Apakah Bencana Alam itu?



Apakah bencana alam itu? Sekedar peristiwa alam yang tak terhindarkan? Teknologi memprediksi, manusia meramal, tapi kerap tak terhindarkan?

Apakah bencana alam itu? Kemarahan alam? Atas segala kerusakan yang diperbuat oleh manusia di muka bumi ini?

Apakah bencana alam bagi orang-orang yang mengalaminya? Sebagai individu? Sebagai bangsa? Sebuah musibah yang menimbulkan kepedihan-kesengsaraan, tapi lalu hilang lupa? Sebuah ujian? Sebuah teguran? Peringatan? Bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar bertengkar, bermusuhan, dan berperang? Yaitu kehidupan?

Apakah bencana alam buat orang-orang yang berada di tempat yang jauh? Buat orang-orang yang nyaris tak terusik oleh bencana itu? Yang hanya menyaksikan dari televisi atau membacanya di koran pagi? Sebuah bahan obrolan sambil menyesap kopi? Sebuah bahan untuk ditulis sebagai posting terbaru di weblog?

Apakah bencana alam buat orang-orang yang berada di tempat yang jauh?
Buat diriku?

Kali ini, sebuah suara di hati berkata lemah,

Bila musibah kecil yang menimpa tetanggamu sudah menjadi terlalu biasa untukmu… Bila musibah yang lebih besar di seberang pulau tak juga membuat hatimu tergerak, maka Ia perlihatkan padamu sebuah bencana yang lebih besar lagi… dan yang lebih besar lagi… Dan bila itu juga tak membuat hatimu bergeming… entah apa yang akan diperlihatkan-Nya kelak padamu…

* Gempa Bumi dan Tsunami, Sumatera, Desember 2004

UPDATE:

Mari kita ulurkan tangan, memberikan bantuan apa yang kita mampu untuk para korban bencana ini.

Berikut beberapa blog yang memuat list nomor rekening dan posko pengumpulan bantuan dan sumbangan:



  • Posko Blogger Family dan Annisa Foundation (dengan beberapa rekening internasional). Detailnya bisa di lihat di blognya Bunda Shafiya
  • Blognya Okke (Rekening Indosiar, RCTI, Koordinator Kesra, dll).
  • Indonesia Help. Online information about resources, aid and donations for quake and tsunami victims in Aceh & North Sumatra (Indonesia)

Semoga bantuan yang kita berikan dapat membantu meringankan beban yang ditanggung oleh saudara-saudara kita di Aceh dan sekitarnya. Amiin...

Hujan Dan Bahagia Pada Suatu Hari



Pada suatu hari, bahagia adalah mendengar suara tawa si kecil. Bahagia adalah mendengar nyanyi riangnya, tik… tik…tik… bunyi hujan di atas gentoongg… hahaha…. Bahagia adalah menyaksikan tatap matanya pada tetesan hujan. Langkah ragunya. Pupus sangsinya menyapa rintik air. Bahagia, pada suatu hari, adalah berlari tertawa berdua si kecil dalam curahan hujan yang tak begitu deras. Tertawa di bawah kucuran atap. Tertawa sambil bergantian menyemprotkan air dengan selang. Basah. Tertawa. Bahagia. Pada suatu hari.

Pada suatu hari, keesokan harinya, bahagia adalah menyaksikan ayah dan anak tertawa bersama. Bahagia adalah menyaksikan ayah dan anak berlari bersama di bawah derasnya hujan. Bahagia adalah menyaksikan keduanya dari teras. Duduk sambil sesekali bersin dan membersihkan hidung. Pilek. Tertawa. Bahagia. Pada suatu hari.

***

tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting
airnya turun tidak terkira
cobalah tengok dahan dan ranting
pohon dan kebun basah semua

tik-tik-tik bunyi hujan bagai bernyanyi
saya dengarkan tidaklah jemu
kebun dan jalan semua sunyi
tidak seorang berani lalu

tik-tik-tik hujan turun dalam serokan
tempatnya itik berenang-renang
bersenda gurau meyelam-nyelam
karena hujan bersenang-senang

(Ibu Soed)

Mendengarkan lagu ini dari kasetnya Obin. Lagu ini ternyata panjang juga, ya... Waktu kecil, saya cuma kenal bait pertamanya saja. Kalo kamu?

Fokus - Tidak Fokus

Perahu kertas itu melaju saja ikuti air yang mengalir. Kadang melaju kencang, terombang-ambing derasnya air. Kadang tak bergeming, tersangkut ranting. Kadang berlayar diam, tetirah di air tenang. Kini… aliran sungai bercecabang, dan kabut menggantung di persimpangan…

Saya sedang tidak fokus saat ini. Gamang. Bingung. Antara keinginan. Kesempatan. Kebutuhan. Kepentingan.

Tidak fokus. Apa sebabnya? Oh, banyak hal bisa jadi penyebab. Tak adanya tujuan yang jelas. Banyaknya pilihan yang tersedia (apakah justru karena tidak ada pilihan?). Tak bisa memberi urutan prioritas pada keinginan, kebutuhan, kesempatan, kepentingan. (Ah, bicara tentang apa sih saya?)

Prioritas. Saya sebetulnya sudah sangat tahu apa prioritas saya saat ini. Tapi ada suara denting yang menggangu di kepala saya. Sangat mengganggu. Justru ketika tiktok jarum jam makin mendekat pada garis waktu yang saya tarik sendiri. Ah, mungkin denting itu tak ada. Mungkin denting itu hanya sebentuk delusi, keinginan untuk lari dari kenyataan. Tapi dulu… saya mempercayai suara denting itu. Suara ‘ting’ yang jarang berbunyi. Karenanya, ketika ia berdenting, biasanya saya memilih untuk percaya.

Fokus. Tidak fokus. Ah, mungkin saya yang sedang mempersulit diri saja. Mungkin sebenarnya saya cuma perlu berkunjung ke dokter mata atau optik terdekat. Mungkin minus kacamata saya sudah saatnya ditambah. Mungkin itu penyebab dari ketidakfokusan saya saat ini.

Tak Banyak Cerita Kali Ini

Hmm… mudik kali ini tak banyak cerita. Tak banyak hal baru yang kami lakukan. Bahkan tak banyak hal berarti yang kami lakukan kali ini. Hmmm… tunggu dulu. Membaca kembali kalimat saya di atas, membuat saya berpikir. Kenapa? Kenapa saya bisa berpikir seperti itu? Ups… apakah saya mulai menganggap mudik, peristiwa yang baru saya alami hm... empat tahun terakhir ini, tak lagi menarik? Ah… sebegitu cepatnya kah hal-hal jadi terasa biasa?

Tunggu… tunggu dulu. Hmm… mudik kali ini…

Seperti tahun lalu, kali ini pun sudah tidak ada ketupat menanti kami. Benar-benar tak heran, karena kami baru mudik beberapa hari setelah hari raya. Perjalanan nyaris normal, menemui kemacetan hanya pada arus yang berlawanan dengan kami.

Mudik kali ini, masih juga mengajak Obin berkunjung ke rumah mbah itu, mbah ini, pakde-bude, dan paklik-bulik. Hanya saja, kali ini sudah tidak ada lagi kunjungan ke Mbah Buyut.

Mudik kali ini, masih menyempatkan makan nasi soto panas di stasiun tua. Masih juga di pagi hari sebelum sikat gigi. Masih juga makan bakso terenak sejagat versi suami ;). Masih juga menyempatkan makan paklay dari rumah makan yang terhebat di kota kelahiran suami – yang saya akui memang makanannya enak-enak.

Mudik kali ini, tak seperti pulang kampung beberapa bulan yang lalu, tak ada acara main-main di hijaunya sawah. Sawah-sawah sudah dipanen sejak sebelum lebaran, tapi belum kembali ditanami. Tak ada acara main-main air semata kaki di sungai berbatu. Sungai-sungai sudah dipenuhi air kecoklatan yang menderas oleh hujan.

Mudik kali ini, kami lebih senang bermalas-malasan di rumah. Tidur-tiduran saja. Terkadang duduk di teras, menonton hujan bersama. Atau main kembang-api bersama. (Main kembang-api, walau tetap istimewa buat saya dan Obin, bukan lagi hal baru. Tapi ini lain lagi ceritanya.)

Oh… ada kok hal yang baru! Mudik kali ini, Obin untuk pertama kalinya melihat kunang-kunang! Yang asli dan hidup! Saat itu kami duduk-duduk di teras karena listrik padam. Tak banyak memang kunang-kunangnya. Hanya ada beberapa ekor berkelip-kelip dan berterbangan di perdu kebun sebelah dan juga di teras rumah. Tak juga lama, karena kelipnya perlahan hilang ketika hujan turun dan menderas. Tapi Obin senang. Dan saya lebih senang lagi… :)

Mudik kali ini memang tak banyak cerita. Tak banyak hal baru yang terjadi. Namun tak juga berarti mudik kali ini tak lagi berkesan.

Fitri

Pagi ini, telepon genggam saya mulai menerima SMS Lebaran. Bertaburan kata-kata puitis, manis, menyentuh, atau bahkan lucu. Menyambung silaturahmi.

Seperti biasa, saya kehilangan kata-kata. Mungkin memang pada dasarnya tidak kreatif :). Maka saya hanya bisa berkata:

Selamat Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Flamboyan

Aku jatuh cinta pada flamboyan. Bukan lelaki flamboyan. Tapi flamboyan tanaman. Bunganya. Pohonnya. Dahannya…

Aku. Lima tahun.
Ada sebatang pohon flamboyan di halaman rumahku. Di halaman depan rumah. Tinggi sekali. Ada dahan yang kokoh. Lurus datar. Menggantung sebilah papan, diikat dua utas tambang. Ayunan…! Ayunan paling hebat di dunia! Sangat tinggi! Sore hari, sesudah (atau sebelum?) mandi, aku bermain di situ. Sendiri. Wuss… wuss…. Aku mengayun. Kencang. Wuss… wuss… Aku berdiri di atas ayunan. Wuss… wuss… Tinggi… Tinggi… Makin tinggi lagi… Wow...! Lihat! Aku terbang! Rokku berkibar-kibar. Angin dingin. Aku merinding. Gamang. Tapi… lagi… lagi… Hingga terdengar panggilan, “Niiik, ayo masuk! Udah mau Magrib!”

Aku jatuh cinta pada flamboyan. Bunganya…

Bandung. Kampus. 1997.
Kapan sebenarnya bunga-bunga flamboyan ini mulai berbunga? Aku tak pernah memperhatikannya. Tidak pernah kuperhatikan kapan kuncup-kuncupnya mulai menyembul. Menguningkah daunnya? Atau berguguran dulu? Aku benar-benar tak pernah tahu. Padahal setiap hari aku melaluinya. Kadang malah aku tak pernah benar-benar sadar ada batang-batang flamboyan di sini.

Selalu seperti itu. Berulang. Tahun demi tahun. Selalu saja terasa tiba-tiba. Suatu hari, langit di atas sontak berhias merah. Bunga-bunga flamboyan bergerombol di hampir seluruh ranting. Berayun-ayun. Dari jauh kau, juga aku, sudah bisa memandangnya. Inilah mungkin saat-saat kau, pasti aku, bisa berjalan lebih lambat. Menatap lamat-lamat gerombolan bunga merah jingga di kejauhan, di tikungan sana. Makin dekat. Semakin dekat. Hingga tibalah kau, atau aku, di bawahnya. Inilah saatnya kau, ah… aku, akan berjalan menengadah. Melihat gerombolan bunga merah jingga yang berayun di ujung ranting. Atau inilah saatnya menunduk. Memungut bunga yang gugur di jalan. Memutar-mutarnya di antara jemari. Lalu teringat permainan mengadu benang sari hingga putus ujungnya, waktu kecil dulu.

Aku jatuh cinta pada flamboyan. Pada kenangannya…

Bandung. Akhir Oktober 2004.
Flamboyan! Flamboyan memerah di sudut-sudut Bandung. Bulan apa ini? Oktober? Selalukah Oktober? Aku berusaha mengingat. Tak ingat. Namun, keping-keping kenangan terbuka satu-persatu…

Aku jatuh cinta pada flamboyan. Cinta yang datang dan pergi seperti musim. Adakah musim flamboyan?

Awalnya…

Awalnya adalah rasa sakit. Dalam rintihannya. Bahkan erangan. Simbah peluhnya. Gigi mengatup. Tak lagi mampu menahan rasa. Sakit. Ngilu. Nyeri. Dalam. Tajam. Robek. Pecah... Hingga saat itu. Saat hadirmu berawal. Menerobos garbanya.

Awalnya adalah rasa sakit. Rasa sakit yang absurd. Seperti dongeng kecilmu. Buncah ingin tahu gadismu. Bahkan jadi teror keperempuananmu. Hingga akhirnya kau alami sendiri. Hanya bila kau cukup beruntung. Rasa sakit yang semerta menyentakmu. Kembali pada awalmu. Pada rasa sakit itu.

