CERPEN: Boneka Garam

memulai blogger baru ini, hari ini.... cerita di bawah adalah cerpen pertama gue (dan satu-satunya yang selesai sampai saat ini.. he..he..), inspired by my obsession of "boneka garam' story. silahkan dibaca, boleh dikritik... uhmm... but please consider that i'm just a beginner, your critics might kill this new 'seed' :-)

BONEKA GARAM

Andini pusing. Anaknya Mita, sedang mengajukan aksi mogok. Sepanjang hari, sepulang sekolah, ia mendekam saja di dalam kamarnya. Menolak untuk pergi les biola seperti yang biasa dilakukannya setiap Selasa dan Jumat. “Mita, hayo siap-siap.. Sudah jam setengah empat, nanti kamu terlambat lesnya.” Panggil Andini sambil mengetuk kamar anaknya.

“Gak mau les, ah…! Males…!” teriak Mita dari dalam kamar.
“Kamu kan sudah tidak les Selasa kemarin. Hari ini les dong. Kalau nggak les lagi, nanti gak bisa jago, lho.”
“Mita bosen! Mita pengen berhenti aja, Ma..!”

Andini akhirnya membuka pintu kamar anaknya yang ternyata tidak dikunci. Dilihatnya Mita sedang berbaring menelungkup di tempat tidur. Tangannya sedang memegang komik Asterix kesayangannya.
“Lho Mita.. Kok tiba-tiba kamu ingin berhenti les begitu. Ada apa, sih? Cerita dong, sama Mama.” Mita diam saja, tidak menyahut.

Andini duduk di tempat tidur sambil bertanya, “Kenapa? Apa gurunya galak?” Mita berbalik menghadap ibunya dan menggeleng. “Lalu kenapa? Mita lagi gak enak badan?, tanya Andini lagi sambil meraba kening anaknya. “Nggak! Mita bosen. Abis susah banget, sih! Mita gak bisa-bisa!”
“Lho, mita gak boleh gitu dong! Mita kan memang baru tiga bulan belajar biolanya. Justru supaya cepat bisa, Mita harus rajin-rajin latihan.”
“Mama kok maksa, sih! Pokoknya Mita gak mau les lagi”
“Mama gak memaksa. Dulu kan kamu sendiri yang mau belajar biola, terus minta biola untuk hadiah ulang tahun yang kedua belas kemarin. Baru tiga bulan belajar sudah mau berhenti. Tahun lalu kamu juga ingin ikut Marching Band. Eh, baru sebentar belajar, terus bosan. Kamu gak boleh cepat menyerah begitu."
“Pokoknya Mita gak mau dipaksa-paksa. Mita mau berhenti!”, teriak Mita. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Yah, sudahlah, terserah Mita…! Mama tidak akan memaksa”.

Andini akhirnya menyerah. Ia keluar dari kamar anaknya sambil menghela napas. Ia bingung menghadapi anaknya yang semata wayang ini. Mita selalu begitu. Cepat tertarik dengan suatu hal, tetapi cepat pula merasa bosan. Padahal ia merasa bahwa ia sudah memberikan kebebasan pada anaknya untuk memilih hal-hal yang disukainya. Kalau ia hendak menuruti keinginannya pribadi, tentu ia akan memaksa Mita untuk belajar tari di sanggar yang dilatihnya sendiri. Tapi ia tidak pernah memaksakan keinginannya tersebut, sejak ia lihat Mita ogah-ogahan dilatihnya.

Pusing memikirkan Mita, Andini berbaring di tempat tidurnya sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum. Aksi mogok Mita mengingatkannya pada diri sendiri ketika ia masih sangan kecil, kira-kira baru tujuh tahun. Waktu itu ia mogok menari, dan ia menangis karena merasa dipaksa oleh ibunya. Persis seperti Mita saat ini.

***************

Pikirannya pun melayang ke peristiwa yang terjadi hampir tiga puluh tahun yang lalu. Ia ingat ketika itu, ketika ia menangis, ayahnya menyuruhnya duduk di sebelahnya dan Andini kecil pun menurut. Ayahnya kemudian berkata, “Dini, ayah punya cerita bagus. Tapi kamu harus berhenti menangis dulu”, kata ayahnya sambil mengusap airmatanya. “Mau dengar, kan?, tanya ayahnya.

