Another writing from the past........ just a fluttering thoughts of life“Bagaimana kamu akan menjalani hidupmu esok hari, Ninoy?”
Sebuah pertanyaan yang kayaknya harus segera kamu pikirkan jawabannya. Mau apa kamu? Itulah masalahnya….Hidup itu apa sih sebenarnya? Yang gue tahu, hidup itu penuh dengan pilihan. Tapi apakah 'hidup dengan pilihannya' itu seperti
"one way ticket”, sekali kita memilih kita tidak bisa (atau tidak boleh) kembali ke titik awal? Atau hidup itu sebenarnya
“trial and error” , coba dan coba lagi sampai akhirnya ketemu yang benar, yang cocok, yang pas? Kalau benar hidup itu
“trial and error”, sampai kapan kita harus mencoba sampai akhirnya bisa menemukan yang benar itu? Apa gak buang-buang waktu? Kalau salah terus gimana? Gak ketemu-ketemu juga yang benar, sampai mati.
Tapi mungkin sebenarnya hidup itu bukan
“one way ticket” bukan juga
“trial and error”. Mungkin bisa sekaligus kedua-duanya, atau bukan kedua-duanya, atau bisa juga keduanya bergantian dijalani. Mungkin juga. Atau sebenarnya tergantung orang yang menjalaninya, jadi bukan suatu definisi yang bersifat universal.
Ada orang yang menganggap bahwa hidup itu seperti
one way ticket. Begitu dia memutuskan sesuatu, tidak ada istilah salah dengan pilihan atau keputusannya itu. Tidak ada rumusan menyesal dalam kamusnya. Baginya hidup itu pendek. Hidup itu terlalu singkat, sehingga tidak ada waktu untuk kembali. Yang dilakukan adalah menjalani hidupnya, sesuai dengan pilihan-pilihan yang telah diputuskannya, dengan sebaik-baiknya. Yang harus dia kerjakan adalah memberi makna bagi kehidupannya yang telah ia pilih itu. Toh, di dalam pilihan hidupnya itu, ia juga akan dihadapkan pada pilihan-pilihan lagi. Nah, kembali lagi ke pilihan-pilihan itu, bukankah sebenarnya melaju terus atau kembali juga merupakan suatu pilihan? Bingung kan lu, Noy? Benar-benar lingkaran setan.
Sekarang yang satunya lagi, yang
trial and error. Gue misalkan hidup itu seperti sebuah proses kerja, atau apa itu namanya… ehm… metoda ilmiah kali, yach? Atau proses kerja tertutup? Terserah deh apa namanya, gue lupa. Tapi yang jelas pada bagannya selalu ada
loop yang kembali, sebagai suatu umpan balik. Kalau gue misalkan hidup seperti itu, sebenarnya sih sama sekali bukan
trial and error murni. Setidak-tidaknya untuk memulai mencoba kembali seseorang sudah punya bekal pengetahuan bahwa apa yang sudah dikerjakannya kurang tepat atau salah. Boleh juga, hidup kayak gini. Mungkin ini hampir seperti istilah mundur satu langkah untuk maju dua langkah… (kalau bisa seratus langkah.. he.. he..)
Hidup seperti cerita
Boneka Garam itu sebenarnya bisa dikategorikan kemana yach? Ceritanya kan dia berjalan-jalan keliling dunia, sampai akhirnya dia ketemu laut yang sangat mempesonanya, lalu yang akhirnya memanggilnya untuk terjun ke dalamnya, sampai akhirnya dia larut dengan bahagia karena bisa menemukan jati dirinya. He… he… sebuah cerita dongeng yang sangat ingin gue percaya bisa terjadi pada diri sendiri. Cerita yang sangat mengobsesi gue.
But, is it in ‘one way ticket’ or ‘trial and error’ category? Susah untuk dikategorikan. Tapi mungkin kalau gue rekayasa ceritanya, gue bumbu-bumbuin lagi sedikit di bagian perjalanan si Boneka Garam keliling dunia – sebelum bertemu laut – mungkin bisa dimasukkan ke kategori
trial and error. Misalkan dia berjalan-jalan sampai di gunung,
“Yup, this is not my place” kata si Boneka Garam. Terus dia turun gunung, jalan terus sampai ke gurun pasir, juga dengan kesimpulan
“It isn’t either!” (si Boneka Garam, dari garam Inggris kali yach?…). Lalu dia jalan lagi sampai akhirnya ketemu laut. Kan jadi ceritanya bisa dibilang
trial and error. Tapi kalau saja -- misalkan – dia ketemu sungai atau ekstrimnya sebuah sumur. Terus dia nyemplung,
plung!!, ke dalamnya. Dia sebenarnya pasti larut juga, tapi gak sampai ke penemuan hakikat ke-garam-annya itu. Gimana dong? Eh.. tapi bisa juga sih.. kan hukum alamnya siklus air, akhirnya lewat laut juga, sehingga si Boneka Garam yang nyemplung di air sumur, akhirnya bisa juga ketemu rekan-rekannya sesama partikel garam di laut. Berarti dengan nyemplung di air sumur itu, dia sudah berada di arah yang lumayan benar. Cuma jadinya cerita Boneka Garamnya jadi panjang dan ngawur.. he.. he.. Yap, cerita Boneka Garam versi gue ini, bisa digolongkan ke hidup jenis
trial and error juga.
Tapi kayaknya gak akan menjawab masalah gue deh kalau gue gak mencoba mengaplikasikannya ke kehidupan gue sendiri. Sekarang gue coba, deh.
Lima tahun yang lalu, gue dihadapkan dengan pilihan, mau sekolah apa gue, dan gue sudah pilih (walaupun dengan pertimbangan yang sekarang gue nilai sangat dangkal) Gue sudah pilih: Arsitektur. Lima tahun gue jalani dengan pikiran:
“This is not the very right place for me, I can’t be optimal here”. Tapi toh, akhirnya gue bisa melewati masa-masa itu dengan hasil yang gak jelek-jelek amat, lumayan malah. Ternyata gue bisa survive juga… Apa standar optimal gue itu terlalu muluk? Atau bahkan gue gak tahu standar optimal gue itu seperti apa, sampai di mana? Mungkin juga begitu. Kalau gue ditanya seseorang, “Elu bilang, elu gak cocok di arsitektur: terus menurut elu, lu cocoknya di mana? He..he.. gue pasti bilang, “Gak tahu!” “Terus elu maunya apa?” Gue pasti jawab, “Gak tahu juga!”. Ditanggung orang yang nanya pasti sebel. Gue juga sebel kok.
So, Ninoy… elu maunya apa? Sekarang elu sudah sampai lagi di suatu titik, elu harus memutuskan elu mau apa, mau ke mana, mau ngapain...
Setelah gue pikir-pikir, mungkin, filsafat
one-way ticket itu lebih cocok buat gue. Terbukti dari lima tahun yang sudah gue jalani di Arsitektur, dan akhirnya
survive juga. Untuk selanjutnya, kayaknya gue gak punya cukup keberanian untuk banting stir, karena gue gak dimodalin dengan pengetahuan tentang apa mau gue sebenarnya, mau banting stir kemana, ke kiri atau ke kanan? Itu cuma dua pilihan. Kalau disuruh memutuskan berapa derajatnya sehingga alternatif pilihannya jadi tambah banyak, wah tambah gak tahu gue…. Toh, setelah lima tahun ini, gue jadi bisa yakin bahwa gue punya kemampuan untuk beradaptasi yang lumayan. Keyakinan ini bisa jadi modal juga kan, untuk terus aja maju.
So with anything you’ve chose, make it worthy. Just do the best with the life that you’ve chose!“Hidup mengalir seperti air” , kata si Seno Gumira. Elu berpikir itu terlalu pasif, Noy? Terlalu ‘gak ngapa-ngapain’ dan tergantung aliran air? Ah, gak juga kok. Selama airnya masih mengalir, kan berarti bergerak. Dinamis juga, kan?
“Hidup itu gak pernah pasti: Gak ada yang pasti dalam hidup, kecuali ketidakpastian itu sendiri”. Pernyataan itu juga gak sepenuhnya pesimistik. Malahan bisa jadi alasan untuk optimis: Kalau benar gak ada yang pasti dalam hidup, berarti gak ada alasan untuk takut memilih. Toh, selalu masih ada kesempatan untuk balik. Bahkan kalau elu memilih
one way ticket itu, juga gak berarti elu gak bisa memilh yang
trial and error. Itu juga suatu pilihan kan?
Sebenarnya
one way ticket, trial and error, mengalir seperti air, atau hidup seperti cerita Boneka Garam, kayaknya sama aja semua. Hidup itu pilihan, hidup itu berarti memilih, berarti mencari terus. Karena memilih dan mencari itulah, manusia bisa dibilang hidup. Soalnya manusia yang sudah mati, gak lagi bisa melakukannya.
Dan buat seorang Ninoy yang gak punya ambisi tertentu yang besar, yang gak pernah tahu maunya sebenarnya apa, tapi juga gak pernah merasa puas sekali dengan hidupnya, kayaknya gak akan pernah ketemu yang namanya laut seperti lautnya si Boneka Garam. Sepertiya justru seharusnya gue beranggapan, kalau gue sudah menemukan lautnya gue, berarti yang namanya perncarian sudah selesai, yang berarti selesai pula yang namanya kehidupan itu. ‘Laut’ itu yang harus dicari, tapi hakikat kehidupan itu sendiri ada pada pencariannya.
Yap… kesimpulan yang cukup melegakan? Mudah-mudahan… Tapi gak menutup kemungkinan untuk terjadi perubahan pandangan dan adanya kesimpulan baru -- selama gue masih hidup.
Bandung, 20 Juli 1997