Pergi Tidak Pergi

Pergi, tidak, pergi? Pergi? Tidak? Atau pergi?

Perempuan itu bimbang. Ia tetap melaju di jalan tol. Pergi? Tidak?
Ingin ia pergi. Untuk sejenak waktu bagi dirinya sendiri.

Pergi? Tidak? Ia harus cepat ambil keputusan. Secepat datangnya dua pintu tol lagi. Yang harus dilewati, bila tidak pergi yang ia pilih. Tangannya meraih telepon genggam. Kini jadi alat bantu ambil keputusan.

“Yang, aku pergi, ya? Ada acara ini di situ. Pengen dateng.”

“Ya, atur aja.”

Klik. Pergi.

---

Tapi masih ada tapi. Lalu menelepon kembali. Sebuah suara riang kecil menyapa di ujung sana, “Halooo! Ini siapa?”

“Halo! Ini Obin? Bin, ini Bunda. Obin lagi apa?”

“Obin lagi main. Bunda, Obin udah punya cerita buat Bunda. Obin udah bikin cerita.”

“Oya? Ceritanya apa? Ayo cerita. Bunda pengen denger.”

“Gak. Ceritanya bukan buat di telpon. Ceritanya nanti. Udah, ya. Daaa!!”

Klik. Putus.
Pergi?

---

Ia menelepon lagi. Suara kecil lagi yang terdengar, “Haloooo! Ini siapa lagi, sih?”

“Ini Bunda lagi. Bin, Bunda pulangnya agak malem ya? Bunda ada acara.”

“Gak. Bunda pulangnya sekarang! Obin mau cerita. Obin bikin kejutan buat Bunda.”

“Ceritanya nanti kalau Bunda pulang dari acara ya...”

“Gaaakk. Bunda pulangnya sekarang aja!”

Hening sejenak.

“Obin mau ceritanya, sekarang, ya?”

“Iya!”

“Oke, deh... Bunda pulang sekarang.”

Klik.
Menepi. Pintu tol dilewati.

Tidak pergi.

Musikalisasi Puisi

Posting kali ini adalah untuk:

  • Orang-orang yang kerap 'nyasar' ke blog saya ini, karena kata-kata kunci antara lain; musikalisasi puisi, Sapardi Djoko Damono, aku ingin, hujan bulan juni.
  • Orang-orang yang sempat membaca tulisan-tulisan lama saya tentang musikalisasi puisinya Sapardi (Hujan Bulan Juni, Menunggu 'Hujan Bulan Juni' di Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono, Lagi??? - Sebuah Sejarah, Report Acara Musikalisasi Puisi); dan kemudian menyempatkan diri untuk menulis di kotak komentar, kotak sapa, buku tamu, atau bahkan melayangkan e-mail kepada saya untuk bertanya: di mana bisa mendapatkan kaset/ cd musikalisasi puisi itu, kapan akan kembali dirilis, dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya.
  • Teman-teman yang pernah mendengar -- entah di mana -- beberapa musikalisasi-puisi Sapardi yang cukup terkenal, seperti 'Aku Ingin' dan 'Hujan Bulan Juni'. Lalu menyukainya, tapi selama ini bingung bagaimana cara mendapatkan kaset atau CD-nya.
  • Teman-teman yang belum pernah sekali pun mendengarkan musikalisasi puisi tersebut, yang jadi penasaran mengapa saya berulang-kali menulis tentang hal itu. :p

Untuk mereka, berikut pesan singkat dari Mbak Reda Gaudiamo di kotak komentar saya:

Hai Neenoy,

Setelah hampir dua tahun mendengar namamu dan sempat beberapa kali mampir ke Perahu Kertas, hari ini saya nekat memperkenalkan diri. Saya, Reda. Teman nyanyinya Nana.

Lewat pesan pendek ini, saya ingin berbagi kabar, bahwa album kami akan segera muncul (beneran!), karena hari ini, master-nya sudah selesai dan siap digandakan minggu depan. Bila segalanya lancar, Juni nanti sudah selesai dan siap didengarkan.

Terima kasih yang amat sangat kepada Neenoy dan teman-teman di Perahu Kertas yang sudah memberi dukungan kepada kami, dua ibu ini. Tanpa doa dan nyala harapan kalian yang begitu benderang, rasanya langkah kami tak akan seringan ini.

Thank you!

Much love, reda

PS: kalau sempat, sila mampir ke Kinokuniya Plaza Senayan, tg. 19 Mei '05, jam 18 - 20.00 wib. Nana mau launch buku barunya!



Buat Mbak Nana & Mbak Reda, semoga semua lancar. Semoga Juni ini kita sudah bisa menikmatinya.... Wah, gak sabar, deh! Btw, lagunya apa aja nih? Ada lagu baru, gak? :)


UPDATE (1 Juni 2005):

Tatyana dan Reda Gaudiamo dapat disapa di duaibu@hotmail.com

Tujuh Belas Bulan

Tujuh belas bulan, Bintang. Tujuh belas bulan, hampir setiap waktu aku ada di sisimu. Menyahut dan menghampirimu, setiap kali kau memanggil, “Bunda!” Menemani bobok siangmu. Membujuk tidur siangmu dengan tawar-menawar berapa buku yang akan dibaca sebagai pengantar lelap. Membujuk suapmu dengan cerita tentang mesin dalam tubuh yang perlu diisi makanan padat (kau menyukai penjelasan yang logis bukan?). Mendekap takutmu pada petir yang terasa sejengkal di atas kepala, betapapun sudah berulang kali kita bercerita tentang kembang api yang berloncatan dari gumpalan awan. Mengusap dan mengecup setiap sakitmu pada kepala (atau lutut atau lengan) yang seringkali terbentur karena kau selalu saja berlari dan meloncat tak hati-hati. Tujuh belas bulan, aku hampir selalu ada untuk memandang suara tawamu dan mendekap setiap tangismu.

Aku ingat betul, Bintang. Kau menandai awal masa tujuh belas bulan itu, dengan sapa ‘bunda’ yang bulat, tak lagi sekedar ‘da’. Saat ini kau telah bisa mendongeng tentang daun yang punya rumah, bercerita tentang segala rupa mesin rekaan, berkata “Obin punya ide” sembari memaparkan gagasan brilianmu, membangunkanku dengan berisik ketika subuh, bahkan memberi nasehat untuk orang-orang di sekelilingmu. Dan kau selalu dapat meluluhkan hatiku, dengan tatap mata kecilmu yang menyertai bisik pelanmu, “Bunda… Obin sayang Bunda.”

Masa tujuh belas bulan berlalu. Kini kita akan mulai menjalani bentang masa yang baru. Aku akan kembali memulai ritual yang dulu. Memelukmu erat di pagi dan sore (atau malam?) hari. Melambaikan tangan dan ciuman di pagi hari. Mengharap tawamu berlari menyapaku di sore (atau malam?) hari. Dan… menata hati agar tak cemburu pada setiap gelak tawamu yang bukan untukku.

Untuk apa aku pergi? Untuk siapa? Untukmu kah? Untukku kah? Aku tak pernah benar-benar tahu seperti aku tak pernah tahu seperti apa masa depan. Ah, apakah pergi adalah yang terbaik? Ataukah tinggal? Yang aku tahu, aku telah berserah pada Yang Maha Tahu. Dan ketika kesempatan itu diberikan, maka aku akan menjalaninya sambil berharap ini lah yang terbaik untuk kita.

Tujuh belas bulan, Bintang. Tujuh belas bulan yang mungkin akan segera terlupa oleh lemahnya ingatanmu dan ingatanku. Namun kuharap, itu adalah tujuh belas bulan yang akan selalu mengendap di bawah sadarmu dan bawah sadarku. Mengutas benang tak rapuh antara kau dan aku.