Gajah Sirkus

Tahukah kamu bagaimana seorang pawang dapat mengendalikan dan menguasai seekor gajah yang tubuhnya berkali-lipat besarnya dari tubuh si pawang? Saya mengetahuinya dari sebuah buku novel. Sejak masih muda dan kecil, seekor calon gajah sirkus telah dibiasakan untuk diikat kakinya dengan sebuah rantai pada gelondongan kayu. Gajah kecil itu akan berusaha membebaskan diri, namun ia tidak akan mampu. Seiring berjalannya waktu, ketika gajah itu tumbuh menjadi sangat besar dan [harusnya] juga sangat kuat, kakinya hanya perlu diikat dan ditambatkan -- bahkan pada sekedar ranting -- agar tidak mencoba untuk berontak. ‘Pikiran’ gajah itu yang sudah dikendalikan, bahwa ia tidak akan bisa bebas manakala kakinya terikat.

---

Cerita tentang gajah inilah yang terlintas di benak saya ketika membaca cerita mengenai Tisa (Transisi Tisa) dari buku Sekolah Impian – sekolah yang membebaskan**. Gadis kecil ini telah duduk di kelas empat SD ketika dipindahkan dari sekolah ‘konvensional’ ke Sekolah Alam. Ia pindah bukan karena dianggap anak yang ‘bermasalah’ di sekolah lamanya, seperti kebanyakan cerita lain mengenai kepindahan ke sekolah alam di buku itu. Pada cerita tentang Tisa ini, sang adik dikisahkan telah lebih dulu mengecap SA. Tisa dipindahkan ke SA, karena orangtuanya merasa melihat hal positif pada sekolah adiknya tersebut.

Namun, orangtuanya mau tidak mau terkejut ketika kemudian melihat penolakan dari Tisa. Tiap sore orangtuanya dibombardir dengan keluhan, “Yah, mengapa Kakak harus sekolah di Sekolah Alam…? Kakak merasa tertekan, Ayah.” Di sekolah, menurut keterangan gurunya, Tisa selalu bolak-balik minta izin ke belakang, bahkan sering tidak balik ke saung-kelasnya untuk nongkrong di saung-kelas adiknya.

Rupanya waktu tiga tahun yang telah Tisa habiskan di sekolah dengan gedung, meja-kursi, dan seragam telah membuatnya justru tidak nyaman dengan segala kebebasan baru yang ada di SA -– sekolah yang menyenangkan menurut pengakuan murid dan orang tua murid umumnya. Padahal sekolah lamanya bukan sekedar ‘mengekang’ dalam pengertian atribut fisik itu saja, tapi juga mengekang ide, kreativitas, kebebasan berpikir seorang anak. Sekolah lamanya adalah sekolah konvensional yang menuntut ‘hanya satu jawaban benar, adalah salah jika kamu memilih semua jawaban’ dari pertanyaan seperti: “Budi menolong seorang ibu yang terjatuh di jalan, maka Budi adalah anak yang: a. Baik; b. Sopan; c. Suka menolong; d. Rajin”…

Bukan hanya orang tuanya yang terkejut. Saya pun terpana membaca ceritanya dan serta-merta teringat kisah gajah sirkus tersebut. Namun Tisa bukan lah ‘gajah’ pasti. Ia pun akhirnya berhasil melewati masa adaptasinya, dan menemukan kegembiraan pada hari-harinya di SA, seperti yang dirasakan adiknya.

---

Cerita Tisa tidak berkhir sama dengan cerita gajah sirkus. Mungkin juga karena belum terlalu lama ia ‘dirantai’ kebebasannya. Cuma saya jadi merinding membayangkan bagaimana jika belenggu itu berlangsung sepanjang 12 tahun dari hidup seseorang atau bahkan 17 tahun? Selama lima-ribu-seratus hari sekolah?

Menengok ke masa lalu saya, melihat diri saya kini -- yang bahkan masih juga tidak punya keberanian untuk membebaskan diri dari sistem yang saya rasa 'amat-tidak-menyenangkan'; tiba-tiba saya merasa bahwa saya lah ‘gajah sirkus’ itu.


**Buku “Sekolah Impian – sekolah yang membebaskan” adalah buku kumpulan kisah-kisah dari Sekolah Alam. Saya sebenarnya berniat terlebih dahulu menulis review buku ini, juga cerita mengenai acara open-house kemarin itu (eh … saya ketemu Shanty lo…). Tapi yang jadi duluan malah cerita yang ini. Review buku dan open-housenya menyusul deh. Tapi gak janji ya :p


UPDATE:

Bagi yang mau tahu lebih banyak tentang SA, bisa lihat brosur-brosur berikut ini:
(mohon klik kanan dan Save Target As)
- Brosur SA
- Brosur SA inside
- Green Lab SA
- Green Lab SA inside
- Peta Lokasi SA

No comments: