Kau, yang Mana?

(ini jajak pendapat tentang soulmate*)



Bayangkanlah sebuah dunia yang sederhana.
Hanya ada dua rupa manusia di sana.
Begitupun dalam memandang cinta, hanya ada dua saja macamnya.


Yang pertama percaya bahwa cinta itu ditemukan. Mereka percaya bahwa di dunia ini hanya ada satu (atau dalam hitungan jari sebelah tangan saja) orang yang tepat baginya. Mereka percaya bahwa manusia sulit berubah, karenanya menemukan seseorang yang paling tepat adalah hal yang terpenting untuk kehidupan cinta. Orang yang tepat itu adalah orang yang pas sempurna untuk dirinya, bagaikan dua kepingan pazel yang pas sempurna lekuk-lekuknya.

Yang kedua sebaliknya. Mereka percaya cinta itu tercipta dalam hitungan masa. Mereka percaya di dunia ini sebenarnya cukup banyak kemungkinan orang yang dapat membuatnya bahagia bersama. Mereka percaya tidak ada seorang pun di dunia yang pas sempurna bagi dirinya. Mereka percaya bahwa manusia mungkin berubah. Karenanya, yang terpenting dalam cinta bukanlah menemukan orang yang paling tepat (karena baginya tidak pernah ada yang paling tepat). Yang terpenting baginya adalah upaya untuk tetap menjaga cinta.

Bayangkanlah sebuah dunia yang sederhana.
Hanya ada dua rupa manusia di sana.
Yang pertama adalah kaum yang percaya akan pasangan-jiwa.
Yang kedua adalah kaum yang percaya bahwa cinta harus berupaya.

Bayangkanlah sebuah dunia yang sederhana.
Hanya ada dua rupa manusia di sana.
Kau, yang mana?


* bahan diambil dari sini

KERAMIK: Sebuah Mimpi Lama

Belajar membuat keramik, bergelut dengan tanah liat, lalu menjadikannya sebuah kegiatan sehari-hari atau sekedar hobi yang menyenangkan; itu adalah salah satu mimpi lama saya. Nyaris terlupakan, tapi ternyata tak pernah benar-benar terlupakan... Saya dulu pernah berhayal, di sudut pekarangan rumah saya kelak akan ada sebuah studio kecil tempat saya berkarya. Sebuah studio yang sederhana saja tapi dilengkapi dengan sebuah tungku pembakar. Saya akan mengisi hari-hari saya di sana. Saya akan pergi ke sana bila hati sedang senang. Saya juga akan pergi ke sana bila hati sedang gelisah.

Hmm… sebuah mimpi dari masa sekitar tiga belas tahun yang silam. Tak sepenuhnya terkubur memang. Saya ingat terkadang mimpi ini bersinggungan kembali dengan kehidupan saya. Kuliah bertetangga dengan fakultas yang memiliki jurusan keramik; sebenarnya waktu itu saya bisa saja mengambil mata kuliah pilihan keramik. Bertugas menjaga pembukaan sebuah galeri dan pameran keramik, berkenalan dengan seseorang yang bergelut dengan keramik, tetap tidak membuat saya bergerak untuk mencoba merealisasikan mimpi itu. Merasa-rasa diri terlalu sibuk, takut entah karena apa; mungkin itu semua ada di balik kemalasan dan keengganan saya.

***

Sekitar tiga tahun yang lalu mimpi itu seakan melambai lagi dari balik sebuah artikel di surat kabar. Adalah Rumah Tanah Baru milik keramikus F Widayanto, ternyata tak terlalu jauh letaknya dari kediaman saya. Tertulis di artikel tersebut, rumah galeri dan studio itu dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu. Katanya, bahkan kita bisa ikut bermain tanah liat di sana!!!

Maka saat itu, dengan perut besar mengandung Obin sekian bulan, saya ditemani sang suami ke sana. Kata suami, “Ada yang lagi ngidam main tanah liat nih. Bahaya kalo gak diturutin maunya.” Hehehe… Thanks a lot, yang!

Maka saya pun ikut bermain tanah liat di sana. Dengan membayar sekian rupiah, saya mendapat sebongkah tanah liat yang lebih besar sedikit dari bola tenis. Selama dua jam lebih, dengan teknik yang paling mudah – yaitu teknik cetak – saya menghasilkan sebuah cawan kecil berbentuk daun bunga kamboja dengan lebah mungil di sudutnya dan sekeping keramik persegi empat yang sedianya akan saya jadikan sebuah jam meja. Dua minggu kemudian ‘hasil karya’ saya sudah selesai diwarnai, dibakar, sudah bisa diambil dan dibawa pulang. Dan saya senang sekali…

Selama tiga tahun terakhir ini, Rumah Tanah Baru ini telah beberapa kali saya kunjungi kembali. Sekedar untuk menikmati suasananya yang nyaman, sudut-sudutnya yang teduh dan artistik, dan duduk-duduk ngobrol di sebuah jineng favorit. Atau untuk duduk di kedai kecilnya yang akrab, makan nasi campur istimewa dengan sambal tomat hijau yang segar dan tumis jantung pisang, dengan peralatan makan dari keramik yang artistik. Atau untuk sekedar mengajak Obin jalan-jalan, melihat kolam ikan dengan air yang memancur dari patung keramik berbentuk kura-kura dan kodok, melihat bebek di kandangnya, dan berkenalan dengan Aom, Asoy, dan Ndut -- anjing-anjing yang setia menjaga Rumah Tanah Baru. Atau untuk mengajak keponakan -- dan Shanty (hai!!!) -- bermain keramik di sana, sebagai alasan untuk ikutan main keramik lagi… :)

Saya benar-benar sungguh senaaang sekali… Tapi ternyata saya masih belum cukup puas :-)

Sepenggal Mimpi Tentang Suatu Pagi



Sepenggal mimpi tentang suatu pagi datang menyelip di batas akhir lelap malam tadi. Sepenggal mimpi tanpa pelaku, mungkin hanya ada aku. Aku yang seakan sedang menatap selembar foto berwarna lembut dari suatu pagi berkabut.

Terbangun aku oleh rasa dingin yang seolah berhembus dari pagi dalam mimpi. Ada rasa ganjil di hati, seolah mengenali sekali imaji pagi ini. Pagi berkabut yang berwarna lembut. Tak ingin terjaga, kembali kukatupkan kelopak mata. Menorobos gelap di antara kedua mata, mencoba hadirkan kembali imaji pagi dari mimpi malam tadi. Mengais relung-relung memori, menerka asal sepenggal pagi yang terselip dalam mimpi.

Masih dengan mata terkatup, kembali kusimak selembar imaji berwarna lembut dari suatu pagi berkabut. Kini ada pelaku di situ. Bukan hanya aku.

(Déjà vu…, awal dari cerita yang tak selesai)

Obin Anak Baik

- Obin olang jahat!

Suara kecil itu tiba-tiba menyentakku. Segera aku berlari menghampirinya. Kenapa, Sayang?

- Obin olang jahat!

Ia ucapkan itu dengan penuh kesungguhan. Tak ada senyum nakal, tak ada binar canda di matanya. Hanya ada tatapan yang penuh kesungguhan.

+ Gak, Obin. Obin anak yang baik, kok.
- Gaak, Obin gak baik. Obin olang jahat… Olang jahat aja!

Hatiku mendadak terasa perih teriris mendengar kata-katanya dan memandang tatapannya itu. Aku tak tahu persis apa yang telah terjadi. Hanya sekelebatan suara terdengar sebelumnya. Ku coba merangkainya menjadi sebuah duga. Mungkin tadi ia hendak melemparkan gitar mainannya ke Mbak. Mungkin sudah dilempar. Mungkin ia lalu diminta untuk minta maaf oleh Nyai. Mungkin ia tidak mau. Mungkin lalu Nyai berkata bahwa hanya anak yang nakal yang suka melemparkan barang dan memukul. Mungkin…

Mataku terasah perih, bulir-bulir bening mulai memenuhi sudut-sudut mataku. Aku tatap ia, tepat di matanya.

+ Obin, dengar Bunda ya. Obin b u k a n orang jahat. Obin b a i k. Obin anak b a i k. Bunda s a y a n g sama Obin.

Aku rengkuh ia dalam pelukanku erat, berharap ia mengerti.

Obin sayang, maafkan kami orang-orang dewasa yang sering tidak berpikir panjang. Yang sering asal bicara. Jangan pernah lagi kau berkata bahwa kau anak yang jahat, anak yang tidak baik. Jangan, sayang. Jangan pernah lagi.

Aku memang bukan orang-tua yang sempurna. Tapi aku berjanji, seumur hidupku, tak kan pernah kubiarkan lagi kau ucapkan kata-kata itu. Tak kan pernah kubiarkan. Tak kan pernah.

+ Obin anak baik… Obin anak yang baik, sayang…

(Telah lama berselang, namun masih sangat terbayang…)

Kelinci di Bulan



“Tingkel-tingkel litel stal. Bow ay bondel bot yu ay… Tingkel-tingkel litel stal. Bow ay bondel bot yu ay… ”

Sudah jam sembilan lewat sepuluh. Obin masih saja melompat-lompat di tempat tidur, sambil meneriakkan lagu twinkle-twingkle lil’ star, a la Obin tentunya.

“Bin, bobok yuk.” kataku, sambil merapikan bantal dan selimut yang bertebaran di tempat tidur. “Pake lampu bobok, ya!” kataku kemudian sambil mengganti lampu terang dengan lampu tidur.

“Mau nonton balni wan tu tli pot.”

Duh, dia mau nonton vcd Barney yang itu lagi. Itu bisa berarti baru satu jam lagi tidurnya. Gak ah. Gak ok.

“Komputernya mau bobok juga, Bin. Kan dari tadi udah nyala terus Obin pake gambar-gambar. Kasihan… nanti rusak.”

“Eh… sini… sini…, Bunda mau dongeng nih.” Kataku buru-buru ketika melihat Obin sudah mau turun dari tempat tidur, hendak menyalakan kembali komputer.

Tapi dongeng apa ya?? Duh, mampus deh. Aku paling gak bisa kalau disuruh mendongeng. Apa baca buku aja, ya? Tapi males ah, baca buku juga kadang malah bikin dia gak bobok-bobok juga. Ya, udah deh, nekat dongeng aja.

“Hm… ceritanya… tentang…” Mataku menatap bintang, bulan, dan planet bercincin yang menempel di langit-langit. Mencari ide.

“Hm… tentang apa yaaa?”

“Tentang apa yaaa?” tanya Obin juga.

Hehe… dasar beo. Hmm... iya tentang apa ya? Waktu itu udah ngarang tentang anak kecil yang naik perahu bulan sabit. Walaupun garing jadinya. Sekarang tentang apa lagi ya?


***

“Hm… tentang bulan, Bin. Tentang kelinci di bulan. Nah, kalau bulan purnama, itu tuh... pas bulannya lagi bundar, Obin bisa lihat di bulannya ada kelincinya.”

“Hmmm???” tanya khas Obin kalau ia tidak mengerti apa yang sedang aku bicarakan.

“Iya, kelinci... Obin udah pernah lihat belum kelinci di bulan? Belum ya? Nanti deh ya, kapan-kapan Bunda kasih lihat. Nah, kelinci di bulan ini kerjanya memberi mimpi, Bin. Buat anak-anak kecil yang mau bobok. Iya bobok… kayak Obin sekarang”

“Kayak Obiin”, celetuk Obin senang.

