Sudah lama saya diminta Neenoy, adik saya, jadi blogger tamu di sini untuk menulis tentang Sekolah Alam-Ciganjur, tempat saya menyekolahkan kedua putra saya. Tapi saking banyaknya hal yang pengen saya ceritakan, jadi bingung sendiri mulainya dari mana.
Kebetulan dalam rangka Open House Sekolah Alam yang Insya Allah (moga-moga nggak mundur lagi) bakal dilaksanakan 27 September ini, saya diserahi tugas mengumpulkan tulisan para orangtua siswa untuk dijadikan buku.
Tulisan di bawah adalah salah satu dari tulisan yang masuk. Penulisnya Bu Septri, orang tua murid yang juga salah satu guru di sekolah itu. Dengan seizin Bu Septri, tulisan ini saya kirim ke Neenoy untu ditampilkan di blog ini. Tulisan ini bercerita mengenai para pendiri Sekolah Alam (dari penggagas, guru, hingga tukang kayu) dan seputar suka-duka usaha pendiriannya. Karena cukup panjang, sesuai saran Neenoy, tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. (Itoy)
Kebetulan dalam rangka Open House Sekolah Alam yang Insya Allah (moga-moga nggak mundur lagi) bakal dilaksanakan 27 September ini, saya diserahi tugas mengumpulkan tulisan para orangtua siswa untuk dijadikan buku.
Tulisan di bawah adalah salah satu dari tulisan yang masuk. Penulisnya Bu Septri, orang tua murid yang juga salah satu guru di sekolah itu. Dengan seizin Bu Septri, tulisan ini saya kirim ke Neenoy untu ditampilkan di blog ini. Tulisan ini bercerita mengenai para pendiri Sekolah Alam (dari penggagas, guru, hingga tukang kayu) dan seputar suka-duka usaha pendiriannya. Karena cukup panjang, sesuai saran Neenoy, tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. (Itoy)
Memori Ciganjur – Bagian 1
Oleh : Bu Septri
Tentang Bang Lendo. “Namanya siapa?” tanya teman-temanku memastikan sekali lagi. Yang ditanya cuma nyengir. Waktu itu kami sedang kumpul-kumpul santai setelah sholat berjamaah di tempat kost. Sebenarnya mereka cuma menggoda, sebab yang mengenalkan nama Lendo berikut recruitment Sekolah Alam bernama Linda. Linda yang adik ipar abang ini menawarkan pada teman-temanku untuk bergabung dengan abangnya membuat sekolah baru. Syaratnya cuma tiga. Cinta banget sama anak-anak, dari peternakan, dan hafal Qur’an.
“Mau nggak, Sep?” tanya Linda padaku
“Aku hafal juz 30, bukan 30 juz”, jawabku.
“Nggak pa-palah, kita semua juga begitu.”
“Tapi yang peternakan cuma kamu,” teman-teman se-kost kompakan menimpali.
Jadilah aku calon guru di sebuah calon sekolah juga. Baru ada lahan sewa, calon lansekap yang indah, saung setengah jadi dalam pembangunan, tapi calon penempa khalifah-khalifah Allah yang bermutu. Amin.
Bagaimana mewujudkannya? Mulai darimana? Mulai saja dari segala pintu… nyari ahli olah lahan untuk tani ternak terpadu dan lansekap, hunting satu guru handal yang jagoan seni, pelatihan & tular ilmu dengan Uni Loula, buru-buruin Kang Hamidin untuk segera selesaikan bangunan, mulai hunting calon murid door to door, ngurus ijin sekolah juga ijin bangunan (IMB), dll. dll. dll… Tak boleh lupa … nyampulin buku perpustakaan. Siapa lagi yang akan ngerjain? Bagi-bagi tugas.
Untuk beberapa hal tertentu, jika kecapekan pulang pergi Darmaga-Ciganjur jadilah aku seorang yang ‘tidak pernah never dan selalu always’ nginep di kontrakan keluarga abangku Lendo ini. Sebuah rumah kecil kontrakan sepetak yang sudah mau muntah karena diisi barang-barang calon sekolah. Empat ruang kecil di rumah itu jadi extra full booked.
Aku, Uning, dan Khalid kecil bobok bareng bersama buku-buku yang sedang disampul. Bang Lendo tidur di ruang tidur yang lumayan luas, tapi hanya tersisa space sebesar sajadah untuk tidur, selebihnya dipenuhi barang. Karena ruang tidur itu hakikatnya adalah gudang. Tinggal tersisa dapur mungil dan kamar mandi. Di situ pun sudah ada mbak Iyah di belakang lemari esnya sebagai penyekat.
Hihi… tapi ini satu kenangan indah di antara ribuan kenangan indah bersama orang-orang pertama di Sekolah Alam yang kusayangi. Juga Abang yang untuknya akan selalu kutaruh respek dan hormat yang tinggi untuk selamanya.
“Ya mumpung masih muda, harus idealis dan membuat perubahan. Ntar kalau kita sudah tua, barulah saatnya menjadi bijaksana dan pengamat”, kata Abang saat itu.
“Septri, tani ternak terpadunya seperti Sadagori. Dua bukit tandus di Sukabumi itu telah disulap dengan siklus tani ternak terpadu tanpa pestisida kimia sedikit pun.”
Limbah sapi digunakan untuk kebun jeruk, di bawahnya ayam-ayam kampung sedang bertelur… limbah mereka digunakan untuk kolam lele. Sebagian .faeces dialirkan untuk menyirami lapangan rumput tempat makanan .ruminansia. Aliran listrik diambil dari kincir air yang dipasang di sungai. No usseless waste. Nanti anak-anak yang melakukan semuanya…. Sampai ke kemasan dan penjualan.
“Yuk Hendi, Safri, Septri… kita ke Puncak cari ide, melihat lansekap Kota Bunga. Sekolah kita harus mendapat penghargaan Aga Khan untuk lansekapnya. Indah, orisinal, memelihara lingkungan.”
Harapan itu Bang, yang menguatkan kita semua… sampai nanti. Be our best, be our self…
berlanjut...