Awalnya adalah rasa sakit. Tak selesai. Karena lalu pun adalah rasa sakit. Dalam pilunya. Dalam butiran bening di sudut matanya. Ketika dingin hatimu akan asanya. Dingin wajahmu akan hadirnya. Ketika delik mata dan lisanmu tajam. Menikam jantungnya.

Maka…. Untuk perempuan itu. Untuk rasa sakit itu. Tiga puluh satu tahun yang lalu. Terima kasih. Untuk perempuan itu. Untuk rasa sakit itu. Mungkin hingga kini. Maaf....

Keponakanku Presiden! :)



Yap, keponakanku, Luthfi, seorang presiden.
Presiden Siswa Sekolah Alam yang baru.
Dan aku adalah seorang tante yang sangat bangga pada keponakannya. :)

Liputan acara Pemilu Presiden Siswa Sekolah Alam kemarin,
insya Allah, akan dapat disaksikan pada:
Acara Nuansa Pagi RCTI,
Sabtu 16/10/04 antara pukul 05.30-06.30 pagi.


Sedangkan cerita dan foto liputan oleh Mama Luthfi,
bisa dibaca di blog Cerita Sekolah Alam.

PS.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan
Mohon maaf lahir dan batin

Kisah Dua Jembatan: Waktu Tidak Berhenti



Saat itu sore hari. Sekitar pukul empat. Kami sudah berkendara sepanjang hari. Pagi masih gelap ketika kami meninggalkan Jakarta. Kami terus berkendara. Sesekali berhenti untuk hal-hal yang penting saja.

Saat itu sore hari. Sekitar pukul empat. Ketika tiba-tiba ia berkata, “Lihat jembatan itu. Mau berhenti dulu sebentar?”

Aku sejenak berpikir. Jarak yang masih harus ditempuh cukup jauh, dan aku ingin kami bisa tiba di tempat tujuan sebelum hari kembali gelap. Maka jawabku, “Gak usah, ah!” Tak mempedulikan perkataanku, ia melambatkan laju mobil ketika kami melewati jembatan itu. Saat itu sore hari. Sekitar pukul empat. Kami pun berhenti di situ.

Ada dua buah jembatan yang membentang di atas sebuah sungai. Sebuah jembatan tua berdampingan bersisian dengan sebuah jembatan baru yang kokoh. Yang satu tampak lebih ringkih, yang lain tampak kokoh gagah. Yang satu sudah bolong melompong, yang lain masih halus mulus. Yang satu sudah coklat mengkusam oleh waktu, yang satu masih kelabu betonnya baru. Keduanya membentang berdampingan bersisian di atas sebuah sungai, Serayu katanya.

Kami bertiga – aku, ia, dan anak kami – lalu berjalan di atas jembatan yang sudah berwarna suram. Angin segera mempermainkan helai-helai rambutku. Anak kami berjalan sambil melompat-lompat riang, menarik-narik tangan hendak melihat segala sesuatu. Lubang di jembatan, pagar besi, sungai yang mengering, truk yang sedang mandi di kejauhan. Ketika itu pun aku sudah tahu, aku sudah sangat memaafkan ketidak-peduliannya atas jawabku tadi. Aku sangat berterimakasih malah.

Tak lama, kami kembali berkendara. Kukatakan terima-kasihku kepadanya. Ia pun mengaku, “Ketika melihat jembatan itu, aku tiba-tiba teringat sebuah tulisan yang belum lama kubaca. Tentang orang-orang yang selalu ikut berlari bersama waktu. Tak ada waktu untuk menikmati hal-hal kecil yang dilaluinya. Ingat itu, tiba-tiba aku ingin berhenti di jembatan tadi.”

***

Benar, Sayang… Waktu terus berlari. Dua jembatan yang berdampingan bersisian di atas Sungai Serayu itu adalah bukti. Waktu terus bergerak. Jembatan lama akan melapuk oleh waktu. Tergantikan yang baru. Karena waktu tidak membeku. Waktu tidak berhenti. Tapi, kita bisa sejenak berhenti. Menikmati waktu.

[cerita maya]



.....

Mereka memanggilku Maya. Mereka menyapaku Maya.
Mereka memanggilnya Maya. Mereka menyapa dirinya Maya. Aku jatuh cinta.

.satu.

Sudah dua tahun aku menulis jurnal di alam maya ini. Kuberi nama “cerita maya”, tertulis di bagian kiri atas halaman jurnal dengan jenis huruf verdana tebal.

[cerita maya] - aku maya bercerita

Menulis di dunia maya sungguh menyenangkan. Aku bisa bercerita tentang apa saja. Aku menulis tentang suka juga duka. Aku berkisah tentang kehidupan hingga kematian. Aku bercerita segala sesuatu tentang cinta; cinta pertama, asmara membara, hasrat meraga, luka menganga, air mata buaya.

Aku menulis tentang hujan kepagian, senja keemasan, warna pelangi, pagi berkabut, embun di rumput, sebatang jamur, daun gugur, tanah merah, bunga merekah. Aku bercerita tentang pijar kembang api, kerlip bintang, kedip kunang-kunang. Aku bercerita tentang kicau burung di pagi hari, sekawan burung terbang pulang ke sarang, dan burung gereja yang mati tersengat kawat berlistrik. Aku bercerita tentang mata kedutan, mata bintitan, bau badan, kepala bisulan, jari kapalan. Aku cerita tentang digigit anjing, disengat lebah, jari terkena ulat bulu, kaki tertusuk bulu babi. Aku bercerita tentang mendonorkan darah, memanjat atap rumah, terkurung di kamar mandi, ditilang polisi.

Ya, aku bercerita tentang apa saja. Aku sungguh-sungguh dapat bercerita tentang apa saja di jurnal maya ini.

Sudah dua tahun ia menulis jurnal di alam maya ini. Ia beri nama “cerita maya”, tertulis di bagian kiri atas halaman jurnalnya dengan jenis huruf verdana tebal.

[cerita maya] - aku maya bercerita

Membaca tulisannya di dunia maya ini sungguh menyenangkan. Ia bercerita tentang apa saja.

Ia menulis tentang hujan kepagian, senja keemasan, warna pelangi, pagi berkabut, embun di rumput, sebatang jamur, daun gugur, tanah merah, bunga merekah. Ia bercerita tentang pijar kembang api, kerlip bintang, kedip kunang-kunang di kegelapan. Ia bercerita tentang kicau burung di pagi hari, sekawan burung terbang pulang ke sarang, dan burung gereja yang mati tersengat kawat berlistrik. Ia bercerita tentang mata kedutan, mata bintitan, bau badan, kepala bisulan, jari kapalan. Ia cerita tentang digigit anjing, disengat lebah, jari terkena ulat bulu, kaki tertusuk bulu babi. Ia bercerita tentang mendonorkan darah, memanjat atap rumah, terkurung di kamar mandi, ditilang polisi.


Ya, ia bercerita tentang apa saja. Dan aku sungguh-sungguh membaca semua ceritanya tentang apa saja di jurnal mayanya ini.

.dua.

Suatu hari aku menerima sebuah email singkat darinya, seorang lelaki.

Maya,
Sungguh senang membaca jurnalmu. Aku telah
membacanya semua, dan akan selalu menunggu ceritamu yang baru.
Salam kenal,
Aku lelaki


Suatu hari aku mengirim sebuah email singkat untuknya. Tak lama ia pun membalasnya. Singkat.

Hai,
Terimakasih sudah membaca semua cerita di
jurnalku. Juga terimakasih atas emailnya.
Salam, aku maya

.....

Aku maya, kau panggil aku Maya. Sudah kukatakan aku adalah maya, tapi kau sebut aku Maya. Tidak kah kau nyana?

Ia katakan ia adalah maya. Aku panggil ia Maya. Aku jatuh cinta. Ternyata ia maya. Nyata mayanya. Siapa nyana?


Lagi gak sempet nulis-nulis cerita baru.
Ini hasil bongkar-bongkar file arsip lama.
Sedianya adalah cerpen untuk ikutan
April Poject-nya
Cinila.com yang lalu.
Tapi apa daya, gak pernah selesai :)

Pernik Keramik



Berapa banyak orang yang cukup beruntung, bisa memiliki hobi yang sekaligus menghasilkan uang? Itulah yang sekarang ingin saya lakukan. Ingin saya buktikan. Bahwa hobi baru sekaligus obsesi lama saya – keramik – bisa menghasilkan uang.

Setelah belajar keramik selama tiga bulan, maka saya pun memulainya. Saya belum mahir membuat peralatan makan. Cangkir dan mangkok yang saya buat belumlah cantik dan layak jual. Hanya cukup layak untuk dipakai sendiri. Apalagi pot dan guci keramik yang besar. Resikonya masih terlalu tinggi. Maka saya akhirnya memutuskan untuk membuat benda-benda kecil saja dulu. Pernak-pernik kecil yang sangat saya sukai sejak dulu. Yaitu perhiasan dari keramik, terutama kalung (pendant).

Satu bulan penuh saya habiskan untuk memproduksi sekitar 1500 keping pernik keramik ini. Ya, sedemikian banyak, untuk memenuhi satu oven untuk satu kali pembakaran. Hasilnya? Tidak seratus persen memuaskan. Maklum, bisa dibilang ini adalah proses produksi yang pertama. Walaupun begitu, setelah disortir, paling tidak sekitar 700 – 800 keping keramik layak untuk dijadikan perhiasan.

Setelah sibuk belanja segala rupa tali, kait kalung, peniti, dan plastik kemasan; mulai lah proses berikutnya. Yaitu mengubah keping-keping tersebut menjadi kalung, bros, dan jepit rambut. Lalu saya mengemasnya dalam kemasan plastik bening dan memberinya label serta keterangan, agar jadi cantik dan informatif. Siap untuk dijual!

Belum banyak usaha yang saya lakukan untuk menjualnya, sampai saat ini. Pembeli pertama adalah kakak saya sendiri, Itoy, bersama seorang temannya. Penglaris... penglaris…! Thanks, Sis! Selain itu saya juga sudah menitipkannya pada keponakan saya, Luthfi, untuk dijual oleh kelasnya pada acara Market Day Sekolah Alam, seminggu yang lalu. Hasilnya ternyata lumayan. Dalam beberapa jam saja, dengan pangsa pasar terbatas pada keluarga Sekolah Alam, telah laku sekitar 30 keping bros dan kalung. Makasih ya, Luthfi! Lalu seorang sepupu yang bertandang, menawarkan diri untuk membantu menjualkannya. Pagi ini ia menelepon, memberi tahu bahwa lima keping contoh kalung yang ia bawa laris manis. Ia berencana akan datang kembali segera, untuk mengambil lebih banyak lagi kalung. Ah… senangnya…!

Kamu benar, Dy. Proses membuatnya saja sudah menyenangkan. Membayangkannya dipakai oleh orang lain lebih menyenangkan lagi. Apalagi kalau dapat uangnya…. Hehehe… ;-)

***

Saya sudah upload beberapa foto pernik keramik yang saya buat. Senang sekali rasanya bila kalian menyempatkan untuk melihatnya di sini (atau link 'pernik keramik' pada sidebar). Karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan:

  • Saya membuat cukup banyak ragam pendant dan brooch. Karena saya masih dalam tahap menjajaki selera pasar juga. Target pasar saya sebenarnya adalah remaja perempuan, terutama anak sekolah dan kuliahan. Tapi tentu tidak menutup kemungkinan yang lain. Pertanyaannya sederhana, di antara sekian banyak foto yang ada, manakah yang kamu suka?
  • Mengenai ukuran pendant, saya pribadi menyukai yang mungil. Tapi ternyata ada juga yang menyukai pendant dengan ukuran yang agak besar. Kamu pilih yang mana? Yang kecil (1,5-2 cm), yang besar (2-3 cm), atau bahkan yang lebih kecil atau lebih besar lagi?
  • Adakah saran tempat atau jalur untuk menjualnya? Punya info tentang bazaar lingkungan, perumahan, kantor, sekolah, atau kampus? Atau cara untuk mendapatkan info-info ini? Semuanya akan sangat membantu.
  • Last but not least. Ada yang tertarik? Bisa menghubungi saya lewat email ini. :)

Trimakasih. Trimakasih. Trimakasih….

“Yang, kunci pintunya dong…”



Aku merasa seperti si Bibi Tutup Pintu di majalah Bobo saja, yang selalu berteriak “Tutup pintu!” pada setiap anggota keluarga kelinci yang lupa menutup pintu. Setiap saat, suamiku harus lagi dan lagi diingatkan agar menekan tombol central lock untuk mengunci pintu mobil yang kami kendarai.

Setiap kali mobil melaju keluar dari pekarangan, aku harus selalu merapalkan mantra ini, “Kunci pintu dong…”. Pernah juga aku pura-pura lupa, sekedar ingin tahu apakah ia akan ingat sendiri bila tidak aku ingatkan. Ternyata tidak. Yang ada malah aku yang jadi ikutan lupa.

Tak jarang aku jadi merasa kesal. “Pintunya dong, sayang…! Kok mesti diingetin terus, sih!”, kataku sambil cemberut. Atau kalau lagi kumat mau mens, bisa jadi merepet lebih panjang, “Kunci pintu dong! Ini kan Jakarta. Bukan Bandung. Tiba-tiba bisa aja ada yang buka pintu pas kita di perempatan lampu merah! Kan bahaya!”

Tadinya aku berharap kebiasaan mengunci pintu ini akan tumbuh dengan sendirinya ketika kami sudah punya momongan. Ya, kan ceritanya sudah harus merasa lebih bertanggung-jawab. Tapi ternyata tidak tuh… tetap saja peran si Bibi Tutup Pintu harus terus aku jalani. Aku curiga juga, jangan-jangan ia sebenarnya ‘menikmati’ omelanku itu. Huh!

***

Anak kami kini sudah hampir tiga tahun usianya. Di mobil, kini ia senang duduk sendiri di kursi belakang. Mengunci pintu mobil kini jadi semakin penting. Karena, walaupun sudah mengerti bahayanya bermain-main dengan handle pintu mobil, terkadang tangannya masih terlalu ‘gatal’ untuk menarik-memencet-menekan segala sesuatu yang menurutnya bisa dimainkan. Lalu apakah hal ini membawa suatu perubahan?

Tidak. Tidak ada yang berubah. Suamiku tetap selalu lupa menekan tombol pengunci otomatis pintu mobil. Dan aku tetap selalu menjadi si Bibi Tutup Pintu yang bertugas mengingatkan.

Ah… tidak, aku salah. Ternyata ada kok yang berubah… Dulu aku mengatakan, “Kunci pintunya dong…” dengan hati kesal. Kini aku mengatakannya sambil mengulum senyum di hati…

Apa Alasan Berhenti Ngeblog?

Jadi bertanya-tanya, kira-kira apa aja sih alasan orang-orang berhenti ngeblog. Berhenti. Bukan sekedar hiatus. Tapi berhenti dengan niat berhenti. Atau niatnya berhenti sebentar aja, tapi keterusan :)

Apa ya?

Ngeblog ternyata gak asik
Ini terutama alasan berhenti untuk para blogger baru. Baru satu-dua kali posting, atau baru satu-dua bulan aja ngeblog. Ngeblog itu bukan gue banget deh

Kehabisan bahan
Bahan, materi, itu syarat utama untuk ngeblog. Kehabisan bahan, writers’s block, gak ada ide lain, cuma-itu-aja-yang-aku-tahu, kok-nulis-tentang-itu-itu-aja, mentok… Ya, rasanya ini jadi alasan yang cukup sering untuk berhenti ngeblog.

Gak ada waktu lagi untuk ngeblog
Sibuk. Kerjaan, tugas, deadline, tesis (dan lain-lain) numpuk banget. Gak ada abis-abisnya. Hiks…

Perubahan dalam hidup
Baru nikah, baru punya anak, baru tempat kerjanya, dan segala hal baru lainnya yang mengakibatkan terjadinya pergeseran prioritas ngeblog dari (mungkin) tadinya paling pertama (ha!) jadi paling bontot.

Susah online
Karena pindah ke daerah terpencil yang gak ada koneksi internet sama sekali, kehilangan tempat online gratisan buat orang-orang yang tadinya ngeblog dari kantor (gue banget deh... hehehe... ), balik ke Indonesia untuk bloggers yang tadinya sempat tinggal di luar negeri (dial up mahal!)

Rasa tidak aman
Pada diri bloggers tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman, tidak aman untuk menulis tentang hal pribadi secara online. Bagaimana bila blognya dibaca dan ditemukan oleh orang yang mengenalnya di dunia nyata?

Capek ngarang
Ada aja blog-blog yang memang fiktif. Ceritanya fiktif. Bahkan profilnya pun bisa saja fiktif. Yeah… apa yang gak mungkin sih di dunia maya ini? Buat jenis blog seperti ini, si penulis pada akhirnya sangatlah mungkin akan merasa kelelahan.

Capek diteror
Hehehe… mungkin ada aja kali yang kayak gini. Internet kan penuh dengan orang-orang yang ‘sakit’… hehehe… Ada yang punya pengalaman kayak gini?

Malas dan Bosan
Malas nulis. Bosan nulis. Malas blogwalking Bosan blogwalking. Malas komen. Bosan komen. Malas. Bosan. Salah satu penyakit laten manusia kan? Lalu kenapa bosan? Kenapa malas? Ups… gak usah dibahas deh. Bisa jadi bahan postingan sendiri itu…

Ada alasan lain? Ada yang mau nambahin?


***

Namun apa pun alasan di baliknya, berhenti ngeblog sama alaminya dengan “berhenti-berhenti” yang lain. Seperti berhenti ngempeng, berhenti ngompol, berhenti merokok, berhenti menulis diary, berhenti menstruasi, dan berhenti-berhenti yang lainnya lagi.

Karena sesuatu yang berawal selalu akan berakhir.

Gak kok… saya gak berniat untuk berhenti ngeblog ... :-)
Belum…

Tak Ada Buah Tangan



Maaf… tak ada buah-tangan kubawakan. Yang ada hanya potongan kenangan…

Tentang ayah bocah bergandeng tangan menelusuri jalan pematang di hari petang. “Lihat jalannya ada lima lagi”, kata sang bocah… “Kemana kita? Ke sana! Ya, ke sana!” “Bunda, hati-hati, jalannya putus!” ... Mendengar suara batang-batang padi. Desirnya tertiup angin. Capung merah menyelinap di hijaunya padi. Daun berkelopak empat. Jejak kaki di lumpur. Kepik dan ular...

Tentang stasiun kereta lama sepi nyaris tak terpakai. Di pagi hari belum mandi. Nasi soto panas sungguh nikmat. Semangkuk? Tak akan cukup. Naik ke puncak gundukan batu kerikil. Menonton satu gerbong kereta penumpang ditarik lokomotif kecil. Ada ayah dan bocah lain yang juga ikut menikmati pagi. Sang ayah memegang erat sang bocah duduk di muka lokomotif, untuk ikut lokomotif berputar. Mungkin buat sang bocah itu adalah petualangannya terhebat hari itu...

Tentang pasar pagi di dekat sungai. Pasar yang cantik buatku. Kios-kios terbuka. Gang-gang lebar tak beratap. Tak ada sumpek. Lagipula pasar sepi. Sudah kesiangan datangnya. Para penjual mengobrol santai. Membeli gula aren. Terdengar cerita pasar akan ditutup. Oh, sungguh sayang...

Tentang sungai kering musim kemarau di bawah jembatan. Alirnya jernih semata kaki. Memantul cahaya pagi pada riaknya. Batu-batu kecil bulat berlumut. Ikan-ikan kecil berenang-renang di ceruk air. Jernih yang sejenak keruh terpijak kaki. Gelak riang bocah berlari-lari mencipratkan air. Membasah badannya telanjang dan celananya tergulung selutut...

Maaf… tak ada buah-tangan kubawakan. Yang ada hanya potongan kenangan…

Tentang Dirimu dan Kita



Aku ingin menulis sesuatu tentang dirimu. Tapi tentang apa? Bukan tak ada bahan. Justru terlalu banyak. Mulai dari mana? Ah, susah juga ternyata. Tapi aku ingin menulis sesuatu tentang dirimu. Tentang kita. Maka aku pun mulai mencari-cari lewat benang-benang maya ini: makna… ungkapan… dari sebuah kata…

Sister...
Wah, ternyata banyak sekali ungkapan tentang saudara perempuan di internet. Adakah yang sesuai untuk kau dan aku? Hihihi…yang jelas bukan yang satu ini…

Sisters never quite forgive each other for what happened when they were five. ~Pam Brown
Bukan yang ini. Karena aku belum ada ketika kau berusia lima tahun. Dan kau sudah terlalu tua (walau menurutmu kau selalu ‘memudakan’ usiamu untukku) untuk berebut mainan denganku ketika aku lima tahun. Tapi, aku memang tidak pernah lupa (walau sudah sangat memaafkan), satu peristiwa itu. Ketika ejekan antara kita membuatku mengejarmu, hingga akhirnya lengan kananku koyak dalam parah oleh pecahan kaca, meninggalkan bekas torehan hingga saat ini. Aku tak pernah lupa peristiwa itu. Terutama aku tak pernah lupa bagaimana tiap hari sesudahnya, kau merawat lukaku, membubuhkan obat dan mengganti perbanku. Hihihi… aku bahkan masih ingat wajahmu yang merasa bersalah ketika itu. :p
~~~
Bagaimana kalau yang satu ini…

If your sister is in a tearing hurry to go out and cannot catch your eye, she's wearing your best sweater. ~Pam Brown
Hahaha… itu sepertinya lebih cocok untukku -- yang memakai dan memboyong baju-bajumu waktu aku pindah ke Bandung dulu… :D
~~~
It's hard to be responsible, adult and sensible all the time. How good it is to have a sister whose heart is as young as your own. ~Pam Brown

