Mengapa?



Mengapa tak lagi menulis? Padahal aku suka menulis, setidaknya menulis blog ini. Mengapa? Padahal kini seharusnya waktu untuk itu lebih melimpah, tak lagi tersita untuk kerja, apalagi untuk bergulat dengan kepadatan lalu lintas [yang katanya sekarang tambah macet itu].

Mengapa? Pada awalnya aku akan menyalahkan seperangkat alat tulis elektronik yang untuk sementara waktu tak lagi ada di atas mejaku. Padahal kau pun tahu, untuk sekedar menulis, selembar kertas dan sebatang pensil pun sudah sangat memadai. Padahal ketika alat tulis elektronik itu sudah kembali, kini bahkan lebih lengkap; masih juga tak kunjung menulis aku. Malah asik melakukan hal-hal lain dengannya.

Mengapa? Lalu aku mulai menyalahkan saluran maya yang pada waktu itu lebih sulit untuk aku raih. Padahal kau pasti tahu, kata ‘menulis’ dan kata ‘on-line’ masing-masing bisa berdiri sendiri. Padahal kemudian sudah beberapa minggu ini aku pun sudah bisa online dari bilikku sendiri [walaupun masih dengan saluran yang lambat dan mahal *keluh*], tanpa perlu mengganggu waktu kerja orang lain atau berjalan kaki ke warnet terdekat. Tapi masih saja tak kunjung menulis aku.

Mengapa? Tak urung aku menyalahkan Obin [hehe… sorry ya, Bin] yang tak mau lepas-lepas dari diriku. Padahal ini bohong besar, karena Obin sudah pintar main sendiri sebenarnya. Lagipula mbak, uwak, om, tante, nyai, dan yayi dengan senang hati bergiliran mengajak Obin bermain. Lalu aku akan kembali menyalahkan Obin [hihi… maafin bunda lagi, Bin] yang selalu mau ikutan kalau melihat aku memakai komputer; lengkap dengan segala kalimat bernada seru darinya, “Nonton Tweenies, Bunda! Bunda, gambar balon lagi! Bin mau ketik-ketik, Bunda! Obin aja, Obin aja!” Padahal bukankah masih banyak waktu tersisa bagiku, sepanjang malam kala Obin terlelap?

Mengapa? Kemudian aku mulai menimpakan kesalahan pada tumpukan buku-buku di atas lemari. Buku-buku lama yang belum sempat aku baca, buku-buku yang baru dibaca sedikit, buku-buku yang baru dibeli, buku-buku pinjaman. Kini mungkin adalah saatnya untuk membaca, kataku, bukannya untuk menulis. Kini aku tak lagi perlu mencuri waktu membaca buku di saat menyetir, di sela-sela kemacetan setiap pagi dan sore. Kini di malam hari tak lagi terlalu penat tubuh dan mata untuk membaca. Padahal aku tahu persis, kini pun lebih banyak waktu di malam hari kuhabiskan untuk tidur daripada membaca. Apalagi menulis.

Mengapa? Aku pun akhirnya menyalahkan ide. Tak ada kerja, tak ada peristiwa, tak ada perjalanan, tak ada pertemuan, tak ada konflik; maka simpulku, tak ada ide untuk cerita. Padahal aku tahu, di dalam file bernama ide.doc masih tercatat beberapa gagasan yang belum terurai jadi cerita. Padahal di dalam folder “unfinished” masih tersimpan beberapa file yang belum sempurna sebagai cerita. Memang, seperti biasanya itu bukan ide yang spektakular, fantastik, bombastik. Hanya ide-ide ringan, tapi toh tetap bisa ditulis jadi cerita sebenarnya, seperti tentang koleksi mainan unik, kamar kos dulu, atau pendapat seorang teman tentang acara pernikahan. Tapi tetap saja tidak lagi menulis aku.

Mengapa? Mengapa? Mengapa? Dari satu kata tanya ‘mengapa’ itu, seribu satu alasan bisa aku beri, seribu satu hal bisa aku persalahkan. Namun seribu satu kata ‘padahal’ juga membayangi setiap alasan.

Senyata-nyatanya, hanya ‘aku’ lah yang layak jadi alasan. Kini harus kuakui itu. Lalu [semoga] menulislah aku. :-)

Doa Orang Tua



Beragam doa telah terucap oleh orang-tua untuk anak-anaknya.
Tersurat dalam nama. Terselip dalam puja.
Terbisik dalam setiap tatapan, belaian, bahkan dalam setiap helaan nafas.


***

“Jadilah anak yang pintar, sehat, cakap, dan baik hatinya.” (asa seorang calon ibu sembari ia mengelus perutnya yang besar, sembari merasakan desakan-desakan kecil dalam tubuhnya)

“Tuhan, jadikan anakku anak yang sholeh, yang berbudi luhur, berbakti pada orang tua dan keluarga.” (terselip dalam setiap puja)

“Semoga kau jadi anak yang selalu berbahagia. Semoga kelak kau selalu mampu berbahagia karena dirimu sendiri. Semoga bahagia itu selalu ada di dalam hatimu. (terbisik lirih saat mendengarkan tawa kecil sang anak)

“Tuhan, berikanlah padanya kerendahan hati, kesederhanaan dan keagungan hakiki, pikiran cerah dan terbuka bagi sumber kearifan dan bagi kelembutan dari kekuatan sebenarnya.” (potongan dari A Soldier's Prayer for His Son"- General Douglas Mac Arthur)


***

Segala doa dipanjatkan, segala harapan diasakan,
karena orang-tua memang menghendaki yang terbaik bagi anak-anaknya.

Namun… seandainya,
Seandainya hanya satu doa saja yang akan diperkenankan,
apakah itu yang akan aku lafazkan?

mungkin…
mungkin akan kupanjatkan saja…
“jadikanlah aku orang-tua yang baik baginya… selalu…”


teriring ucapan selamat bagi seorang teman yang belum lama ini dianugerahi puteri yang ketiga