Mencitrakan Kesan, Menangkap Kesan



(Satu)

Seorang perempuan berjalan dengan santai di sebuah pusat perbelanjaan, mendorong kereta-belanjanya, sambil mengingat-ingat apa lagi yang harus dibeli olehnya. Tak jauh dari tempatnya berjalan, ada seorang perempuan lain berjalan dengan cepat berlawanan arah dengannya. Perempuan ke dua itu mendorong kereta dengan tergesa-gesa dan tiba-tiba menabraknya! Perempuan yang menabrak itu sepertinya tak menyadari bahwa perempuan yang pertama kesakitan lengannya akibat tertabrak kereta. Perempuan yang menabrak berlalu saja dengan cepat, masih dengan tergesa-gesa.

‘Hey, jalan pake mata, knapa?’ gerutu perempuan yang tertabrak pelan. ‘Tampang boleh cakep, berpendidikan. Tapi minta maaf dikit juga gak. Sok sibuk! Sok penting!’ Perempuan pertama sudah merumuskan kesannya terhadap perempuan kedua. Mereka tidak pernah bertemu lagi, namun sebuah kesan telah terbentuk.


(Dua)

Seorang perempuan secara acak mengklik sebuah nama dengan sebuah link di dunia maya. Itu lalu mengantarnya pada sebuah halaman jurnal milik seorang lelaki. Dibacanya jurnal itu, ‘lumayan’, katanya dalam hati. Tak terasa akhirnya mulai muncul suatu rutinitas baru pada hari-hari perempuan itu: menunggu tulisan baru di jurnal maya lelaki yang hanya ia kenal namanya. ‘Lelaki yang cerdas, lucu, dan bijak,’ begitu kesannya.

Hingga akhirnya tiba suatu kesempatan, bertemulah perempuan itu dengan lelaki pemilik jurnal yang selalu ditunggu-tunggunya. Sebuah jabat tangan mengiringi kata sapa, ‘hai!’ Kini nama menjelma wajah, menjelma sosok. ‘Hm… tak seperti yang kukira. Tubuhnya tak setinggi yang kusangka, dan juga tak setampan yang kuharapkan’, kata perempuan itu sambil tertawa dalam hati, mentertawai dirinya sendiri.

Lalu perbincangan pun dimulai. Tak lancar. Lelaki dan perempuan itu sama-sama tak bercerita selancar mereka bercerita di jurnal mereka. ‘Ia tak begitu lucu lagi. Lagipula suaranya kenapa gemetaran seperti itu? Sungguh tidak terlihat kecerdasan seperti yang selama ini kukira’, kembali si perempuan berkata dalam hati. Telah hadir kesan yang lain.


(Tiga)

Seorang perempuan duduk di sebuah kursi kereta api eksekutif Bandung -Jakarta. Di pangkuannya duduk seorang anak kecil. Seorang lelaki setengah baya tak lama kemudian datang dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu menyapa dengan ramah si anak kecil, ‘hai adek, ketemu lagi’. Perempuan itu segera mengenali sosok si laki-laki. Ia adalah lelaki yang tadi sengaja berjongkok dan mengajak anaknya bercanda, dilihatnya dari kejauhan waktu mereka masih di peron. Perempuan itu pun lalu membatin, ‘lelaki yang ramah, senang anak kecil.’ Perempuan itu telah membatinkan sebuah kesan.

Selesai sebuah percakapan singkat ramah-tamah, lelaki itu mulai sibuk berbicara dengan telepon genggamnya. Tertangkap jelas oleh si perempuan apa yang dibicarakan oleh lelaki itu, walaupun perempuan itu berusaha untuk tak mencuri dengar. Tertangkap olehnya, lelaki itu sedang berbicara bisnis, tetap dengan gaya bicara yang ramah dan luwes. Tentang suatu negosiasi. Berhubungan dengan manajemen seorang artis. Tentang suatu harga yang harus dibayarkan. Tentang suatu angka yang harus dinaikkan. Tentang nomor rekening untuk membagikan selisih angka yang dinaikkan. Terus bicara lelaki itu, dengan tertawa-tawa, dengan luwes, dengan akrab, tetap dengan ramah. Juga menyelipkan sumpah dengan nama Tuhan sekali-kali… Perempuan itu menghela napas perlahan. Telah tertanam sebuah kesan yang lain. ‘Ah sudahlah, bukan urusanku. Lagipula semua di mana-mana memang sudah seperti ini.’ Keluh perempuan itu di dalam hati.

Percakapan ringan ramah-tamah lalu berlanjut. Tentang anak. Tentang bayi yang sedang ditunggu kelahirannya. Lelaki itu tiba-tiba berkata, ‘Nanti setelah kondekturnya memeriksa tiket, saya akan pindah tempat duduk. Rasanya di gerbong sebelah ada tempat kosong. Biar si Dedek bisa duduk sendiri dan tidur lebih nyaman.’ Perempuan itu sejenak terpana, namun segera ia berkata, ‘Wah, terima-kasih.’ Maka ada kesan lain yang terbentuk.


. . .

‘Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya’, kata pepatah. Menurutku itu tak sepenuhnya benar, atau pun salah. Karena bagaimana pun, tak akan bisa dihindari, kita manusia selalu membuat penilaian. Manusia mencitrakan kesan. Manusia menangkap kesan. Selalu seperti itu. Kesan pertama, kesan ke-dua, kesan ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya. Selalu ada kesan. Baik atau buruk. Atau netral. Ada kesan.

Sepertinya tidak terlalu perlu untuk dipermasalahkan bagaimana seseorang menangkap suatu kesan. Mungkin yang lebih penting adalah memiliki suatu kesadaran (dan keikhlasan untuk mengakui) betapa kesan yang ditangkap itu bisa saja tidak benar. Ada kemungkinan untuk salah. Baik kesan pertama, kesan ke-dua, ke-tiga, atau ke-sekian. Baik atau buruk suatu kesan, bisa saja tidak tepat.

Karena sesungguhnya seorang manusia punya banyak lapisan pada dirinya, punya banyak sisi. Kita tak kan pernah benar-benar tahu. Kita, manusia, tak kan pernah benar-benar bisa mengenali dan memahami seorang manusia lainnya.

Terinspirasi oleh friendster :D

No comments: