(Bukan gue banget deh… )
Jadi guru, seingat saya tidak pernah ada dalam daftar cita-cita saya ketika kecil dulu. Tidak pernah… entah kenapa. Ketika kuliah pun tidak pernah terlintas keinginan untuk mendaftar jadi asisten dosen. Tidak pernah… terutama karena tidak pede.
Namun minggu lalu saya akhirnya sempat menjadi ‘guru’ juga. Tawaran dari my luvly sister untuk mengajar keramik di playgroup Sekolah Alam Ciganjur, tidak perlu membuat saya sampai berpikir seribu kali. Lha… kan muridnya anak-anak kecil lucu yang umurnya paling dua tahun lebih tua dari Obin. Masak sih gitu aja gak pede?
Maka jadilah saya ‘guru’ selama tiga hari, ‘mengajar’ tiga kelas playgroup, mengenalkan bentuk-bentuk geometris sederhana sambil bermain tanah liat. Anak-anak itu diperkenalkan pada tanah liat, merasakan dan mencoba membentuknya dengan teknik cetak, membuatnya jadi bentuk-bentuk lingkaran, bujur-sangkar, persegi-panjang, dan segi-tiga. Sengaja dipilih teknik cetak karena ini yang paling mudah. Namun bagi anak seumuran playgroup masih saja tetap harus dibantu untuk melakukannya. Hihihi… ternyata lumayan repot. Untung sudah diantisipasi dulu dengan memberikan ‘kursus kilat keramik’ buat bapak dan ibu guru lain, sehingga mereka bisa membantu saya.
Mengajar, harus saya akui tidak mudah, karena bukan semata proses temu-muka di ruang kelas. Ada proses lain di awal dan juga sesudahnya. Untuk ‘mengajar’ selama satu-jam-kali-tiga-hari ini saja, banyak persiapan yang harus saya lakukan. Menyiapkan bahan dan alat; satu hari penuh saya luangkan hanya untuk membuat dua puluh cetakan dari gips (soalnya bikin cetakannnya juga masih sambil belajar, makanya lama :p). Selama tiga hari, setiap selesai ‘mengajar’, saya membawa pulang dan ‘merapikan’ hasil cetakan anak-anak itu untuk memastikan hasil karya mereka tidak pecah ketika dibakar. Belum selesai sampai di situ, saya juga masih harus mewarnai dengan glasir kurang lebih dua ratus keping tanah liat kering. Belum juga selesai, kemudian saya masih harus menunggui proses pembakarannya selama sembilan jam, tidak bisa ditinggal karena harus tetap dikontrol dan dinaikkan suhunya setiap sepuluh menit. Yap, mengajar itu ternyata… *menarik napas* … memang tidak mudah dan cukup melelahkan…
Namun semua kelelahan itu rasanya terbayar…. Ketika melihat binar ingin tahu di mata-mata mungil saat saya memberi contoh. Ketika mendengar pekik-pekik kecil “Aku! Aku! Aku mau! Aku mau!”, waktu saya bertanya siapa yang mau mencoba mencetak. Ketika melihat tangan-tangan mungil bergegas memadatkan tanah liat dalam cetakan gips dan tak sabar untuk bertukar cetakan dengan temannya. Ketika mendengar celoteh-celoteh polos “Apa sih itu? Lilin ya?” atau “Ihhh… tanahnya dingin…” atau “Nanti kalau udah dibakar, bisa dimakan!”. Dan ketika sedang berjalan di halaman sekolah, tubuh-tubuh kecil yang sedang asyik bermain itu menyempatkan menyapa saya, “Bunda, terima kasih! Terima kasih, Bu! Terima kasih, ya…”. Maka terbayar sudah semua. Lunas.