Sebab Ibu menyukainya.
Sekali waktu aku menuntut jawaban yang lebih dari itu. Ibu lalu akan menambahkan,
Rheia. Namamu itu terdengar merdu…
Lalu terkadang aku akan kembali bertanya. Apa arti namaku?
Maka Ibu akan kembali bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan nama itu.
Namamu adalah nama seorang dokter di rumah sakit tempat kamu dilahirkan. Nama satu-satunya dokter perempuan yang ada di daftar nama dokter yang terpajang di ruang tunggu rumah sakit itu. Ibu tak ingat nama panjangnya. Tapi ibu suka sekali dengan nama depannya. Rheia. Berkali-kali Ibu mencoba mengucapkannya dengan berbagai intonasi. Bergumam, nada memanggil, bertanya, berseru… Tetap cantik. Rheia…reia... rreiyaa… Merdu bukan? Waktu kamu lahir, hanya nama itu yang muncul di benak Ibu. Maka namamu Rheia.
Aku menyukai namaku. Rheia. Makin menyukainya ketika nama itu kutemukan dalam sebuah buku yang kubaca ketika SD dulu. Buku mitologi yunani yang dipinjamkan oleh Bening.
Rheia. Rhea. Ibu. Bunda para dewa.
Dari sebuah laci: sepotong cerita yang belum dan entah kapan akan selesai...
Pada suatu siang menjelang sore, seorang bocah laki-laki bermain sendiri di sebuah taman kota. Berlari secepat kilat menuruni tanah yang cukup terjal. Melompati perdu. Berbaring di rumput menatap langit. Mungkin berhayal jadi burung terbang. Atau mungkin pula sekedar bosan. Sudah sangat sering ia bermain di sana. Ia sudah hapal setiap tanjakan, turunan, celah perdu, pagar, kolam, rumput, debu, dan batu. Sore masih panjang. Orang masih ramai berlalu lalang. Sang ayah masih menjaja minuman ringan di depan taman.