Still talking about Time

Einstein's Dreams by Alan Lightman, adalah sebuah buku yang mempesona saya. Buku ini bukan berisi mengenai teori-teori fisika Einstein... bukan. Buku ini lebih tepatnya merupakan sebuah kumpulan cerita imaginatif mengenai konsep waktu, terdiri dari kisah-kisah pendek, dan tokoh Einstein menjadi benang merah yang menjadikan 'mimpi-mimpi' ini berhubungan menjadi sebuah novel.

Buku ini merupakan kumpulan dari tiga puluh kisah, gagasan, dan imaginasi tentang waktu. Di suatu cerita, waktu bagaikan sebuah lingkaran yang mengelilingi dirinya sendiri. Semua peristiwa akan selalu berulang, setepat-tepatnya dan tiada berakhir. Di kisah yang lain, waktu adalah seperti aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing dan tiupan angin. Bahkan terkadang, gangguan kosmis dapat menyebabkan aliran sungai waktu berbalik arah. Ada dunia yang manusia hanya hidup satu hari. Di dunia lain, waktu memiliki tiga dimensi seperti ruang, setiap peristiwa akan membawa tiga kejadan yang berbeda. Di kisah lain, waktu adalah indera. Seperti rasa bisa asin atau manis; maka suatu episode bisa berjalan lambat atau cepat, teratur atau acak, bersebab atau tanpa sebab; bergantung pada latar belakang sejarah dan pengalaman masing-masing.

Setiap konsep waktu menimbulkan konsekuensi yang berbeda pada kehidupan manusia yang menjalaninya. Pada suatu dunia, ada suatu tempat dimana waktu berhenti. Di dunia seperti ini, orang tua yang tidak ingin kehilangan anaknya, berjalan menuju tempat ini. Di sini pula sepasang kekasih berpelukan abadi, tak akan ada gairah yang hilang dan tak akan ada cinta yang pupus. Di dunia lain, waktu berlalu lebih lambat, bagi orang-orang yang bergerak, sehingga di dunia ini semua orang bergegas, semua orang berpergian dengan kecepatan yang tinggi untuk memperoleh waktu. Orang-orang bahkan tinggal di dalam rumah dan bangunan yang bergerak. Ada dunia lain yang waktunya berjalan semakin lambat pada tempat yang semakin tinggi. Di dunia ini semua orang tinggal di pegunungan, bahkan beberapa orang membuat bangunan-bangunan di atas tiang-tiang, untuk memaksimalkan efeknya. Di dunia ini, ketinggian akhirnya menjadi status.

Buku ini juga berkisah tentang karakter manusia, yang disederhanakan menjadi dua tipe yang bertolak belakang. Dalam menghadapi suatu konsep waktu, kedua tipe manusia ini selalu memiliki respon yang juga berbeda. Di suatu dunia, waktu adalah abadi, manusia hidup selamanya. Di dunia seperti ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama berkeyakinan bahwa tidak ada alasan untuk terburu-buru, karena waktu tak terbatas, segala sesuatu dapat terpenuhi, hingga akhirnya mereka selalu hidup dalam kesantaian. Kelompok yang lain beranggapan bahwa dengan kehidupan yang abadi ini, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan; ada tumpukan karir yang tidak terhingga, ada pernikahan dalam kesekian kali yang tak terbayangkan. Di dunia lain yang tidak berlaku hubungan sebab-akibat, para ilmuwan menjadi putus asa, karena ramalan mereka berubah menjadi pascadiksi, dan persamaan-persamaan berubah menjadi pembenaran. Sebaliknya di dunia seperti itu, seniman riang gembira, karena ketidakpastian menjadi jiwa dari lukisan, musik, serta novel mereka. Mereka dapat bertindak tanpa harus ada penjelasan, tanpa harus melihat masa silam.

A tale-like story selalu menyenangkan bagi saya. A poetic story hampir selalu dapat menggugah perasaan saya. Kedua hal ini menjadi darah dan daging dari buku ini, a poetic tale-like story, that's why this book amazed me so much. Imaginasi-imaginasi tentang waktu ini diceritakan bagai sebuah dongeng, dan dampak dari masing-masing waktu bagi kehidupan manusia diceritakan dengan puitisnya:

Bayangkan dunia tanpa waktu, hanya bayang-bayang...
seorang bocah di tepi laut, terpesona oleh samudera yang pertama kali dilihatnya...
Bekas telapak kaki di hamparan salju di pulau musim dingin...
Seorang lelaki dan perempuan berdekapan telanjang...
Debu beterbangan, terlihat dari cahaya yang melintasi jendela...
Ciuman pertama... Planet-planet terjerat di angkasa, samudra, keheningan...
Butir air di jendela... tali tergulung... kuas kuning...


atau seperti ini...

Andaikan waktu adalah soal kualitas dan bukan kuantitas,
seperti cahaya malam yang menaungi pepohonan, saat bulan naik dan menyisiri garis-garis pohon. Waktu hadir, tetapi tak bisa diukur...
Di dunia seperti ini, peristiwa-peristiwa dicatat berdasarkan warna langit, nada suara panggilan tukang perahu, perasaan bahagia atau cemas tatkala seseorang memasuki ruangan...
Panjang-pendek waktu antara dua peristiwa bergantung pada seberapa kontrasnya peristiwa-peristiwa itu, intensitas cahaya, sudut jatuh cahaya dan bayang-bayang, sudut pandang pelakunya.
Beberapa orang berusaha melakukan kuantifikasi terhadap waktu, demi mengurai waktu, membedah waktu.
Mereka berubah menjadi batu...

...

... what's time anyway?