Hihihi… jadi begini ya perasaanmu? Senangnya punya adik perempuan ‘kecil’, karena jadi merasa muda selalu? ;-)

~~~

An older sister is a friend and defender - a listener, conspirator, a counsellor and a sharer of delights. And sorrows too. ~Pam Brown
Tak perlu berpanjang-panjang lagi. Kuakui, kau adalah orang yang paling mudah kuajak bicara yang paling mudah kutemukan… ;-)
~~~
She is your mirror, shining back at you with a world of possibilities. She is your witness, who sees you at your worst and best, and loves you anyway. She is your partner in crime, your midnight companion, someone who knows when you are smiling, even in the dark. She is your teacher, your defense attorney, your personal press agent, even your shrink. Some days, she's the reason you wish you were an only child. ~Barbara Alpert
Ya. Kau adalah cermin. Adalah saksi. Teman bersengkokol. Contoh. Pembela. Penilai. Komentator. Penyeimbang. Sandaran. Pegangan. Bahu. Keranjang sampah… Some days, she's the reason you wish you were an only child? Hahaha… no komen ah… :p
~~~
A sister is both your mirror - and your opposite. - Elizabeth Fishel

Banyak hal yang membuat kita berbeda. Menurutmu aku lebih feminin dan kau lebih maskulin. Menurutku, kau lebih bersemangat, meledak-ledak, sementara aku lebih kalem. Kau adalah pemberontak garis keras, aku lebih sering memilih diam. Aku lebih suka bentuk-bentuk yang geometris, kau lebih suka bentuk-bentuk abstrak (aha! :D). Itu semua (dan banyak lagi yang lain) adalah perbedaan yang wajar, karena kita memang cuma bersaudara saja, bukan kembar, apalagi kloning. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, harus kuakui (oh tidak!), kau banyak sekali mempengaruhiku. Yah… paling tidak selera musik, pilihan bingkai kacamata, dan potongan rambut (memang cuma ini kok kayaknya :p).

TAAAAPIIIIII…. Sekarang kau juga terpengaruh olehkuuuhhh! Hahahaha…! Kakak perempuanku tersayang, Itoy, sekarang ngeblog juga!!! Tapi tetep aja keukeuh ama cerita sekolah-alamnya. Lu banget deh Toy, selalu semangat dan total untuk hal-hal yang sedang di-semangati-nya :p

***

Teman-teman, selamat berkunjung ke Cerita Sekolah Alam
(…about a school that's so unique and so different from any other school i know. a school where my two lucky boys - Luthfi & Rafi - enjoy their days, collecting precious childhood memories as they learn about nature and life. - Itoy)

Sapa Kita

Dulu mereka saling menyapa dengan nama saja pasti. Mungkin dibubuhi dengan suatu panggilan kesayangan. Telingaku sendiri nyaris tak pernah mendengar sapa seperti itu antara mereka. Aku lebih terbiasa mendengar mereka saling menyapa: Ayah - Ibu. Hingga akhirnya sekitar sebelas tahun yang lalu, ketika cucu pertama hadir, sapa antara mereka pun mulai berubah. Kini Ibu lebih sering menyapanya Yayi. Ayah memanggilnya Nyai.

Lucu juga ya, bagaimana suatu sapa bisa berubah seiring berjalannya waktu…

Kita pun dulu hanya saling menyapa dengan nama saja. Itu pasti :). Lalu mulai kerap dibubuhi dengan panggilan sayang, ‘Yang….’. Bahkan dengan sepatah kata itu kita nyaris tak perlu lagi menyebut nama. Aku sempat berusaha membiasakan diri menyapamu dengan kata ‘Mas’. Tapi panggilan itu selalu berhasil membuatku tertawa geli. Hihihi… Maaf, ya….

Lalu Obin lahir. Kita perlahan mulai merubah sapa menjadi Ayah dan Bunda. Sapa ini makin sering terdengar, terutama karena Obin kini sudah mulai pintar bicara. Memang sih, masih juga sering terselip nama dan sapa yang lain.

Lucu juga ya. Akhirnya kita alami juga apa yang telah lebih dulu dialami oleh orang-tua kita. Suatu sapa yang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Walaupun kita baru menempuh sepersekian dari jalan yang telah mereka tempuh.

Eh, ngomong-ngomong kita akan dipanggil apa oleh cucu kita nanti? Hahaha… belum kepikiran sama sekali deh… :p

Tapi… semoga kita akan sampai ke titik itu juga, ya…. Insya Allah…

Selamat empat tahun, Ayah…
(Love, Bunda)

Usia Perempuan

Jangan pernah menanyakan usia pada seorang perempuan.

Harusnya saya ingat itu. Setidaknya bukan pada seorang perempuan yang baru saja saya kenal sejam yang lalu. Seperti pada perempuan yang duduk di hadapan saya saat ini, di sebuah ruang tunggu kantor. Ketika terlontar dari saya tanya, “Memang sekarang umurnya berapa ya?”, perempuan ini langsung tersenyum dan berkata mengambang, “Yahh… hehe….” Maka saya pun langsung mengerti keengganannya, walaupun tidak benar-benar mengerti alasannya.

Tentu saja saya bisa mengerti alasannya, bila saja pertanyaan itu saya lontarkan satu menit setelah berkenalan dan saling menyebutkan nama. Tapi satu jam di ruang tunggu ini, perempuan yang terlihat ramah dan supel ini telah banyak sekali bercerita pada saya. Tentang tempat kerja saat ini, tempat kerjanya dulu, kesenangannya, kebosanannya, alasan kepindahannya ke kota ini, ketidaksukaannya pada kota ini, rumah yang jauh di pinggir kota, anak yang ditinggal dengan pembantu di rumah, mobil yang dijual, dsb… dsb… dsb… Maka, saya pun jadi tidak mengerti alasan keengganannya untuk menjawab pertanyaan saya.

Ah… mungkin saya yang salah. Mungkin saya yang aneh.

Insomnia



Ada saat-saat itu. Ketika tubuh lelah, terlalu lelah. Mata penat, telah terpejam. Namun benak masih menari-nari, berlari-lari, melompat-lompat. Tak mau diam. Tak mau berhenti.

Ada saat-saat itu. Rekaman percakapan-percakapan yang terputar ulang. Sosok, nama, tempat, dan peristiwa yang acak berkelebat. Mimpi yang berkabut. Janji, asa, rencana, rasa… Baur.... Kabur….

Ada saat-saat itu. Seperti malam tadi.

Dan kupandangi lagi, berulang kali, sosok mungil yang terbaring lelap di sampingku. Raih tangan kecilnya. Genggam jemarinya pelan. Ikuti alun napasnya. Pejamkan mata kembali. Coba rasakan desir damai, yang meninabobokkan, mengalir lewati tautan jemari…

Sosok dalam Sketsa



Aku temukan sketsa ini di dalam sebuah amplop besar coklat berisikan coretan-coretan dari masa lampau. Sketsa diriku bersama dua orang teman kuliah dulu. Aku yang membuatnya berdasarkan selembar foto. Tidak bagus. Hanya iseng belajar membuat sketsa. Sedikit frustasi, karena sama sekali tidak mirip dengan aslinya. :)

Tertulis tanggal di lembar itu, 23.10.96. Kami bertiga sedang duduk di anak tangga lapangan basket dekat boulevard kampus. Entah untuk apa aku lupa.

Hingga delapan tahun berselang, aliran hidup masing-masing sosok dalam sketsa itu nyaris tak bersinggungan. Sesekali kabar bersilang, namun sangatlah jarang. Namun tak disangka, delapan tahun kemudian, jurnal maya ini dapat kembali menautkan kembali pertemanan. Setidaknya bagi dua dari tiga sosok di sketsa itu.

Selamat bergabung, Dy... :)

Bunga-bunga Istimewa

Beberapa jenis bunga istimewa secara khusus menerbangkan ingatanku pada beberapa orang tertentu yang juga istimewa.

Seperti bunga putih yang hanya mekar sekejap dan mewangi di tengah malam, si ratu malam Wijaya Kusuma. Tanpa perlu melihat wujud tanaman maupun bunganya, dengan hanya mendengar namanya; di benakku langsung saja tergambar wajah Ibu. Ibu yang pernah beberapa kali sengaja menunda tidur hanya untuk menunggu menyaksikan tujuh (atau pun hanya dua) kuntum Wijaya Kusumanya mekar-serentak- sekejap-mewangi dan kemudian kembali layu. Ibu yang masih saja sampai kini, sayup terdengar dari balik jendela kamarku, menghitung kuncup-kuncup bunga -- yang menyeruak dari ketiak daunnya itu -- sambil menduga kapan saatnya bunga itu akan mekar. Yang masih saja sampai kini berseru, “ah… tadi malam ternyata mekarnya”, bila mendapati kuncup-kuncup bunga yang sudah melayu di pagi hari. Sepanjang ingatanku, walaupun tak yakin benar, di setiap tempat kami pernah bernaung, selalu ada setidaknya sebatang tanaman ini di pekarangan. Ah… besok kan kutanyakan pada Ibu apakah ingatanku ini benar…

Beberapa jenis bunga istimewa secara khusus menerbangkan ingatanku pada beberapa orang tertentu yang juga istimewa.

Seperti bunga putih kecil yang semerbak, melati, atau si kuning hijau yang wangi, kenanga. Maka aku akan teringat Ayah. Ayah, yang di pagi atau sore hari suka memetik beberapa kuntum bunga ini. Yang kemudian akan meletakkan bunga ini di kamarnya. Yang kerap kutemui kuntum-kuntum kecoklatan bunga yang layu atau kering di dekat bantal tidurnya. Dulu sekali, pernah kusangka Ibu yang menaruhnya di sana. Tapi itu ternyata Ayah.

Beberapa jenis bunga istimewa secara khusus menerbangkan ingatanku pada beberapa orang tertentu yang juga istimewa.

Seperti bunga kuning besar cantik yang selalu menghadapkan wajahnya ke arah matahari. Maka akan terlintas beberapa wajah yang juga istimewa. Wajah Ibu yang dulu membantuku memetik dan merangkai beberapa kuntum bunga matahari untuk prakaryaku di sekolah dasar dulu. Wajah seorang teman yang senang menggambar bunga matahari yang cantik, bahkan menghias kartu undangan pernikahannya juga dengan lukisan bunga matahari karyanya sendiri. Dan kini yang terlintas adalah… wajah pemilik negeri-senja dengan sepuluh kuntum bunga matahari di mejanya. It was nice to meet you in real, Atta :-)

Kuakui



Aku bukan tipe orang yang mudah bersosialisasi. Bisa, tapi pada dasarnya aku memang menyenangi kesendirian. Dan cukup puas dengan kesendirian. Bukan tak ingin teman, tapi seringkali sudah merasa cukup dengan sedikit saja.

Mungkin karena menjadi bungsu yang terlambat, aku menikmati bermain sendiri ketika kecil dulu. Mungkin jadi ‘tunggal’ untuk sementara waktu, membuat aku tumbuh seperti itu. Mungkin juga bukan karena itu. Mungkin hanya karena aku.

Aku menyukai kesendirian. Mungkin itu pula jadi penjelasan mengapa aku dapat menikmati hubungan jarak-jauh kami kini; karena memberikan sangat banyak ruang dan waktu untuk diriku sendiri.

Aku memang bukan tipe orang yang mudah bersosialisasi. Bahkan di dunia maya ini sepertinya aku pun begitu… :-)

Promosi: Holiday Camp Sekolah Alam Ciganjur






Noy, numpang promosi seperti biasa,he-he... utk liburan juli ini di SA ada holiday camp. Buat temen-temennya Neenoy yang punya anak atau ponakan, ada hadiah liburan yang menarik buat mereka : nyobain sekolah di SA selama 5 hari! Kegiatannya seru-seru lho! Yang tertarik silakan kirim e-mail ke saya. Thanks.

Itoy
(luthfita@cbn.net.id)



UPDATE


Mohon maaf, karena satu dan lain hal rencana kegiatan Holiday Camp di SA belum bisa dilaksanakan pada liburan sekolah Juli ini. Tapi buat yang pengen main ke Sekolah Alam, silakan datang kapan saja... ke Jl. Anda 7x (depan Kelurahan Ciganjur) atau bisa datang Sabtu, 3 Juli 2004 karena insya Allah hari itu SA bekerjasama dengan Montage World dari British Council Indonesia akan mengadakan Science Fair.

Itoy

Jadi Guru

(Bukan gue banget deh… )

Jadi guru, seingat saya tidak pernah ada dalam daftar cita-cita saya ketika kecil dulu. Tidak pernah… entah kenapa. Ketika kuliah pun tidak pernah terlintas keinginan untuk mendaftar jadi asisten dosen. Tidak pernah… terutama karena tidak pede.

Namun minggu lalu saya akhirnya sempat menjadi ‘guru’ juga. Tawaran dari my luvly sister untuk mengajar keramik di playgroup Sekolah Alam Ciganjur, tidak perlu membuat saya sampai berpikir seribu kali. Lha… kan muridnya anak-anak kecil lucu yang umurnya paling dua tahun lebih tua dari Obin. Masak sih gitu aja gak pede?

