tak usah ada lingkar di jari
tangan tak menggenggam air
tanda tak kuasa ikatkan hati
tak perlu ucapkan janji
itu daun tua di ujung ranting
siap jatuh dihela angin
kita, bisikkan saja doa
selamat enam tahun
walau tanpa lingkar di jari
: kita
;)
Ketika Bergerak
domba
pohon pisang
lelaki mencangkul
tiga tumpuk kayu bakar
sawah kosong basah
sepeda
bendera putih
tanah merah
gerombolan merpati terbang
lembu ekornya mengayun
ouch, kereta ini berlari lebih cepat dari pada kemampuanku untuk mencerna apa yang aku lihat
pohon berjajar
tiga lelaki di atas bukit
sawah
kebun singkong
asap merang
becak
lampu jalan menyala
tambak
di mana-mana tambak... luas...
sawah lagi. luas sekali
ah, rasanya seperti anak kecil, untuk pertama kalinya melihat segala sesuatu
payung rubuh di pinggir tambak
atap biru
para-para
stasiun kecil
kebun tebu
tanah merah
lengkung kabel telepon... turun... naik...
alang-alang
lapangan bola
sekawanan domba berusaha naik undakan
di atas kereta yang berjalan, tak mudah menulis. aku bahkan nyaris tak bisa membaca tulisan tanganku sendiri
sawah yang baru ditanami padi
tanah pekuburan
pohon cemara
domba makan rumput
bunga flamboyan merah
kereta berhenti, kurasa kusudahkan saja eksperimen isengku kali ini. menyenangkan juga rasanya :)
* disalin dari selembar coretan yang terselip di dalam tas, ditulis di atas kereta jakarta-bandung beberapa bulan yang lalu
pohon pisang
lelaki mencangkul
tiga tumpuk kayu bakar
sawah kosong basah
sepeda
bendera putih
tanah merah
gerombolan merpati terbang
lembu ekornya mengayun
ouch, kereta ini berlari lebih cepat dari pada kemampuanku untuk mencerna apa yang aku lihat
pohon berjajar
tiga lelaki di atas bukit
sawah
kebun singkong
asap merang
becak
lampu jalan menyala
tambak
di mana-mana tambak... luas...
sawah lagi. luas sekali
ah, rasanya seperti anak kecil, untuk pertama kalinya melihat segala sesuatu
payung rubuh di pinggir tambak
atap biru
para-para
stasiun kecil
kebun tebu
tanah merah
lengkung kabel telepon... turun... naik...
alang-alang
lapangan bola
sekawanan domba berusaha naik undakan
di atas kereta yang berjalan, tak mudah menulis. aku bahkan nyaris tak bisa membaca tulisan tanganku sendiri
sawah yang baru ditanami padi
tanah pekuburan
pohon cemara
domba makan rumput
bunga flamboyan merah
kereta berhenti, kurasa kusudahkan saja eksperimen isengku kali ini. menyenangkan juga rasanya :)
* disalin dari selembar coretan yang terselip di dalam tas, ditulis di atas kereta jakarta-bandung beberapa bulan yang lalu
Blog Lain
apa kamu punya blog lain yang lebih privat?
ya, ada
kenapa?
kadang ada yang saya gak bisa tulis di sini. gak nyaman.
sejak kapan?
udah lama juga kayaknya deh. pastinya udah lebih dari setahun.
rutin?
gak. kadang berbulan-bulan sama sekali gak diisi, ditengokin juga gak. kadang (walau jarang) diisi tiap hari dengan satu dua kalimat gak penting.. hehe
anonim?
yah, sepertinya begitu. walau gak mungkin seratus persen anonim, kan? ;)
gak ada yang tahu?
mana saya tahu.. :p
kalau ada yang tahu?
ya, sudahlah.. itu resiko
benar-benar menulis 'apa adanya' di blog yang lain itu?
tidak juga. tidak seratus persen 'saya' juga :)
lho?
hmm... gini, anggap aja saya perlu beberapa laci. ada coretan-coretan yang ditaruh di laci yang ini, ada yang disimpan di laci yang satu lagi. tapi ada juga coretan-coretan yang saya buang, tidak saya simpan di laci mana pun. begitu... :)
eh, saya balik nanya nih, kalau kamu punya gak?
ya, ada
kenapa?
kadang ada yang saya gak bisa tulis di sini. gak nyaman.
sejak kapan?
udah lama juga kayaknya deh. pastinya udah lebih dari setahun.
rutin?
gak. kadang berbulan-bulan sama sekali gak diisi, ditengokin juga gak. kadang (walau jarang) diisi tiap hari dengan satu dua kalimat gak penting.. hehe
anonim?
yah, sepertinya begitu. walau gak mungkin seratus persen anonim, kan? ;)
gak ada yang tahu?
mana saya tahu.. :p
kalau ada yang tahu?
ya, sudahlah.. itu resiko
benar-benar menulis 'apa adanya' di blog yang lain itu?
tidak juga. tidak seratus persen 'saya' juga :)
lho?
hmm... gini, anggap aja saya perlu beberapa laci. ada coretan-coretan yang ditaruh di laci yang ini, ada yang disimpan di laci yang satu lagi. tapi ada juga coretan-coretan yang saya buang, tidak saya simpan di laci mana pun. begitu... :)
eh, saya balik nanya nih, kalau kamu punya gak?
Sepenggal Ritual Pagi
Pertama kali ia tersenyum menyapa dari balik kaca mobil, saya tak mengenalinya. Awalnya saya pikir ia sekedar menawarkan majalah. Namun ia tetap tersenyum lebar dan mengangguk, walaupun secara reflek saya sudah melambaikan telapak tangan tanda tidak berminat. Sekian detik diperlukan sampai akhirnya saya menyadarinya. Ah... dia. Pantas saja. Yang saya kenali bukan dirinya di sini dan di sore hari yang meremang. Biasanya, yang saya tahu, dia di sudut sana dan di pagi hari. Buat saya dia bukan sekelumit wajah yang familiar, tapi sebagai sosok dalam sepenggal ruang dan waktu yang eksak: pukul delapan pagi di perempatan lampu merah itu.
Saya balas mengangguk dan tertawa. Lalu melaju lagi karena sudah saatnya bergerak.
Saya masih terkejut karena dia masih mengenali saya: satu dari ratusan (ribuan?) kendaraan yang lewat jalan itu setiap harinya. Ya, kami memang pernah punya satu cerita yang mengaitkan kami. Tapi tetap saja saya tak menyangka dia masih akan mengenali saya, di antara ratusan kendaraan yang melewatinya tanpa membeli barang dagangannya karena memang tak memerlukannya.
Sampai kini tiap pagi saya masih melewati perempatan lampu merah itu, sekitar pukul delapan pagi. Hampir setiap pagi saya akan melihat dirinya dan seorang temannya yang lain di sana. Lalu kami akan saling tertawa dan mengangkat tangan menyapa dari balik kaca jendela. Begitu saja. Hampir tiap pagi. Rasanya memang ada yang kurang. Saya masih tidak tahu namanya dan nama temannya.
---
Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian bulan ritual itu berlalu, saya menurunkan kaca jendela ketika kendaraan terhenti oleh lampu bertanda merah. Bertanya padanya, "Mas namanya siapa?" Ia menggumamkan namanya tak jelas. "Siapa?" tanya saya lagi. "Saya, Nano." "Kalau Mas yang satu lagi itu siapa?" "Pepen." Saya tersenyum dan mengangguk sekali lagi, sebelum akhirnya kembali melaju.
Saya balas mengangguk dan tertawa. Lalu melaju lagi karena sudah saatnya bergerak.
Saya masih terkejut karena dia masih mengenali saya: satu dari ratusan (ribuan?) kendaraan yang lewat jalan itu setiap harinya. Ya, kami memang pernah punya satu cerita yang mengaitkan kami. Tapi tetap saja saya tak menyangka dia masih akan mengenali saya, di antara ratusan kendaraan yang melewatinya tanpa membeli barang dagangannya karena memang tak memerlukannya.
Sampai kini tiap pagi saya masih melewati perempatan lampu merah itu, sekitar pukul delapan pagi. Hampir setiap pagi saya akan melihat dirinya dan seorang temannya yang lain di sana. Lalu kami akan saling tertawa dan mengangkat tangan menyapa dari balik kaca jendela. Begitu saja. Hampir tiap pagi. Rasanya memang ada yang kurang. Saya masih tidak tahu namanya dan nama temannya.
---
Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian bulan ritual itu berlalu, saya menurunkan kaca jendela ketika kendaraan terhenti oleh lampu bertanda merah. Bertanya padanya, "Mas namanya siapa?" Ia menggumamkan namanya tak jelas. "Siapa?" tanya saya lagi. "Saya, Nano." "Kalau Mas yang satu lagi itu siapa?" "Pepen." Saya tersenyum dan mengangguk sekali lagi, sebelum akhirnya kembali melaju.
Subscribe to:
Posts (Atom)