Hari ini adalah hari ke dua kami berada di sini. Di suatu tempat di daerah yang sejuk, hijau, jauh dari keramaian kota. Kami bertiga-puluh-dua jumlahnya. Ditemani empat orang ibu yang memiliki wajah dan bicara yang sangat ramah.
Mulai kemarin sore, acara ini dimulai. Kami dibagi dalam empat kelompok secara acak, memilih tempat yang nyaman untuk duduk melingkar. Seorang ibu yang baik menemani kami. Katanya, yang kami perlukan hanyalah menceritakan diri kami masing-masing secara bergiliran dan menjadi pendengar yang baik ketika yang lain bercerita. [ya, walaupun kami telah satu tahun bersama hampir setiap hari, dari pagi hingga petang, sebenarnya kami tidak begitu dekat satu sama lain]
Aku kurang menyukai acara seperti ini. Bukan karena aku menganggap acara seperti ini tidak berguna, bukan. Hanya saja aku selalu bingung jika harus menceritakan tentang diriku. Apa yang bisa kuceritakan tentang aku. Diriku biasa-biasa saja. Hidupku datar, normal. Tidak ada yang menarik dari cerita hidupku. [Hidupku memang membosankan]
***
Hari ini adalah hari kedua. Siang ini kami duduk melingkar di lantai sebuah pendopo kecil. Angin semilir dan teduhnya pohon flamboyan di samping pendopo, membuat pendopo ini terasa nyaman walaupun matahari terik di luar sana.
Aku merasa lelah dan bosan duduk terus seperti ini. Acara tadi malam berlangsung hingga sangat larut. Dan pagi ini acara sudah dimulai kembali. Tadi pagi kami bergabung dengan kelompok lain, melakukan beberapa permainan, dan membicarakan konflik-konflik yang ada dalam kelompok besar. Saat ini kami dibagi lagi dalam kelompok kecil. Kembali diharapkan membuka diri masing-masing, membagi masalah pribadi yang dirasakan bisa mengganggu bagi perkembangan diri kami. [ah, apa lagi yang bisa kubagi, selain kenyataan bahwa diriku terlalu malas?]
Apa masalahmu? Temanku, si jenius, ditanya oleh seorang teman yang lain, mengapa ia sering sekali datang terlambat. Si jenius, dengan wajah serius tapi lucu, bercerita bahwa ia adalah seorang penghayal dan pemimpi yang hebat. Ia sering hanyut dalam mimpinya dan ini mengakibatkan ia sering terlambat bangun. Kalaupun ia terbangun, ia sering tergiur melanjutkan mimpinya dalam lamunan. [ah.. si jenius ini memang sungguh kocak]
Temanku - si gadis hitam manis - bercerita bahwa bapaknya baru dikhianati teman dalam berbisnis. Keluarga mereka akibatnya saat ini tengah dililit hutang yang sangat besar. Ia juga bercerita tentang ibunya yang kerap menyalahkan bapaknya yang mudah percaya pada orang lain. Temanku ini sedih, karena mungkin mereka harus melepaskan rumah mereka. Juga karena situasi di rumahnya yang tidak lagi damai. [siapa pernah sangka bahwa gadis hitam manis yang selalu siap menolong ini sedang dilanda masalah?]
***
Tiba-tiba gadis berkerudung temanku ikut berbicara. Seluruh pasang mata memandang dirinya. Suaranya lirih dan bergetar. Matanya menunduk. Tangan kanannya memainkan jemarinya, membuat gerakan seakan menulis di lantai, seakan gerakan itu akan mengumpulkan keberaniannya.
"Saya mempunyai masalah yang saya rasakan sangat menghambat diri saya." Gadis berkerudung itu terbata memulai ceritanya.
"Masalah yang sebenarnya sudah lama sekali terjadi." Katanya lagi sebelum terdiam kembali.
"Terjadi waktu saya masih sangat kecil." Suaranya sangat bergetar seperti hendak menangis.
"Sejak peristiwa itu saya tumbuh menjadi seorang yang pemalu, sangat berbeda dengan kakak dan adik-adik saya. Saya tidak berani berbicara dengan orang lain, apalagi di depan umum. Saya gemetaran bila harus bicara [ya, suaranya memang selalu bergetar]. Saya juga lemah dan mudah sakit." [ia waktu itu hampir pingsan ketika pulang naik kereta bersamaku]
Kami terdiam. Ibu yang baik akhirnya berkata, bertanya lebih tepatnya, "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Gadis berkerudung itu tiba-tiba pecah tangisnya, "Saya tidak bisa bercerita tentang itu."
Dengan terisak dan suara yang bergetar, gadis berkerudung itu melanjutkan, "Saya masih sangat kecil waktu itu. Saya waktu itu bahkan tidak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri saya. Apa yang telah dilakukan orang itu. Hanya saja saya merasakan itu adalah sesuatu yang amat salah, menakutkan, memalukan." Ia terdiam lagi.
"Saya sungguh tidak bisa bercerita tentang peristiwa itu. Tidak bisa. Maafkan saya" isak gadis berkerudung itu.
"Tidakkah ada seseorang yang tahu? Yang pernah kau ceritai?" tanya seorang temanku.
"Tidak seorang pun. Tidak pernah sekali pun saya menceritakannya ini pada seseorang. Tidak pada kedua orang-tua saya, tidak pula pada saudara-saudara saya. Mereka tidak pernah tahu apa yang pernah terjadi pada saya."
***
Kami kini benar-benar terdiam. Tidak tahu mesti berkata apa lagi. [Dan aku tiba-tiba merasa teramat malu karena telah menganggap hidupku yang normal ini membosankan]
No comments:
Post a Comment