Maka jadilah saya ‘guru’ selama tiga hari, ‘mengajar’ tiga kelas playgroup, mengenalkan bentuk-bentuk geometris sederhana sambil bermain tanah liat. Anak-anak itu diperkenalkan pada tanah liat, merasakan dan mencoba membentuknya dengan teknik cetak, membuatnya jadi bentuk-bentuk lingkaran, bujur-sangkar, persegi-panjang, dan segi-tiga. Sengaja dipilih teknik cetak karena ini yang paling mudah. Namun bagi anak seumuran playgroup masih saja tetap harus dibantu untuk melakukannya. Hihihi… ternyata lumayan repot. Untung sudah diantisipasi dulu dengan memberikan ‘kursus kilat keramik’ buat bapak dan ibu guru lain, sehingga mereka bisa membantu saya.

Mengajar, harus saya akui tidak mudah, karena bukan semata proses temu-muka di ruang kelas. Ada proses lain di awal dan juga sesudahnya. Untuk ‘mengajar’ selama satu-jam-kali-tiga-hari ini saja, banyak persiapan yang harus saya lakukan. Menyiapkan bahan dan alat; satu hari penuh saya luangkan hanya untuk membuat dua puluh cetakan dari gips (soalnya bikin cetakannnya juga masih sambil belajar, makanya lama :p). Selama tiga hari, setiap selesai ‘mengajar’, saya membawa pulang dan ‘merapikan’ hasil cetakan anak-anak itu untuk memastikan hasil karya mereka tidak pecah ketika dibakar. Belum selesai sampai di situ, saya juga masih harus mewarnai dengan glasir kurang lebih dua ratus keping tanah liat kering. Belum juga selesai, kemudian saya masih harus menunggui proses pembakarannya selama sembilan jam, tidak bisa ditinggal karena harus tetap dikontrol dan dinaikkan suhunya setiap sepuluh menit. Yap, mengajar itu ternyata… *menarik napas* … memang tidak mudah dan cukup melelahkan…

Namun semua kelelahan itu rasanya terbayar…. Ketika melihat binar ingin tahu di mata-mata mungil saat saya memberi contoh. Ketika mendengar pekik-pekik kecil “Aku! Aku! Aku mau! Aku mau!”, waktu saya bertanya siapa yang mau mencoba mencetak. Ketika melihat tangan-tangan mungil bergegas memadatkan tanah liat dalam cetakan gips dan tak sabar untuk bertukar cetakan dengan temannya. Ketika mendengar celoteh-celoteh polos “Apa sih itu? Lilin ya?” atau “Ihhh… tanahnya dingin…” atau “Nanti kalau udah dibakar, bisa dimakan!”. Dan ketika sedang berjalan di halaman sekolah, tubuh-tubuh kecil yang sedang asyik bermain itu menyempatkan menyapa saya, “Bunda, terima kasih! Terima kasih, Bu! Terima kasih, ya…”. Maka terbayar sudah semua. Lunas.

Akhirnya Kami Menemukannya!

Di Minggu pagi itu. Setelah memelototi isi seluruh kios yang terlintas di pikiran, setelah bolak-balik mencarinya di antara barang dagangan si kaki lima, setelah penat berjalan kaki dan menggendong si kecil yang lelah berjalan, setelah akhirnya meninggalkan pasar tradisional itu dengan bersungut-sungut, setelah bertanya pada ibu pemilik toko kecil yang menjual celengan tanah-liat di pinggir jalan… akhirnya kami menemukannya! YA, AKHIRNYA KAMI MENEMUKANNYA!! Kami menemukannya di sudut belakang pasar yang telah kami tinggalkan itu. Di sebuah sudut yang sungguh tak terpikirkan oleh kami…

Di kios yang menjual makanan ringan itu kami bertanya ragu. Si penjual, yang tubuhnya berada di antara tumpukan barang dagangannya, menunjukkan tangannya pada salah satu dari banyak barang yang tergantung di hadapan kami. “Yang itu?” tanyanya kembali. YA! ITU DIA!

Tube-tube dari timah itu kecil ukurannya, tak lebih panjang dari dua ruas jari telunjukku (yang juga kecil). Tube-tube itu terbungkus kertas bercetak dengan kombinasi warna-warni yang menyolok; kuning, biru, hijau, atau merah. Kami pun langsung membeli satu pak tube itu dan membawanya pulang. Angkot merah yang kami naiki terasa berjalan lebih lambat dari biasanya hingga akhirnya ia berhenti juga di depan jalan yang menuju tempat tinggal kami.

Tak sabar, sesampai di teras rumah, bungkusan berkantong plastik hitam itu segera kami buka dan pamerkan pada penghuni rumah yang lain. Suara-suara tawa segera terdengar. Tangan-tangan satu persatu meraih sebuah tube. Tube timah kecil yang terbungkus kertas bercetak warna-warni cerah. Tangan-tangan meraih plastik tabung kecil berwarna kuning. Tangan-tangan membuka tube timah, merobek bagian atasnya atau membuka lipatan di bagian bawahnya. Bebauan tajam yang sangat khas mulai tercium bersamaan dengan keluarnya isi tube yang kental, bening, berwarna hijau atau merah.

Tak lama… gelembung-gelembung bening mulai mengembang, berterbangan, berkilauan memantulkan cahaya pagi… diiringi tawa kecil yang takjub, serta senyum dan binar mata yang menerawang masa lalu…. Ya, akhirnya kami menemukannya… gelembung-gelembung dari masa kecil….


lihatlah!

Ssstttsssss.....

eh... ada yang 'baru' lho di blognya Obin

ttd,
ayah dan bunda-nya Obin

Sukses Baginya



“Menurut kamu seperti apa itu orang yang sukses?” Begitu tanya lelaki itu -- yang baru saja kukenal dua bulan ini -- padaku. [oh, tidak… haruskah kita bercakap-cakap lagi tentang nilai-nilai hidup dan sejenisnya?]

“Sukses?” tanyaku kembali.

“Ya, menurut kamu bagaimana?”

Sukses, gumamku dalam hati. Ah, aku bisa saja menjawabnya dengan jawaban yang terdengar bijaksana, atau yang terdengar religius, atau yang terdengar materialistis, atau bahkan yang terdengar masa bodoh sekalipun… Ya, bisa saja. Aku bisa menjawab bahwa sukses itu sangat relatif. Ya, bisa saja begitu. Atau aku bisa menjawabnya dengan jawaban khas Aa Gym dan alim ulama lainnya; bahwa menilai sukses tidak boleh dari sudut pandang mata manusia, tapi harus dari sudut pandang Sang Pencipta. Ya, bisa saja kujawab begitu. Atau aku bisa menjawabnya dengan rumusan sukses versi Robert Kiyosaki; bahwa sukses itu adalah ketika dapat mencapai kebebasan finansial. Bisa juga kujawab seperti itu…

Tapi tidak… Aku tidak mau terdengar bijaksana, atau religius, atau materialistis, atau bahkan terdengar masa bodoh sekalipun. Aku bahkan tak begitu peduli apa jawabku, karena menurut perasaanku lelaki itu pun tak benar-benar peduli apa jawabku. Maka kujawab saja pendek, “Bagiku sukses itu keseimbangan.”

Sambil mencubit-cubit segumpal tanah liat di genggamannya, lelaki itu mulai berkata, “Kalau menurut rumusanku…” [ah ya… ia memang ingin berpendapat saja…]

“… tanda orang sukses adalah: kalau ia bisa dilahirkan kembali, orang itu akan memilih untuk menjadi persis dirinya yang sekarang lagi...”

“dan aku tetap mau jadi aku lagi…” lanjutnya sambil tertawa. “Habis, enak sih jadi aku!”

***

Aku seringkali tidak sependapat dengan lelaki yang usianya hampir dua puluh tahun lebih tua dariku itu. Aku pun tidak percaya pada reinkarnasi. Namun rumusan suksesnya yang nyeleneh dan unik (bagiku) mampu membuatku tercenung di sepanjang perjalanan pulang dari tempatnya, sore itu...

Perempuan yang Bermimpi



(Dua orang perempuan duduk diam di dalam sebuah mobil yang sedang melaju pelan di sebuah jalan raya yang padat. Seseorang duduk di balik kemudi. Perempuan yang lain duduk di sebelahnya dan memulai percakapan…)

+ Aku akhir-akhir ini suka mimpi lagi.
- Hmm... mimpi apa?
+ Macam-macam.
- Mimpi almarhum bapak lagi?
+ Ya, itu juga. Tapi ada yang lain juga.

(Hening sejenak)

+ Eh… aku kemarin mimpi kamu.
- Oya?
+ Iya… Hm… Aku mimpi kamu lagi berantem sama si Mas…
- Hehe… betul…
+ Yang bener?
- Iya…
+ Seriuss?
- Ya… gitu deh…
+ Kenapa?
- Ah… biasa aja kok…
+ Kok bisa betul begitu ya? Tuh kan… kadang-kadang mimpiku kejadian beneran.
- Hehehe… bakat cenayang kali.

(Jeda)

+ Kamu suka mimpiin si Mas gak?
- Pernah sih pernah, tapi rasanya jarang banget. Lagian aku jarang bisa ingat mimpi.
+ Aku gak pernah loh… Aneh ya?
- Hmm…
+ Tapi kalo mimpiin orang-orang lain sering…
- Siapa? Oh aku tahu… pasti kamu abis mimpiin yang kemarin nelpon itu kan?
+ Hehehe…
- Itu sih cuma gara-gara abis ngobrol di telpon aja kali.
+ Mungkin.
- Atau bisa juga hasrat terpendam…
+ Enak aja!
- Hehehe…
+ Tapi yang hasrat terpendam juga sering dimimpiin sih…
- Hahaha… yang mana nih?
+ Yang itu… kamu pasti tahu kok…
- Hmm… ternyata dia yang paling berkesan ya?
+ Sepertinya... Kenapa ya aku suka mimpi lagi akhir-akhir ini? Tanda apa ya?

(Hening)

- Udah… gak usah dipikirin. Lagian dari dulu kamu juga suka mimpiin orang-orang lain yang gak jelas, yang sebenernya gak pernah kamu pikirin. Ya kan?
+ Iya juga sih…

(Setelah sejenak hening, percakapan tentang mimpi pun beralih…)

Testimonials on Me (Bukan Prenster)

Ketika sedang membaca blog seseorang, apakah pernah kalian bertanya-tanya, seperti apakah ia sesungguhnya? Seperti apakah ia di balik cerita yang tertulis di lembar-lembar mayanya? Seperti apakah ia di kehidupan nyata? Apakah pernah? Kalo saya sih sering …

Pernahkah kalian bertanya-tanya tentang saya? :p

Tiba-tiba saya teringat selembar kertas dari masa lalu. Harusnya terselip di catatan harian lama saya. Sebentar saya cek dulu… :-)

Yap, ternyata masih ada. Selembar putih kertas loose-leaf polos, sudah terbelah menjadi dua persis di lipatannya. Isinya? Hm... isinya adalah beberapa testimoni teman tentang diri saya. Suatu hari dulu, seorang teman (kuliah) sibuk meminta testimoni tentang dirinya untuk keperluan entah apa saya lupa. Yang ada, malah kami teman-temannya jadi kecentilan ikut-ikutan saling meminta dan memberi testimoni.

Hihihi… saya lagi membaca-baca kembali testimoni mereka… Beberapa menuliskan hal yang sama tentang saya. Bisa jadi karena mereka semua memang melihat hal yang sama itu dari diri saya. Atau bisa juga ada kecenderungan testimoni dari orang pertama jadi sumber inspirasi bagi orang berikutnya. Ada juga beberapa testimoni yang saling bertentangan satu sama lainnya.

Eniwei, mau tahu apa kata mereka tentang saya?


S buat Noy
(+) Bae’, rajin (kalo lagi mood), tekun, semangat tinggi untuk mencapai tujuan, kalo lagi kepepet jadi powerful, tetap ceria meski dilanda kesulitan, ramah, santai, easy-going, selera seni ok, kreatif, dewasa, sabar, cepat ngambil keputusan, menyemangati orang.
(-) kadang-kadang males, kalo lagi stress dan sebel jadi cuek dan keliatan banget, perlu penyemangat (dikomporin) terutama kalo kerjaannya banyak.

Dari L
(+) Cuek, bersahabat, ramah, kayak anak kecil tapi bisa berpikir dewasa, semangat kalo punya sesuatu yang dipengenin, kalo lagi mood rajin banget, ceria ketawa terus, nggak plin-plan/ pendirian kuat/ ambil keputusan, kreatif, sabar/ nggak pernah marah.
(-) Sering males, terlalu cuek nggak liat sikon, kalo lagi suntuk keliatan banget – tapi masih bisa diajak becanda sih

A buat N’oy
(+) Percaya diri dan enggak minderan, nggak suka ikut-ikutan orang lain, ceria, suka ketawa, bersahabat, cuek, meskipun kecil tapi dewasa hehe…, nggak tergantung orang lain/ mandiri, seleranya ok, kreatif dan artistik lah…
(-) Suka males, boros (iya gak sih?), kalo nggak suka ama orang – keliatan (dari sikap dan ucapan lo), teledor (suka ketinggalan dompet... hihi)

B about Noy
(+) Lucu, ceria, suaranya lucu (emang cocok jadi dubber, Noy!), dewasa, ramah, pemikir yang ok, kreatif, imajinatif, prinsipnya kuat
(-) Kadang-kadang elo terlihat ketus kalo lagi serius, males – udah mulai rajin sih (tapi yang penting kualitas, bukan kuantitas kan Noy?), hmmm… (ini gue baca dari A), kayaknya emang elo suka terlihat kalo nggak suka terhadap sesuatu/ seseorang.

Noy dari E
Nilai seni tinggi, kreatif, males juga sih (bosen ya Noy?), mau nerima kritik dan mau mengakui kesalahan, mudah bergaul, rajin dan semangat ngerjain hal-hal yang disenengin, pengertian.

Noy dari W
Kurang olahraga, agak males (sama kayak gue) – tapi kalo niat bisa-bisa aja, ceria juga sih…

Hihihihi…..

PERINGATAN PEMERINTAH:
Satu; testimoni ini diberikan di masa-masa awal kuliah, kalau tidak salah di tahun ke-dua. Berarti mereka mengenal saya baru sekitar satu tahun lebih. Bisa jadi mereka punya pandangan yang lain tentang saya di tahun-tahun berikutnya. Dua; mereka adalah teman sekelompok kuliah studio, yang berarti ‘melihat’ saya relatif lebih intens dari pada sekedar teman kuliah biasa. Tiga; testimoni ini sudah lama sekali… (oh my… more than 10 years ago!!!), yang bisa berarti saya sudah berubah banyak sekali. Atau juga tidak sama sekali… ;-)



And for a friend from my real world, a silence reader of my blog world (now has her own blog :p), who lives on the other part of the world - Dy’: Can u guess names behind those initials? Hihihi… it should be a piece of cake for u… ;-)

Ternyata Saya Masih Bisa Hidup

Dulu sekali saya pernah tergila-gila pada televisi. Ada saja acara televisi yang rasanya menjadi daftar wajib untuk ditonton. Bila sekali saja terlewatkan, rasanya seperti mau kiamat deh… Tapi hal ini berubah sejak saya tinggal di tempat kos dengan hanya sebuah televisi untuk tiga puluh orang anak kos. Perebutan saluran televisi antar anak kos dan juga dengan mamang si penjaga tempat kos – dengan acara TVRI Bandung kegemarannya – perlahan membuat ketergantungan ini berkurang sekali. Bahkan hingga saat ini. Sekarang, jangan tanya acara televisi di atas jam sembilan malam pada saya. Besar sekali kemungkinannya saya tidak tahu acara tersebut. Sekarang ini, saya hanya duduk di depan televisi sekali-kali; menemani Obin menonton film kartun di pagi hari, atau sekitar jam makan malam – tanpa peduli benar apa acaranya. Mungkin jadinya saya agak kuper, tapi tidak apa-apa juga rasanya. Ada kelegaan terselip, ‘hmm… ternyata saya masih bisa hidup tanpa televisi, ternyata hidup saya masih oke-oke aja tanpa televisi.’

Akhir-akhir ini saya tergila-gila pada internet. Pasti ada saja blog yang ingin dikunjungi atau sekedar googling tidak terencana. Sehari saja tidak terhubung dengan jaring-jaring maya ini, rasanya seperti mau kiamat deh… Hingga kira-kira dua minggu yang lalu, komputer saya terserang Virus Sasser Worm B. Butuh waktu hampir seminggu hingga akhirnya komputer saya bisa kembali online (maklum gaptek, nunggu ada yang ngebantuin dulu :p). Awalnya terasa seperti orang yang sedang sakaw. Tapi lama-lama biasa saja tuh rasanya... Kembali ada kelegaan terselip, ‘hmm… ternyata saya masih bisa hidup tanpa internet, ternyata hidup saya masih oke-oke aja tanpa internet.’

Rupanya sedikit kekacauan kecil dalam sebuah ‘rutinitas’, bisa berguna juga: mengembalikan ritme kehidupan pada posisi yang netral kembali…

Tapi sekarang saya mulai on-line lagi. Gak janji deh gak ketagihan lagi… hehehe…

Kau, yang Mana?

(ini jajak pendapat tentang soulmate*)



Bayangkanlah sebuah dunia yang sederhana.
Hanya ada dua rupa manusia di sana.
Begitupun dalam memandang cinta, hanya ada dua saja macamnya.


Yang pertama percaya bahwa cinta itu ditemukan. Mereka percaya bahwa di dunia ini hanya ada satu (atau dalam hitungan jari sebelah tangan saja) orang yang tepat baginya. Mereka percaya bahwa manusia sulit berubah, karenanya menemukan seseorang yang paling tepat adalah hal yang terpenting untuk kehidupan cinta. Orang yang tepat itu adalah orang yang pas sempurna untuk dirinya, bagaikan dua kepingan pazel yang pas sempurna lekuk-lekuknya.

Yang kedua sebaliknya. Mereka percaya cinta itu tercipta dalam hitungan masa. Mereka percaya di dunia ini sebenarnya cukup banyak kemungkinan orang yang dapat membuatnya bahagia bersama. Mereka percaya tidak ada seorang pun di dunia yang pas sempurna bagi dirinya. Mereka percaya bahwa manusia mungkin berubah. Karenanya, yang terpenting dalam cinta bukanlah menemukan orang yang paling tepat (karena baginya tidak pernah ada yang paling tepat). Yang terpenting baginya adalah upaya untuk tetap menjaga cinta.

Bayangkanlah sebuah dunia yang sederhana.
Hanya ada dua rupa manusia di sana.
Yang pertama adalah kaum yang percaya akan pasangan-jiwa.
Yang kedua adalah kaum yang percaya bahwa cinta harus berupaya.

Bayangkanlah sebuah dunia yang sederhana.
Hanya ada dua rupa manusia di sana.
Kau, yang mana?


* bahan diambil dari sini

KERAMIK: Sebuah Mimpi Lama

Belajar membuat keramik, bergelut dengan tanah liat, lalu menjadikannya sebuah kegiatan sehari-hari atau sekedar hobi yang menyenangkan; itu adalah salah satu mimpi lama saya. Nyaris terlupakan, tapi ternyata tak pernah benar-benar terlupakan... Saya dulu pernah berhayal, di sudut pekarangan rumah saya kelak akan ada sebuah studio kecil tempat saya berkarya. Sebuah studio yang sederhana saja tapi dilengkapi dengan sebuah tungku pembakar. Saya akan mengisi hari-hari saya di sana. Saya akan pergi ke sana bila hati sedang senang. Saya juga akan pergi ke sana bila hati sedang gelisah.

Hmm… sebuah mimpi dari masa sekitar tiga belas tahun yang silam. Tak sepenuhnya terkubur memang. Saya ingat terkadang mimpi ini bersinggungan kembali dengan kehidupan saya. Kuliah bertetangga dengan fakultas yang memiliki jurusan keramik; sebenarnya waktu itu saya bisa saja mengambil mata kuliah pilihan keramik. Bertugas menjaga pembukaan sebuah galeri dan pameran keramik, berkenalan dengan seseorang yang bergelut dengan keramik, tetap tidak membuat saya bergerak untuk mencoba merealisasikan mimpi itu. Merasa-rasa diri terlalu sibuk, takut entah karena apa; mungkin itu semua ada di balik kemalasan dan keengganan saya.

***

Sekitar tiga tahun yang lalu mimpi itu seakan melambai lagi dari balik sebuah artikel di surat kabar. Adalah Rumah Tanah Baru milik keramikus F Widayanto, ternyata tak terlalu jauh letaknya dari kediaman saya. Tertulis di artikel tersebut, rumah galeri dan studio itu dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu. Katanya, bahkan kita bisa ikut bermain tanah liat di sana!!!

Maka saat itu, dengan perut besar mengandung Obin sekian bulan, saya ditemani sang suami ke sana. Kata suami, “Ada yang lagi ngidam main tanah liat nih. Bahaya kalo gak diturutin maunya.” Hehehe… Thanks a lot, yang!

Maka saya pun ikut bermain tanah liat di sana. Dengan membayar sekian rupiah, saya mendapat sebongkah tanah liat yang lebih besar sedikit dari bola tenis. Selama dua jam lebih, dengan teknik yang paling mudah – yaitu teknik cetak – saya menghasilkan sebuah cawan kecil berbentuk daun bunga kamboja dengan lebah mungil di sudutnya dan sekeping keramik persegi empat yang sedianya akan saya jadikan sebuah jam meja. Dua minggu kemudian ‘hasil karya’ saya sudah selesai diwarnai, dibakar, sudah bisa diambil dan dibawa pulang. Dan saya senang sekali…

Selama tiga tahun terakhir ini, Rumah Tanah Baru ini telah beberapa kali saya kunjungi kembali. Sekedar untuk menikmati suasananya yang nyaman, sudut-sudutnya yang teduh dan artistik, dan duduk-duduk ngobrol di sebuah jineng favorit. Atau untuk duduk di kedai kecilnya yang akrab, makan nasi campur istimewa dengan sambal tomat hijau yang segar dan tumis jantung pisang, dengan peralatan makan dari keramik yang artistik. Atau untuk sekedar mengajak Obin jalan-jalan, melihat kolam ikan dengan air yang memancur dari patung keramik berbentuk kura-kura dan kodok, melihat bebek di kandangnya, dan berkenalan dengan Aom, Asoy, dan Ndut -- anjing-anjing yang setia menjaga Rumah Tanah Baru. Atau untuk mengajak keponakan -- dan Shanty (hai!!!) -- bermain keramik di sana, sebagai alasan untuk ikutan main keramik lagi… :)

Saya benar-benar sungguh senaaang sekali… Tapi ternyata saya masih belum cukup puas :-)

Sepenggal Mimpi Tentang Suatu Pagi



Sepenggal mimpi tentang suatu pagi datang menyelip di batas akhir lelap malam tadi. Sepenggal mimpi tanpa pelaku, mungkin hanya ada aku. Aku yang seakan sedang menatap selembar foto berwarna lembut dari suatu pagi berkabut.

Terbangun aku oleh rasa dingin yang seolah berhembus dari pagi dalam mimpi. Ada rasa ganjil di hati, seolah mengenali sekali imaji pagi ini. Pagi berkabut yang berwarna lembut. Tak ingin terjaga, kembali kukatupkan kelopak mata. Menorobos gelap di antara kedua mata, mencoba hadirkan kembali imaji pagi dari mimpi malam tadi. Mengais relung-relung memori, menerka asal sepenggal pagi yang terselip dalam mimpi.

Masih dengan mata terkatup, kembali kusimak selembar imaji berwarna lembut dari suatu pagi berkabut. Kini ada pelaku di situ. Bukan hanya aku.

(Déjà vu…, awal dari cerita yang tak selesai)

Obin Anak Baik

- Obin olang jahat!

Suara kecil itu tiba-tiba menyentakku. Segera aku berlari menghampirinya. Kenapa, Sayang?

- Obin olang jahat!

Ia ucapkan itu dengan penuh kesungguhan. Tak ada senyum nakal, tak ada binar canda di matanya. Hanya ada tatapan yang penuh kesungguhan.

+ Gak, Obin. Obin anak yang baik, kok.
- Gaak, Obin gak baik. Obin olang jahat… Olang jahat aja!

Hatiku mendadak terasa perih teriris mendengar kata-katanya dan memandang tatapannya itu. Aku tak tahu persis apa yang telah terjadi. Hanya sekelebatan suara terdengar sebelumnya. Ku coba merangkainya menjadi sebuah duga. Mungkin tadi ia hendak melemparkan gitar mainannya ke Mbak. Mungkin sudah dilempar. Mungkin ia lalu diminta untuk minta maaf oleh Nyai. Mungkin ia tidak mau. Mungkin lalu Nyai berkata bahwa hanya anak yang nakal yang suka melemparkan barang dan memukul. Mungkin…

Mataku terasah perih, bulir-bulir bening mulai memenuhi sudut-sudut mataku. Aku tatap ia, tepat di matanya.

+ Obin, dengar Bunda ya. Obin b u k a n orang jahat. Obin b a i k. Obin anak b a i k. Bunda s a y a n g sama Obin.

Aku rengkuh ia dalam pelukanku erat, berharap ia mengerti.

Obin sayang, maafkan kami orang-orang dewasa yang sering tidak berpikir panjang. Yang sering asal bicara. Jangan pernah lagi kau berkata bahwa kau anak yang jahat, anak yang tidak baik. Jangan, sayang. Jangan pernah lagi.

Aku memang bukan orang-tua yang sempurna. Tapi aku berjanji, seumur hidupku, tak kan pernah kubiarkan lagi kau ucapkan kata-kata itu. Tak kan pernah kubiarkan. Tak kan pernah.

+ Obin anak baik… Obin anak yang baik, sayang…

(Telah lama berselang, namun masih sangat terbayang…)

Kelinci di Bulan



“Tingkel-tingkel litel stal. Bow ay bondel bot yu ay… Tingkel-tingkel litel stal. Bow ay bondel bot yu ay… ”

Sudah jam sembilan lewat sepuluh. Obin masih saja melompat-lompat di tempat tidur, sambil meneriakkan lagu twinkle-twingkle lil’ star, a la Obin tentunya.

“Bin, bobok yuk.” kataku, sambil merapikan bantal dan selimut yang bertebaran di tempat tidur. “Pake lampu bobok, ya!” kataku kemudian sambil mengganti lampu terang dengan lampu tidur.

“Mau nonton balni wan tu tli pot.”

Duh, dia mau nonton vcd Barney yang itu lagi. Itu bisa berarti baru satu jam lagi tidurnya. Gak ah. Gak ok.

“Komputernya mau bobok juga, Bin. Kan dari tadi udah nyala terus Obin pake gambar-gambar. Kasihan… nanti rusak.”

“Eh… sini… sini…, Bunda mau dongeng nih.” Kataku buru-buru ketika melihat Obin sudah mau turun dari tempat tidur, hendak menyalakan kembali komputer.

Tapi dongeng apa ya?? Duh, mampus deh. Aku paling gak bisa kalau disuruh mendongeng. Apa baca buku aja, ya? Tapi males ah, baca buku juga kadang malah bikin dia gak bobok-bobok juga. Ya, udah deh, nekat dongeng aja.

“Hm… ceritanya… tentang…” Mataku menatap bintang, bulan, dan planet bercincin yang menempel di langit-langit. Mencari ide.

“Hm… tentang apa yaaa?”

“Tentang apa yaaa?” tanya Obin juga.

Hehe… dasar beo. Hmm... iya tentang apa ya? Waktu itu udah ngarang tentang anak kecil yang naik perahu bulan sabit. Walaupun garing jadinya. Sekarang tentang apa lagi ya?


***

“Hm… tentang bulan, Bin. Tentang kelinci di bulan. Nah, kalau bulan purnama, itu tuh... pas bulannya lagi bundar, Obin bisa lihat di bulannya ada kelincinya.”

“Hmmm???” tanya khas Obin kalau ia tidak mengerti apa yang sedang aku bicarakan.

“Iya, kelinci... Obin udah pernah lihat belum kelinci di bulan? Belum ya? Nanti deh ya, kapan-kapan Bunda kasih lihat. Nah, kelinci di bulan ini kerjanya memberi mimpi, Bin. Buat anak-anak kecil yang mau bobok. Iya bobok… kayak Obin sekarang”

“Kayak Obiin”, celetuk Obin senang.

“Mm-emm. Si kelinci di bulan ini tapinya lihat-lihat dulu anak kecilnya, hari ini baik atau gak. Sekarang kelinci di bulannya lagi lihat anak kecil yang di rumah sanaaa… Nama anak kecilnya…”
Duh siapa ya… hehe dasar paling lemot deh…

“Namanya…“ hmmm… “Elmo!!!”
Ah… gak kreatif banget sih ngasih nama…

“Hihihi... Elmo!!!” Obin malah cekikikan, justru mungkin karena nama itu dia kenal sekali.

“Kelinci di bulan lagi lihat Elmo. Kata kelinci di bulan… ‘Hmm, Elmo hari ini nakal sekali. Tadi waktu disuruh bundanya mandi, gak mau aja.’
Hihihi… pesan sponsor boleh dong.

‘Terus Elmo tadi mainnya juga gak pinter. Tadi Elmo waktu main sama temennya, mainnya gak mau sama-sama. Waktu mau pinjam mainan temennya, Elmonya gak minta ijin dulu. Waktu gak dikasih pinjam, malah ngerebut, malah mukul temennya.’ Gitu Bin…. Elmo nakal ya, Bin?”

“Iya, nakal. Elmo nakall” kata Obin yakin.

“Kelinci di bulannya gak mau ngasih mimpi yang indah, Bin, kalau anak kecilnya nakal. Jadi karena nakal, Elmo dikasih mimpi yang sedih deh sama kelinci di bulannya. Mimpi yang sedih, Bin.”

“Mimpi cedih…” Obin mengulangi kata-kataku. Berusaha mencerna mungkin.

“Kalau anak yang baik, dikasihnya mimpi yang indah. Kalau kita mimpi yang indah, kita besok paginya, pas bangun rasanya senaaang.”

“Cenaang. Cenyuum…” kata Obin.

“Iya, senyum. Kalau mimpi sedih, bangun-bangun kita rasanya sedih, jadinya nangis deh.”

“Nangis… Cedih…” kata Obin sambil membuat muka cemberut sedih.

“Nah… sekarang kelinci di bulannya lagi lihat Obin tuh. Obin hari ini baik gak?”

“Baik!!” kata Obin penuh keyakinan.

“Tadi Obin waktu Bunda suruh mandi, nurut gak?”

“Nuluut.” Lagi-lagi Obin berkata dengan wajah yang sangat yakin.
Hmmm... padahal tadi mandinya susah banget tuh…

“Oo nurut, ya… Terus tadi waktu main sama kakak Rafi, pinter gak?”

“Pintell …”

“Gak rebutan mainan? Gak pukul-pukul? Gak dorong-dorong? Mainnya sama-sama?”

“Cama-camaa, kok.”

“Oo… kalau gitu berarti Obin malam ini bisa dikasih mimpi yang indah sama kelinci di bulan… Sekarang Obin bobok ya? Nanti kalau Obin udah nyenyak tidurnya, kelinci di bulannya bakal kasih mimpi indahnya. Yuk… bobok yuk… Bunda juga udah ngantuk, nih. Berdoa dulu ya…”

***

Aku mulai memejamkan mata. Pura-pura tertidur. Aku dengar sejenak hening. Namun tak lama mulai terdengar suara Obin membolak-balikkan badannya di tempat tidur. Tapi tetap aku biarkan.

Tiba-tiba terdengar Obin berdiri dan berlari ke pinggir tempat tidur. Turun. Meraih gagang pintu dan membuka pintu dengan berisik, sambil berteriak,
“Yuk Bunda, ke lual yuk!! Ke lual, yuk! Obin mau ambil kulsi. Obin mau naik! Mau ambil… apa yaa??”

HAAAA… MASIH MAU MAIN LAGI?????

Mungkin semustinya tadi aku juga bilang kalau kelinci di bulan gak mau kasih mimpi yang indah buat anak kecil yang tidurnya terlalu malam… hehehe…

Mimpi yang tak Terengkuh

Mimpi yang tak terengkuh tak kan pernah benar-benar terlupakan. Kita bisa saja telah melipatnya dengan rapi dan menyimpannya di tumpukan paling bawah dalam laci lemari terkunci, untuk kemudian kita buka entah kapan nanti. Kita bisa saja telah meninggalkannya begitu saja di halaman, menelantarkannya hingga akhirnya lenyap dari pandangan, terkubur oleh kepingan realitas dan serpihan waktu. Kita bisa saja menggadaikannya di pasar, menukarkannya dengan semangkuk bubur atau bahkan dengan sesuatu yang tampak lebih berkilau di mata kita.

Tapi mimpi yang tak terengkuh tak kan pernah benar-benar terlupakan. Terkadang ia akan muncul kembali tak terduga ketika kita sedang mengaduk-aduk isi laci lemari dengan terburu-buru, mencari sesuatu yang terselip. Terkadang ia akan tiba-tiba timbul menyeruak ketika kita sedang menyapu dedaunan gugur di halaman. Terkadang ia tiba-tiba hadir di hadapan kita, tergantung di etalase toko barang gadaian.

Ya, mimpi yang tak terengkuh tak kan pernah benar-benar terlupakan. Ia bisa saja tiba-tiba muncul kembali. Melambaikan tangan, berbisik halus memanggil, atau berteriak keras… menggoda kita untuk kembali mencoba merengkuhnya….

Kelak, mungkin aku akan bercerita tentang salah satu mimpiku....

Fragile



If blood will flow when flesh and steel are one
Drying in the colour of the evening sun
Tomorrow's rain will wash the stains away
But something in our minds will always stay...


***

Lelaki itu dulu adalah atasanku. Bertahun-tahun yang lalu. Tidak lama memang, hanya untuk sekitar setengah tahun saja.

Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Namun yang kuingat darinya, ia tidak seperti atasan lain pada umumnya. Ia sepertinya tidak merasa terlalu perlu untuk bersikap jaga wibawa. Tidak juga disiplin bawahannya. Sebaliknya ia kerap mengajak kami bawahannya untuk jalan-jalan, main, dan makan ke luar -- bahkan terkadang pada jam-jam kerja. Ia yang kuingat juga ramah, ramai, dan super periang.

Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Namun dulu sempat terlintas di benakku, di balik semua itu ia adalah orang yang kesepian. Di usia yang cukup lanjut itu, ia masih hidup sendiri.

Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Bertahun-tahun setelah itu, kami tidak lagi pernah bertemu. Bahkan sekedar kabar tentang dirinya pun tak pernah ku dengar lagi.

Hingga tadi malam... kudengar cerita tentang kematiannya. Sekitar sebulan yang lalu. Tepat di hari ulang-tahunnya yang ke-empat-puluh-lima. Dibunuh... Dicekik... Dibuang tubuhnya ke sungai... Ditemukan beberapa hari kemudian, entah di mana...

***

On and on the rain will fall
Like tears from a star like tears from a star
On and on the rain will say
How fragile we are how fragile we are...

(sting-fragile)

Mencitrakan Kesan, Menangkap Kesan



(Satu)

Seorang perempuan berjalan dengan santai di sebuah pusat perbelanjaan, mendorong kereta-belanjanya, sambil mengingat-ingat apa lagi yang harus dibeli olehnya. Tak jauh dari tempatnya berjalan, ada seorang perempuan lain berjalan dengan cepat berlawanan arah dengannya. Perempuan ke dua itu mendorong kereta dengan tergesa-gesa dan tiba-tiba menabraknya! Perempuan yang menabrak itu sepertinya tak menyadari bahwa perempuan yang pertama kesakitan lengannya akibat tertabrak kereta. Perempuan yang menabrak berlalu saja dengan cepat, masih dengan tergesa-gesa.

‘Hey, jalan pake mata, knapa?’ gerutu perempuan yang tertabrak pelan. ‘Tampang boleh cakep, berpendidikan. Tapi minta maaf dikit juga gak. Sok sibuk! Sok penting!’ Perempuan pertama sudah merumuskan kesannya terhadap perempuan kedua. Mereka tidak pernah bertemu lagi, namun sebuah kesan telah terbentuk.


(Dua)

Seorang perempuan secara acak mengklik sebuah nama dengan sebuah link di dunia maya. Itu lalu mengantarnya pada sebuah halaman jurnal milik seorang lelaki. Dibacanya jurnal itu, ‘lumayan’, katanya dalam hati. Tak terasa akhirnya mulai muncul suatu rutinitas baru pada hari-hari perempuan itu: menunggu tulisan baru di jurnal maya lelaki yang hanya ia kenal namanya. ‘Lelaki yang cerdas, lucu, dan bijak,’ begitu kesannya.

Hingga akhirnya tiba suatu kesempatan, bertemulah perempuan itu dengan lelaki pemilik jurnal yang selalu ditunggu-tunggunya. Sebuah jabat tangan mengiringi kata sapa, ‘hai!’ Kini nama menjelma wajah, menjelma sosok. ‘Hm… tak seperti yang kukira. Tubuhnya tak setinggi yang kusangka, dan juga tak setampan yang kuharapkan’, kata perempuan itu sambil tertawa dalam hati, mentertawai dirinya sendiri.

Lalu perbincangan pun dimulai. Tak lancar. Lelaki dan perempuan itu sama-sama tak bercerita selancar mereka bercerita di jurnal mereka. ‘Ia tak begitu lucu lagi. Lagipula suaranya kenapa gemetaran seperti itu? Sungguh tidak terlihat kecerdasan seperti yang selama ini kukira’, kembali si perempuan berkata dalam hati. Telah hadir kesan yang lain.


(Tiga)

Seorang perempuan duduk di sebuah kursi kereta api eksekutif Bandung -Jakarta. Di pangkuannya duduk seorang anak kecil. Seorang lelaki setengah baya tak lama kemudian datang dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu menyapa dengan ramah si anak kecil, ‘hai adek, ketemu lagi’. Perempuan itu segera mengenali sosok si laki-laki. Ia adalah lelaki yang tadi sengaja berjongkok dan mengajak anaknya bercanda, dilihatnya dari kejauhan waktu mereka masih di peron. Perempuan itu pun lalu membatin, ‘lelaki yang ramah, senang anak kecil.’ Perempuan itu telah membatinkan sebuah kesan.

Selesai sebuah percakapan singkat ramah-tamah, lelaki itu mulai sibuk berbicara dengan telepon genggamnya. Tertangkap jelas oleh si perempuan apa yang dibicarakan oleh lelaki itu, walaupun perempuan itu berusaha untuk tak mencuri dengar. Tertangkap olehnya, lelaki itu sedang berbicara bisnis, tetap dengan gaya bicara yang ramah dan luwes. Tentang suatu negosiasi. Berhubungan dengan manajemen seorang artis. Tentang suatu harga yang harus dibayarkan. Tentang suatu angka yang harus dinaikkan. Tentang nomor rekening untuk membagikan selisih angka yang dinaikkan. Terus bicara lelaki itu, dengan tertawa-tawa, dengan luwes, dengan akrab, tetap dengan ramah. Juga menyelipkan sumpah dengan nama Tuhan sekali-kali… Perempuan itu menghela napas perlahan. Telah tertanam sebuah kesan yang lain. ‘Ah sudahlah, bukan urusanku. Lagipula semua di mana-mana memang sudah seperti ini.’ Keluh perempuan itu di dalam hati.

Percakapan ringan ramah-tamah lalu berlanjut. Tentang anak. Tentang bayi yang sedang ditunggu kelahirannya. Lelaki itu tiba-tiba berkata, ‘Nanti setelah kondekturnya memeriksa tiket, saya akan pindah tempat duduk. Rasanya di gerbong sebelah ada tempat kosong. Biar si Dedek bisa duduk sendiri dan tidur lebih nyaman.’ Perempuan itu sejenak terpana, namun segera ia berkata, ‘Wah, terima-kasih.’ Maka ada kesan lain yang terbentuk.


. . .

‘Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya’, kata pepatah. Menurutku itu tak sepenuhnya benar, atau pun salah. Karena bagaimana pun, tak akan bisa dihindari, kita manusia selalu membuat penilaian. Manusia mencitrakan kesan. Manusia menangkap kesan. Selalu seperti itu. Kesan pertama, kesan ke-dua, kesan ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya. Selalu ada kesan. Baik atau buruk. Atau netral. Ada kesan.

Sepertinya tidak terlalu perlu untuk dipermasalahkan bagaimana seseorang menangkap suatu kesan. Mungkin yang lebih penting adalah memiliki suatu kesadaran (dan keikhlasan untuk mengakui) betapa kesan yang ditangkap itu bisa saja tidak benar. Ada kemungkinan untuk salah. Baik kesan pertama, kesan ke-dua, ke-tiga, atau ke-sekian. Baik atau buruk suatu kesan, bisa saja tidak tepat.

Karena sesungguhnya seorang manusia punya banyak lapisan pada dirinya, punya banyak sisi. Kita tak kan pernah benar-benar tahu. Kita, manusia, tak kan pernah benar-benar bisa mengenali dan memahami seorang manusia lainnya.

