Jakarta Kafe, Sebuah Paket

Sebuah paket sampai beberapa waktu yang lalu. Dari seseorang yang sebenarnya tak begitu saya kenal. Selama ini, saya dan dirinya, terhubung oleh beberapa email dan satu kali pertemuan saja. Ia yang saya panggil dengan sebutan Mbak. Email-emailnya mengesankan seseorang yang ramah. Satu kali pertemuan membuat dirinya terkesan sangat ekspresif. Kini sebuah paket, membuat kesan saya bertambah lagi: ia sangat senang membuat kejutan! :).

Paket itu, terbungkus dalam amplop berwarna coklat, sempat kembali ke atas mejanya beberapa minggu yang lalu dengan catatan ‘alamat tidak lengkap’. Akhirnya sampai juga di tangan saya yang -- karena penasaran ingin tahu apa isinya -- langsung merobek bungkusnya dengan tak sabar. Sebuah kalender meja 2005 dan sebuah buku kumpulan cerpen. Di halaman pertama buku itu tertulis… Pro: Neenoy, happy new-year 2005… dan sebuah paraf namanya.

Saya tidak langsung menyadari bahwa buku itu adalah karyanya. Selama ini saya mengenalnya dengan sebuah nama yang berbeda dari nama pengarang yang tertulis di sampul buku. Namun setelah membaca profil pengarang (tanpa foto), menemukan beberapa hal yang bisa dihubung-hubungkan, dan tentunya dengan pertanyaan yang kemudian dibenarkan olehnya; jelaslah semua: pengirim dan pengarang buku adalah orang yang sama.

Sekali lagi terima-kasih, Mbak (Tatyana)! Saya suka dua-duanya: kejutannya dan juga bukunya. Terima-kasih, ya…

***

Jakarta Kafe
– kumpulan cerita
Tatyana
Gramedia Pustaka Utama, 2004

Buku ini berisi lima belas cerita pendek yang mengambil tempat di – atau setidaknya berhubungan dengan – kafe.

Kenapa saya menyukainya? Mungkin karena tuturnya yang sederhana tapi seperti membuai. Mungkin karena banyak tokoh dalam cerita terasa dekat dengan diri saya, yaitu lelaki atau perempuan tiga puluh sekian tahun yang sudah berkeluarga. Atau karena kisah-kisahnya adalah fragmen nyata dari orang-orang yang mungkin saya kenal: pekerja kantor dalam bis kota, duduk sendiri di kafe sambil mendengar percakapan pengunjung lain, mantan suami-istri yang bergiliran mengasuh anak, mendengar kisah sahabat yang akan bercerai, dsb. Mungkin juga karena kekuatan deskripsi dari settingnya. Sebuah bis yang penuh padat berjalan di tengah kemacetan dan hujan deras, terasa begitu nyata. Sebuah kafe terasa utuh dengan aktifitas orang-orang yang ada di dalamnya, alunan musik yang tenang, lirik-lirik lagu yang sekali-kali tergumam.

Bagaimanapun, saya rasa komentar Reda Gaudiamo di sampul belakang, sangat tepat menggambarkan isi buku ini:

Seperti suasana kafe yang tenang, dengan alunan lagu samar terdengar, jauh dari kesan ramai. Tetapi justru di balik ketenangan itu tersimpan banyak hal. Tepatnya, segala faset yang sangat akrab dengan keseharian kita. Dengan gaya bercerita yang mengalir, bahkan terkadang seperti orang bergumam, Tatyana mengajak kita duduk. Mengobrol ringan dengan suara rendah, tentang perempuan, anak, kekasih, keluarga, kerja, juga tentang being single... Menengok hari silam, membayangkan hari esok. Tanpa luapan emosi berlebihan. Sesuatu yang sudah lama tak sempat dilakukan banyak orang. Terutama oleh perempuan kota...


update, on April 8, 2005

Review "Jakarta Kafe" lain , bisa di lihat di Sriti.com

Apa Bedanya?



Minggu pagi yang cerah, kita berjalan di taman. Mengikuti jalan setapak perlahan, lenganmu menggandeng lenganku. Kita melintasi sepasang remaja yang duduk di bangku taman. Tak berniat mencuri dengar, kata-kata si gadis tertangkap olehku cukup jelas, “Apa sih bedanya cinta dan sayang?”

Kita terus berjalan pelan. Tiba-tiba kau berbisik padaku, “Apa kita dulu pernah senorak mereka tadi?”

Aku terkekeh. Ternyata kau juga mendengarnya. “Tentu. Kau lupa?”

“Tidak, aku tidak lupa kau pernah senorak itu,” katamu tersenyum menggodaku.

“Jadi menurutmu, apa sih bedanya cinta dan sayang?”

“Apakah kedua hal itu masih ada bedanya buat kita, Nek?”

Sambil tersenyum, aku merapatkan lenganku padamu.



Flash-fiction 100 kata ini seharusnya
untuk meramaikan acaranya Blogfam.
Tapi hihihi… kelupaan ngirimnya.
Ya, sudah… diposting di blog aja, dalam rangka Valentine :p

Identitas



Sebagian orang memilih untuk menjadi anonim dalam blognya. Ada saat-saat aku juga berharap menjadi anonim, tanpa nama, tanpa jati-diri. Sudah terlambat. Dua tahun lebih memelihara blog ini, identitasku bertebaran di mana-mana. Memang sih, tidak ada profil detail yang aku tulis. Hanya saja bila ada seseorang yang terlalu iseng menelusuri satu persatu postingku sejak awal hingga kini, ia akan mendapatkan cukup banyak data tentang diriku. Dari nama hingga tanggal-tanggal khusus… dari kegemaran hingga ukuran sepatu? Untung yang terakhir itu belum pernah kutulis.

Burukkah itu?

Terapi Membaca

Dulu pada data diri di bagian kanan blog ini, saya menambahkan pernyataan bahwa saya suka membaca. Lalu saya hapus karena saya malu sendiri dengan pernyataan itu. Kenyataannya saya mengalami penurunan dalam minat dan kemampuan membaca. Setumpuk buku di atas rak, tebal dan juga tipis, hanya terbaca beberapa halaman pertamanya saja. Beberapa lagi malah nyaris belum pernah dibuka.

Seorang teman dulu sekali pernah berkata bahwa buku yang belum dibaca itu seperti hutang. Ia merasa bersalah setiap kali melihat buku-buku itu. Saya hanya tertawa mendengar pernyataannya. Ketika itu, buku yang tidak pernah saya baca sampai selesai hanya buku-buku kuliah saja, dan saya (hampir) sama sekali tidak merasa bersalah karenanya.

Sejak mengalami penurunan kemampuan membaca, saya jadi tahu bagaimana perasaan teman saya itu. Saya memandang buku-buku tak terbaca dengan perasaan bersalah, terutama sih karena telah mengeluarkan uang percuma untuk membelinya. Saya juga akhirnya berhenti membeli buku-buku baru, karena toh saya masih punya hutang untuk menuntaskan yang lama.

Itu terjadi sampai sekitar dua bulan yang lalu, ketika suatu hari membelikan buku untuk si kecil di toko buku yang tidak terlalu jauh dari rumah. Toko buku itu pasti sengaja ya, menempatkan rak buku anak-anak di bagian paling belakang, sehingga orang tua yang mengantar harus terlebih dulu melewati tumpukan buku-buku yang menggiurkan. Saya jadi tergoda…

Saya akhirnya mulai menjalankan terapi membaca. Tentunya saya memulai terapi ini dengan buku-buku yang ringan terlebih dulu. Saya masih trauma dengan buku tebal, bertempo lambat, apalagi bermuatan filsafat atau lain-lain yang terlalu sulit dicerna otak saya. Tak terasa dua bulan ini saya nyaris tenggelam lagi dalam lembar-lembar buku. Beberapa buku yang saya baca cukup menarik. Ada yang sangat bagus malah.

***

Sebenarnya saya sedang tidak tahu hendak menulis apa di blog ini. Tapi ternyata saya sudah menelantarkan blog ini terlalu lama. Mungkin, bila nanti saya masih belum menemukan hal-hal menarik (bagi saya) untuk ditulis di sini, saya akan menulis ulasan beberapa buku saja. Mungkin lho…