adakah waktu berlari?
bisakah waktu membeku?
hekehkeh...
gak kok....
gue cuman mau nulis aja...
gue lagi sibukkkk bangetttt
plus lagi gak enak body...
mungkin gue harus hiatus dulu??
PIJAR KE-DUA:
A Y A H
kenangan akan kembang apinya yang pertama
membawa kenangan akan
ayahnya
...
...
d a n
m a s a
t i g a p u l u h l i m a t a h u n
s i l a m ...
hari itu...
Hari ini, si gadis kecil, usia sepuluh tahun lebih, sungguh-sungguh berdoa untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya ia bersembahyang dengan sepenuh hati. Biasanya ia bersembahyang secepat ia menghabiskan segelas susunya, kata ibunya. Glek... glek... glek... selesai. Biasanya sementara ia bersembahyang, pikirannya sudah melayang entah kemana. Kali ini ia bersembahyang sungguh-sungguh. Mencoba mengingat arti setiap doa yang diucapkannya, seperti yang telah ia hafalkan di sekolah. Ia juga berdoa dengan kata-katanya sendiri, mencoba berbincang-bincang dengan Tuhan. ... dan menangis...
tuhan, aku minta dengan sangat,
janganlah benar-benar terjadi apa yang aku pikir telah terjadi.
kata mereka kau amat pengasih, amat kuasa.
tuhan, tolong jadikan ini hanya mimpi burukku.
yang terjadi kemarin...
Ia merasa sesuatu telah terjadi. Hari ini ibunya berlaku aneh. Sepertinya ibunya telah menemukan sesuatu. Yang ibunya lakukan seharian adalah bertanya pada orang-orang, berbicara di telepon, dan menangis.
S e s u a t u itu tentang a y a h n y a... dan seorang w a n i t a ?
esok harinya...
Terdengar suara ibunya di kamar sebelah menangis. Bertanya. Berseru pada ayahnya. Tidak terdengar suara ayahnya menjawab.
Didengarnya suara ibunya menangis lagi. Lebih keras. Kemudian terisak-isak.
Ayahnya pun terdengar menangis. Pelan.
si gadis kecil pun tahu,
tuhan tidak mengabulkan doanya
hidup ayah ibunya telah berubah
dirinya bukan lagi gadis kecil yang kemarin ...
cintanya pada sang ayah tidak sebanyak dulu lagi...
kenangan akan kembang apinya yang pertama
membawa kenangan akan
ayahnya
...
...
d a n
m a s a
t i g a p u l u h l i m a t a h u n
s i l a m ...
hari itu...
Hari ini, si gadis kecil, usia sepuluh tahun lebih, sungguh-sungguh berdoa untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya ia bersembahyang dengan sepenuh hati. Biasanya ia bersembahyang secepat ia menghabiskan segelas susunya, kata ibunya. Glek... glek... glek... selesai. Biasanya sementara ia bersembahyang, pikirannya sudah melayang entah kemana. Kali ini ia bersembahyang sungguh-sungguh. Mencoba mengingat arti setiap doa yang diucapkannya, seperti yang telah ia hafalkan di sekolah. Ia juga berdoa dengan kata-katanya sendiri, mencoba berbincang-bincang dengan Tuhan. ... dan menangis...
tuhan, aku minta dengan sangat,
janganlah benar-benar terjadi apa yang aku pikir telah terjadi.
kata mereka kau amat pengasih, amat kuasa.
tuhan, tolong jadikan ini hanya mimpi burukku.
yang terjadi kemarin...
Ia merasa sesuatu telah terjadi. Hari ini ibunya berlaku aneh. Sepertinya ibunya telah menemukan sesuatu. Yang ibunya lakukan seharian adalah bertanya pada orang-orang, berbicara di telepon, dan menangis.
S e s u a t u itu tentang a y a h n y a... dan seorang w a n i t a ?
esok harinya...
Terdengar suara ibunya di kamar sebelah menangis. Bertanya. Berseru pada ayahnya. Tidak terdengar suara ayahnya menjawab.
Didengarnya suara ibunya menangis lagi. Lebih keras. Kemudian terisak-isak.
Ayahnya pun terdengar menangis. Pelan.
si gadis kecil pun tahu,
tuhan tidak mengabulkan doanya
hidup ayah ibunya telah berubah
dirinya bukan lagi gadis kecil yang kemarin ...
cintanya pada sang ayah tidak sebanyak dulu lagi...
... pijar ke tiga ...
PIJAR PERTAMA:
KEMBANG API PERTAMA
Mata gadis kecil itu berbinar-binar melihat sebatang kembang api yang dipegang oleh ayahnya. Di matanya, percikan-percikan api kecil itu seperti helai-helai bunga jambu air di halaman. Hanya saja yang ini jauh lebih indah. Ia ingin sekali memegangnya, tapi ragu. Ia takut terbakar oleh percikan apinya. Namun pesona percikan-percikan yang berdesis itu mengalakan rasa takutnya. Gadis kecil itu pun meminta satu batang kembang api dari sang ayah, yang kemudian membantu untuk menyalakannya.
Hey ayah, lihat... Apinya menggigit tanganku, teriak si gadis kecil sambil tertawa kegirangan. Dikibas-kibaskannya kembang api itu di udara. Beberapa percikan jatuh di rambutnya, seperti rinai gerimis. Bunga api menyusut dan menghilang. Begitu cepatnya menghilang, membuatnya merasa selalu ingin menyalakan sekali lagi. Sekali lagi... dan sekali lagi.....
Mata gadis kecil itu berbinar-binar melihat sebatang kembang api yang dipegang oleh ayahnya. Di matanya, percikan-percikan api kecil itu seperti helai-helai bunga jambu air di halaman. Hanya saja yang ini jauh lebih indah. Ia ingin sekali memegangnya, tapi ragu. Ia takut terbakar oleh percikan apinya. Namun pesona percikan-percikan yang berdesis itu mengalakan rasa takutnya. Gadis kecil itu pun meminta satu batang kembang api dari sang ayah, yang kemudian membantu untuk menyalakannya.
Hey ayah, lihat... Apinya menggigit tanganku, teriak si gadis kecil sambil tertawa kegirangan. Dikibas-kibaskannya kembang api itu di udara. Beberapa percikan jatuh di rambutnya, seperti rinai gerimis. Bunga api menyusut dan menghilang. Begitu cepatnya menghilang, membuatnya merasa selalu ingin menyalakan sekali lagi. Sekali lagi... dan sekali lagi.....
.... pijar ke-dua ....
KEMBANG API
Perempuan yang tak lagi muda itu duduk di anak tangga teras sebuah rumah. Malam telah amat larut, dan pekatnya kelam telah cukup nyaman baginya. Lampu di halaman telah dimatikannya tadi, begitu juga lampu yang menerangi teras. Ia ingin merayakan malam ini sendiri saja. Dengan caranya sendiri. Untuk sekali ini, tidak ingin ia berbagi dengan orang lain.
Dibukanya sebuah bungkusan plastik hitam. Dikeluarkannya sebuah kotak panjang berwarna merah. Sekotak kembang api. Beberapa hari yang lalu, di sebuah pasar tradisional, tumpukan kotak itu menarik perhatiannya. Setelah tertegun sejenak, akhirnya ia biarkan kakinya melangkah ke arah meja kecil di emperan pasar itu. Tanpa menawar dibelinya satu kotak yang berisikan sepuluh batang.
Malam ini ia ingin menyalakannya. Ia ingin menikmati keindahan pijar-pijar itu lagi, seperti yang dilakukannya dulu, di masa yang telah lama lampau. Di masa yang selalu ingin dikenangnya.