Terinspirasi oleh friendster :D

Main, Yuk!



Katanya; dalam setiap diri orang dewasa tersembunyi sesosok anak yang selalu ingin bermain. Kata saya; beruntunglah saya yang memiliki anak yang masih kecil, sehingga punya alasan kuat untuk memainkan permainan anak-anak.

***

Salah satu cita-cita yang ingin saya lakukan selama tidak bekerja adalah lebih sering mengajak Obin jalan-jalan. Selama ini Obin agak kurang pengalaman jalan-jalan. Selama ini kami – orang-tuanya – biasanya pada akhir pekan lebih senang menghabiskan waktu di rumah saja. Nah, sekarang saya bisa kapan saja mengajak Obin jalan-jalan (walaupun kenyataannya masih gak sering juga sih, hehehe). Dudukkan Obin di car-seat, bawa bekal serta perlengkapan untuknya secukupnya, maka kami berdua pun siap melaju. Sekedar untuk belanja bulanan, ke toko buku, atau khusus untuk menjajal tempat-tempat permainan anak di sekitar selatan Jakarta.

Tempat bermain dengan kolam bola, tangga, perosotan, dan terowongan sekarang ini sedang jadi tempat main favorit. Buat Obin, tentu ini bagus buat keterampilan motorik-kasarnya, memberinya kesempatan untuk mengeksplor, untuk bertemu dan bermain dengan teman sebaya, menjadi berani, dsb, dsb… Buat saya -- dengan alasan anak di bawah tiga tahun harus disertai pendamping orang dewasa -- ada kesempatan untuk duduk membenamkan kaki di kolam bola, memanjat-manjat, loncat-loncatan di jaring, merangkak-rangkak di terowongan, dan main perosotan yang meliuk-liuk!!! Cihuiii….!!!!

Sedikit catatan:
Ada perbedaan yang mencolok pada tempat permainan anak yang di Depok dengan yang di kawasanPondok Indah. Di tempat pertama, teman ‘sepermainan’ saya adalah para orang-tua juga. Sementara di tempat yang satu lagi, saya menjadi satu-satunya orang-tua yang ‘bermain’ di antara para ‘baby-sitter’. :-)

Mainan Siapa Gerangan?

Saya suka sama mainan jaman dulu atau mainan tradisional. Mainan yang gak akan kita temukan pada toko mainan di segala jenis modern-market saat ini. Paling-paling kita masih bisa menemukannya di pasar tradisional atau dijual oleh penjaja mainan kaki-lima. Walaupun gak bisa dibilang sebagai koleksi, saya punya beberapa mainan seperti ini.

Kapal othok-othok, begitu saya menyebutnya. Gak jelas juga apa nama mainan ini sebenarnya. Kapal-kapalan ini dibelikan oleh hubby pada penjaja mainan sekitar kebon binatang di Bandung. Terbuat dari seng, kapal-kapalan ini (seharusnya) bisa berjalan di atas air. Caranya, kapal diapungkan dulu dalam baskom berisi air. Lalu di dalam rongga badan kapal ini, kita beri kapas yang sudah dibasahi minyak kelapa, kemudian kita nyalakan. Kapal ini (harusnya) akan berjalan dan mengeluarkan bunyi ‘othok-othok-othok-othok’. Begitulah. Cuma sayangnya, kapal othok-othok yang saya miliki ini belum pernah sukses ‘berlayar’.

Kura-kura seng ini juga dibeli di dekat kebon-binatang di Bandung, bertahun-tahun yang lalu. Dengan mekanisme yang sederhana, kura-kura ini bisa bergerak-gerak. Di bagian bawah badannya ada karet yang dipuntir, pemberat, dan gulungan tali kasur. Bila tali kasur itu kita tarik-ulur, maka kura-kura ini akan bergerak maju-mundur. Lucu. Selain berbentuk kura-kura, kalau tidak salah sebenarnya mainan sejenis ini juga ada dalam wujud binatang lain.

Burung tanah-liat ini bentuknya sih sama sekali tidak menarik. Tidak juga bisa bergerak lucu. Tapi burung ini bisa berbunyi “huhu-huhu” kalau kita tiup dari bagian ekornya. Belinya di mana ya dulu? Wah lupa…

Gasing dari bambu ini belinya di Malioboro, Jogja. Ukuran bambunya cukup besar, diameter sekitar sepuluh sentimeter. Bila diputar cepat-cepat dengan tali pemutarnya, maka gasing akan melompat, lalu berputar. Kalau kita memutarnya cukup kuat, akan terdengar bunyi berdengung yang cukup keras. Ngunnnnggggg… Hati-hati bila mencoba menangkap dan menghentikan gasing dengan tangan, ketika putarannya masih kencang. Salah-salah tangan bisa tergores dan luka (hehe boong deng… )

Namanya juga peluit, berarti memainkannya dengan cara ditiup. Sebenarnya ada dua macam peluit bambu yang saya temukan. Yang pertama, seperti yang ada pada gambar sebelah. Yang kedua lebih kecil, namun memiliki alat seperti katup pada ujung bawahnya. Katup ini bisa disorong-sorong, sehingga nada suara yang dihasilkan oleh peluit bisa beragam tinggi-rendahnya.

Kodok lompat ini mungkin agak berbeda. Gak terlalu tepat disebut sebagai mainan tradisional, karena sudah bukan buatan tangan pasti. Kodok ‘made ini china’ ini saya beli pada penjaja kaki-lima di sebuah jembatan penyeberangan di Jakarta. Terbuat dari seng, bila kitar putar pegas-putarnya, kodok ini lalu akan melompat-lompat. Mainan yang cukup bagus untuk diletakkan di atas meja kantor dan dimainkan kalau lagi bosan. Hehe.

Masih ada beberapa mainan lagi sebenarnya; ada boneka yang bisa digerakkan dengan tali, ada mainan dari tanah liat dan kertas semen yang gak jelas bentuknya tapi bisa berbunyi ‘ngek-ngok’, ada mainan dengan tongkat dan roda yang bisa didorong hingga berbunyi ‘tek-tek-tek’, dan macam-macam lagi. Tapi sekali lagi saya bukan kolektor yang baik. Kadang mainan-mainan ini tergeletak begitu saja, rusak, hilang, atau terbuang ke tempat sampah. Namun kalau kebetulan melewati tempat-tempat yang cukup ‘eksotis’, saya masih menyempatkan untuk lirik-lirik, kali-kali aja masih menemukan mainan serupa. :-)

***

Mainan jaman dulu, saya lebih suka menyebutnya begitu; walaupun sebenarnya ini bukan mainan saya ketika kecil dulu. Entah kenapa saya gak pernah main dengan mainan-mainan ini dulu. Mungkin kah ini mainan jaman orang-tua kita? Atau kakek-nenek kita? Atau adakah di antara kalian yang memainkannya ketika kecil dulu?

Terselip-Ketik

Saya sering terselip-ketik. Maksudnya salah ketik gitu. Mungkin karena saya memang tidak pandai mengetik. Tidak semua jari termanfaatkan dengan baik, ketika saya mengetik. Tapi lumayanlah, setidaknya saya mengetik tidak hanya dengan satu atau sebelas jari.

Tapi ada yang menarik. Saya perhatikan salah satu kesalahan yang sering saya lakukan ketika mengetik (dan juga ketika menulis) adalah saya sering melupakan kata-kata ‘tidak’ (bukan, enggak, dll) dalam kalimat (yang seharusnya) negatif. Alih-alih menulis “Maaf, saya tidak sempat balas e-mailnya, soalnya saya sibuk sekali.” eh jadinya malah “Maaf, saya sempat balas e-mailnya, soalnya saya sibuk sekali.” Jadilah sebuah kalimat yang maknanya jelas… ups gak jelas.

Tapi itu masih mendingan, karena kalimat di atas adalah kalimat majemuk. Masih ada anak kalimat yang menjelaskan, sehingga orang yang membaca mungkin jadi bertanya-tanya sebentar tapi kemudian memaklumi kalau ini adalah salah ketik. Coba kalau selip-ketik ini terjadi pada kalimat-kalimat singkat pada SMS. Misalnya, ketika saya seharusnya kirim SMS, “Gue gak jadi pergi”; eh saya malah mengetik pesan “Gue jadi pergi”. Wah, ini kan bisa fatal akibatnya.

Apakah terselip-ketik seperti ini termasuk Freudian Slip (slip of the memory, slip of the mind, slip of the tongue, slip of the pen)? Kalau benar, berarti ‘bawah sadar’ seperti apa yang berusaha muncul ketika saya terselip-ketik kalimat (yang maunya sih) negatif itu. ‘Bawah sadar’ seperti apa yang tertekan oleh ‘kesadaran’ saya, sampai-sampai selip-ketik itu terjadi?

Apakah saya sedang berbohong? Ketika saya terselip ketik tidak sempat”, sebenarnya saya memang sempat, dan saya bohong waktu saya bilang saya sedang sibuk.

Atau semi bohong? Waktu saya bilang “Gue gak jadi pergi”, faktanya saya memang tidak jadi pergi, tapi mungkin dengan terpaksa karena 'bawah sadar' saya sebenarnya ingin pergi.

Tapi kenapa cukup sering terjadi ya? Apa berarti saya sering bohong?

Kalau memang saya sering bohong, tapi kenapa selip-ketik yang sering terjadi (dan terperhatikan) itu berhubungan dengan kata ‘tidak’? Apakah karena ‘bawah sadar’ saya punya penolakan atau ketakukan terhadap kata ‘tidak’ ini?

Well… mungkin kalau Freud masih hidup dia bisa kasih analisis panjang lebar tentang hal ini. :-)

Mengapa?



Mengapa tak lagi menulis? Padahal aku suka menulis, setidaknya menulis blog ini. Mengapa? Padahal kini seharusnya waktu untuk itu lebih melimpah, tak lagi tersita untuk kerja, apalagi untuk bergulat dengan kepadatan lalu lintas [yang katanya sekarang tambah macet itu].

Mengapa? Pada awalnya aku akan menyalahkan seperangkat alat tulis elektronik yang untuk sementara waktu tak lagi ada di atas mejaku. Padahal kau pun tahu, untuk sekedar menulis, selembar kertas dan sebatang pensil pun sudah sangat memadai. Padahal ketika alat tulis elektronik itu sudah kembali, kini bahkan lebih lengkap; masih juga tak kunjung menulis aku. Malah asik melakukan hal-hal lain dengannya.

Mengapa? Lalu aku mulai menyalahkan saluran maya yang pada waktu itu lebih sulit untuk aku raih. Padahal kau pasti tahu, kata ‘menulis’ dan kata ‘on-line’ masing-masing bisa berdiri sendiri. Padahal kemudian sudah beberapa minggu ini aku pun sudah bisa online dari bilikku sendiri [walaupun masih dengan saluran yang lambat dan mahal *keluh*], tanpa perlu mengganggu waktu kerja orang lain atau berjalan kaki ke warnet terdekat. Tapi masih saja tak kunjung menulis aku.

Mengapa? Tak urung aku menyalahkan Obin [hehe… sorry ya, Bin] yang tak mau lepas-lepas dari diriku. Padahal ini bohong besar, karena Obin sudah pintar main sendiri sebenarnya. Lagipula mbak, uwak, om, tante, nyai, dan yayi dengan senang hati bergiliran mengajak Obin bermain. Lalu aku akan kembali menyalahkan Obin [hihi… maafin bunda lagi, Bin] yang selalu mau ikutan kalau melihat aku memakai komputer; lengkap dengan segala kalimat bernada seru darinya, “Nonton Tweenies, Bunda! Bunda, gambar balon lagi! Bin mau ketik-ketik, Bunda! Obin aja, Obin aja!” Padahal bukankah masih banyak waktu tersisa bagiku, sepanjang malam kala Obin terlelap?

Mengapa? Kemudian aku mulai menimpakan kesalahan pada tumpukan buku-buku di atas lemari. Buku-buku lama yang belum sempat aku baca, buku-buku yang baru dibaca sedikit, buku-buku yang baru dibeli, buku-buku pinjaman. Kini mungkin adalah saatnya untuk membaca, kataku, bukannya untuk menulis. Kini aku tak lagi perlu mencuri waktu membaca buku di saat menyetir, di sela-sela kemacetan setiap pagi dan sore. Kini di malam hari tak lagi terlalu penat tubuh dan mata untuk membaca. Padahal aku tahu persis, kini pun lebih banyak waktu di malam hari kuhabiskan untuk tidur daripada membaca. Apalagi menulis.

Mengapa? Aku pun akhirnya menyalahkan ide. Tak ada kerja, tak ada peristiwa, tak ada perjalanan, tak ada pertemuan, tak ada konflik; maka simpulku, tak ada ide untuk cerita. Padahal aku tahu, di dalam file bernama ide.doc masih tercatat beberapa gagasan yang belum terurai jadi cerita. Padahal di dalam folder “unfinished” masih tersimpan beberapa file yang belum sempurna sebagai cerita. Memang, seperti biasanya itu bukan ide yang spektakular, fantastik, bombastik. Hanya ide-ide ringan, tapi toh tetap bisa ditulis jadi cerita sebenarnya, seperti tentang koleksi mainan unik, kamar kos dulu, atau pendapat seorang teman tentang acara pernikahan. Tapi tetap saja tidak lagi menulis aku.

Mengapa? Mengapa? Mengapa? Dari satu kata tanya ‘mengapa’ itu, seribu satu alasan bisa aku beri, seribu satu hal bisa aku persalahkan. Namun seribu satu kata ‘padahal’ juga membayangi setiap alasan.

Senyata-nyatanya, hanya ‘aku’ lah yang layak jadi alasan. Kini harus kuakui itu. Lalu [semoga] menulislah aku. :-)