Seorang temen gw, seneng banget sama film ini ;) . Mengutip katanya, film ini bercerita tentang dua orang yang gak saling kenal yang ketemu di kereta, having a real good conversation, padahal cuma 14 jam yg mereka punya, sebelum mereka akhirnya pisah jalan.
Gw jadi penasaran, dulu waktu gw nonton film ini, ada quote yg gw suka saat itu, tapi gak inget apa itu. ... dan wow, setelah cari di google, gw malah dapet skrip lengkapnya dari site ini. Ini quotenya:
... when you talked earlier about after a few years, how a couple begin to hate each other, by anticipating their reactions, or getting tired of their mannerisms. I think it would be the opposite for me. I think I could really fall in love when I know everything about someone. The way he's gonna part his hair. Which shirt he's gonna wear that day. Knowing the exact story he'd tell in a given situation. I'm sure that's when I'd know I'm really in love. Celine - Before Sunrise
Ummm... so sweet, isn't it? :) I'm this kind of believer. Or more precisely, I'd like to be this kind of believer. [Btw, happy b'day to my hubby :)]
Oh... I'm so excited today, can't wait till tomorrow... pantara islands.. here I come...
Ada bintang di langit kamarku
Kubeli sekotak bintang. Bintang-bintang cantik dalam kotak yang elok. Tak sabar kutunggu saatnya pulang. Membawa bintang-bintang untuk putera tersayang.
Waktupun tiba. Kubuka bintang dalam kotak. Kukeluarkan satu-satu, pelan-pelan. Kudaki tangga, kugapai langit di atasku. Kusemat satu-satu bintang di sana. Kutebarkan bintang-bintang kecil di langitku itu.
Kumatikan terang. Kubiarkan gelap menyibak bintang-bintang itu. Lihat, bintangnya berpendar. Cahayanya lembut, tapi pasti di tengah pekatnya gelap. Kutatap satu-satu bintang itu. Bintang kejora, bintang kecil, bintang jatuh. Banyak bintang menghiasi langit malamku.
Kubeli sekotak bintang. Kini ada bintang-bintang berpendar di langit kamarku.
[hehe beberapa waktu yang lalu gw beli sekotak bintang “glow in the dark”, buat ditempel di langit-langit kamar. Coba tebak, antara anak dan bundanya, kira-kira mana yang lebih antusias sama bintang-bintang itu? ;-) ]
Kanakku dalam Aku
hidup kanak dalam cela, kelak belajar ia mengutuk
hidup kanak dalam permusuhan, kelak belajar ia bertarung
hidup kanak dalam takut, kelak belajar ia hidup cemas
hidup kanak dalam cemburu, kelak belajar ia rasa iri
hidup kanak dalam dukungan, kelak belajar ia percaya diri
hidup kanak dalam berbagi, kelak belajar ia kemurahan hati
hidup kanak dalam pengakuan, kelak belajar ia bercita-cita
hidup kanak dalam penerimaan, kelak belajar ia mencinta *
---
ku berkaca. menatap kaca.
menatap paras, raut, binar, kerut, di kaca.
ku merangkai kata. berkaca pada kata.
menatap jiwa, sukma, suka, lara, dalam kata.
ku berkaca. mencari jejak kanakku dalam aku.
kanakku yang belajar menjadi aku.
kanakku yang menjelma dewasaku.
seperti apakah ia?
naik ke atas atap
semalam aku naik ke atas atap
ya, hahaha...
semalam aku naik ke atas atap,
bukan untuk memandang langit
bukan untuk menatap bintang
karena tak ada bintang di langitku semalam
semalam aku naik ke atas atap
karena suatu ketidaksengajaan
karena suatu alasan yang konyol
semalam aku naik ke atas atap
hehehe...
[hanya ingin mencatat yang terjadi semalam]
14 agt 03
UPDATE
Malam itu, saya tiba-tiba ingin sekali browsing internet. Maka saya pun pergi ke ruang kerja kakak saya yang berada di bagian luar rumah kami. Tepatnya ruang itu berada di atas garasi yang menempel pada bangunan rumah. Tangga untuk menuju ruang tersebut terletak di dalam garasi.
