Setiap menjelang hari raya yang fitri, sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia menunggu kedatangan ke-delapan putri dan seorang putranya yang sudah dewasa. Pada hari-hari itu rumah mereka yang kecil di desa akan sesak dengan sembilan orang anak, sembilan menantu, dan sembilan-belas orang cucu. Mereka akan meminggirkan kursi-kursi dan menggelar tikar serta kasur untuk tidur di ruang dalam rumah joglo berhalaman rumput itu. Di setiap hari raya ke-dua, sebuah ritual tahunan keluarga dijalankan. Seluruh anak, menantu, dan cucu akan bergiliran sungkem kepada sepasang suami-istri sepuh itu. Ritual lalu diakhiri dengan pemberian nasihat oleh sang bapak tua, yang menurut cerita tak jarang diikuti dengan sedu-sedan tertahan anak-anaknya. Pada hari itu, pintu rumah beratap joglo berhalaman rumput itu sejenak kan tertutup bagi orang-orang yang hendak bertandang. Demi sebuah ritual tahunan keluarga.
***
Di tempat lain di kota kecil yang sama, seorang lelaki tua hidup sendiri. Istrinya sudah lama berpulang terlebih dahulu, sementara takdir tidak memberinya keturunan. Hari-hari dijalaninya dengan rutinitas mengurus sendiri keperluannya dan juga rumahnya yang kosong. Bagi lelaki tua itu kegembiraan hari raya adalah saat ia menerima kunjungan anak angkatnya dan 'cucu'nya yang tinggal di kota besar. Sebuah kegembiraan yang walau hanya beberapa hari saja, tetap sangat berarti bagi dirinya.
***
Seorang lelaki muda setiap tahun selalu menyempatkan kembali ke rumah orang tuanya, tak jauh dari rumah lelaki tua yang hidup sendiri itu. Tak ada acara khusus di sana. Tak ada sajian khusus untuk menyambut kedatangannya. Namun tetap saja selalu ada panggilan untuk kembali. Kembali ke rumah yang kini makin terasa kosong setelah ditinggalkan satu-persatu penghuninya. Hanya tertinggal kedua orang-tuanya yang baru seja memasuki usia pensiun.
Tak ada acara khusus di sana. Tapi tetap saja suatu panggilan seakan membisikinya untuk selalu kembali. Panggilan yang kemudian menggapai-gapainya semakin kuat setelah hadir sosok-sosok baru dalam hidupnya. Kini baginya, kata pulang makin bermakna: sebuah bakti pada orang-tua, sebuah ikatan yang kan slalu diperbaharui simpulnya, sebuah potret diri yang kan ditunjukkan kepada belahan-jiwanya, dan kisah-kisah lama yang kan didongengkan pada buah-hatinya.
CERMIN
Setiap orang butuh suatu ritual. Suatu peristiwa yang dinanti-nanti walaupun telah berulang sekian kali, sekian lama. Seperti minum secangkir kopi tiap pagi, seperti memandang hujan kesorean dari balik jendela kamar, seperti apel pacar di malam minggu, seperti merenung sendiri di gelap malam tahun-baru, seperti takbiran bersama kawan-kawan kecil di malam lebaran... seperti pulang kampung di waktu lebaran.
Setiap orang butuh suatu ritual. Suatu peristiwa yang akan tetap dikenang, bahkan bila ritual itu sudah lama tidak dilakukan. Seperti harumnya aroma kopi di pagi hari, seperti aroma tanah basah sehabis hujan, seperti harum shampo di rambut mantan pacar di sabtu sore yang cerah, seperti derik pijar kembang api di ranting pohon mangga di malam tahun-baru, seperti suara petasan di malam lebaran... seperti binar-binar kaca di mata mbah-putri saat melepas kepergian sang cucu sehabis mudik lebaran.
Setiap orang butuh suatu ritual dengan caranya tersendiri. Dan aku mulai menyukai ritual baruku: mengajak Obin mudik lebaran ke rumah mbah di 'desa'.
---
Walaupun sudah sangat lewat momennya, saya ingin mengucapkan: "Mohon maaf lahir batin" pada teman-teman semua. Sekali lagi MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.
No comments:
Post a Comment