tag:blogger.com,1999:blog-38422742024-03-19T11:27:00.308+07:00[waterflow] perahu kertaslife flows like waterUnknownnoreply@blogger.comBlogger223125tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-52240284023828322782013-05-21T07:53:00.002+07:002013-05-21T09:21:48.109+07:00CERPEN: SEPERTI DAUN GUGUR<b><span style="color: #0c343d;"><i>oleh: Rahmadini</i></span></b><br />
<span style="color: #0c343d;"><i>dimuat di <b>Majalah Sekar</b> edisi 103/13, 20 Februari- 6 Maret 2013</i></span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; float: left; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR_yVEPi9vpir-XA2jE3IXr4Adxurt4q3ME-r4Zdxhyar7fJpjAZdIJNj11VsTM9oVeMxso2v3XTmQETWHksWP2i6dpouVzaZdAq4qC6kiSVEBG0ng7pPwefm_yDpNphhiRhLniQ/s1600/cerpen.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="seperti daun gugur" border="0" height="190" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR_yVEPi9vpir-XA2jE3IXr4Adxurt4q3ME-r4Zdxhyar7fJpjAZdIJNj11VsTM9oVeMxso2v3XTmQETWHksWP2i6dpouVzaZdAq4qC6kiSVEBG0ng7pPwefm_yDpNphhiRhLniQ/s200/cerpen.jpg" title="" width="200" /></a></div>
Ada selembar daun gugur terbang di atas jalanan padat yang dilalui Mira sore ini. Daun kecoklatan itu melayang pelan dihembus angin yang tak terlalu kencang. Mira tersenyum. <i>Semua akan baik-baik saja. </i><br />
<br />
Mira menghela napas perlahan dan menatap selembar daun kering lain yang sedang menari di atas kendaaraan di depannya. Sungguh pemandangan yang selalu disukainya. Daun-daun yang melepaskan diri dari ujung-ujung ranting. Mereka seakan sedang menarikan tarian yang begitu cantik. Tarian kebebasan.<br />
<br />
<i>Ya, semua akan baik-baik saja. </i><br />
<br />
Ada <i>test-pack</i> yang baru saja ia beli di dalam tasnya. Tak lama lagi ia segera akan tiba di rumah dan segala kekhawatirannya akan sirna.<br />
<br />
<i>Semua akan baik-baik saja.</i><br />
----<br />
<br />
Ketika Gun tiba, Mira masih terbaring di tempat tidurnya. Entah sudah berapa jam ia di sana, tergolek dengan mata menerawang dalam gelap. Kedua matanya sembab dan basah. Kenapa ini bisa terjadi? <br />
<br />
Langkah kaki Gun terdengar mendekat. Lelaki yang dicintainya.<br />
<br />
<br />
“Yang, aku pulang. Kamu sudah tidur, ya?”<br />
<br />
Gun membuka pintu dan menyalakan lampu. Cahaya menerangi kamar itu dan Gun merasakan ada sesuatu yang tidak biasa.<br />
<br />
“Sudah malam begini, kenapa jendela masih terbuka?” tanya Gun heran. Dilihatnya Mira masih mengenakan pakaian kerjanya, berbaring di atas tempat tidur dengan mata merah dan rambut yang kusut. “Mir, kamu kenapa?” Gun duduk di sisi tempat tidur dan mengulurkan tangannya ke wajah Mira. “Kamu sakit, Mir?”<br />
<br />
Mira mengerjapkan matanya yang terasa perih. Ia menggeleng. Tangannya lemah mengulurkan sebuah strip kecil berwarna putih kepada Gun.<br />
<br />
“Apa ini?”<br />
“<i>Test-pack</i>, Gun. Aku sudah terlambat dua minggu.”<br />
<br />
Gun memandang strip putih itu. Ini adalah pertama kalinya ia melihat secara langsung benda yang dinamakan <i>test-pack</i> itu. Gun tidak mengerti. Ia tidak bisa mencerna apa yang telah terjadi.<br />
“Positif, Gun. Aku hamil,” tangis Mira kembali meledak.<br />
Gun terpana. “Bagaimana bisa, Mir?”<br />
Mira menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Gun.”<br />
----<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Sekilas Gun memalingkan wajahnya dari depan kemudi dan memandang Mira yang duduk di sebelahnya. Sudah hampir setengah jam hanya keheningan yang berada di antara mereka berdua. Dilihatnya Mira sedang menatap ke luar kaca jendela di sampingnya. Gun tahu, benak Mira sedang terbang bersama daun-daun kering yang melayang di luar sana. Di ruas jalan itu, pohon mahoni berjajar dan daun-daunnya yang kecoklatan mulai berguguran di awal musim kemarau ini.<br />
<br />
“Mir,” Gun memecah kesunyian yang menggelisahkan itu, “Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”<br />
Tak ada jawaban.<br />
“Mir, please. Katakanlah sesuatu. Jangan diam saja.”<br />
“Gun, seharusnya dulu kamu ijinkan aku pasang spiral atau sekalian mengikat kandunganku,” desis Mira perlahan sambil menahan tangisan kemarahannya.<br />
<br />
Gun terdiam sesaat. “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku karena menganjurkan kita pakai kondom saja?” Gun mendadak kesal.<br />
“Mir..., Mir.... Kamu dengar sendiri kata dokter Hambali tadi. Tidak ada satu pun alat kontrasepsi yang bisa memberikan jaminan seratus persen. Bagaimana pun, sekecil apa pun probabilitasnya, kemungkinan untuk hamil masih ada.”<br />
Mira tidak menanggapi. Ia membisu dan kembali menatap ke luar jendela.<br />
<br />
“Sudahlah, Mir. Ini sudah terjadi. Lagipula ia anak kita berdua. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menjaganya hingga ia lahir dengan sehat. Lalu kita akan merawat serta membesarkannya, ya kan?”<br />
“Tapi aku tidak ingin punya anak, Gun.”<br />
Gun menghela napas panjang. “Nanti juga kamu pasti bisa menerimanya. Mencintainya. Percayalah, Mir.”<br />
----<br />
<br />
Sudah tiga hari berlalu, namun kesunyian yang menggelisahkan masih menggantung di antara mereka berdua. Hari-hari berlangsung seperti biasa, namun tak ada percakapan yang terjadi. Hanya keheningan yang menunggu seperti sebuah bom waktu.<br />
<br />
“Mir, kamu masih belum bisa menerimanya?” Gun tak tahan lagi dan bertanya pada Mira yang berbaring memunggungi dirinya.<br />
Hanya terdengar hela napas perlahan sebagai jawaban.<br />
<br />
“Mira, aku tidak mengerti dirimu.”<br />
“Kamu tahu aku, Gun. Dari dulu kamu sudah tahu pendirianku, bahkan sejak kita pacaran, jauh sebelum kita menikah. Aku tidak mau punya anak, Gun.”<br />
“Tapi itu kan dulu. Terus terang aku selalu berpikir, cepat atau lambat kamu akan berubah. Apalagi kita sudah tiga tahun menikah.”<br />
“Tidak, Gun. Kamu ternyata tidak mengerti aku. Aku tidak mau punya anak. Tidak dulu, tidak juga sekarang.”<br />
<br />
“Ya, kau benar,” keluh Gun pelan, “aku ternyata sama sekali tidak mengerti dirimu.” Gun tercenung sejenak sebelum melanjutkannya dengan tanya, “Mira, perkawinan kita selama ini bahagia, kan?”<br />
Mira mengangguk.<br />
<br />
“Kita pun sudah cukup mapan. Kita berdua sama-sama sehat dan mampu untuk punya keturunan. Lalu apa salahnya bila kita punya anak? Kita memang tidak merencanakannya, tapi Tuhan yang memberikannya untuk kita. Kenapa, Mir? Setahuku kamu tidak anti anak-anak. Paling tidak kamu sayang sekali pada keponakan-keponakanmu. Kamu juga bukan dari keluarga yang bermasalah. Orang-tuamu masih hidup rukun dan bahagia. Kamu tidak punya trauma, kan? Kenapa, Mira? Aku benar-benar tidak mengerti.”<br />
<br />
“Aku egois. Ya, aku egois! Bilang saja begitu! Aku tidak mau hidupku dikacaukan dengan kewajiban mengurus anak. Hidupku menarik, Gun. Aku punya karir yang bagus. Aku punya banyak mimpi. Aku ingin melihat banyak tempat. Aku tidak mau kehidupanku berubah menjadi keharusan mengurus tetek-bengek dan remeh-temeh seputar anak. Aku tidak mau berubah menjadi pribadi yang membosankan, ibu-ibu yang hidupnya hanya berpusat pada anak dan anak saja, perempuan yang merelakan mimpi-mimpinya kandas demi anaknya. Aku tidak mau seperti itu, Gun. Aku tidak bisa. Perempuan lain mungkin bisa. Tapi aku tidak.”<br />
<br />
Gun terdiam lama.<br />
<br />
“Lalu, sekarang apa maumu, Mir? Anak di kandunganmu sekarang, anak kita, apa yang akan kamu lakukan dengannya?”<br />
“Aku tidak tahu, Gun. Mungkin...”<br />
“Kamu tidak berpikir untuk menggugurkannya, kan, Mir?”<br />
“Aku tidak tahu, Gun. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan...”<br />
<br />
Gun menggeleng tidak percaya. Ia benar-benar tidak mengerti Mira. Ia tiba-tiba merasa berhadapan dengan seseorang yang teramat asing.<br />
<br />
<i>Brak!</i> Gun membanting pintu kamar. Tak lama kemudian, dari dalam kamar, Mira mendengar derung mobil Gun pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan dirinya dalam kesenyapan.<br />
----<br />
<br />
Mira merasa kepalanya pusing. Bagian bawah perutnya juga terasa amat sakit. Nyeri sekali rasanya. Untuk beberapa saat ia lupa apa yang terjadi. Perlu beberapa menit sebelum ia mulai mengenali keberadaannya. Ruangan putih, seprai putih, bau obat dan antiseptik. Ini rumah sakit. Ingatannya pun berpusar. <i>Test-pack</i>, dua strip. Lalu hari-hari yang dilaluinya dengan rasa marah, bingung, dan penolakan. Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi. Hingga tadi pagi, ketika tiba-tiba perutnya terasa melilit sakit. Ada darah merembes di antara kedua kakinya. Ia ingat sekarang. Ia ingat bahwa ia berteriak memanggil Gun. Mereka ke rumah sakit. Keguguran, kata dokter. Kuretasi.<br />
<br />
“Hai, Mir,” Gun tersenyum ketika melihat Mira sudah terbangun.<br />
<br />
Mira menatap wajah Gun yang berada di sisinya. Dilihatnya ada setitik bening di sudut mata Gun. Gun menangis? Mira tak pernah melihat Gun menangis sebelumnya.<br />
<br />
“Gun...,” suara Mira tercekat. Tangan kanannya hendak mengusap titik air di mata Gun.<br />
<br />
“Sudah, kamu istirahat saja. Kamu gak apa-apa, kok, Sayang. Dokter bilang kamu hanya perlu istirahat satu minggu saja. Sakitnya akan cepat hilang. Selebihnya kamu akan baik-baik saja,” kata Gun sambil meraih dan menggenggam tangan Mira.<br />
<br />
Mira tersenyum lemah. Teringat ia akan gumpalan darah yang merembes keluar dari tubuhnya. Apakah gumpalan itu telah bernyawa? Mengapa ia gugur? Apakah ia tahu bahwa ia tidak diinginkan lalu memilih untuk pergi? Ah, mungkin ini solusi yang terbaik.<br />
----<br />
<br />
Perawat mendorong kursi roda Mira ke ruang tunggu. Ia sudah diperbolehkan pulang.<br />
“Tunggu di sini sebentar. Aku ambil mobil dulu,” kata Gun. Mira mengangguk.<br />
<br />
Mengapa ada suara tangis bayi? Kepalanya masih terasa pusing. Ah ya, tentu saja, ini rumah sakit ibu dan anak. Dilihatnya seorang ibu yang duduk tak jauh di sebelahnya. Di pelukannya ada sesosok bayi mungil dengan pipi bulat merah terbungkus selimut merah muda. Bayi perempuan, batinnya. Milikku, perempuan juga kah? Ia menggeleng pelan. Pertanyaan bodoh, Mira.<br />
<br />
Dipandangnya lagi bayi berselimut merah muda itu. Matanya terpejam sangat tenang dalam pelukan sang ibu yang sebaliknya seakan tak berkedip memandang bayinya. Kerongkongan Mira mendadak terasa begitu kering.<br />
<br />
Tak tahan, Mira memalingkan pandangannya ke depan. Di seberang tempat duduknya, seorang bayi sedang menangis dalam timangan ayahnya. Sang ibu lalu mengambil alih, memeluknya, membujuknya, dan segera menyusuinya. Di sudut lain, seorang anak sedang belajar berjalan dibantu sang ayah. Dari sisi lain tempat duduk Mira, terdengar seorang anak sedang berceloteh cadel. Mira memejamkan mata. Kepalanya makin terasa berat. Luka di dalam tubuhnya kembali berdenyut sakit.<br />
<br />
Tak lama kemudian Gun kembali. Perawat yang menemani Mira, kembali membantu mendorong kursi rodanya.<br />
“Kamu baik-baik saja, Yang?” tanya Gun melihat wajah Mira yang begitu pucat. Mira mengangguk.<br />
“Sakit sekali?”<br />
“Sedikit.” Gun memapahnya, membantunya berdiri dan masuk ke dalam mobil. <br />
<br />
Di antara derum mesin mobil yang mulai berjalan, suara tangis dan celoteh bayi di ruang tunggu tadi masih menyisakan gema di telinga Mira. Gaungnya tak hilang bahkan entah mengapa terasa semakin keras. Tubuh Mira mulai berkeringat dingin. Pandangannya berputar-putar. Perlahan dirasakannya ada rasa nyeri lain merambati dirinya. Mira menggigit bibirnya. Namun sakit itu tak juga hilang. Bukan, ini bukan dari bagian bawah tubuhnya. Rasa perih ini perlahan namun makin terasa. Seperti menusuk, mengiris, menghujam. Tepat di dadanya. Kenapa? Kenapa rasanya begitu sakit? Mira memejamkan matanya. Terasa seperti ada sesuatu sudah menggerogoti dadanya. Sebuah sendok tajam yang membersihkan rahimnya, ternyata juga telah mengorek dan melubangi hatinya. <br />
<br />
Mira menatap ke luar jendela. Angin bertiup cukup kencang, melepaskan dedaunan kering dari ujung-ujung ranting dan menerbangkannya. Butiran bening mulai mengembang di sudut-sudut mata Mira. Pandangannya mengabur oleh air mata. Samar ditatapnya daun-daun yang melayang jatuh ke tanah itu. Mereka luruh. Gugur. Seperti anak yang sempat dikandungnya. (R)<br />
<br />
<i>Jakarta, Agustus 2006 </i>Unknownnoreply@blogger.com43tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-91281038506600831672013-01-02T02:19:00.000+07:002013-01-02T02:19:13.259+07:00Catatan Kecil dari Buku “The Road to Mecca”Saya saat ini sedang membaca buku <b>“The Road to Mecca”</b>, yang ditulis oleh <b>Muhammad Asad</b>. Ia adalah seorang jurnalis dan diplomat berasal dari Eropa (lahir di Ukraine dari keluarga Yahudi). Diterbitkan pada tahun 1954, buku ini adalah oto-biografinya, menceritakan tentang hidupnya hingga usia 32 tahun, proses peralihan agamanya menjadi Islam, dan tentang perjalanannya ke Mekah.<br />
<br />
Saya baru saja mulai membacanya malam ini. Masih jauh dari selesai. Jadi tulisan ini bukan review. Ini adalah sebuah catatan kecil karena ada sebuah cerita yang bagi saya sangat mengesankan. Begitu terkesannya, sampai-sampai saya merasa harus berhenti membaca dan menuliskannya di sini. Saat ini juga.<br />
<br />
---<br />
<br />
Ini kisah ketika Muhammad Asad (ketika itu belum memeluk Islam) tinggal sementara waktu di kediaman pamannya di Yerusalem. Tetangga sang paman, seorang Arab yang dipanggil Haji, kerap menjadi melakukan shalat berjamaah di pekarangan rumahnya. Muhammad Asad mengamati ibadah itu dengan takjub.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>Several times a day he assembled them for prayer and, if it was not raining too hard, they prayed in the open: all the men in а single, long row and he as their imam in front of them. They were like soldiers in the precision of their movements -they would bow together in the direction of Месса, rise again, and then kneel down and touch the ground with their foreheads; they seemed to follow the inaudible words of their leader, who between the prostrations stood barefoot on his prayer carpet, eyes closed, arms folded over his chest, soundlessly moving his lips and obviously lost in deep absorption: you could see that he was praying with his whole soul.</i></blockquote>
<br />
Muhammad Asad terusik menyaksikan sebuah ibadah yang berupa gabungan doa dan gerakan tubuh, hingga akhirnya ia pun tergugah untuk bertanya pada orang tua itu tentang shalat.<br />
<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>It somehow disturbed me to see so real а prayer combined with almost mechanical body movements, and one day asked the hajji, who understood а little English: </i><br />
<i><br />
</i> <b><i>“Do you really believe that God expects you to show Him your respect by repeated bowing and kneeling and prostration? Might it not better only to look into oneself and to pray to Him in the stillness of one’s hearth? Why all these movements of your body?”</i></b><br />
<i><br />
</i> <i>As soon as I had uttered these words I felt remorse, for I had not intended to injure the old man's religious feelings. But the hajji did not appeal in the least offended. He smiled with his toothless mouth and replied: </i><br />
<i><br />
</i> <b><i>“How else then should we worship God? Did He not create both, soul and body, together? And this being so, should man not pray with his body as well as with his soul?”</i></b></blockquote>
<br />
--<br />
<br />
Muhammad Asad terusik ketika melihat ibadah shalat dan menanyakan mengapa muslim beribadah <u>tidak </u>dengan hanya ‘hati’ dan doa yang lirih, tapi juga gerakan badan yang menyeluruh.<br />
<br />
Saya juga terusik: Mengapa saya, yang lahir sebagai muslim dan telah diajarkan shalat sejak kecil, <u>tidak pernah</u> menanyakan hal yang sangat mendasar dan penting dari ibadah yang saya lakukan itu. Lebih memalukan lagi, saya juga <u>tidak tahu</u> apa jawabannya. Unknownnoreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-17291257700705768092012-12-30T09:28:00.000+07:002012-12-30T09:29:48.884+07:00Kisah Kursi Roda [Catatan Perjalanan Haji #2]Masjidil Nabawi, Madinah. Akhir bulan September. Saat itu menjelang azan Zuhur. Seorang laki-laki asal Indonesia, usia mendekati paruh baya, sedang mendorong kursi roda seorang perempuan tua. Saya duga itu ibunya. Ia berjalan di pelataran Masjid Nabawi, mengarahkan kursi roda sang ibu ke area shalat bagi jemaah perempuan.<br />
<br />
Sampai di sana, di pelataran masjid yang dinaungi payung-payung besar, si anak lelaki mencari tempat yang cocok bagi ibunya untuk melaksanakan shalat berjamaah. Diparkirkannya kursi roda di area yang masih agak kosong, namun dipastikan akan termasuk saf shalat perempuan. Lalu sang ibu ditinggalkannya, karena area shalat untuk laki-laki terpisah cukup jauh. Beberapa saat selepas shalat Zuhur, ketika kepadatan orang-orang yang keluar dari masjid mulai menyurut, si anak lelaki akan kembali menghampiri ibunya dan mendorongnya pulang.<br />
<br />
---<br />
Saat itu, barisan saya berada tak jauh dari kursi roda ibu itu. Waktu Zuhur dan Asar biasanya saya memang memilih untuk shalat di pelataran masjid. Area dalam masjid yang diperuntukkan bagi jamaah perempuan tidak begitu luas. Agar bisa shalat berjamaah di dalam masjid, kami harus datang berjam-jam sebelumnya. Padahal hotel tempat saya tinggal agak jauh dari masjid, dengan berjalan kaki perlu waktu sekitar 30 menit. Sementara pagi hingga siang hari biasanya kami para jamaah banyak yang memilih beristirahat di penginapan. Sedangkan setelah Zuhur adalah waktu makan siang.
Jadi walaupun siang terasa sangat terik, saya memilih untuk shalat berjamaah di luar.<br />
<br />
Berlindung di bawah bayang payung-payung besar Masjidil Nabawi yang dibuka saat matahari mulai tinggi, dan ditutup menjelang waktu Maghrib. Sedapat mungkin saya akan mencari posisi yang dapat terpapar hembusan uap air segar dari kipas angin yang terpasang di tiang-tiang payung.<br />
<br />
---<br />
Duduk menanti waktu shalat di pelataran masjid ini, membuat saya bisa memperhatikan ‘perilaku’ kursi roda tersebut. Ternyata bukan hanya satu atau dua yang saya temukan. Bahkan kadang kursi-kursi roda itu memang seperti sengaja berkumpul membentuk kelompok-kelompok di pelataran masjid. Mungkin berkelompok untuk kenyamanan mereka. Mungkin agar tidak terlalu mengganggu saf jemaah lain.<br />
<br />
Adalah wajar mereka shalat di pelataran. Aksesibilitasnya termudah untuk pemakai kursi roda. Lagi pula pelataran masjid adalah wilayah netral, yang boleh dilalui baik jemaah perempuan dan laki-laki.
Perempuan-perempuan pengguna kursi roda itu dari berbagai bangsa selain Indonesia; Turki, India, Bangladesh, dan lainnya. Umumnya usia mereka memang sudah lanjut. Ada yang ditemani oleh anak perempuan atau saudara perempuannya. Namun sering pula saya dapati yang sendiri tanpa pendamping perempuan. Ketika shalat selesai dan orang-orang mulai beranjak dari saf-nya, mereka tetap tinggal di situ. Duduk berzikir di atas kursi rodanya, menunggu penjemput , sementara di sekelilingnya orang-orang lain berlalu-lalang.<br />
<br />
Menyaksikan mereka, otomatis membuat saya sangat bersyukur. Kami, saya dan suami, telah diberi kesempatan untuk melakukan ibadah haji di usia yang relatif muda. Ketika badan masih sehat dan kuat. Masih mampu berjalan sendiri tanpa harus dibantu oleh orang lain. Masih bisa melakukan seluruh rangkaian ibadah wajib maupun sunnah tanpa kendala jasmani yang berarti.<br />
<br />
Rasa haru pun tak kuasa timbul. Terutama tatkala menjadi saksi bakti para anak pada orang-tuanya. Mereka menghajikan ibu bapaknya. Mendampingi mereka. Mendorongkan kursi rodanya dengan sabar. Memperbaiki letak kerudung ibunya yang mulai menampakkan helai-helai rambut. Mengambilkan air minum untuknya. Bahkan terkadang tanpa ragu menggendong orang-tuanya di punggung ketika harus menaiki tangga. <br />
<br />
---<br />
Beberapa hari kemudian. Masih di Masjidil Nabawi, Madinah. Awal Oktober. Kali ini menjelang shalat Asar. Suara azan sudah mulai berkumandang. Saya dan para jemaah lain yang masih berjalan menuju masjid, segera bergegas agar dapat tiba di barisan sebelum shalat dimulai.<br />
<br />
Di pintu gerbang pekarangan masjid, mata saya tertumbuk kembali pada sebuah kursi roda. Seorang perempuan yang sudah lanjut usia duduk di kursi roda itu. Tapi kali ini yang mendorong adalah seorang laki-laki yang juga sudah tua: suaminya…<br />
<br />
Lelaki tua itu berpeluh, berusaha mendorong kursi roda istrinya agar bergerak lebih cepat, mengejar waktu shalat. Melihat pasangan tua itu, tak tertahankan mata saya terasa basah. Kerongkongan medadak tercekat. Selarik doa pun terucap di hati:<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>Ya Robb, yang telah menganugerahkan kasih-sayang di antara pasangan tua itu, sayangilah mereka. Ya Rahman, yang telah memberikan mereka usia yang panjang dan kesempatan untuk mengunjungi-Mu, berilah mereka kemudahan. Ampuni dosa-dosa mereka. Kelak, perkenankanlah mereka untuk bertemu kembali. Selalu bersama, di surga-Mu…
</i></blockquote>Unknownnoreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-42719051511369337012012-12-17T00:11:00.001+07:002012-12-17T01:49:01.249+07:00(Kembali) Menghampiri-Nya [Catatan Perjalanan Haji #1]<b>25 September - 5 November 2012</b>. Tanggal ini saya terakan di sini. Sebagai sebuah catatan dari perjalanan besar -- lahir dan batin -- yang telah saya lalui tahun ini. Berhaji.<br />
<br />
Manusia sungguh mudah lupa. Hari ini, baru saja perjalanan itu berlalu 40 hari, namun ramuan aneka rasa yang saat itu begitu tajam sudah mulai menghambar. Rekaman momen-momen yang dulu begitu jelas, mulai memudar. Dan yang paling saya takutkan, grafik iman balik jadi datar lagi -- bahkan menurun -- ketika hidup dihadapkan kembali pada remeh-temeh sehari-hari. <br />
<br />
Perjalanan haji memang tak mudah. Tapi kini yang saya rasakan, jauh lebih sulit lagi adalah mengekalkan, mengabadikan semua yang telah dialami dalam perjalanan itu. Bukan hanya sebagai sebuah kenangan, tapi hingga melebur dalam diri, dalam setiap niat, pikiran, dan tindakan.<br />
<br />
Karenanya, betapa pun sudah mulai memudar, saya mencoba menuliskan kembali rasa dan peristiwa itu. Jika haji, menurut Ali Shariati, adalah perjalanan menghampiri-Nya. Catatan ini adalah perjalanan saya untuk 'kembali' menghampiri-Nya. Sebagai salah satu cara saja (dari banyak cara lain yang mungkin akan saya lakukan). Agar tidak lupa.<br />
<br />
--- <br />
<br />
<i>I want to bottle up all the feelings, emotions, </i><br />
<i>atmosphere, events,
fragments, scenes, & faces... </i><br />
<i>I wanna bottle up all & open it
later.</i>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-71853036591851234932011-10-27T23:33:00.002+07:002011-10-28T07:35:27.290+07:00Kembali<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXRAhb57bLTKe4XsaB7-ctMcQDZ6i1Lj91I1D9VeHGe7ULCthbP1KG4tb0uSp8f0fwfIR3JAYtrxLygyuPF1BzBypcsVczYHhyphenhyphenQZcovZfpVbkCjrPq3TlmW1dTIsBB-SualLPLIg/s1600/duduk.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXRAhb57bLTKe4XsaB7-ctMcQDZ6i1Lj91I1D9VeHGe7ULCthbP1KG4tb0uSp8f0fwfIR3JAYtrxLygyuPF1BzBypcsVczYHhyphenhyphenQZcovZfpVbkCjrPq3TlmW1dTIsBB-SualLPLIg/s400/duduk.jpg" width="180" /></a></div><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<i>Ketika kamu hendak menulis kembali blog yang sudah kamu tinggalkan lamaaa sekali, apa yang kamu lakukan pertama kali?</i><br />
<br />
Aku? Aku kembali membaca sekilas blog ini. Mencari remah-remah yang tercecer di sepanjang perjalanan hampir 9 tahun <strike>ngeblog</strike> punya blog. Mencari 'apa' dan 'mengapa'? <br />
<br />
Kenapa dulu mulai menulis blog? Ah, itu mudah. Setiap blogger punya kisahnya sendiri. Aku pun punya cerita panjang sendiri (kalau mau dibikin panjang :p). Sebenarnya alasan mendasarnya sih gampang aja: Ini benda ajaib, mainan baru. Titik. Kenapa lalu pergi? Sibuk, bosan, dan sejuta alasan lain. Mungkin pada dasarnya: keajaibannya memudar (bagiku) :)<br />
<br />
Ah, tapi lalu kenapa tetap dibiarkan ada? Ini karena sejujurnya aku masih menyimpan harapan, bahwa mungkin suatu waktu aku akan kembali. Setidaknya membacanya lagi. Untuk bercermin, agar tidak lupa raut diri. Atau sekedar menelusuri lorong waktu agar ingat asal mula apa yang ada kini.<br />
<br />
Membaca remah-remah ini, membuatku juga tersadar bahwa blog ini juga tempat kembali, ketika aku butuh menulis untuk sejenak berjarak dari 'aku'. Lihat 3 posting berturut-turut di bulan Juni 2010? Itu adalah saat-saat aku menetapkan hati, membuat salah satu keputusan yang tidak mudah dalam hidupku: Berhenti mengarungi macetnya Jakarta tiap hari. Kembali ke rumah. Berhenti berkarir sebagai pekerja kantoran. Merekonstruksi lagi mimpi. ...<i> into the air, dandelion fly. </i><i>fly, fly away </i><i>to anywhere but stay....</i><br />
<br />
---<br />
<br />
Sebenarnya aku tak pernah benar-benar pergi. (Ternyata) memang aku selalu kembali. Belum ada satu tahun pun terlewati: 2002 - 2010. Dan yang satu ini untuk 2011 :) <br />
<br />
<i>Dan, oh... Selamat #HariBlogger ! :)</i>Unknownnoreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-34510281641872206382010-06-25T15:32:00.002+07:002010-06-25T15:39:49.337+07:00blessed<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiq1hbfHghgyWdI_lYXbPgHMuQLr232HGzBE9DP0q922gcmtJd6ouvoiCiQwnLo5t8twtFjrYiUbXxiOI24Oing38vU_fZZTWvYZ3O4cfzTjXjmUWTvoB9jVNAhJfUpja4MY0cnvw/s1600/window.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 166px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiq1hbfHghgyWdI_lYXbPgHMuQLr232HGzBE9DP0q922gcmtJd6ouvoiCiQwnLo5t8twtFjrYiUbXxiOI24Oing38vU_fZZTWvYZ3O4cfzTjXjmUWTvoB9jVNAhJfUpja4MY0cnvw/s200/window.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5486627989920201522" border="0" /></a><br /><br />the window. wide open. lying on bed. watching the pouring rain outside. tree branches are swinging. its leaves are dancing. under the water drops. with the musical of rain. on one fine day.Unknownnoreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-56376015694588968822010-06-25T14:32:00.004+07:002010-06-25T14:55:49.663+07:00flying away<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia0l_iJyREB6uDQw_Z9U-vtx18q3sAvI4aQbzn-otFpaiwjYWxw2vgyhIwP4Ixsq57n8Q8un9nxJPjGPEaSwDqkH7SUDnvsGcaV6Y6edflQOJO0BnuXKws9e5ta1I5PlP-AKfbDg/s1600/dandelion3.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 200px; height: 134px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia0l_iJyREB6uDQw_Z9U-vtx18q3sAvI4aQbzn-otFpaiwjYWxw2vgyhIwP4Ixsq57n8Q8un9nxJPjGPEaSwDqkH7SUDnvsGcaV6Y6edflQOJO0BnuXKws9e5ta1I5PlP-AKfbDg/s200/dandelion3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5486616752098642146" border="0" /></a><br /><br />blow with a whisper and wishes<br />into the air, dandelion fly<br />fly, fly away<br />to anywhere but stay<br /><br /><span style="font-size:78%;">foto: google image</span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-77483330995398467152010-06-25T14:01:00.008+07:002010-06-25T16:22:53.500+07:00the paper boat story<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyiN3Co6kZ2IYkLD49gVj6czY4fC62SyB9rPqa7i0bo5QkpHO9GiGRUgDLxQF4o5ghUKTel2otvYCaVxPmU-kTzOhf3V-vibaJTg0Y-466TDCOqquStmfoEpSRyOMkme4Rh9SB_w/s1600/perahukertas.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: none; cursor: pointer; width: 130px; height: 118px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyiN3Co6kZ2IYkLD49gVj6czY4fC62SyB9rPqa7i0bo5QkpHO9GiGRUgDLxQF4o5ghUKTel2otvYCaVxPmU-kTzOhf3V-vibaJTg0Y-466TDCOqquStmfoEpSRyOMkme4Rh9SB_w/s400/perahukertas.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5486605959494133154" border="0" /></a><br />I once had a paper boat. The lil' girl in me used to sail with it through the river. It floated up and down along the stream.<br /><br />Somehow it stopped, somewhere. I forgot it was just made from a piece of paper. Soon it's getting wet and drowned. The paper boat sank. The lil' girl wast lost. The dream faded away.<br /><br />Oneday, two lil' boys brought some pieces of paper and said, "Mom, teach us how to make a paper boat and play it with us." The lil' girl in me suddenly woke up. But it took a courage to start dreaming and sailing again.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Hopefully the paper boat will float again, someday, </span><span style="font-style: italic;">somehow</span><span style="font-style: italic;">...</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-49183681942833302892009-07-02T18:15:00.000+07:002009-07-02T18:16:16.845+07:00Her Story (3)Apakah itu? Tembang, lagu, senandung? Mendengung di rongga kepalanya akhir-akhir ini. Menyelusup di bilik benaknya. Ketika senyap mengepung sendirinya di antara bising kota. Ketika riuh kepala mengalahkan heningnya kelam.<br /><br />Itu semacam lagu. Ataukah mantra? Ah, tak penting nama. Itu penyerta dongeng kecilnya dulu. Ketika ibunya bercerita sebelum tidur. Ia tak ingat adakah elusan di kepala menyertainya? Mungkin itu usapan pelan di punggungnya. Tapi ia ingat sekilas cerita itu. Ia ingat tinggi rendah nada lagunya. Ia ingat sebait lirik asing yang dulu tak begitu dimengertinya.<br /><br />Ingatkah kau? Itu kisah tentang seorang gadis kecil yang tersesat di dalam rimba. Dirindunya sang bunda. Gadis kecil pun bersenandung. Atau meratap? Memanggil seekor elang yang terbang. Meminta dibawa pulang ke pangkuan bunda.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Elang sikak, elang segonggong<br />Gonggong aku ke rumah induk<br />Kagek ku upah jago sikok<br /><br />Elang sikak, elang segonggong<br />Gonggong aku ke rumah induk<br />Kagek ku upah jago sikok</span><br /><br />Benarkah itu? Mungkin ia tak ingat kata-kata yang sebenarnya. Tapi gaung senandung kian kerap menyambangi. Menyisakan tanya. Apa dan mengapa.Unknownnoreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-22848730754264800742009-07-02T18:02:00.001+07:002009-07-02T18:14:57.403+07:00Her Story (2)Beruntunglah perempuan yang dapat mencintai ibunya dengan mudah. Yang tetap menyukai ibunya walaupun ia telah beranjak dewasa. Yang dapat menceritakan segala kisah pada ibunya tanpa harus merasa takut salah ucap. Yang dapat mencium pipi putih ibunya tanpa harus merasa rikuh. Yang tak harus menahan diri untuk tak berkata tajam, setiap kali sang ibu berbicara padanya. Yang dapat dengan mudahnya mengucap, “I love you, Bu!”<br /><br />Beruntunglah mereka.Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-16722379774774303442009-05-16T10:32:00.003+07:002009-05-16T16:25:19.502+07:00Di Ruang TungguDuduk di sebuah rumah sakit. Menunggu. Hari ini Sabtu. Ramai sekali seperti sebuah pusat belanja di akhir minggu. Selalu seperti ini. Sejak bertahun-tahun yang lalu. Oh, sejak lebih dari tujuh tahun yang lalu. Ketika berkunjung ke tempat ini jadi sesuatu yang rutin. <p>Beberapa sudut sudah berubah. Berkali-kali. Dulu pojok itu adalah kantin kecil yang menjual risol kegemaran ibu. Lalu ia dilengkapi sebuah perosotan plastik, tempat Obin melewatkan waktu menunggu sambil belajar mengantri giliran dan mengalahkan rasa takut. Kini kantin dan perosotan sudah pindah. Entah ke bagian lain yang mana di bangunan ini. Sebuah ruang dengan pintu kaca yang berhias stiker bunga-bunga cantik berdiri di situ kini, menjelma sebuah klinik spesialis entah apa yang baru. Pojok itu tumbuh. Berkembang. Maju.</p><p>Duduk menunggu sendiri di sini. Di tengah keramaian. Tak disangka terasa sungguh menyenangkan. Seperti mendapatkan kesempatan yang sangat langka. Tersadar betapa waktu untuk menikmati kesendirian sudah sangat sulit didapatkan.</p><p>Di sini. Duduk sendiri. Di tempat yang tanpa kau sadari ternyata menyimpan banyak memori diri. Teringat tubuh dengan nyeri operasi berjalan melintasi ruang ini. Kunjungan unit gawat darurat di pagi hari ketika luka tak kunjung menutup. Teringat hati yang penuh bahagia ketika membawa bayi pertama pulang. Dan bayi ke dua. Teringat...</p><p>(Oh, si dokter gigi sudah datang. <span style="font-style: italic;">It's time for my root canal treatment. </span>)</p>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-21478421779273947082009-04-29T15:20:00.002+07:002009-05-16T16:21:07.721+07:00Her Story - 1i hold a spoon and feed her<br />for the very first time<br /><br />i hold her hand tight<br />for she makes a step with her trembling body<br />for the very first time<br /><br />i kiss her white soft cheek<br />and wrinkle on her brow<br />not so for the very first time<br /><br />you'll be fine, you'll beat them up<br /><br />the unspoken words left unsaid<br />still not for the very first time<br /><i>: i love you, mom</i><br /><br />2004Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-82028538900087541332008-04-16T12:54:00.004+07:002008-04-16T18:09:19.266+07:00Setahun Lebih<em>Wow, sudah setahun!</em> Itu yang terlintas di kepala saya ketika melihat kupu-kupu berterbangan di jalan yang saya lewati pagi hari, sekitar satu atau dua bulan yang lalu. Gak kerasa, masa sudah bergulir setahun lebih sejak saya tulis posting <a href="http://neenoy.blogspot.com/2007/01/kupu-kupu-pagi.html">Kupu-Kupu Pagi</a>.<br /><br /><em>Kemana aja?</em> Di sini aja. Di Jakarta. Masih tinggal di rumah yang sama. Masih kerja di tempat yang sama. Masih tiap pagi sore lewat jalan yang sama.<br /><br /><em>Kenapa lama gak ngeblog?</em> Jawaban sok keren: lagi hibernasi. Hehehe... mungkin lagi masanya aja, ya. Waktu, energi, lagi terserap untuk hal-hal lain. Awalnya gak sempat ngeblog. Lama-lama merasa nyaman aja hidup tanpa blog. Kadang-kadang masih ingin menggoreskan cerita naik-turunnya hidup di jurnal maya ini. Sekedar catatan agar tak lupa. Atau kadang masih ingin berbagi kabar. Cuma seringnya terlambat lalu terasa jadi basi.<br /><br />Yang ini sekedar catatan. Tahun lalu adalah <em>roller coaster</em>. Peristiwa-peristiwa mengaduk-aduk emosi. <em>By pass</em>. Ruang tunggu rumah sakit. Halusinasi. Kantor. Perubahan besar. Adek. <em>Caesarian</em>. Komplikasi. <em>Varicella.</em> Karantina. <em>Baby blues.</em> Namun hidup berlalu. Suka maupun duka tak ada yang abadi.<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFeRSlRUTsrkyuLScbMQaZTI653I6p0tVcnGxcaitf0jSCd7LTlSkvPbrCqJiyW6JOFkqqeqNcyF4rNBM4Ysjw62AoRhRvdCq6pfA6R8vDE0YMkLufNkX7xHiT4knC3XH7bHHDTQ/s1600-h/radian.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5189793836184640018" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFeRSlRUTsrkyuLScbMQaZTI653I6p0tVcnGxcaitf0jSCd7LTlSkvPbrCqJiyW6JOFkqqeqNcyF4rNBM4Ysjw62AoRhRvdCq6pfA6R8vDE0YMkLufNkX7xHiT4knC3XH7bHHDTQ/s200/radian.jpg" border="0" /></a>Yang ini berbagi kabar. Kenalkan, ini Radian Akhtar, satu lagi bintang di kehidupan kami. Kadang dipanggil Adek, kadang Radian. Sudah tujuh bulan usianya sekarang. Mirip sekali dengan Obin kecil, hanya tanpa ikal rambutnya. <em>Alhamdulillah</em> sehat, lucu, dan nggemesin.<br /><br /><br />Yang ini permintaan maaf. Atas kunjungan yang tak berbalas. Sapa yang tak bersambut. Ucapan selamat dan rasa terima kasih yang tak tersampaikan. Silaturahmi yang terputus. Saya sesungguhnya tak punya alasan yang layak. Namun sungguh mohon dimaafkan. Maaf...Unknownnoreply@blogger.com20tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-37573282321080343882007-01-24T15:16:00.000+07:002007-01-24T15:32:31.133+07:00Kupu-kupu PagiPagi hari. Terang. Langit biru cerah, gak biasa. Di jalan, pemandangan yang biasa: Manusia yang (maunya) bergegas kerja. Wajah-wajah masih setengah mengantuk, membisu di balik kaca mobil. Motor-motor berdengung seperti sekawanan tawon. Suara klakson tak sabar. Biasa. Klise. <br /> <br />Tapi di suatu pagi yang terang dan tidak biasa, coba naikkan pandanganmu sejenak. Sekitar dua meter di atas barisan kendaraan di jalan. Agak ke tepi. Di antara hijau pepohonan. Ah, ya... mungkin dirimu tak seberuntung aku. Sepenggal jalan yang kulalui tiap pagi masih menyisakan deretan pepohonan yang ya... cukuplah. Ya, jadi jika dirimu masih cukup beruntung, cobalah mendongak sedikit pada ranting dan daun yang menaungi pingiran jalan. Berbahaya? Dalam gerak yang merayap seperti itu, rasanya sih cukup aman. <br /> <br />Nah, di suatu pagi dengan langit biru cerah, coba naikkan sudut matamu sejenak. Jika kau seberuntung aku, maka di sana kau akan melihat hal yang luar biasa. Ternyata ada keriuhan lain di atas sana. Kau akan melihat buanyaaak kupu-kupu berterbangan. <br /><br />Sekawan kupu-kupu kecil bersayap kuning pucat terbang beriringan mengitari sebatang angsana. Dari pucuk yang satu ke pucuk yang lain. Dari ranting ke ranting. Dari pohon ke pohon. Kupu-kupu di hampir setiap batang pohon yang berbunga malu-malu tak pamer. Ada sepasang kupu-kupu bersayap hijau kebiruan yang cantik berkejaran di pucuk glodongan. Kupu-kupu kuning terang melayang merendah. Haha... kupu-kupu hitam terbang menyeberang jalan. Kupu-kupu kuning terang hinggap sejenak di helm kuning :)<br /><br />Pagi yang menyenangkan. Bukan pagi yang biasa, pasti...<br /><em><br />(catatan yang tertunda dari seminggu yang lalu)</em>Unknownnoreply@blogger.com21tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-87544819381592849472007-01-24T09:43:00.000+07:002007-01-25T13:34:43.164+07:00:becoming dew<img style="cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDYdfKjfpSbRsoHWEbtmA9eZ-3xOBz64mhN8VRSkoPSPPo1I8XXOzj3E5U1msL_eaPyObQJd6OYZGGkAurfWz8q_G_8OnGFBCvzRI-A4sBI0FY_JOiDSg9WtB5oYjRuimD60sGmA/s200/becoming+dew.jpg" border="0" alt="" /><br /><br />Ada pesan pendek dari Reda:<br /><blockquote>Neenoy, saya dan Ari akan melepas album musikalisasi puisi Sapardi <strong>:becoming dew</strong> pd hr Jumat, 26 Jan 07, pk 20.00, di Warung Apresiasi Bulungan. Datang & ajak teman2 ya.</blockquote><p><br />Thanks, Mbak... Mudah-mudahan saya bisa datang ya.<br /><br />Info lebih lanjut:<br /><ul><li>Detail Launching Becoming Dew di <a href="http://arireda.blogspot.com/2007/01/becoming-dew.html">Blog Ari-Reda</a><br /><li>Pemberitahuan di blognya <a href="http://anotherfool.wordpress.com/2007/01/23/becoming-dew/">Jaf</a><br /></li></ul>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-11385672982943335702007-01-08T14:00:00.000+07:002007-01-08T16:25:15.532+07:00Hadiah Tahun BaruPergantian tahun biasanya jarang menjadi peristiwa yang istimewa buat saya. Tapi ternyata pergantian tahun kali ini, lain dari biasanya.<br /><br />Tepat tanggal satu Januari yang lalu, saya membeli sesuatu untuk diri saya sendiri. Benda putih kecil. Esok paginya, <em>it's confirmed</em>. Tahun baru kali ini kami sekeluarga dapat hadiah yang istimewa. Ini juga hadiah buat <a href="http://obin.blogspot.com" target="_blank">Obin</a> yang sudah hampir setahun minta adek :p. Insya Allah. Mohon doa, ya...<br /><br />Dan sekarang saya jadi males ngapa-ngapain, termasuk ngeblog... hehehe alesan :p<br /><br /><strong>Selamat 2007!</strong>Unknownnoreply@blogger.com18tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-92180584574289758382006-12-21T12:30:00.000+07:002006-12-21T12:41:39.555+07:00MigrasiJudulnya, lagi pindahan ke <a href="http://www.blogger.com" target="_blank">New Blogger <s>Beta</s></a> , nih. Ah, segini dulu aja deh. Ntar kalo sempet diutak-atik lagi. Hehehe, tapi terus terang penasaran juga.<br /><br />Btw, kalo dipikir-pikir, gw tuh setia banget sama <a href="http://www.blogger.com" target="_blank">Blogger</a>. Dari pertama sampe sekarang, gak pernah pindah ke lain <s>hati</s> tools. Harusnya dapat penghargaan dari <a href="http://www.blogger.com" target="_blank">Blogger</a>. Hahaha. Padahal sih faktor males aja dan juga gaptek. :pUnknownnoreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1165377214414127262006-12-06T10:50:00.000+07:002006-12-21T15:11:22.312+07:00Jarak Waktu<em><blockquote><em>Kemana pun ia pergi dibawanya sebundel surat-surat yang masih tersimpan dalam sampul putihnya. Surat-surat yang tidak untuk dibaca saat ini. Karena di masing-masing sampul telah tertera tanggal-tanggal di masa depan. Momen-momen yang tepat untuk membukanya. Untuk membacanya. Kelak. Nanti.</em></blockquote></em> Apa yang terlintas di pikiranmu ketika membaca sekelumit cerita di atas?Unknownnoreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1163575987843961732006-11-15T14:08:00.000+07:002006-11-15T15:59:15.566+07:00Lebih Ramah?Beberapa waktu yang lalu, saya lagi keisengan, buka halaman <a href="http://www.haloscan.com" target="_blank">haloscan.com</a> – sistem komenting yang saya pakai duluuuu sekali (tahun 2003-2004 an) sebelum <a href="http://www.blogger.com" target="_blank">Blogger</a> punya komsis-nya sendiri. Iseng-iseng keterusan, coba-coba log-in (duh takjub, username dan passwordnya ternyata benar, hahaha), dan lalu jadi kaget… <strong>“Haaah… komen-komen saya masih ada?!” </strong>Dulu aja, waktu masih pakai haloscan itu, komen-komen yang sudah lewat empat bulan otomatis hilang. Eh sekarang, setelah bertahun-tahun gak dipakai, malah terarsip dengan rapi.<br /><br />Dan mulailah saya bernostalgia membaca sekilas komen-komen lawas itu. Hahaha, lucuuu! Itu adalah jaman ketika belum banyak orang menulis blog. Jaman ketika ngasih komen ke seluruh blog yang kita kenal masih terasa ringan (ya, seenggaknya saya saat itu ketagihan memberi dan menerima komen, hehehe). Jaman ketika komen-komen nge-junk -- seperti <strong>"Pertama!!! *jingkrak-jingkrak*" </strong>-- masih saya baca dengan senyum lebar (soalnya saya kadang juga suka nge-junk gituloh). Jaman ketika komen plesetan cerdas sangat ditunggu-tunggu, karena bisa bikin saya ketawa ngakak berguling-guling (hihihi ini hiperbola sih). <em><span style="color:#6666cc;">Oh, btw, kalo mau tahu jenis-jenis komentar blog bisa baca di blognya </span><a href="http://nita.goblogmedia.com/jenisjenis-komentar-blog.html" target="_blank" title="the so called 'pemerhati blog' :)"><span style="color:#6666cc;">Nita</span></a></em><span style="color:#6666cc;">.<br /></span><br />Tapiiii… ada satu hal lagi yang lebih bikin saya terpana: duluuuu saya terlihat jauh <strong>lebih ramah</strong>. Karena duluuu… hampir setiap komentar saya balas satu-persatu. Oops ntar dulu nih… TERLIHAT? Hmm… setidaknya begitu kelihatannya di mata saya (versi sekarang). Dan itu bisa berarti saya yang sekarang terlihat lebih tidak ramah… hehehe… Walaupun yang 'terlihat' itu belum tentu benar, sih -- baik yang dulu maupun yang sekarang (hehehe lagi…).<br /><br /><span style="color:#6666cc;"><em>Btw, komen-komen jadul itu saya pasang lagi untuk posting-posting yang juga jadul itu. Kali-kali aja ada yang iseng pengen membandingkan. :p</em><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com18tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1162544401062118162006-11-03T15:56:00.000+07:002006-12-21T15:10:56.491+07:00Jalan Bercabang Dua<em>"Di dekat rumahku ada jalan yang lucu,"</em> katanya padaku tiba-tiba di tengah-tengah kebisuan kami. Lalu ia pun bercerita.<br /><br />Ada persimpangan di jalur yang dilewatinya setiap pagi. Simpang jalan yang lucu. Sebuah jalur searah untuk tiga mobil kemudian memecah menjadi dua buah jalan yang lebih kecil, seperti huruf Y. Kita sebut saja kedua jalan yang lebih kecil itu, jalan baru dan jalan lama. Kedua jalan tersebut terbentang bersisian, berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh deretan bangunan. Lucunya, setelah sekitar satu kilometer, ujung kedua jalan itu akan kembali bertemu. Dan di antara deretan-deretan bangunan yang memisahkan kedua jalan tersebut, kadang masih ada tanah lapang yang kosong, sehingga para pelaju di salah satu jalan bisa memandang ke jalan yang satunya lagi untuk membandingkan tingkat kemacetan. Hanya saja jarak masih terlalu jauh, sehingga sulit untuk bisa saling melambai tangan.<br /><br />Tahun lalu, dan selama bertahun-tahun sebelumnya, ia selalu melewati jalan yang di sebelah kiri, yaitu jalan yang lama. Tentu saja, karena dulu jalan yang baru belum ada. Ketika itu, jalan yang lama selalu padat sewaktu ia melewatinya di pagi hari. Kendaraan harus lewat dengan tersendat-sendat. Kini, ia selalu memilih yang baru. Namanya juga baru, jalannya terasa lebih mulus untuk melaju. Padahal ia tahu, kedua jalan toh berakhir di satu ujung yang sama.<br /><br />---<br /><br /><em>"Suatu hari, mendadak aku ingin mengambil jalan lama di sebelah kiri,"</em> jelasnya padaku.<br /><br />Impulsif saja, katanya. Mungkin kangen suasananya, ia mencoba memberi penjelasan yang lebih rasional (atau malah gak rasional, ya?). Ia kangen orang-orang yang ada di sisi jalan yang itu. Di situ, katanya lagi, ada sebuah bangunan sekolah dasar. Ada bapak-bapak tua bertubuh kecil -- lengkap dengan papan rambu-rambu, topi, dan peluit -- bertugas tiap pagi menghentikan kendaraan sejenak untuk menyeberangkan anak-anak sekolah. Ada rumah sangat-sangat besar dengan pagar tinggi dan papan di gerbang bertuliskan: hati-hati banyak anak-anak. Ia bilang, kata orang-orang -- karena ia belum pernah melihat sendiri -- rumah itu adalah milik seorang kaya pemurah yang punya banyak sekali anak asuh. Lalu ada lagi sebuah rumah bergaya tahun tujuh puluhan berhalaman luas, dengan seekor anjing yang berlari-lari di sana. Yah, pokoknya ia mendadak kangen dengan semua itu. Terutama anak-anak sekolah dan bapak tua penyeberang jalan itu, tegasnya lagi.<br /><br /><em>"Tapi hidup itu lucu. Benar kata orang-orang itu. Hidup memang sungguh lucu,"</em> ia berkata sambil tersenyum samar dengan pandangan yang menerawang.<br /><br /><em>"Kau tahu apa yang lalu terjadi?"</em> tanyanya kemudian yang tentu saja aku jawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.<br /><br />Belum juga sampai separuh jalan, tiba-tiba ada pengendara motor yang melambai padanya dan memberi tahu bahwa ban mobilnya bocor. Yup, bocor blas, katanya. Ada dua buah paku menancap di ban kiri belakang kendaraannya. Paku yang sengaja disebar, terbuat dari jari-jari payung yang diruncingkan. Ranjau-ranjau yang sudah menemukan korbannya.<br /><br />---<br /><br /><em>"Hidup itu lucu, kan?"</em> Entah itu tanya atau pernyataaan yang minta dukungan.<br /><br />Aku manggut-manggut. Iya. Hidup itu memang lucu. Selucu jalan bercabang dua di dekat rumahnya. Jalan yang, mau tak mau, harus dipilihnya jika ingin terus. Ia tak pernah tahu apa yang akan ditemuinya di cabang pilihannya. Pun ketika ia telah akrab dengan kedua jalan itu. Pun ketika ia tahu bahwa keduanya akan berujung pada satu muara yang tak beda.<br /><br /><em>"Kau tahu apa yang lebih lucu lagi?"</em> tanyanya kembali yang -- sekali lagi -- tentu kujawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.<br /><br /><em>"Setelah ban gembos, aku baru sadar, kalau ternyata hari itu sekolah sudah libur. Tak ada anak-anak sekolah dan si bapak tua penyeberang jalan."</em>Unknownnoreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1162376764815835932006-11-01T16:53:00.000+07:002006-12-21T15:10:34.811+07:00Hujan SemalamMari kita rayakan hujan. Butir-butiran segar yang turun menyiram bumi. Setelah sekian lama kering menguningkan rumput-rumput, meluruhkan daun-daun, menggunduli ranting-ranting. Setelah beberapa mendung tapi tak hujan. <br /><br />Semalam hujan luruh menderas selepas magrib. Mengharumi tanah. Menguar aroma basah. Angin menggoyang cabang-cabang kencang. Daun-daun, ranting-ranting menari bersama.<br /><br />Mari kita rayakan hujan. Duduklah sebentar di teras bersamaku. Kita menyanyi berdua. Lagu kesukaan kita, yang sudah lama tak kita dendangkan. Ayo kita bersimpuh di beranda. Menghitung kodok-kodok yang bermunculan dan berlompatan di pekarangan. Mendengar bunyi air yang turun dari ujung talang. Membiarkan wajah menyegar disapa angin yang basah.<br /><br />Mari kita rayakan hujan. Bersama daun-daun. Ranting-ranting. Pohon-pohon. Rumput-rumput. Kodok-kodok. Tanah basah. Desau angin. Bersama kita melisan syukur.Unknownnoreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1162199552342302032006-10-30T16:01:00.000+07:002007-01-03T15:59:47.328+07:00Maaf<center><a href="http://www.itypeit.net/"><img src="http://img165.imageshack.us/img165/2808/476fd1.jpg" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">Selamat Idul Fitri<br />Mohon Maaf Lahir Batin<br /><br />maaf<br />maaf<br />maaf</span></span></strong><br /></span><br /></center><br /><br /><em><span style="font-size:85%;color:#6666cc;">*image by <strong>itypeit</strong> (via </span></em><a href="http://blog.sepatumerah.net"><em><span style="font-size:85%;color:#6666cc;">okke</span></em></a><em><span style="font-size:85%;color:#6666cc;">)</span></em> <p></p>Unknownnoreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1161165440659802572006-10-18T13:16:00.000+07:002006-12-21T15:09:52.522+07:00Mengambang dan BerayunTerbaring malas di kamar. Kala itu pagi. Selembar koran di tanganmu. Kau baca. Lalu mulailah kalimat-kalimat bergulir di udara. Dialog. Monolog. Antara hakikat dan syariat.<br /><br />Di luar jendela, ada layang-layang tersangkut di ujung atap. Menggantung pada sejengkal benang. Kertas putihnya terkoyak. Tinggal buluh rangka dan sisa sobekan, berayun-ayun dicanda angin kemarau.<br /><br />Melengkung sudut bibirmu. Suara menyublim dalam ruang. Mengambang. Hakikat dan syariat hilang dalam angin. Hanya ada layang-layang robek berayun-ayun di depan matamu.Unknownnoreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1160380579483148232006-10-09T14:42:00.000+07:002006-10-17T15:19:50.563+07:00Bangkok dan Bunga<a href="http://travel.webshots.com/photo/2832254650097021000CMJMVq" target="_blank"><img alt="Image hosted by Webshots.com" src="http://thumb0.webshots.net/t/59/459/2/54/65/2832254650097021000CMJMVq_th.jpg" /></a><br /><br />"Wow, kota ini penuh dengan bunga!" Itu salah satu kesan saya mengenai kota Bangkok, saat pertama kali menyusuri jalan-jalannya di awal Maret tahun ini.<br /><br />Bunga, bunga, bunga.... Di sepanjang jalan yang saya lalui, saya melihat banyak sekali pohon peneduh dengan kerumun bunga merah muda pucat. Memenuhi kota. Cantik. Bahkan di pelataran parkir tempat saya menginap, kaki saya melangkah di antara serpihan gugur bunga yang sama. Pepohonan berbunga itu, di mata saya sekilas terlihat seperti bungur atau (mungkin) sakura. Entahlah, saya tidak tahu banyak tentang tanaman.<br /><br /><span class="fullpost">Saat itu, saya sempat bertanya pada An - rekan kerja saya di Thailand (ya, saya pergi untuk urusan kerja) – apa nama bunga yang mendominasi pemandangan di kota Bangkok itu. Ternyata dia juga tidak tahu, "<em>I don’t know, I just call it sakura</em>," katanya sambil tertawa. Hehehe... ternyata dia sama saja dengan saya, gak ngerti tanaman.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2118405500097021000oocFCg" target="_blank"><img alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/59/559/4/5/50/2118405500097021000oocFCg_th.jpg" align="right" /></a> Selain kerumun bunga merah muda, saat itu Bangkok juga dipercantik oleh pepohonan dengan juntaian bunga berwarna kuning. Kali ini An bisa menjawab, <em>"We call it King’s Flower. Warna kuning itu, warnanya raja. Orang-orang menganggap pohon ini sebagai pohon keberuntungan. Jadi banyak yang menanamnya di halaman tempat usahanya. Seperti di restoran ini."</em><br /><br />---<br /><br />Bangkok memang penuh bunga, dan sepertinya bunga memang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Thailand.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2011895490097021000cbIMVg" target="_blank"><img alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/32/33/8/95/49/2011895490097021000cbIMVg_th.jpg" align="left" /></a> Selain tanaman peneduh jalan yang berbunga, kita bisa melihat bunga-bunga hias di berbagai sudut kota. Penjual berbagai bentuk bunga -- bunga hidup, bunga potong, bunga tabur, roncean bunga -- juga mudah ditemui di mana-mana. Roncean bunga (<em>phuang malai</em>) bahkan dijual dengan cara diasongkan di pinggir-pinggir jalan.<br /><br />Bahkan... bunga pun bisa jadi penganan. Dalam satu perjalanan ke tempat wisata di pinggir kota Bangkok, saya sempat mencicipi berbagai jenis bunga goreng! Yup... digoreng seperti tempura. <em>Frangipani</em> goreng, <em>bougenville</em> goreng, asoka goreng, <em>blue-butterfly-pea</em> goreng, dan... lain-lain yang saya lupa atau tidak tahu namanya. Rasanya? Yang saya ingat, <em>bougenville</em> terasa getir. Sementara <em>blue-butterfly-pea </em>terasa agak manis.<br /><br />---<br /><br />Dalam perjalanan ke-dua ke Bangkok, September lalu, dalam hati saya berharap akan disambut oleh kerumun bunga yang sama. Hahaha, saya harus kecewa. Saya lupa. Ternyata seperti <a title="saya dan flamboyan" href="http://neenoy.blogspot.com/2004/11/flamboyan.html">'flamboyan saya'</a>, pohon-pohon berbunga ini pun punya musimnya sendiri. <span style="color:#ff6600;"><em>(Dan sekarang, Oktober, adalah musim flamboyan! Beberapa batang flamboyan di sepanjang perjalanan saya ke kantor mulai berbunga. Senangnya :p )</em></span><span style="color:#ff6600;"></span><br /><br /><br /><br /><div align="center"><div style="BORDER-RIGHT: black 1px dashed; PADDING-RIGHT: 7px; BORDER-TOP: black 1px dashed; PADDING-LEFT: 7px; PADDING-BOTTOM: 7px; BORDER-LEFT: black 1px dashed; WIDTH: 85%; PADDING-TOP: 7px; BORDER-BOTTOM: black 1px dashed; BACKGROUND-COLOR: #ccccff; TEXT-ALIGN: left"><br />Dari hasil pencarian di internet (hey, penasaran!), akhirnya saya dapatkan nama bunga merah muda tersebut. <a title="tabebuia, wikipedia" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Tabebuia" target="_blank"><em>Tabebuia rosea </em></a>atau <em>Chompu phanthip</em> (<em>chompu= pink, Thai</em>). Pohon bunga tropis yang sebenarnya berasal dari Brazil, memiliki bunga berbentuk terompet dengan bebeberapa varian warna. Tanaman ini ternyata salah satu bagian dari <a title=" Census Of Trees Planted On The Streets Of Bangkok" href="http://www.bma.go.th/garden/intro_e.html" target="_blank">proyek penanaman pohon di kota Bangkok.</a><br /><br />Sedangkan King’s Flower adalah <a title="Golden Shower, Wikipedia" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Cassia_fistula" target="_blank"><em>Cassia fistula</em></a>. Pohon berbunga kuning keemasan ini memang sudah disahkan menjadi salah satu simbol kerajaan Thailand. Bahkan sejak 1987, dicanangkan <a title="Flowers for a Great King" href="http://thailand.prd.go.th/ebook/story.php?idmag=28&idstory=217" target="_blank">proyek penanaman sembilan juta batang</a> pohon ini di seluruh Thailand dan ditargetkan selesai pada tahun 2007 mendatang. Wow… </div></div><div align="center"><br /><br /><em><span style="color:#3333ff;">Btw, baru ngeh, blog saya ternyata kemarin ultah ke-4. Hehehe...</span></em></span></div>Unknownnoreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3842274.post-1158926542773792612006-09-22T18:29:00.000+07:002006-10-17T15:23:56.940+07:00Cerita Perjalanan: Kuala Lumpur<em>Dari mana ya mulai ceritanya?</em><br /><br />Hmm… Semua ini berawal di sekitar akhir tahun 2005, ketika seorang teman bercerita tentang sebuah promosi yang diadakan oleh <a title="now everyone can fly :)" href="http://www.airasia.com" target="_blank">maskapai penerbangan ini</a>. Saya tergoda. Suami saat itu bilang, “Kenapa kamu gak pergi sendiri aja?” (maksudnya: tanpa Obin dan dirinya, gitu). Ay, ay… saya gak begitu kaget sih sama sarannya ini. Tapi supaya lebih yakin lagi, saya masih nanya,<br /><blockquote>Bener, nih? Rela?<em><br />- Iya<br /></em>Ridho?<br /><em>- Iya. Ridho. Beneran. (sambil ketawa)</em></blockquote>Jadi akhirnya saya pun booking tiket murah itu (Jkt-KL-Bkk-KL-Jkt, total sekitar 800 ribu rupiah), dengan jadwal yang sama dengan rencana teman saya. Sedikit gambling, soalnya masih lama banget gitu lho, dan kondisinya tiket itu tidak bisa dibatalkan atau dialihkan.<br /><br /><strong>September 2006</strong>. Akhirnya berangkatlah kami. Rombongan terdiri dari delapan orang. Delapan? Yup. Saya sendiri, ex-teman sekantor saya, N, dengan ibunya, budenya, dan adiknya; dan teman lain, E, dengan ibunya dan budenya. Hehehe, karena semuanya perempuan, sudah dapat diduga belanja-belanji akan masuk dalam agenda. Hahaha.<br /><br /><strong>Kuala Lumpur</strong> . Terus terang, KL awalnya bukanlah tujuan kami. Cuma maskapai ini tidak punya penerbangan langsung Jkt – Bkk. Jadi harus mampir ke KL dulu.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2655005960097021000Kdeubs" target="_blank"><img title="view dari kamar" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/18/19/0/5/96/2655005960097021000Kdeubs_th.jpg" align="left" /></a>Di KL kami hanya dua malam, menginap di sebuah hotel di kawasan <strong><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Bukit_Bintang">Bukit Bintang</a> – Pudu</strong>. Ini hotel, menurut opa-opa yang jaga, umurnya sudah 30 tahun. Hotelnya hihihi… sangat sekedarnya, dengan lobi yang berantakan dan lift yang berbunyi-bunyi seram. Hahaha... maklum, kami cari yang muraaah tapi strategis. Yang penting tempat tidur dan kamar mandi lumayan bersih. Dan saya dapet bonus tambahan, view dari jendela kamar saya lumayan keren. Bisa lihat <strong>KL Tower</strong> dan puncak <strong>Menara Petronas</strong>.<br /><br /><span class="fullpost"><a href="http://travel.webshots.com/photo/2324192160097021000ICpxGx" target="_blank"><img title="petaling street" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/59/559/1/92/16/2324192160097021000ICpxGx_th.jpg" align="right" /></a>Sampai di KL sudah menjelang malam. Tapi pukul 7 pm-nya KL masih terang benderang. Malam itu kami jalan kaki ke kawasan <strong>China Town (Petaling Street). </strong>Mampir makan malam di semacam area food-court di pinggir jalan. Saya nyoba kerang bakar dan nasi lemak. Ah, ya <a title="nasi lemak di wikipedia" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Nasi_lemak" target="_blank"><strong>nasi lemak</strong></a> ini kayaknya makanan nasionalnya Malaysia. Di mana-mana ada nasi lemak: di pinggir jalan, di terminal bis, di airport, di atas pesawat, di mana-mana lah. Sayang saya lupa foto. Semacam nasi uduk kali ya, disajikan (nampaknya) selalu bersama ikan teri goreng, telur rebus, rendang, dan sambal.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2884901280097021000NAiYiL" target="_blank"><img title="berangan" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/18/19/9/1/28/2884901280097021000NAiYiL_th.jpg" align="left" /></a><strong>Petaling Street</strong> itu adalah kawasan pasar tempat jual barang-barang murah dan tersedia juga barang-barang tiruan gitu. Menurut saya sih biasa aja. Barang-barangnya kayak Mangga Dua aja. Souvenir yang ada di sini juga standar banget. Palingan gantungan kunci, hiasan meja, atau asbak bergambar Petronas. Kaos T-shirt, walaupun ada beberapa yang menarik gambarnya, kualitas bahannya gak bagus. Ada sih beberapa dagangan yang menarik hati -- untuk di foto dan dicicipi -- seperti penjual <strong>berangan panggang</strong>. Rasanya, saya bilang sih kayak hmmm… makan biji nangka atau duren gitu… hihihi.<br /><br />Balik pulang ke hotel, para ibu dan bude memutuskan istirahat, sedangkan yang muda-muda -- saya masih muda, lho! -- memutuskan jalan lagi. Jalan kaki terus!!! Kali ini menelusuri Jalan Bukit Bintang dan terusssss lagiiii kemana kaki membawa, hehehe. Enak jalan kaki di KL. Trotoarnya besar-besar dan nyaman. Kesan sekilas saya KL memang bersih, rapi, dan teratur. Selain itu dimana-mana masih bertebaran bendera Malaysia, karena mereka memang baru aja ulang tahun. Dum.. dumm.. dumm.. jalan terus, sambil foto-foto, memotret objek, menjadi objek, jalan sampe kaki super pegel. Dan lewat tengah malam, akhirnya menyerah pada… ‘taksi!’ :p<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2281495190097021000kNviff" target="_blank"><img title="petronas tower" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/28/28/4/95/19/2281495190097021000kNviff_th.jpg" align="left" /></a><strong>Hari kedua di KL</strong>, pagi-pagi udah siap-siap pergi lagi. Tujuan: <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Petronas_Twin_Towers"><strong>Menara Kembar Petronas</strong></a>. Nyobain <a title="kuala lumpur monorail" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Kuala_Lumpur_Monorail" target="_blank"><strong>monorail</strong></a> -nya KL, terus nyambung lagi dengan <strong>LRT Kelana Jaya</strong>, turun di <strong>KLCC</strong>, tepat di bawah Petronas. Nice. Menikmati naik kendaraan-kendaraan cepat ini (tentu) disertai dengan menghela napas… membadingkan dengan… ahh, sudahlah :p Di Petronas, potret-potret-potret lagi. Gak bisa naik ke jembatannya (<strong>sky bridge</strong>), karena kuota pengunjung di hari itu udah penuh. Lihat-lihat sebentar ke dalam, ke <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Suria_KLCC"><strong>Suria KLCC</strong></a>, kompleks mall di dasar Petronas Tower.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2176943300097021000MWePsb" target="_blank"><img title="menembus kabut" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/22/22/9/43/30/2176943300097021000MWePsb_th.jpg" align="left" /></a>Tujuan berikutnya adalah: <a title="genting" href="http://www.genting.com.my" target="_blank"><strong>Genting Highland</strong></a> , sebuah kawasan wisata (mall, theme park, casino, hotel, dll) di puncak gunung, sekitar 40 km dari KL. Caranya, naik LRT ke <strong>Terminal Putra</strong>. Lalu dari sini beli tiket terusan: Bus dan <strong>Sky Way</strong> ke Genting, pulang-pergi, termasuk main gratis di Outdoor Themepark-nya atau free-buffet di sebuah restoran di Genting (optional). Tiket terusan ini relatif murah (26 RM – untuk weekdays). Jadi dari terminal Putra itu, kami naik bis ke Gombak, dari gombak naik <strong>Skyway Cable Car</strong> ke Genting. Wiiihhh… skyway-nya cukup impresif: melintas di atas hutan hujan tropis, menembus kabut.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2273256200097021000LimEkz" target="_blank"><img title="2000 meter di atas permukaan laut" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/53/653/2/56/20/2273256200097021000LimEkz_th.jpg" align="right" /></a>Sampai di Genting, para ibu dan bude memilih memakai tiketnya untuk makan. They’re happy with the food :). Saya milih main dong. <strong>Outdoor ThemePark</strong>-nya Genting gak terlalu istimewa sih, kalau saya bilang. Lebih bagus Dufan. Cuma memang Genting punya beberapa wahana yang gak dipunyai Dufan. Selain itu di Genting dingiiinnn…brrr… gak panas menyengat.<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2274914870097021000VyqgIW" target="_blank"><img title="turbo drop" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/59/759/9/14/87/2274914870097021000VyqgIW_th.jpg" align="left" /></a>Gak banyak wahana yang saya coba, soalnya kami sudah pesan bus balik ke KL yang sore, jadi waktunya gak banyak. Langsung pilih beberapa permainan yang seru, yang belum pernah dicoba. Pertama <a href="http://www.genting.com.my/en/themepark/outdoor/turbo_drop.htm" target="_blank"><strong>Space Shot </strong></a>(turbo drop), dihempas dari ketinggian sekitar 56 meter. Wowww…! Lalu <a title="jadi superman" href="http://www.genting.com.my/en/themepark/outdoor/flyingcoaster.htm" target="_blank"><strong>Flying Coaster</strong></a>, kayak roller coaster tapi dalam posisi berbaring jadi serasa superman lagi terbang gitu. Udah lama banget nih gak naik permainan yang bikin jantung serasa mau copot kayak gini… hehehe… Asik juga.<br /><br /><strong>Indoor ThemePark</strong> juga biasa, kayak di Bandung Supermall aja. Cuma di Genting ada <strong>Snow World</strong> dan <strong>Sky Venture</strong>. Tiket terusan saya gak termasuk indoor theme park ini. Saya gak terlalu pengen lihat Snow World, pengennya <a title="terbang" href="http://www.genting.com.my/en/themepark/skyventure/index.htm" target="'_blank">Sky Venture</a>, sky-diving simulator. Pengen banget ngerasain terbang!!! Hiks sayang, pas saya ke sana (sampai usaha 2x), ditutup sementara karena hujan. Memang gak jodoh. :(<br /><br />Di Genting, saya juga sempat lihat-lihat ke dalam <strong>kasino</strong>. Wah… saya gak ada yang ngerti gimana cara mainnya. Lihat orang-orang yang pada main judi itu: takjub. Mata merah, muka kusut, tapi tetap terus pasang taruhan lagi, lagi, lagi…<br /><br /><a href="http://travel.webshots.com/photo/2843074920097021000fSSmns" target="_blank"><img title="petronas at night" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/53/653/0/74/92/2843074920097021000fSSmns_th.jpg" align="left" /></a>Selesai dari Genting, balik lagi ke KLCC. Potret-potret <strong>Petronas di waktu malam</strong>. Keren. Cuma ya karena hanya dengan kamera digital biasa, kurang memuaskan hasilnya. Gak bisa nangkap keseluruhan menara, dan hasilnya sering goyang karena gak pakai tripod.<br /><br /><br /><br /><a href="http://outdoors.webshots.com/photo/2376911270097021000oiASnj" target="_blank"><img title="clouds and sky" alt="Image hosted by Webshots.com" hspace="10" src="http://thumb0.webshots.net/t/57/757/9/11/27/2376911270097021000oiASnj_th.jpg" align="right" /></a>Hari ke-tiga, saya cuma menghabiskan waktu di airport. Dari hotel naik taksi ke KL Center, lalu naik bis ke airport. Rombongan teman-teman dapat tiket penerbangan yang siang. Sementara penerbangan saya di sore hari. Cuacanya jelek. Penerbangan siang sempat tertunda sekitar 1,5 jam. Untung yang saya relatif on-time. Di pesawat, sengaja saya cari tempat duduk di belakang sayap, dan menghabiskan waktu dua jam dengan memotret perubahan awan dan warna langit. Dan membaca buku. Terbang menuju Bangkok…<br /><br /><em>Catatan tambahan:</em><br /><ul><li>Terlalu sering makan <strong>nasi lemak</strong>, membuat ekskresi saya kurang beres. Hehehe.</li><li>Sejak Maret 2006 kalau naik penerbangan murah ini ke KL, kita ternyata tidak akan mendarat di <strong>KLIA </strong>(Kuala Lumpur International Airport), bandara yang konon -- soalnya belum lihat sendiri :( -- super megah, lebih keren dari Changi. Mendaratnya di <strong>LCC</strong> (Low Cost Carrier) Terminal – halah namanya aja udah low cost hehehe – sekitar 20 km dari KLIA. </li><li><strong>Air mineral</strong> di KL lebih mahal dari di Indonesia. Harga untuk 0,5 liter air (beli di 7eleven), kalo gak salah sekitar 2 RM (kurang lebih 5000 rupiah). Sekilas, harga-harga barang di KL kayaknya memang agak lebih mahal dari di Jakarta.</li><li>Apa lagi ya?? Entar ditambahin lagi deh kalo inget.</li></ul><br /><br /><br /><center><div style="BORDER-RIGHT: black 1px dashed; PADDING-RIGHT: 7px; BORDER-TOP: black 1px dashed; PADDING-LEFT: 7px; PADDING-BOTTOM: 7px; BORDER-LEFT: black 1px dashed; WIDTH: 85%; PADDING-TOP: 7px; BORDER-BOTTOM: black 1px dashed; BACKGROUND-COLOR: #ccccff; TEXT-ALIGN: left"><p align="center">selamat menunaikan ibadah puasa<br />maafkan kesalahan-kesalahan saya, ya</p></div></center></span>Unknownnoreply@blogger.com8