“Mm-emm. Si kelinci di bulan ini tapinya lihat-lihat dulu anak kecilnya, hari ini baik atau gak. Sekarang kelinci di bulannya lagi lihat anak kecil yang di rumah sanaaa… Nama anak kecilnya…”
Duh siapa ya… hehe dasar paling lemot deh…

“Namanya…“ hmmm… “Elmo!!!”
Ah… gak kreatif banget sih ngasih nama…

“Hihihi... Elmo!!!” Obin malah cekikikan, justru mungkin karena nama itu dia kenal sekali.

“Kelinci di bulan lagi lihat Elmo. Kata kelinci di bulan… ‘Hmm, Elmo hari ini nakal sekali. Tadi waktu disuruh bundanya mandi, gak mau aja.’
Hihihi… pesan sponsor boleh dong.

‘Terus Elmo tadi mainnya juga gak pinter. Tadi Elmo waktu main sama temennya, mainnya gak mau sama-sama. Waktu mau pinjam mainan temennya, Elmonya gak minta ijin dulu. Waktu gak dikasih pinjam, malah ngerebut, malah mukul temennya.’ Gitu Bin…. Elmo nakal ya, Bin?”

“Iya, nakal. Elmo nakall” kata Obin yakin.

“Kelinci di bulannya gak mau ngasih mimpi yang indah, Bin, kalau anak kecilnya nakal. Jadi karena nakal, Elmo dikasih mimpi yang sedih deh sama kelinci di bulannya. Mimpi yang sedih, Bin.”

“Mimpi cedih…” Obin mengulangi kata-kataku. Berusaha mencerna mungkin.

“Kalau anak yang baik, dikasihnya mimpi yang indah. Kalau kita mimpi yang indah, kita besok paginya, pas bangun rasanya senaaang.”

“Cenaang. Cenyuum…” kata Obin.

“Iya, senyum. Kalau mimpi sedih, bangun-bangun kita rasanya sedih, jadinya nangis deh.”

“Nangis… Cedih…” kata Obin sambil membuat muka cemberut sedih.

“Nah… sekarang kelinci di bulannya lagi lihat Obin tuh. Obin hari ini baik gak?”

“Baik!!” kata Obin penuh keyakinan.

“Tadi Obin waktu Bunda suruh mandi, nurut gak?”

“Nuluut.” Lagi-lagi Obin berkata dengan wajah yang sangat yakin.
Hmmm... padahal tadi mandinya susah banget tuh…

“Oo nurut, ya… Terus tadi waktu main sama kakak Rafi, pinter gak?”

“Pintell …”

“Gak rebutan mainan? Gak pukul-pukul? Gak dorong-dorong? Mainnya sama-sama?”

“Cama-camaa, kok.”

“Oo… kalau gitu berarti Obin malam ini bisa dikasih mimpi yang indah sama kelinci di bulan… Sekarang Obin bobok ya? Nanti kalau Obin udah nyenyak tidurnya, kelinci di bulannya bakal kasih mimpi indahnya. Yuk… bobok yuk… Bunda juga udah ngantuk, nih. Berdoa dulu ya…”

***

Aku mulai memejamkan mata. Pura-pura tertidur. Aku dengar sejenak hening. Namun tak lama mulai terdengar suara Obin membolak-balikkan badannya di tempat tidur. Tapi tetap aku biarkan.

Tiba-tiba terdengar Obin berdiri dan berlari ke pinggir tempat tidur. Turun. Meraih gagang pintu dan membuka pintu dengan berisik, sambil berteriak,
“Yuk Bunda, ke lual yuk!! Ke lual, yuk! Obin mau ambil kulsi. Obin mau naik! Mau ambil… apa yaa??”

HAAAA… MASIH MAU MAIN LAGI?????

Mungkin semustinya tadi aku juga bilang kalau kelinci di bulan gak mau kasih mimpi yang indah buat anak kecil yang tidurnya terlalu malam… hehehe…