Dinyalakannya batang kembang api pertama. Bunga api pun memercik, meletik, mendesis di gelap hening malam. Pijar itu begitu indah walaupun hanya sesaat. Perempuan yang tidak lagi muda itu terpesona memandang kedip bunga api. Tenggelam lamunannya. Bagai tersihir, di setiap kedip pijaran, ia seperti melihat kembali masa lalunya. Bagai si gadis penjual korek api yang melihat angannya dalam cahaya korek api.
Kilas hidupnya tergambar di setiap pijar, membayang di antara bunga-bunga api yang memercik...
Dibukanya sebuah bungkusan plastik hitam. Dikeluarkannya sebuah kotak panjang berwarna merah. Sekotak kembang api. Beberapa hari yang lalu, di sebuah pasar tradisional, tumpukan kotak itu menarik perhatiannya. Setelah tertegun sejenak, akhirnya ia biarkan kakinya melangkah ke arah meja kecil di emperan pasar itu. Tanpa menawar dibelinya satu kotak yang berisikan sepuluh batang.
Malam ini ia ingin menyalakannya. Ia ingin menikmati keindahan pijar-pijar itu lagi, seperti yang dilakukannya dulu, di masa yang telah lama lampau. Di masa yang selalu ingin dikenangnya.
Dinyalakannya batang kembang api pertama. Bunga api pun memercik, meletik, mendesis di gelap hening malam. Pijar itu begitu indah walaupun hanya sesaat. Perempuan yang tidak lagi muda itu terpesona memandang kedip bunga api. Tenggelam lamunannya. Bagai tersihir, di setiap kedip pijaran, ia seperti melihat kembali masa lalunya. Bagai si gadis penjual korek api yang melihat angannya dalam cahaya korek api.
Kilas hidupnya tergambar di setiap pijar, membayang di antara bunga-bunga api yang memercik...
....pijar pertama....
when the dog bites... when the bee stings...
Saya merasa tidak ingin bekerja hari ini. Lagi seorang rekan akan meninggalkan tempat ini. Selalu seperti biasa peristiwa ini serasa seperti menampar, membuat masing-masing kami berpikir. Setidaknya kali ini giliran saya.
Saya tidak ingin bekerja hari ini. Saya ingin berada di rumah, bermain dengan putra tersayang, mendengar suara tawanya atau bahkan rengekannya, menemaninya tidur siang.
Saya ingin pergi ke toko buku, menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Saya ingin membaca ulang buku-buku lama, yang saya tahu pasti masih akan membuat saya tertawa atau membuat saya terharu dan menangis.
Saya ingin makan coklat. Saya ingin eskrim dan puding dengan saus coklat.
Saya ingin pergi ke suatu tempat yang nyaman, tempat yang teduh dan ada air jernih yang mengalir. Tempat yang menyenangkan untuk duduk melamun. Dan saya akan melamun berjam-jam di sana.
Saya ingin melukis. Tidak peduli hasilnya.
Saya ingin berada bersama sahabat-sahabat saya. Tertawa-tawa membicarakan hal-hal yang tidak penting dan mengenang masa lalu yang konyol.
Saya ingin menyanyikan lagu My Favorite Things keras-keras, sambil menari-nari seperti Julie Andrew.
Apakah setelah itu saya akan merasa lebih baik?
Saya tidak ingin bekerja hari ini. Saya ingin berada di rumah, bermain dengan putra tersayang, mendengar suara tawanya atau bahkan rengekannya, menemaninya tidur siang.
Saya ingin pergi ke toko buku, menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Saya ingin membaca ulang buku-buku lama, yang saya tahu pasti masih akan membuat saya tertawa atau membuat saya terharu dan menangis.
Saya ingin makan coklat. Saya ingin eskrim dan puding dengan saus coklat.
