Cerpen

Uh... akhirnya cerpen saya -- dikirim ke majalah femina hampir dua tahun yang lalu -- dimuat juga (femina no.12, 24-30 maret 2005). Hehehe, salah sendiri sih. Sebenarnya cerpen itu saya kirim untuk jajal ikutan lomba cerpen femina tahun 2003. Seperti biasa dibuat menjelang akhir tenggat dan hasilnya sudah diperkirakan tidak akan menang. Buat saya, waktu itu memang lebih sebagai pacu untuk menulis lebih panjang dari biasanya (mencapai syarat minimal 1500 kata aja sudah susah payah lho). Tapi hasilnya yah, lumayan ternyata. Setidaknya dapat surat pemberitahuan bahwa cerpen saya itu tetap akan dimuat.

Lalu saya diminta untuk mengirimkan disket yang berisi file aslinya. Berhubung waktu itu sedang tugas di luar kota cukup lama, saya tidak bisa langsung mengirimkannya. Malah akhirnya lupa, hingga akhirnya ada telpon dari pihak majalah yang menagih kiriman. Udah gitu masih pake nawar lagi, harusnya kirim disket tapi saya maunya kirim file via email aja (repot gitu lho, mesti cari-cari disket dulu, mana disk drivenya suka ngadat lagi :p).

Dan waktu berlalu, tak ada berita tentang cerpen saya itu. Kadang kalau lagi ingat, sempat juga berniat menelpon untuk tanya kabarnya. Tapi baru niat aja, belum pernah jadi telpon juga. Sampai akhirnya kemarin, majalah feminanya telpon, memberi kabar pemuatan cerpen ini. "Iya nih, Mbak, baru dimuat sekarang. Cerpennya keselip."

Setelah majalah ada di tangan, saya baca lagi cerpen jadul itu. Hihihi... masih terasa garing seperti waktu saya kirim dulu. Banyak yang rasanya (sekarang) masih bisa saya edit lagi. Terutama di bagian ini, itu, dan juga percakapan yang rasanya (sekarang) masih terlalu formal dan baku. Editor mengubah sedikit. Judulnya dipersingkat, "Debu Cinta" saja. Lalu catatan-catatan kaki untuk bahasa Balinya tidak ditampilkan, namun diselipkan di dalam cerita.

Eh... pada beli dan baca ya... *promosi :p*. Ini kan tulisan pertama saya yang masuk majalah. Eh... gak deng. Ini tulisan kedua. Yang pertama itu sekitar dua puluh tahun yang lalu (kelas 4 atau 5 SD?), waktu 'cerpen' saya dimuat di majalah Bobo. :p

Momo, Gadis Kecil dan Pencuri Waktu



Judul: Momo
Pengarang : Michael Ende
Penerjemah: Hendarto Setiadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Juli 2004
Jumlah halaman: 320


Momo adalah seorang anak perempuan kecil, hidup di suatu kota di negeri yang tidak terikat waktu dan tempat, di masa kini yang abadi. Ia tinggal sendiri di reruntuhan amfiteater di kota tersebut. Semua orang, dewasa dan anak-anak, menyukainya. Momo sebenarnya hanya diam mendengarkan percakapan, kisah, pertengkaran, permainan yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Namun entah kenapa, hanya dengan diam dan sabarnya itu, orang lain seakan mendapat pencerahan, inspirasi, bahkan penyelesaian masalah.

Hingga suatu ketika, kota itu mulai didatangi oleh Tuan Kelabu, pria-pria berpakaian kelabu, dengan topi dan tas kelabu, selalu menghisap cerutu yang juga kelabu. Kemunculan mereka tidak disadari, namun kehadirannya selalu membawa suasana dingin. Mereka adalah pencuri waktu. Perlahan tapi pasti, tuan-tuan kelabu ini mulai menghasut setiap orang untuk menghemat waktu. Semakin orang menghemat waktu, semakin mereka kekurangan waktu; karena tanpa disadari tuan-tuan kelabu ini menghisap waktu dari setiap orang.
Padahal waktu adalah kehidupan. Dan kehidupan itu berpusat dalam hati.

***

Novel yang ditulis oleh Michael Ende ini -- sudah diterjemahkan dalam 40 bahasa -- sebenarnya adalah sebuah dongeng. Cerita anak-anak, namun menggugat dunia orang dewasa dan dunia masa kini. Mempertanyakan hakikat dari kesuksesan dan kemajuan dalam definisi orang-orang modern. Semua orang kini berlomba-lomba mempergunakan waktu semaksimal mungkin, dengan jargon waktu adalah uang atau waktu sangat berharga hingga jangan disia-siakan. Karenanya semua serba terburu-buru hingga tidak ada lagi ruang untuk tegur-sapa, senda-gurau, kasih-sayang, bahkan untuk sekedar melamun sejenak.

Di kisah Momo ini, anak-anak -- yang paling tak peduli waktu -- adalah sosok yang paling terabaikan. Orang-tua tak lagi bermain bersama mereka, anak-anak dititipkan di 'Depot Anak-anak' dengan dalih untuk kepentingan mereka sendiri kelak. Anak-anak tak lagi bermain dengan kardus, kain taplak robek, atau gundukan tanah -- mainan sederhana yang bisa menjelma jadi apa saja dalam imajinasi kanak. Tapi anak diberi mainan-bagus-yang-hanya-bisa-melakukan-satu-hal-saja. Anak-anak diajarkan untuk menjadi orang dewasa yang kerap merasa bosan dan berkata, "Aku ingin lebih banyak barang lagi!"

Sebenarnya banyak lagi hal yang diungkapkan dalam roman dongeng ini. Setiap orang mungkin akan 'membaca'nya secara berbeda. Memang kisah hayal Momo ini sebenarnya adalah cermin kehidupan kita sehari-hari. Ditulis oleh Michael Ende pada tahun 1973, Momo sungguh tetap dapat menggambarkan dengan tepat situasi yang kita hadapi saat ini. Bahkan bisa jadi akan semakin relevan di masa-masa mendatang. Seperti yang dikatakan olah penumpang misterius di bagian penutup,
“Kisah tadi saya ceritakan seakan-akan telah terjadi. Sebenarnya, saya juga bisa menceritakannya seolah-olah baru akan terjadi di masa depan. Bagi saya tidak banyak bedanya.”

***

Ada buku yang sangat menarik atau menghibur, tapi kau rasa cukup satu kali saja membacanya. Ada buku yang kau tahu akan kau baca dan baca lagi kelak. Momo, bagi saya adalah tipe buku yang ke dua. Akan saya letakkan di rak buku, berdekatan dengan Little Prince, Totto Chan, dan beberapa buku lainnya. Suatu saat nanti pasti akan saya baca kembali, dan mungkin juga dengan suatu pengertian yang sama sekali baru...

Keibuan



Menurutmu, apakah setiap perempuan memiliki naluri keibuan? Saya pribadi akan mengiyakan pertanyaan di atas, walaupun saya tahu kata ‘setiap perempuan’ pastinya adalah sebuah generalisasi, karena bagaimanapun perkecualian pasti ada.

Kembali pada naluri keibuan, pertanyaannya kemudian berlanjut, kapankah naluri itu muncul? Setiap perempuan mungkin akan punya jawaban yang berbeda. Saya pernah baca pengakuan seorang perempuan yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi ibu dan punya anak (sejak main dengan boneka?). Saya pribadi baru benar-benar merasakannya ketika saya mengandung, sejak secara sadar mengetahui ada yang hidup dalam tubuh saya. Memang pada dasarnya saya bukan tipe penyayang anak-anak, karenanya (ini berhubungan sebab-akibat gak ya?) juga bukan seseorang yang digandrungi anak-anak.

***

Masih sehubungan dengan naluri keibuan, belum lama ini saya menemukan sebuah istilah yang menarik dan baru buat saya, yaitu allomother. Tidak saya temukan artinya di wikipedia dan ensiklopedia serta kamus online lainnya. Namun dari beberapa artikel yang saya dapatkan melalui google, istilah ini kerap dipergunakan dalam penelitian mengenai perilaku binatang.

Allo, berasal dari kata Yunani, berarti ‘lain’ (other). Allomother, entah apa padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia (ibu asuh?), diartikan sebagai individu selain ibu yang ikut mengasuh anak. Di dunia primata (juga pada gajah), salah satu tipe allomother yang umum adalah betina-betina muda dalam sebuah komunitas. Betina muda primata membantu menggendong, mencarikan makanan, menjaga bayi primata dari pemangsa dan bahaya lainnya. Betina gajah bahkan membantu sejak proses persalinan. Buat si ibu, bentuk-bentuk pengasuhan ini menguntungkan karena memberinya waktu untuk beristirahat, untuk mencari makan, bahkan untuk persiapan bereproduksi kembali :). Buat sang bayi, ini adalah bagian dari proses belajar bersosialisasi. Buat para betina muda, ini seperti sebuah latihan, kursus, persiapan diri untuk menjadi seorang ibu!

***

Kadang lucu juga bagaimana kita manusia bisa bercermin pada perilaku binatang (lho, memang di ilmu biologi, manusia digolongkan dalam ‘animal kingdom’ kan? :) ). Yah, paling tidak saya sih yang jadinya ‘bercermin’ pada kasus allomother di dunia binatang ini.

Sebagai ibu, saya saat ini sangat terbantu oleh orang-orang lain di rumah yang ikut mengasuh Obin. Dua di antaranya adalah perempuan yang belum menikah, yaitu sepupu saya dan si mbak. Obin sendiri sangat senang bermain dengan keduanya (menurut saya, terutama karena keduanya adalah tipe penyayang anak sekaligus tipe yang digandrungi anak-anak).

Lalu saya menengok ke belakang, ketika saya hamil. Ya, pada momen-momen ini lah saya mulai merasakan munculnya naluri keibuan. Jadi senang memandangi keponakan yang sedang tidur, jadi lebih sabar menghadapi keponakan yang rewel, mulai mengamati dengan tekun cara menyuapi dan memandikan, bahkan dengan suka rela mengasuh keponakan lebih dari lima menit :D.

Setelah membaca mengenai allomother, saya jadi berpikir bahwa munculnya naluri keibuan adalah sebuah proses yang mulai saya alami jauh sebelum saya mengandung. Mungkin dimulai sejak… hmmm… perkenalan saya dengan bayi pertama dalam keluarga. Karena saya tidak punya adik, bayi di sini berarti adalah keponakan pertama saya yang lahir tujuh tahun sebelum Obin…

Berikut adalah beberapa kesimpulan saya sementara ini. Pertama, menjadi ‘ibu’ adalah sebuah proses yang bisa dipelajari, juga bisa dimulai jauh sebelum seorang perempuan memiliki anak sendiri. Kedua, hadirnya seorang bayi atau anak dalam komunitas terdekat (misalnya keluarga) dapat membantu mengasah naluri keibuan ini.

Ada yang punya pemikiran atau pengalaman yang lain?