Belum lagi tengah malam saya memutuskan untuk menyudahkan acara browsing. Namun apa yang saya temukan? Pintu yang menghubungkan garasi dan rumah sudah terkunci. Berarti saya terkunci di luar sekaligus di dalam (?). Saya pun lalu berteriak, menggedor pintu, dan membuat keributan. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa penghuni rumah yang lain mendengarnya. Memang bagi sebagian besar penghuni di rumah tempat saya berdiam, malam seakan datang lebih awal. Hingga saya amat maklum bila tidak ada penghuni rumah yang mendengar teriakan saya malam itu.
Malam itu yang terpikirkan hanyalah: saya harus masuk ke dalam rumah, dengan cara apapun juga, karena lewat tengah malam obin akan bangun meminta sebotol susu. Yang terpikirkan kemudian hanyalah: lewat atap!
Maka terjadilah apa yang telah terjadi.
Malam itu, saya kembali naik ke ruang kerja di atas garasi itu. Dari sana saya turun ke atas atap, memanjat naik ke atas bubungan, menuruni kembali sisi lain dari atap miring itu, lalu turun melalui celah antara dua atap, turun merayap ke taman kecil dalam rumah. Persis seperti maling :). Untung saja tubuh saya cukup kecil. Kalau tidak pasti saya sudah tersangkut di celah atap itu.
Hmm... mungkin ini adalah hal terkonyol yang saya lakukan dalam 10 tahun terakhir. Hmm mungkin... Oh, tapi berkat peristiwa malam itu, saat ini telah terpasang sebuah interkom untuk menghubungkan rumah dan ruang kerja itu. :p
Ceritakan padaku tentang kunang-kunang
Ceritakan padaku tentang kunang-kunang yang berkelap-kelip di sawah dekat rumahmu dulu. Sekawanan kunang-kunang yang kau lewati setiap kali kau pulang dari mengaji di langgar. Apakah mereka bersinar menyambut kedatanganmu? Apakah setiap malam mereka bercanda gembira?
Ceritakan padaku bagaimana rasanya menatap ratusan cahaya kecil yang tersibak oleh gelap malam. Apakah mereka seakan menyihirmu? Tak berkedipkah matamu, agar tak hilang mereka dari pandanganmu? Kau tahankah napasmu, agar tak pergi mereka meninggalkanmu?
Ceritakan padaku tentang mengejar kunang-kunang bersama teman-temanmu. Kunang-kunang yang beterbangan di langit malam. Kunang-kunang yang hinggap di batang-batang padi, hinggap di dedaunan semak, dan terbang kembali. Tertawa riang kah kalian? Tergelak-gelak berlari ke sana - ke mari?
Ceritakan padaku tentang kunang-kunang yang kau tangkup dalam dua tapak kecilmu dulu. Takutkah ia? Ataukah ia malah mengajakmu bercanda, dengan genit memamerkan pesona kerlipnya?
Ceritakan padaku tentang kunang-kunang yang kau tawan dan kau bawa pulang. Kau jadikan kerlipan itu lentera penerang jalan? Hingga terang jalan pulangmu? Kau jadikan ia penerang kamarmu? Menemani tidurmu? Hiasi mimpimu?
Ceritakan padaku tentang kunang-kunang. Ceritakanlah. Ceritakan lagi.
Tidak. Ajak saja aku. Tunjukkan padaku.
[ada tempat dengan sejuta kunang-kunang. aku ingin sekali ke sana]
Siang yang tidak biasa
Pukul 14.15. Seharusnya aku ada di meja kerjaku, di dalam kubus-kubus itu. Tapi tidak. Aku sekarang ada di sini. Di sebuah ruang terbuka, duduk di kursi, di bawah naungan payung tenda bergaris merah dan putih. Aku duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang, yang menyisakan hanya sedikit berkas cahaya di permukaan tanah dan lantai.
Pukul 14.20. Seharusnya aku ada di depan komputerku, entah melakukan kerja apa, sambil sesekali browsing internet. Tapi tidak. Sekarang aku ada di sini, menikmati semangkuk es kacang merah, mencoret-coret di atas selembar kertas, menebar pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling: orang-orang berjalan santai, orang makan dengan santai, ngobrol dengan santai. Sepasang muda-mudi bercerita dengan santai. Tukang parkir duduk merokok dengan santai, mobil-mobil parkir dengan santai. Gerobak didorong dengan santai, sepeda bergerak dengan santai. Seorang ibu menggelar dagangan batiknya, membujuk calon pembeli dengan santai. Benarkah semua? Mungkin aku saja yang sedang senang, sehingga di mata ini semuanya terlihat bergerak dengan tenang.
Pukul 14.35. Serutan es di mangkuk sudah mulai mencair, menyisakan butir-butir kacang merah yang terendam dalam genangan air, sirup, dan susu kental manis. Kupanggil seorang anak lelaki kecil penyemir sepatu. Sedari tadi ia bolak-balik saja, menawarkan jasa tanpa hasil, namun selalu dilewatinya aku. Sementara aku sedang senang, hingga sepatu-sendal ini -- yang nyaris tidak pernah dan tidak perlu disemir -- kuserahkan padanya. Aku sedang senang, karena itu kupikir sesekali sepatu-sendalku perlu juga bermanja-manja.
Pukul 14.45. Es kacang merahku sudah hampir habis, hingga dasar mangkuknya sudah mulai terlihat. Anak lelaki kecil itu memanggilku, “sudah selesai, mbak”. Tak lama kemudian katanya lagi, “terima kasih, mbak”. Ku lihat ia pergi dengan senang, mungkin karena dilihatnya aku sangat senang.
Pukul 14.55. Semangkuk es kacang merah tandas sudah. Aku belum lagi bangkit dari dudukku. Masih melihat sekeliling sambil tersenyum. Akhirnya kuputuskan untuk pergi juga. Dengan hati senang kutinggalkan tempat ini.
Ya, aku sedang senang. Karena di sini, saat ini, aku sedang merayakan sesaat kebebasan, perlawanan, dan pembangkangan dari sebuah rutinitas :-)
Pukul 14.20. Seharusnya aku ada di depan komputerku, entah melakukan kerja apa, sambil sesekali browsing internet. Tapi tidak. Sekarang aku ada di sini, menikmati semangkuk es kacang merah, mencoret-coret di atas selembar kertas, menebar pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling: orang-orang berjalan santai, orang makan dengan santai, ngobrol dengan santai. Sepasang muda-mudi bercerita dengan santai. Tukang parkir duduk merokok dengan santai, mobil-mobil parkir dengan santai. Gerobak didorong dengan santai, sepeda bergerak dengan santai. Seorang ibu menggelar dagangan batiknya, membujuk calon pembeli dengan santai. Benarkah semua? Mungkin aku saja yang sedang senang, sehingga di mata ini semuanya terlihat bergerak dengan tenang.
Pukul 14.35. Serutan es di mangkuk sudah mulai mencair, menyisakan butir-butir kacang merah yang terendam dalam genangan air, sirup, dan susu kental manis. Kupanggil seorang anak lelaki kecil penyemir sepatu. Sedari tadi ia bolak-balik saja, menawarkan jasa tanpa hasil, namun selalu dilewatinya aku. Sementara aku sedang senang, hingga sepatu-sendal ini -- yang nyaris tidak pernah dan tidak perlu disemir -- kuserahkan padanya. Aku sedang senang, karena itu kupikir sesekali sepatu-sendalku perlu juga bermanja-manja.
Pukul 14.45. Es kacang merahku sudah hampir habis, hingga dasar mangkuknya sudah mulai terlihat. Anak lelaki kecil itu memanggilku, “sudah selesai, mbak”. Tak lama kemudian katanya lagi, “terima kasih, mbak”. Ku lihat ia pergi dengan senang, mungkin karena dilihatnya aku sangat senang.
Pukul 14.55. Semangkuk es kacang merah tandas sudah. Aku belum lagi bangkit dari dudukku. Masih melihat sekeliling sambil tersenyum. Akhirnya kuputuskan untuk pergi juga. Dengan hati senang kutinggalkan tempat ini.
Ya, aku sedang senang. Karena di sini, saat ini, aku sedang merayakan sesaat kebebasan, perlawanan, dan pembangkangan dari sebuah rutinitas :-)
Subscribe to:
Posts (Atom)