Hmm… mudik kali ini tak banyak cerita. Tak banyak hal baru yang kami lakukan. Bahkan tak banyak hal berarti yang kami lakukan kali ini. Hmmm… tunggu dulu. Membaca kembali kalimat saya di atas, membuat saya berpikir. Kenapa? Kenapa saya bisa berpikir seperti itu? Ups… apakah saya mulai menganggap mudik, peristiwa yang baru saya alami hm... empat tahun terakhir ini, tak lagi menarik? Ah… sebegitu cepatnya kah hal-hal jadi terasa biasa?
Tunggu… tunggu dulu. Hmm… mudik kali ini…
Seperti tahun lalu, kali ini pun sudah tidak ada ketupat menanti kami. Benar-benar tak heran, karena kami baru mudik beberapa hari setelah hari raya. Perjalanan nyaris normal, menemui kemacetan hanya pada arus yang berlawanan dengan kami.
Mudik kali ini, masih juga mengajak Obin berkunjung ke rumah mbah itu, mbah ini, pakde-bude, dan paklik-bulik. Hanya saja, kali ini sudah tidak ada lagi kunjungan ke Mbah Buyut.
Mudik kali ini, masih menyempatkan makan nasi soto panas di stasiun tua. Masih juga di pagi hari sebelum sikat gigi. Masih juga makan bakso terenak sejagat versi suami ;). Masih juga menyempatkan makan paklay dari rumah makan yang terhebat di kota kelahiran suami – yang saya akui memang makanannya enak-enak.
Mudik kali ini, tak seperti pulang kampung beberapa bulan yang lalu, tak ada acara main-main di hijaunya sawah. Sawah-sawah sudah dipanen sejak sebelum lebaran, tapi belum kembali ditanami. Tak ada acara main-main air semata kaki di sungai berbatu. Sungai-sungai sudah dipenuhi air kecoklatan yang menderas oleh hujan.
Mudik kali ini, kami lebih senang bermalas-malasan di rumah. Tidur-tiduran saja. Terkadang duduk di teras, menonton hujan bersama. Atau main kembang-api bersama. (Main kembang-api, walau tetap istimewa buat saya dan Obin, bukan lagi hal baru. Tapi ini lain lagi ceritanya.)
Oh… ada kok hal yang baru! Mudik kali ini, Obin untuk pertama kalinya melihat kunang-kunang! Yang asli dan hidup! Saat itu kami duduk-duduk di teras karena listrik padam. Tak banyak memang kunang-kunangnya. Hanya ada beberapa ekor berkelip-kelip dan berterbangan di perdu kebun sebelah dan juga di teras rumah. Tak juga lama, karena kelipnya perlahan hilang ketika hujan turun dan menderas. Tapi Obin senang. Dan saya lebih senang lagi… :)
Mudik kali ini memang tak banyak cerita. Tak banyak hal baru yang terjadi. Namun tak juga berarti mudik kali ini tak lagi berkesan.
Fitri
Pagi ini, telepon genggam saya mulai menerima SMS Lebaran. Bertaburan kata-kata puitis, manis, menyentuh, atau bahkan lucu. Menyambung silaturahmi.
Seperti biasa, saya kehilangan kata-kata. Mungkin memang pada dasarnya tidak kreatif :). Maka saya hanya bisa berkata:
Selamat Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Seperti biasa, saya kehilangan kata-kata. Mungkin memang pada dasarnya tidak kreatif :). Maka saya hanya bisa berkata:
Selamat Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Flamboyan
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Bukan lelaki flamboyan. Tapi flamboyan tanaman. Bunganya. Pohonnya. Dahannya…
Aku. Lima tahun.
Ada sebatang pohon flamboyan di halaman rumahku. Di halaman depan rumah. Tinggi sekali. Ada dahan yang kokoh. Lurus datar. Menggantung sebilah papan, diikat dua utas tambang. Ayunan…! Ayunan paling hebat di dunia! Sangat tinggi! Sore hari, sesudah (atau sebelum?) mandi, aku bermain di situ. Sendiri. Wuss… wuss…. Aku mengayun. Kencang. Wuss… wuss… Aku berdiri di atas ayunan. Wuss… wuss… Tinggi… Tinggi… Makin tinggi lagi… Wow...! Lihat! Aku terbang! Rokku berkibar-kibar. Angin dingin. Aku merinding. Gamang. Tapi… lagi… lagi… Hingga terdengar panggilan, “Niiik, ayo masuk! Udah mau Magrib!”
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Bunganya…
Bandung. Kampus. 1997.
Kapan sebenarnya bunga-bunga flamboyan ini mulai berbunga? Aku tak pernah memperhatikannya. Tidak pernah kuperhatikan kapan kuncup-kuncupnya mulai menyembul. Menguningkah daunnya? Atau berguguran dulu? Aku benar-benar tak pernah tahu. Padahal setiap hari aku melaluinya. Kadang malah aku tak pernah benar-benar sadar ada batang-batang flamboyan di sini.
Selalu seperti itu. Berulang. Tahun demi tahun. Selalu saja terasa tiba-tiba. Suatu hari, langit di atas sontak berhias merah. Bunga-bunga flamboyan bergerombol di hampir seluruh ranting. Berayun-ayun. Dari jauh kau, juga aku, sudah bisa memandangnya. Inilah mungkin saat-saat kau, pasti aku, bisa berjalan lebih lambat. Menatap lamat-lamat gerombolan bunga merah jingga di kejauhan, di tikungan sana. Makin dekat. Semakin dekat. Hingga tibalah kau, atau aku, di bawahnya. Inilah saatnya kau, ah… aku, akan berjalan menengadah. Melihat gerombolan bunga merah jingga yang berayun di ujung ranting. Atau inilah saatnya menunduk. Memungut bunga yang gugur di jalan. Memutar-mutarnya di antara jemari. Lalu teringat permainan mengadu benang sari hingga putus ujungnya, waktu kecil dulu.
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Pada kenangannya…
Bandung. Akhir Oktober 2004.
Flamboyan! Flamboyan memerah di sudut-sudut Bandung. Bulan apa ini? Oktober? Selalukah Oktober? Aku berusaha mengingat. Tak ingat. Namun, keping-keping kenangan terbuka satu-persatu…
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Cinta yang datang dan pergi seperti musim. Adakah musim flamboyan?
Aku. Lima tahun.
Ada sebatang pohon flamboyan di halaman rumahku. Di halaman depan rumah. Tinggi sekali. Ada dahan yang kokoh. Lurus datar. Menggantung sebilah papan, diikat dua utas tambang. Ayunan…! Ayunan paling hebat di dunia! Sangat tinggi! Sore hari, sesudah (atau sebelum?) mandi, aku bermain di situ. Sendiri. Wuss… wuss…. Aku mengayun. Kencang. Wuss… wuss… Aku berdiri di atas ayunan. Wuss… wuss… Tinggi… Tinggi… Makin tinggi lagi… Wow...! Lihat! Aku terbang! Rokku berkibar-kibar. Angin dingin. Aku merinding. Gamang. Tapi… lagi… lagi… Hingga terdengar panggilan, “Niiik, ayo masuk! Udah mau Magrib!”
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Bunganya…
Bandung. Kampus. 1997.
Kapan sebenarnya bunga-bunga flamboyan ini mulai berbunga? Aku tak pernah memperhatikannya. Tidak pernah kuperhatikan kapan kuncup-kuncupnya mulai menyembul. Menguningkah daunnya? Atau berguguran dulu? Aku benar-benar tak pernah tahu. Padahal setiap hari aku melaluinya. Kadang malah aku tak pernah benar-benar sadar ada batang-batang flamboyan di sini.
Selalu seperti itu. Berulang. Tahun demi tahun. Selalu saja terasa tiba-tiba. Suatu hari, langit di atas sontak berhias merah. Bunga-bunga flamboyan bergerombol di hampir seluruh ranting. Berayun-ayun. Dari jauh kau, juga aku, sudah bisa memandangnya. Inilah mungkin saat-saat kau, pasti aku, bisa berjalan lebih lambat. Menatap lamat-lamat gerombolan bunga merah jingga di kejauhan, di tikungan sana. Makin dekat. Semakin dekat. Hingga tibalah kau, atau aku, di bawahnya. Inilah saatnya kau, ah… aku, akan berjalan menengadah. Melihat gerombolan bunga merah jingga yang berayun di ujung ranting. Atau inilah saatnya menunduk. Memungut bunga yang gugur di jalan. Memutar-mutarnya di antara jemari. Lalu teringat permainan mengadu benang sari hingga putus ujungnya, waktu kecil dulu.
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Pada kenangannya…
Bandung. Akhir Oktober 2004.
Flamboyan! Flamboyan memerah di sudut-sudut Bandung. Bulan apa ini? Oktober? Selalukah Oktober? Aku berusaha mengingat. Tak ingat. Namun, keping-keping kenangan terbuka satu-persatu…
Aku jatuh cinta pada flamboyan. Cinta yang datang dan pergi seperti musim. Adakah musim flamboyan?
Subscribe to:
Posts (Atom)