Saya ingin pergi ke suatu tempat yang nyaman, tempat yang teduh dan ada air jernih yang mengalir. Tempat yang menyenangkan untuk duduk melamun. Dan saya akan melamun berjam-jam di sana.
Saya ingin melukis. Tidak peduli hasilnya.
Saya ingin berada bersama sahabat-sahabat saya. Tertawa-tawa membicarakan hal-hal yang tidak penting dan mengenang masa lalu yang konyol.
Saya ingin menyanyikan lagu My Favorite Things keras-keras, sambil menari-nari seperti Julie Andrew.
Raindrops on roses and whiskers on kittens
Bright copper kettles and warm, woolen mittens
Brown paper packages tied up with strings
These are a few of my favorite things
Cream-colored ponies and crisp apple streudels
Doorbells and sleigh bells and schnitzel with noodles
Wild geese that fly with the moon on their wings
These are a few of my favorite things
Girls in white dresses with blue satin sashes
Snowflakes that stay on my nose and eyelashes
Silver white winters that melt into springs
These are a few of my favorite things
When the dog bites
When the bee stings
When I'm feeling sad
I simply remember my favorite things
And then I don't feel so bad
Apakah setelah itu saya akan merasa lebih baik?
Sapardi Djoko Damono (Lagi???)
Sebuah Sejarah
Sejak saya menulis mengenai musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono (SDD) beberapa waktu yang lalu, saya telah mendapat beberapa email yang menanyakan hal tersebut dan beberapa pesan di tagboard/ comment box yang menanyakan keberadaan kasetnya. Sampai saat ini pun, referral di sitemeter blog ini menunjukkan cukup banyak pengunjung yang nyasar ke sini, berasal dari pencarian kata kunci Sapardi Djoko Damono.
Kebetulan, Nana Soebi, salah seorang penyanyi musikalisasi puisi ini, pernah menuliskan email yang menjelaskan mengenai sejarah kaset tersebut. Berikut penjelasannya:
To Morning Dew : Can we call this a guest -blogging? ^__^
Sejak saya menulis mengenai musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono (SDD) beberapa waktu yang lalu, saya telah mendapat beberapa email yang menanyakan hal tersebut dan beberapa pesan di tagboard/ comment box yang menanyakan keberadaan kasetnya. Sampai saat ini pun, referral di sitemeter blog ini menunjukkan cukup banyak pengunjung yang nyasar ke sini, berasal dari pencarian kata kunci Sapardi Djoko Damono.
Kebetulan, Nana Soebi, salah seorang penyanyi musikalisasi puisi ini, pernah menuliskan email yang menjelaskan mengenai sejarah kaset tersebut. Berikut penjelasannya:
Ini mungkin bisa sedikit jadi latar belakang kaset yang tanpa setahu kami ternyata cukup dihebohkan sampai sekarang itu.
Awalnya adalah sebuah kerja keroyokan di tahun 1987 dan 1988 untuk sebuah "tugas" yang diberikan ke FSUI dari Menteri Pendidikan & Kebudayaan waktu itu, Fuad Hasan, untuk lebih memasyarakatkan sastra khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Namanya Bulan Apresiasi Sastra, dan salah satu "produk"nya adalah sekoleksi musikalisasi puisi beberapa penyair yang diedarkan untuk kalangan sangat terbatas saja. Tahun 1990, Sapardi Djoko Damono, yang senang musik dan pandai main gitar juga, kepingin puisinya bisa dimusikalisasi. Jadilah the notorious Hujan Bulan Juni itu. Peredarannya juga terbatas sekali karena sebagai kaset musik barang itu tidak masuk jalur label industri musik Indonesia (sekarang sih istilahnya "indie"). Kalau ada yang pernah lihat kloter pertamanya dulu, cover kasetnya berbeda dengan yang kloter produksi ulang yang membaregi munculnya album kedua Hujan Dalam Komposisi. Album kedua itu sendiri muncul setelah pentas di TIM itu, kebetulan juga karena ada lagu-lagu baru yang sayang kalau gak didokumentasikan.
Penerbit Grasindo tahun itu juga menelurkan buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni. Sebetulnya judulnya bukan itu, tapi menurut editornya, judul puisi yang itulah yang lebih menjual... karena sudah banyak orang tahu kaset pertama kami. Puisi-puisi yang ada di buku itu sebagian besar diambil dari kumpulan puisi SDD yang sudah dibukukan, sebagian lagi belum, sebagian lagi baru. Dari sekian buku, memang buku itulah yang paling dimintai. Mungkin karena puisinya banyak. Padahal penyairnya sendiri gak senang kumpulan yang berisi terlalu banyak puisi.
Sementara itu, personel pendukung kedua kaset lama tercerai-berai, karena urusan hidup masing-masing. Setelah pada lulus, kami jarang ketemu. Tahun 1996 itu saja sudah merupakan satu reuni tersendiri bagi kami. Dan tidak lagi ketemu sampai tahun lalu. Ari dan Reda sebetulnya masih sesekali nyanyi, itu pun kalau salah satu tidak sibuk. Aku suka bikin kesal mereka berdua karena sempat ogah nyanyi. Yang lain sama sekali No. Sampai akhirnya, gak tau ujung pangkalnya apa, aku dan Reda sepakat kami mesti nyanyi lagi. Secara serius, dan itu berarti album baru. Mungkin juga buat terakhir kalinya, karena meski tidak terkena osteoporosis, sekarang saja kalau kelamaan nyanyi hidung jadi sakit. Tapiiii... kelamaan gak nyanyi malah hatinya yang sakit... So, terbitlah terang di masing-masing kepala tua ini, kenapa nggak bener-bener bikin sesuatu. Terakhir terakhir deh... gak apa-apa.
Sementara itu, dari hasil rumpi dua nenek, kok terkumpul banyak facts bahwa kaset-kaset lama itu sangat disuka. Dan masih sangat dicari. Seorang teman pernah memergoki segerombol anak kampus mau naik gunung di satu terminal di Jember, menyanyikan lagu-lagu kami. Seorang pakar manajemen menyitir salah satu lagu di seminarnya yang bergengsi. Aku Ingin sendiri, setelah dijadikan lagu tema Cinta Dalam Sepotong Rotinya Garin, makin gak terkendali. Selain dihiaskan di kartu-kartu undangan perkawinan, di Bandung dan Yogya dijembreng-jembreng dalam T-shirt. Satu event lomba musikalisasi puisi di salah satu kampus besar Indonesia menjadikan lagu itu sebagai lagu wajibnya. Garin lalu pakai lagi dua lagu di film tivinya, Rembulan di Ujung Dahan, 2002 kemarin. Belum beberapa sinetron yang tanpa seizin SDD menampilkan bintangnya sedang menyanyikan lagu-lagu itu.
Belum juga yang secara langsung menagih ke masing-masing dari kami, mau beli kaset, atau minta izin meng-copy, atau bahkan sampai marah-marah karena kami ini bego-bego bener jadi manusia...
---
Kami senang, lebih karena bisa jadi kita semua memang butuh banyak alternatif untuk membuat hidup ini terasa lebih manis. Kami senang puisi (bukan cuma karya SDD yang notabene sudah seperti bapak kami sendiri itu), kami senang menyanyi, meski bukan cuma musikalisasi puisi tapi sekarang jadi lebih senang lagi karena lagu-lagu itu ternyata disukai. Seingat kami sih, susah-susah gampang juga bikin lagu-lagu itu, karena kadang SDD sendiri gak berkenan. Entah cara menggalnya salah, entah aransemennya gak cocok. Kami semua berangkat dari kampus, dengan gaya bermusik jaman itu, mainly pake gitar dan betul-betul mengandalkan vokal. Tapi pada dasarnya, SDD itu sangat membebaskan kami untuk berekspresi dan gak kepingin turut campur dalam proses kreatif setiap lagu.
oleh Nana Soebi
To Morning Dew : Can we call this a guest -blogging? ^__^
Menanam Rumput
Ngapain aja akhir minggu yang mendadak panjang kemarin? Di rumah aja? Atau keluar kota? Seperti judul, menanam rumput, itulah yang dilakukan keluarga gue week-end kemarin, hari Minggu dan Senin.
---
Halaman rumah nyokap bokap memang lumayan luas. Dulu memang sengaja memilih untuk tinggal di daerah Jakarta coret supaya bisa punya halaman yang cukup besar. Di halaman depan rumah ada pohon mangga, rambutan, jambu air, dan alpukat. Lumayan, walaupun berbuahnya jarang-jarang dan lebih sering berulat. Permukaan tanah di halaman depan ini juga seharusnya ditutupi dengan rumput. Namun sudah beberapa bulan terakhir ini tanah tersebut telanjang alias rumputnya mati semua.
Mungkin salah satu penyebabnya adalah musim kemarau yang cukup panjang beberapa bulan yang lalu. Kalau menurut Nyokap, penyebabnya adalah ayam-ayam bokap yang jumlahnya sempat mencapai ..err.. berapa ya.. 20 ekor? Mungkin lebih sih kalau cucu-cucu ayamnya juga ikut dihitung. Kenapa ayam-ayam itu yang dipersalahkan? Karena menurut nyokap:
Akhirnya hari Minggu kemarin diputuskan untuk menghijaukan kembali halaman depan rumah. Sebagai persiapan, bokap udah beli buku Teknik Menanam Rumput. Kok pake buku segala? Soalnya menanam rumput itu gampang-gampang susah, kata bokap. Satu atau dua bulan yang lalu, bokap udah nyoba menanam sebagian halaman dengan rumput, tapi kemudian rumput tersebut gagal hidup. Agar tidak mengulangi kegagalan itu, kali ini semuanya harus mengikuti teknik yang ada di buku.
Minggu pagi bokap dan nyokap pergi membeli rumput seluas sekitar 25 meter persegi. Kenapa segitu? Karena cuma sebanyak itu rumput yang bisa masuk ke bagian belakang mobil kijang milik bokap. Rumput yang dibeli adalah rumput gajah. Selain karena murah meriah, jenis rumput ini lah yang paling gampang perawatannya. Rumput tersebut dibeli bukan di tukang-tukang taman di pinggir jalan, tapi nun jauh disana, di tempat rumput-rumput untuk dijual itu ditanam. Rumput itu masih tertanam di lahannya sebelum dibeli. Ketika transaksi sudah disepakati, baru kemudian rumput itu diukur, ditandai, dan kemudian dicangkul sekeping demi sekeping. Pokoknya rumputnya asli masih segar!
Hari Minggu siang acara menanam rumput dimulai. Pesertanya seluruh orang yang ada di rumah hari itu: bokap, nyokap, gue dan suami, kakak gue yang cowok, sepupu gue, si mbak, bahkan Obin pun gak mau ketinggalan. Gue dan suami bertugas mengangkut rumput keluar dari mobil ke halaman. Yang lainnya menyiapkan lahan dan kemudian menanaminya dengan rumput. Menyiapkan lahan? Ya, menurut buku itu, sebelum ditanami, tanahnya harus dipersiapkan dulu agar rumputnya bisa tumbuh. Tanahnya harus digemburkan dulu, batu-batu harus disingkirkan, dan tanah yang kurang subur harus diberi pupuk dulu. Tahap menyiapkan lahan ini adalah tahap yang paling berat memang. Buat para petani dan tukang kebun, pasti ini merupakan pekerjaan yang kecil. Tapi buat orang-orang yang sudah terlalu lama tinggal di Jakarta seperti kami, yang jarang berkutat dengan kebun, jangan ditanya deh gimana ngos-ngosannya.
Tahap berikutnya, setelah tanahnya siap, adalah menanaminya dengan rumput. Tahap ini gampang. Keping-keping rumput yang masih ada tanahnya itu tinggal ditempelkan saja di lahan, dengan sedikit ditekan-tekan. Bokap memilih untuk menanam dengan sistem karpet bukan dengan sistem padi. Sistem karpet artinya seluruh permukaan tanah ditanami rumput dengan rapat. Berbeda dengan sistem padi (ini istilah kakak gue), rumput ditanam jarang-jarang, sehingga perlu waktu agak lama untuk mendapatkan hamparan rumput yang rapat.
Setelah sekitar tiga jam berkerja keras, gotong royong, dengan modal semangat, akhirnya semua rumput yang sudah dibeli tertanam juga. Akhirnya seperempat halaman depan rumah sudah dipenuhi dengan rumput. Seperempat? Ya, baru seperempat. Perjalanan masih panjang....
Esok harinya, Senin, pekerjaan dilajutkan, diawali kembali dengan membeli rumput lagi. Pada hari kedua ini, peserta banyak yang mengundurkan diri dengan alasannya masing-masing. Bokap pun akhirnya membayar seseorang untuk membantunya mengolah tanah. Pada hari ke-dua ini dengan jumlah peserta yang menurun drastis dan semangat yang mengendor, hasilnya hanyalah petak-petak tanah yang sudah digemburkan, namun belum ada rumput tertanam. Ternyata acara menanam rumput masih harus berlanjut, walaupun libur akhir pekan sudah berakhir. Selamat!!!
---
Halaman rumah nyokap bokap memang lumayan luas. Dulu memang sengaja memilih untuk tinggal di daerah Jakarta coret supaya bisa punya halaman yang cukup besar. Di halaman depan rumah ada pohon mangga, rambutan, jambu air, dan alpukat. Lumayan, walaupun berbuahnya jarang-jarang dan lebih sering berulat. Permukaan tanah di halaman depan ini juga seharusnya ditutupi dengan rumput. Namun sudah beberapa bulan terakhir ini tanah tersebut telanjang alias rumputnya mati semua.
Mungkin salah satu penyebabnya adalah musim kemarau yang cukup panjang beberapa bulan yang lalu. Kalau menurut Nyokap, penyebabnya adalah ayam-ayam bokap yang jumlahnya sempat mencapai ..err.. berapa ya.. 20 ekor? Mungkin lebih sih kalau cucu-cucu ayamnya juga ikut dihitung. Kenapa ayam-ayam itu yang dipersalahkan? Karena menurut nyokap:
Pertama,
kalau rumputnya kering hanya karena musim kemarau,
seharusnya pas datang musim hujan rumput itu akan bersemi lagi.
Kedua,
rumput-rumput tetangga masih hijau tuh ternyata ^__^
Akhirnya hari Minggu kemarin diputuskan untuk menghijaukan kembali halaman depan rumah. Sebagai persiapan, bokap udah beli buku Teknik Menanam Rumput. Kok pake buku segala? Soalnya menanam rumput itu gampang-gampang susah, kata bokap. Satu atau dua bulan yang lalu, bokap udah nyoba menanam sebagian halaman dengan rumput, tapi kemudian rumput tersebut gagal hidup. Agar tidak mengulangi kegagalan itu, kali ini semuanya harus mengikuti teknik yang ada di buku.
Minggu pagi bokap dan nyokap pergi membeli rumput seluas sekitar 25 meter persegi. Kenapa segitu? Karena cuma sebanyak itu rumput yang bisa masuk ke bagian belakang mobil kijang milik bokap. Rumput yang dibeli adalah rumput gajah. Selain karena murah meriah, jenis rumput ini lah yang paling gampang perawatannya. Rumput tersebut dibeli bukan di tukang-tukang taman di pinggir jalan, tapi nun jauh disana, di tempat rumput-rumput untuk dijual itu ditanam. Rumput itu masih tertanam di lahannya sebelum dibeli. Ketika transaksi sudah disepakati, baru kemudian rumput itu diukur, ditandai, dan kemudian dicangkul sekeping demi sekeping. Pokoknya rumputnya asli masih segar!
Hari Minggu siang acara menanam rumput dimulai. Pesertanya seluruh orang yang ada di rumah hari itu: bokap, nyokap, gue dan suami, kakak gue yang cowok, sepupu gue, si mbak, bahkan Obin pun gak mau ketinggalan. Gue dan suami bertugas mengangkut rumput keluar dari mobil ke halaman. Yang lainnya menyiapkan lahan dan kemudian menanaminya dengan rumput. Menyiapkan lahan? Ya, menurut buku itu, sebelum ditanami, tanahnya harus dipersiapkan dulu agar rumputnya bisa tumbuh. Tanahnya harus digemburkan dulu, batu-batu harus disingkirkan, dan tanah yang kurang subur harus diberi pupuk dulu. Tahap menyiapkan lahan ini adalah tahap yang paling berat memang. Buat para petani dan tukang kebun, pasti ini merupakan pekerjaan yang kecil. Tapi buat orang-orang yang sudah terlalu lama tinggal di Jakarta seperti kami, yang jarang berkutat dengan kebun, jangan ditanya deh gimana ngos-ngosannya.
Tahap berikutnya, setelah tanahnya siap, adalah menanaminya dengan rumput. Tahap ini gampang. Keping-keping rumput yang masih ada tanahnya itu tinggal ditempelkan saja di lahan, dengan sedikit ditekan-tekan. Bokap memilih untuk menanam dengan sistem karpet bukan dengan sistem padi. Sistem karpet artinya seluruh permukaan tanah ditanami rumput dengan rapat. Berbeda dengan sistem padi (ini istilah kakak gue), rumput ditanam jarang-jarang, sehingga perlu waktu agak lama untuk mendapatkan hamparan rumput yang rapat.
Setelah sekitar tiga jam berkerja keras, gotong royong, dengan modal semangat, akhirnya semua rumput yang sudah dibeli tertanam juga. Akhirnya seperempat halaman depan rumah sudah dipenuhi dengan rumput. Seperempat? Ya, baru seperempat. Perjalanan masih panjang....
Esok harinya, Senin, pekerjaan dilajutkan, diawali kembali dengan membeli rumput lagi. Pada hari kedua ini, peserta banyak yang mengundurkan diri dengan alasannya masing-masing. Bokap pun akhirnya membayar seseorang untuk membantunya mengolah tanah. Pada hari ke-dua ini dengan jumlah peserta yang menurun drastis dan semangat yang mengendor, hasilnya hanyalah petak-petak tanah yang sudah digemburkan, namun belum ada rumput tertanam. Ternyata acara menanam rumput masih harus berlanjut, walaupun libur akhir pekan sudah berakhir. Selamat!!!
Bro: Lumayan juga nih keringetan (red: udah lama gak olahraga)
Nyokap: Ini ayam minta dipotong juga, ya! (ngomentarin 4 ekor ayam kampung yang tersisa, waktu mereka sedang pesta makan rumput yang baru ditanam)
Bokap: Ada betadine, gak? (tangan bokap sampai luka kena beling)
Hubby: Bunda kok tiba-tiba jadi sakit sih? (Ngomentarin gue yang Minggu malam mendadak kumat alergi bersin-bersin)
Obin: Da! Ta Da! (sambil lari mondar-mandir bawa sekeping rumput)
Nyokap: Udah dua hari kok gak hujan-hujan ya! Wahhh bakalan mati lagi nih rumputnya. (sambil berharap cemas)
Subscribe to:
Posts (Atom)