Emak sudah satu minggu di sini. Besok Emak sudah harus pergi lagi. Kamu yang nurut ya, sama Nenek. Nanti Emak pasti pulang kalau kamu terima rapot lagi”.

Ya, ia harus kembali ke kota. Seorang anak lelaki kecil yang memanggilnya Mbak telah menunggu di sana.

***

Bunda. Perempuan yang menyebut dirinya Bunda itu menarik napas lega karena si Mbak sudah kembali dari kampung tadi malam. Pagi ini dilihatnya sang buah hati berseru gembira memanggil dan menghampiri si Mbak. Perempuan yang menyebut dirinya Bunda itu tersenyum ikut senang. Membatin sebuah tanya dalam dirinya, “Pantaskah aku cemburu padanya?”

No comments: