Memori Ciganjur – Bagian 3

Oleh : Bu Septri

Tentang Hendi. Tani ternak terpadu, … tani ternak terpadu … kata-kata itu yang memenuhi kepalaku. Aku harus mencari seseorang yang mau bantu aku di pertaniannya. Orang itu harus struggle dan harus betul-betul orang lapangan. Satu dari jurusan tanah atau hortikultur, satu lagi dari landscape. Aku nggak punya teman dengan kuallifikasi seperti itu. Tapi mungkin bisa dicari di pesantren ikhwan (laki-laki) Ulil Albab di Bogor.

Akhirnya aku nembak nelpon ke pesantren tersebut. Setelah bla-bla-bla … si penerima telpon menyebutkan dua nama untukku. Hendi dan Syafir. Yak! Langsung janjian bertemu untuk survei lahan. Di mana pertama kali bertemu? Di stasiun kereta super sumpek ekonomi saja, sekalian berangkat ke Ciganjur. Aku pakai baju merah hati biar mudah dikenali. Dia datang telat 15 menit karena nyari-nyari aku dulu. Kakinya beralas sendal jepit (itu pun gede sebelah), kan mau survei lahan, kilahnya.

Hasil survei sudah bisa diduga. Lahan mengandung besi, sangat miskin hara, drainase buruk. Yaa.. intinya harus kerja keraslah, he he he. Mempekerjakan orang sekitar untuk membantu pertanian sangat sulit, minta biayanya selangit. AKhirnya Pak Hendi membawa orang-orang dari Sukabumi untuk mengolah lahan (thok). Dia sendiri selalu ikut terjun dalam setiap gawe pertanian. Yang nyangkul, buat sumur., dll. Setelah ditanami kangkung barulah giliranku untuk merawatnya. Aku nggak pernah bertemu lagi dengan Bapak satu ini sejak kebagian jatah merawat.

Kangkung lama-lama tumbuh… tahu-tahu sudah saatnya panen (tahunya juga dari Kang Hamidin, “Kalau nggak dipanen sekarang sudah ketuaan, mbak.”) Kangkung ini harus dijual, batinku. Tapi dijual kemana? Murid belum punya, guru lagi nggak ada … siapa konsumennya? Waktu itu betul-betul aku lagi sendirian. Dengan mengeraskan hati aku pinjem sepeda tetangga. Kangkung yang sudah sangat buaanyak dan sudah menjulur-julur itu kuikat di sadel belakang (boncengan), lalu “Kangkung, kangkuuung!” Aku teriak-teriak ngider kampung. Rasa malu sudah kubuang jauh-jauh, tidak kudengarkan lagi jeritannya di hatiku. Untunglah 98% kebeli orang setelah seharian ngider. Pada kacian kali ya, sama aku. Masya Allaah…

Nah, tahu-tahu setelah itu datang lamaran dari Pak Hendi (ehm). Singkat cerita lamaran diterima. Sambil nunggu hari jadi kita nggarap lahan teruuuuss. Pembibitan, tanam polibag, nyiram, ndangir, etc. etc. selalu di lahan dan disiram matahari. Tidak ada kamus dipingit, walhasil saat hari jadi, kita berdua adalah pasangan pengantin tergosong sedunia. Hihik. Tapi anak-anak muridku bisa belajar apa saja dari kebun, itu yang paling penting.

Tentang Tri Puji Hindarsih. Siapa dia? Saat bertemu pertama kali kupikir aku bertemu dengan fresh graduate dari SMA. Sungguh! Subhanallah, mbak yang satu ini emang imut. Sholihah yang mantan menwa ini lulusan ITB Geodesi, teman Sujiwo Tedjo di karawitan dulu. Panggilannya Bu Cache. Kenangan yang paling indah adalah saat kita berdua bersiteguh bahwa sekolah siap dijalankan Juli 1998. Saat itu ada yang berkomentar pada Bu Loula, itu guru gilaaaaaaa!

Bayangkan saja. Saat itu saung sekolah belum sepenuhnya jadi, tapi setidaknya kebun sudah tersedia. Tanpa diduga ada petugas IMB memaku plat merah besar bertanda BELUM ADA IMB! Nah! Repot dan berbelit-belit masalah itu. Amit-amitlah….

Akhirnya kita berkucing-kucingan. Jika ada prospek calon orang tua siswa datang, papan itu kita cabut. Jika keadaan ‘aman’, papan ditempel kembali.

Sekolah harus dijalankan seberapapun muridnya. Kelas I ada 3 murid, bu Cache yang pegang. Kelas Playgroup ada 13 murid, aku dan Pak Iman yang pegang. Walaupun hanya ada 3 murid di kelas I, tapi ketiga-tiganya agak bermasalah saat itu. Yang satu suka melempar-lempar barang, yang satu suka memaki-maki dengan kata-kata kasar, dan yang perempuan satu-satunya sudah berkali-kali pindah sekolah, karena kerjanya di kelas hanya tidur menelungkup di meja sejak bel masuk sampai bel pulang. Tapi dengan besutan bu Cache, dalam 3 bulan permasalahan mereka finished! Rahasianya tentu saja … cinta! Cinta yang sangat meluap-luap kepada anak-anak.

Bu Cache juga yang mengenalkan kita semua pada Asih. Sungguh pilihan yang sangat jitu. Asih pegang administrasi dan Asih adalah orang teramanah sedunia!! I love you.

Saya sendiri sempat out dari Sekolah Alam mengikuti suami beragri keliling Jabar. Tapi seperti janji saya pada Iman, saya akan kembali (jika masih diterima…). Ternyata setelah saya kembali, mental-mental baja itu masih ada dan pasti akan terus ada di sini. Dan kekuatan cinta itu pun terus bersinar dan meluap-luap dari semua temanku di sini. Dari semua lini, dari pak kebun, administrasi, marketing, guru-gurunya. Kita tak akan pernah berhenti belajar untuk bisa memberikan yang terbaik yang bisa kita berikan kepada calon-calon khalifah Allah di muka bumi ini. BRAVO!!
---

Tulisan di atas sekaligus sebagai undangan kepada pengunjung blog ini, terutama yang pengen tahu Sekolah Alam itu kayak apa.

Silakan datang ke Open House Sekolah Alam, 27 Sept. 2003, pukul 09.00 pagi – selesai. Alamatnya: Jalan Anda 7X (Depan Kelurahan Ciganjur).

Acaranya macem-macem. Ada Market Day, ada Outbound, juga berbagai eksibisi sains, kebun & ternak, art & craft hasil karya anak-anak PG, TK, dan SD SA. Ada rumah pohonnya juga lho… *sambil melirik Neenoy*, malah di Green Lab-nya sekarang ada rumah parenya. Nggak pernah liat rumah pare kan? Makanya, dateng… ajak anak-anak, ponakan juga boleh. (Itoy)

No comments: