Sukses Baginya
“Menurut kamu seperti apa itu orang yang sukses?” Begitu tanya lelaki itu -- yang baru saja kukenal dua bulan ini -- padaku. [oh, tidak… haruskah kita bercakap-cakap lagi tentang nilai-nilai hidup dan sejenisnya?]
“Sukses?” tanyaku kembali.
“Ya, menurut kamu bagaimana?”
Sukses, gumamku dalam hati. Ah, aku bisa saja menjawabnya dengan jawaban yang terdengar bijaksana, atau yang terdengar religius, atau yang terdengar materialistis, atau bahkan yang terdengar masa bodoh sekalipun… Ya, bisa saja. Aku bisa menjawab bahwa sukses itu sangat relatif. Ya, bisa saja begitu. Atau aku bisa menjawabnya dengan jawaban khas Aa Gym dan alim ulama lainnya; bahwa menilai sukses tidak boleh dari sudut pandang mata manusia, tapi harus dari sudut pandang Sang Pencipta. Ya, bisa saja kujawab begitu. Atau aku bisa menjawabnya dengan rumusan sukses versi Robert Kiyosaki; bahwa sukses itu adalah ketika dapat mencapai kebebasan finansial. Bisa juga kujawab seperti itu…
Tapi tidak… Aku tidak mau terdengar bijaksana, atau religius, atau materialistis, atau bahkan terdengar masa bodoh sekalipun. Aku bahkan tak begitu peduli apa jawabku, karena menurut perasaanku lelaki itu pun tak benar-benar peduli apa jawabku. Maka kujawab saja pendek, “Bagiku sukses itu keseimbangan.”
Sambil mencubit-cubit segumpal tanah liat di genggamannya, lelaki itu mulai berkata, “Kalau menurut rumusanku…” [ah ya… ia memang ingin berpendapat saja…]
“… tanda orang sukses adalah: kalau ia bisa dilahirkan kembali, orang itu akan memilih untuk menjadi persis dirinya yang sekarang lagi...”
“dan aku tetap mau jadi aku lagi…” lanjutnya sambil tertawa. “Habis, enak sih jadi aku!”
***
Aku seringkali tidak sependapat dengan lelaki yang usianya hampir dua puluh tahun lebih tua dariku itu. Aku pun tidak percaya pada reinkarnasi. Namun rumusan suksesnya yang nyeleneh dan unik (bagiku) mampu membuatku tercenung di sepanjang perjalanan pulang dari tempatnya, sore itu...