Beberapa waktu yang lalu, saya lagi keisengan, buka halaman haloscan.com – sistem komenting yang saya pakai duluuuu sekali (tahun 2003-2004 an) sebelum Blogger punya komsis-nya sendiri. Iseng-iseng keterusan, coba-coba log-in (duh takjub, username dan passwordnya ternyata benar, hahaha), dan lalu jadi kaget… “Haaah… komen-komen saya masih ada?!” Dulu aja, waktu masih pakai haloscan itu, komen-komen yang sudah lewat empat bulan otomatis hilang. Eh sekarang, setelah bertahun-tahun gak dipakai, malah terarsip dengan rapi.
Dan mulailah saya bernostalgia membaca sekilas komen-komen lawas itu. Hahaha, lucuuu! Itu adalah jaman ketika belum banyak orang menulis blog. Jaman ketika ngasih komen ke seluruh blog yang kita kenal masih terasa ringan (ya, seenggaknya saya saat itu ketagihan memberi dan menerima komen, hehehe). Jaman ketika komen-komen nge-junk -- seperti "Pertama!!! *jingkrak-jingkrak*" -- masih saya baca dengan senyum lebar (soalnya saya kadang juga suka nge-junk gituloh). Jaman ketika komen plesetan cerdas sangat ditunggu-tunggu, karena bisa bikin saya ketawa ngakak berguling-guling (hihihi ini hiperbola sih). Oh, btw, kalo mau tahu jenis-jenis komentar blog bisa baca di blognya Nita.
Tapiiii… ada satu hal lagi yang lebih bikin saya terpana: duluuuu saya terlihat jauh lebih ramah. Karena duluuu… hampir setiap komentar saya balas satu-persatu. Oops ntar dulu nih… TERLIHAT? Hmm… setidaknya begitu kelihatannya di mata saya (versi sekarang). Dan itu bisa berarti saya yang sekarang terlihat lebih tidak ramah… hehehe… Walaupun yang 'terlihat' itu belum tentu benar, sih -- baik yang dulu maupun yang sekarang (hehehe lagi…).
Btw, komen-komen jadul itu saya pasang lagi untuk posting-posting yang juga jadul itu. Kali-kali aja ada yang iseng pengen membandingkan. :p
Jalan Bercabang Dua
"Di dekat rumahku ada jalan yang lucu," katanya padaku tiba-tiba di tengah-tengah kebisuan kami. Lalu ia pun bercerita.
Ada persimpangan di jalur yang dilewatinya setiap pagi. Simpang jalan yang lucu. Sebuah jalur searah untuk tiga mobil kemudian memecah menjadi dua buah jalan yang lebih kecil, seperti huruf Y. Kita sebut saja kedua jalan yang lebih kecil itu, jalan baru dan jalan lama. Kedua jalan tersebut terbentang bersisian, berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh deretan bangunan. Lucunya, setelah sekitar satu kilometer, ujung kedua jalan itu akan kembali bertemu. Dan di antara deretan-deretan bangunan yang memisahkan kedua jalan tersebut, kadang masih ada tanah lapang yang kosong, sehingga para pelaju di salah satu jalan bisa memandang ke jalan yang satunya lagi untuk membandingkan tingkat kemacetan. Hanya saja jarak masih terlalu jauh, sehingga sulit untuk bisa saling melambai tangan.
Tahun lalu, dan selama bertahun-tahun sebelumnya, ia selalu melewati jalan yang di sebelah kiri, yaitu jalan yang lama. Tentu saja, karena dulu jalan yang baru belum ada. Ketika itu, jalan yang lama selalu padat sewaktu ia melewatinya di pagi hari. Kendaraan harus lewat dengan tersendat-sendat. Kini, ia selalu memilih yang baru. Namanya juga baru, jalannya terasa lebih mulus untuk melaju. Padahal ia tahu, kedua jalan toh berakhir di satu ujung yang sama.
---
"Suatu hari, mendadak aku ingin mengambil jalan lama di sebelah kiri," jelasnya padaku.
Impulsif saja, katanya. Mungkin kangen suasananya, ia mencoba memberi penjelasan yang lebih rasional (atau malah gak rasional, ya?). Ia kangen orang-orang yang ada di sisi jalan yang itu. Di situ, katanya lagi, ada sebuah bangunan sekolah dasar. Ada bapak-bapak tua bertubuh kecil -- lengkap dengan papan rambu-rambu, topi, dan peluit -- bertugas tiap pagi menghentikan kendaraan sejenak untuk menyeberangkan anak-anak sekolah. Ada rumah sangat-sangat besar dengan pagar tinggi dan papan di gerbang bertuliskan: hati-hati banyak anak-anak. Ia bilang, kata orang-orang -- karena ia belum pernah melihat sendiri -- rumah itu adalah milik seorang kaya pemurah yang punya banyak sekali anak asuh. Lalu ada lagi sebuah rumah bergaya tahun tujuh puluhan berhalaman luas, dengan seekor anjing yang berlari-lari di sana. Yah, pokoknya ia mendadak kangen dengan semua itu. Terutama anak-anak sekolah dan bapak tua penyeberang jalan itu, tegasnya lagi.
"Tapi hidup itu lucu. Benar kata orang-orang itu. Hidup memang sungguh lucu," ia berkata sambil tersenyum samar dengan pandangan yang menerawang.
"Kau tahu apa yang lalu terjadi?" tanyanya kemudian yang tentu saja aku jawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.
Belum juga sampai separuh jalan, tiba-tiba ada pengendara motor yang melambai padanya dan memberi tahu bahwa ban mobilnya bocor. Yup, bocor blas, katanya. Ada dua buah paku menancap di ban kiri belakang kendaraannya. Paku yang sengaja disebar, terbuat dari jari-jari payung yang diruncingkan. Ranjau-ranjau yang sudah menemukan korbannya.
---
"Hidup itu lucu, kan?" Entah itu tanya atau pernyataaan yang minta dukungan.
Aku manggut-manggut. Iya. Hidup itu memang lucu. Selucu jalan bercabang dua di dekat rumahnya. Jalan yang, mau tak mau, harus dipilihnya jika ingin terus. Ia tak pernah tahu apa yang akan ditemuinya di cabang pilihannya. Pun ketika ia telah akrab dengan kedua jalan itu. Pun ketika ia tahu bahwa keduanya akan berujung pada satu muara yang tak beda.
"Kau tahu apa yang lebih lucu lagi?" tanyanya kembali yang -- sekali lagi -- tentu kujawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.
"Setelah ban gembos, aku baru sadar, kalau ternyata hari itu sekolah sudah libur. Tak ada anak-anak sekolah dan si bapak tua penyeberang jalan."
Ada persimpangan di jalur yang dilewatinya setiap pagi. Simpang jalan yang lucu. Sebuah jalur searah untuk tiga mobil kemudian memecah menjadi dua buah jalan yang lebih kecil, seperti huruf Y. Kita sebut saja kedua jalan yang lebih kecil itu, jalan baru dan jalan lama. Kedua jalan tersebut terbentang bersisian, berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh deretan bangunan. Lucunya, setelah sekitar satu kilometer, ujung kedua jalan itu akan kembali bertemu. Dan di antara deretan-deretan bangunan yang memisahkan kedua jalan tersebut, kadang masih ada tanah lapang yang kosong, sehingga para pelaju di salah satu jalan bisa memandang ke jalan yang satunya lagi untuk membandingkan tingkat kemacetan. Hanya saja jarak masih terlalu jauh, sehingga sulit untuk bisa saling melambai tangan.
Tahun lalu, dan selama bertahun-tahun sebelumnya, ia selalu melewati jalan yang di sebelah kiri, yaitu jalan yang lama. Tentu saja, karena dulu jalan yang baru belum ada. Ketika itu, jalan yang lama selalu padat sewaktu ia melewatinya di pagi hari. Kendaraan harus lewat dengan tersendat-sendat. Kini, ia selalu memilih yang baru. Namanya juga baru, jalannya terasa lebih mulus untuk melaju. Padahal ia tahu, kedua jalan toh berakhir di satu ujung yang sama.
---
"Suatu hari, mendadak aku ingin mengambil jalan lama di sebelah kiri," jelasnya padaku.
Impulsif saja, katanya. Mungkin kangen suasananya, ia mencoba memberi penjelasan yang lebih rasional (atau malah gak rasional, ya?). Ia kangen orang-orang yang ada di sisi jalan yang itu. Di situ, katanya lagi, ada sebuah bangunan sekolah dasar. Ada bapak-bapak tua bertubuh kecil -- lengkap dengan papan rambu-rambu, topi, dan peluit -- bertugas tiap pagi menghentikan kendaraan sejenak untuk menyeberangkan anak-anak sekolah. Ada rumah sangat-sangat besar dengan pagar tinggi dan papan di gerbang bertuliskan: hati-hati banyak anak-anak. Ia bilang, kata orang-orang -- karena ia belum pernah melihat sendiri -- rumah itu adalah milik seorang kaya pemurah yang punya banyak sekali anak asuh. Lalu ada lagi sebuah rumah bergaya tahun tujuh puluhan berhalaman luas, dengan seekor anjing yang berlari-lari di sana. Yah, pokoknya ia mendadak kangen dengan semua itu. Terutama anak-anak sekolah dan bapak tua penyeberang jalan itu, tegasnya lagi.
"Tapi hidup itu lucu. Benar kata orang-orang itu. Hidup memang sungguh lucu," ia berkata sambil tersenyum samar dengan pandangan yang menerawang.
"Kau tahu apa yang lalu terjadi?" tanyanya kemudian yang tentu saja aku jawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.
Belum juga sampai separuh jalan, tiba-tiba ada pengendara motor yang melambai padanya dan memberi tahu bahwa ban mobilnya bocor. Yup, bocor blas, katanya. Ada dua buah paku menancap di ban kiri belakang kendaraannya. Paku yang sengaja disebar, terbuat dari jari-jari payung yang diruncingkan. Ranjau-ranjau yang sudah menemukan korbannya.
---
"Hidup itu lucu, kan?" Entah itu tanya atau pernyataaan yang minta dukungan.
Aku manggut-manggut. Iya. Hidup itu memang lucu. Selucu jalan bercabang dua di dekat rumahnya. Jalan yang, mau tak mau, harus dipilihnya jika ingin terus. Ia tak pernah tahu apa yang akan ditemuinya di cabang pilihannya. Pun ketika ia telah akrab dengan kedua jalan itu. Pun ketika ia tahu bahwa keduanya akan berujung pada satu muara yang tak beda.
"Kau tahu apa yang lebih lucu lagi?" tanyanya kembali yang -- sekali lagi -- tentu kujawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.
"Setelah ban gembos, aku baru sadar, kalau ternyata hari itu sekolah sudah libur. Tak ada anak-anak sekolah dan si bapak tua penyeberang jalan."
Hujan Semalam
Mari kita rayakan hujan. Butir-butiran segar yang turun menyiram bumi. Setelah sekian lama kering menguningkan rumput-rumput, meluruhkan daun-daun, menggunduli ranting-ranting. Setelah beberapa mendung tapi tak hujan.
Semalam hujan luruh menderas selepas magrib. Mengharumi tanah. Menguar aroma basah. Angin menggoyang cabang-cabang kencang. Daun-daun, ranting-ranting menari bersama.
Mari kita rayakan hujan. Duduklah sebentar di teras bersamaku. Kita menyanyi berdua. Lagu kesukaan kita, yang sudah lama tak kita dendangkan. Ayo kita bersimpuh di beranda. Menghitung kodok-kodok yang bermunculan dan berlompatan di pekarangan. Mendengar bunyi air yang turun dari ujung talang. Membiarkan wajah menyegar disapa angin yang basah.
Mari kita rayakan hujan. Bersama daun-daun. Ranting-ranting. Pohon-pohon. Rumput-rumput. Kodok-kodok. Tanah basah. Desau angin. Bersama kita melisan syukur.
Semalam hujan luruh menderas selepas magrib. Mengharumi tanah. Menguar aroma basah. Angin menggoyang cabang-cabang kencang. Daun-daun, ranting-ranting menari bersama.
Mari kita rayakan hujan. Duduklah sebentar di teras bersamaku. Kita menyanyi berdua. Lagu kesukaan kita, yang sudah lama tak kita dendangkan. Ayo kita bersimpuh di beranda. Menghitung kodok-kodok yang bermunculan dan berlompatan di pekarangan. Mendengar bunyi air yang turun dari ujung talang. Membiarkan wajah menyegar disapa angin yang basah.
Mari kita rayakan hujan. Bersama daun-daun. Ranting-ranting. Pohon-pohon. Rumput-rumput. Kodok-kodok. Tanah basah. Desau angin. Bersama kita melisan syukur.
Subscribe to:
Posts (Atom)