Tentang Kang Hamidin. Akang ini asli Bengkulu dan bertugas sebagai ahli bangunannya. Hasil kerja tangannya luar biasa sempurna. Terasa ada yang lain jika menginjakkan kaki ke saungnya. Indah, agung. Kerjanya rapi jali. Lantai kayu dipasang female dan male, jika salah di antara kayu langsung harus dibongkar dan diperbaiki.. Begitu halus. Aku merasa dia mengerjakannya dengan sepenuh pengabdian kepada Allah, dengan dzikir-dzikirnya. Did you notice? Kayu-kayu di lantai saung berjajar rapi menghadap kiblat. Sempurna!
Kang Hamidin membawa istrinya untuk proyek pembuatan saung sekolah. Mereka sendiri hidup di bawah atap jerami. I mean it. Mereka menyandarkan 2 atap jerami membetuk atap sederhana di tanah. Duduk pun sulit di situ, hanya cukup untuk tidur. Masuknya juga merayap.
Makanannya sederhana. Mungkin khas Bengkulu. O ya, aku pernah ditawari kolak pisang, ternyata ada bawang putih di situ sebagai bumbunya. Nah, suatu hari (hari perayaan) aku melihat sisa-sisa masak daging guling. Sisa-sisa api masih ada. Surprise juga, ada apa nih? Ternyata Kang Hamidin baru baru saja mendapat rejeki nomplok!
Ada rusa nyasar ke lokasi sekolah. Rusa siapa? Masa’ dari Ragunan? Atau memang masih ada rusa di daerah sini? Rusa ini ditangkap rame-rame dengan penduduk sekitar, dan dimasak rusa guling. Dua kali peristiwa seperti ini terjadi.
Tentang Pak Iman. Aku memandangi karikatur-karikatur di dinding masjid Al Hurriyah. Karikatur-karikatur itu, Pak Iman punya. Aku belum pernah bertemu langsung, cuma mendengarkan suaranya saat finishing touch album nasyid Nuansa-nya. Aku harus dapetin dia untuk gabung di Sekolah Alam. Aku agak pesimis, tapi setidaknya aku akan coba.
Akhirnya aku bertemu dengannya di masjid, berta’auf, omong-omong di balik hijab. Kukatakan sebisaku, kukatakan maksud, kita bisa jadi diri sendiri jika kita di Sekolah Alam. Hadiah terbesar untukku hari itu saat Pak Iman bilang: Yes!
Yes! Yes! Yes! Dan aku tidak salah pilih. Sesama bungsu, sesama Virgo (apa hubungannya?) aku sayang padanya. Aku ingat ketika kita ngirit biaya pelatihan outbound dengan memakai temanku untuk melatih mountenary. Pak Iman yang pertama turun. Saat descending ± 8 m, baru teringat sang instruktur. Halo, ada carabiner yang terlupa! Tidak berbahaya sih, sebab Pak Iman sudah lincah naik turun tebing tanpa webbing dan tali. Tempaan alam sejati.
Yang selalu terngiang-ngiang di benakku saat aku pamitan mau ngikut suamiku ke Puncak. “Kau tega ninggalin aku”. Maafkan aku. Semoga kau mendengar janjiku saat itu, bahwa aku akan kembali. Sungguh.
berlanjut lagi...