- Obin olang jahat!
Suara kecil itu tiba-tiba menyentakku. Segera aku berlari menghampirinya. Kenapa, Sayang?
- Obin olang jahat!
Ia ucapkan itu dengan penuh kesungguhan. Tak ada senyum nakal, tak ada binar canda di matanya. Hanya ada tatapan yang penuh kesungguhan.
+ Gak, Obin. Obin anak yang baik, kok.
- Gaak, Obin gak baik. Obin olang jahat… Olang jahat aja!
Hatiku mendadak terasa perih teriris mendengar kata-katanya dan memandang tatapannya itu. Aku tak tahu persis apa yang telah terjadi. Hanya sekelebatan suara terdengar sebelumnya. Ku coba merangkainya menjadi sebuah duga. Mungkin tadi ia hendak melemparkan gitar mainannya ke Mbak. Mungkin sudah dilempar. Mungkin ia lalu diminta untuk minta maaf oleh Nyai. Mungkin ia tidak mau. Mungkin lalu Nyai berkata bahwa hanya anak yang nakal yang suka melemparkan barang dan memukul. Mungkin…
Mataku terasah perih, bulir-bulir bening mulai memenuhi sudut-sudut mataku. Aku tatap ia, tepat di matanya.
+ Obin, dengar Bunda ya. Obin b u k a n orang jahat. Obin b a i k. Obin anak b a i k. Bunda s a y a n g sama Obin.
Aku rengkuh ia dalam pelukanku erat, berharap ia mengerti.
Obin sayang, maafkan kami orang-orang dewasa yang sering tidak berpikir panjang. Yang sering asal bicara. Jangan pernah lagi kau berkata bahwa kau anak yang jahat, anak yang tidak baik. Jangan, sayang. Jangan pernah lagi.
Aku memang bukan orang-tua yang sempurna. Tapi aku berjanji, seumur hidupku, tak kan pernah kubiarkan lagi kau ucapkan kata-kata itu. Tak kan pernah kubiarkan. Tak kan pernah.
+ Obin anak baik… Obin anak yang baik, sayang…
(Telah lama berselang, namun masih sangat terbayang…)
No comments:
Post a Comment