Tanpa menunggu persetujuannya, ayahnya meneruskan, “Ceritanya tentang sebuah boneka yang terbuat dari garam. Nah, boneka garam ini suatu hari pergi berjalan-jalan, jauuuuh sekali, menjelajah dunia. Akhirnya ia tiba di tepi laut. Kamu sudah sering lihat laut dan kamu masih senang kan kalau kita jalan-jalan ke laut?” Andini kecil sudah berhenti menangis dan ia mengangguk. “Nah berbeda dengan si boneka garam, ia belum pernah lihat laut. Baginya laut itu pemandangan baru yang luar biasa. Ia sangat terpesona dengan laut yang begitu luas dan biru, dengan ombak yang bergerak-gerak ke tepi pantai. Baginya laut berbeda dengan segala sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.” Andini kecil mulai tertarik pada cerita ayahnya.

“Lalu dengan rasa penuh ingin tahu, si boneka garam bertanya kepada laut, ‘Siapakah kau?’ tanyanya. Mendengar pertanyaan dari boneka garam tersebut, laut tersenyum dan menjawab, ‘Masuk saja dan lihatlah sendiri!’. Kamu tahu apa yang dilakukan boneka garam itu setelah mendengar jawaban laut yang bisa bicara itu?”. Andini kecil menggeleng. "Boneka garam itu lalu menceburkan dirinya ke dalam laut. Karena ia terbuat dari garam maka ia pun larut. Semakin masuk ke dalam air ia pun semakin larut, sampai akhirnya tinggal segumpal saja, dan lama kelamaan ia benar-benar habis melarut. Tapi boneka garam itu tidak sedih, malah ia sangat bahagia. Kamu tahu kenapa ia bahagia”. Andini kecil menggeleng lagi. “Karena ia sebelumnya tidak tahu bahwa ia terbuat dari garam. Ia baru tahu hal itu setelah ia masuk dan larut ke dalam laut.”

Andini tersenyum. Betapa masih membekas diingatannya peristiwa itu. Sebenarnya pada waktu itu ia tidak langsung mengerti kaitan cerita ayahnya dengan keadaannya sendiri. Pada waktu itu ayahnya hanya mengatakan bahwa ia sebenarnya pandai menari. Pada dasarnya ia akui bahwa ia memang senang belajar menari bersama teman-temannya, dan menurut gurunya ia cukup pandai menari. Tetapi terkadang, sebagai anak kecil, ia sering merasa bosan. Ayahnya, pada waktu itu, mengumpamakan menari buat dirinya seperti laut bagi si boneka garam. Sama-sama suatu hal yang menarik dan menyenangkan. Ayahnya juga bilang, supaya ia bisa bahagia seperti boneka garam ia tidak boleh putus asa menari. Dengan cerita yang belum terlalu dimengertinya itu, ayahnya berhasil membujuknya untuk tetap menari. Setiap kali ia kembali merasa bosan, ayahnya mengingatkannya kembali dengan cerita boneka garam tersebut, “Katanya mau seperti boneka garam…”

Semakin dewasa, Andini semakin mengerti cerita ayahnya ini. Ia mengerti bahwa ia harus menemukan dirinya sendiri, dengan jalan menekuni dengan serius hal yang menarik baginya. Setelah mencoba berbagai hal baru yang menarik – menari, teater, dan sebagainya – ia menemukan bahwa saat-saat paling membahagiakannya adalah ketika ia menari. Bahkan kini, walaupun ia telah berkeluarga, menari tetaplah menjadi bagian dari hidupnya. Ah, betapa bijak ayahnya dulu.

****************

Andini kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan kembali menuju kamar Mita. Ia merasa harus membagi cerita tersebut dengan anaknya. Sesampai di kamar Mita, dilihatnya mata Mita masih merah akibat menangis. Andini pun duduk dan meraih kepala anaknya.

“Mita sayang, coba ke sini, dengar Mama sebentar. Mama tiba-tiba ingat cerita yang dulu pernah diceritakan kakekmu kepada Mama. Waktu itu Mama masih kecil sekali. Bahkan lebih kecil dari kamu. Waktu itu Mama juga sedang habis menangis karena merasa dipaksa latihan menari.” Mata Mita terbelalak tidak percaya, “Mama pernah menangis karena gak mau latihan menari?”
“Iya… Waktu itu kakekmu lalu bercerita tentang boneka garam. Kamu sudah pernah dengar?”. Mita menggeleng. “Ceritanya sih seperti dongeng saja, tapi bagus sekali. Ceritanya begini… Ada sebuah boneka yang terbuat dari garam, suatu hari ia berjalan-jalan mengelilingi dunia… jauh sekali ia berjalan…”

Bandung, 19 November 1996

No comments: