Jalan Bercabang Dua

"Di dekat rumahku ada jalan yang lucu," katanya padaku tiba-tiba di tengah-tengah kebisuan kami. Lalu ia pun bercerita.

Ada persimpangan di jalur yang dilewatinya setiap pagi. Simpang jalan yang lucu. Sebuah jalur searah untuk tiga mobil kemudian memecah menjadi dua buah jalan yang lebih kecil, seperti huruf Y. Kita sebut saja kedua jalan yang lebih kecil itu, jalan baru dan jalan lama. Kedua jalan tersebut terbentang bersisian, berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh deretan bangunan. Lucunya, setelah sekitar satu kilometer, ujung kedua jalan itu akan kembali bertemu. Dan di antara deretan-deretan bangunan yang memisahkan kedua jalan tersebut, kadang masih ada tanah lapang yang kosong, sehingga para pelaju di salah satu jalan bisa memandang ke jalan yang satunya lagi untuk membandingkan tingkat kemacetan. Hanya saja jarak masih terlalu jauh, sehingga sulit untuk bisa saling melambai tangan.

Tahun lalu, dan selama bertahun-tahun sebelumnya, ia selalu melewati jalan yang di sebelah kiri, yaitu jalan yang lama. Tentu saja, karena dulu jalan yang baru belum ada. Ketika itu, jalan yang lama selalu padat sewaktu ia melewatinya di pagi hari. Kendaraan harus lewat dengan tersendat-sendat. Kini, ia selalu memilih yang baru. Namanya juga baru, jalannya terasa lebih mulus untuk melaju. Padahal ia tahu, kedua jalan toh berakhir di satu ujung yang sama.

---

"Suatu hari, mendadak aku ingin mengambil jalan lama di sebelah kiri," jelasnya padaku.

Impulsif saja, katanya. Mungkin kangen suasananya, ia mencoba memberi penjelasan yang lebih rasional (atau malah gak rasional, ya?). Ia kangen orang-orang yang ada di sisi jalan yang itu. Di situ, katanya lagi, ada sebuah bangunan sekolah dasar. Ada bapak-bapak tua bertubuh kecil -- lengkap dengan papan rambu-rambu, topi, dan peluit -- bertugas tiap pagi menghentikan kendaraan sejenak untuk menyeberangkan anak-anak sekolah. Ada rumah sangat-sangat besar dengan pagar tinggi dan papan di gerbang bertuliskan: hati-hati banyak anak-anak. Ia bilang, kata orang-orang -- karena ia belum pernah melihat sendiri -- rumah itu adalah milik seorang kaya pemurah yang punya banyak sekali anak asuh. Lalu ada lagi sebuah rumah bergaya tahun tujuh puluhan berhalaman luas, dengan seekor anjing yang berlari-lari di sana. Yah, pokoknya ia mendadak kangen dengan semua itu. Terutama anak-anak sekolah dan bapak tua penyeberang jalan itu, tegasnya lagi.

"Tapi hidup itu lucu. Benar kata orang-orang itu. Hidup memang sungguh lucu," ia berkata sambil tersenyum samar dengan pandangan yang menerawang.

"Kau tahu apa yang lalu terjadi?" tanyanya kemudian yang tentu saja aku jawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.

Belum juga sampai separuh jalan, tiba-tiba ada pengendara motor yang melambai padanya dan memberi tahu bahwa ban mobilnya bocor. Yup, bocor blas, katanya. Ada dua buah paku menancap di ban kiri belakang kendaraannya. Paku yang sengaja disebar, terbuat dari jari-jari payung yang diruncingkan. Ranjau-ranjau yang sudah menemukan korbannya.

---

"Hidup itu lucu, kan?" Entah itu tanya atau pernyataaan yang minta dukungan.

Aku manggut-manggut. Iya. Hidup itu memang lucu. Selucu jalan bercabang dua di dekat rumahnya. Jalan yang, mau tak mau, harus dipilihnya jika ingin terus. Ia tak pernah tahu apa yang akan ditemuinya di cabang pilihannya. Pun ketika ia telah akrab dengan kedua jalan itu. Pun ketika ia tahu bahwa keduanya akan berujung pada satu muara yang tak beda.

"Kau tahu apa yang lebih lucu lagi?" tanyanya kembali yang -- sekali lagi -- tentu kujawab dengan tatapan mana-aku-tahu-ya-kamu-kasih-tahu-dong.

"Setelah ban gembos, aku baru sadar, kalau ternyata hari itu sekolah sudah libur. Tak ada anak-anak sekolah dan si bapak tua penyeberang jalan."

11 comments:

Anonymous said...

ya, hidup itu memang lucu
:)
jadi pengen tahu ini jalan di daerah mana bun?

Anonymous said...

betoel bun.. hidup memang lucu sekali. Dan 2 minggu terakhir ini saya juga sedang tertawa...getir...

Anonymous said...

syarat simbol dan makna.
Ada getirnya juga di sana

--durin--

Anonymous said...

lama, baru. lama, baru.

yang lama pernah membuat hati merana.

maka aku pergi mencari yang baru.

tapi yang baru pun lama-lama bakal menjadi lama.

ah.
baru.
lama.
lama.
baru.
ah.

DIDIT said...

Kapan sih hidup kita ini pernah tidak pernah tidak lucu

(majalah Tempo pernah menulis tahun 80an, kapan sih kita pernah tidak pernah tidak tuntas)

Arkhadi Pustaka said...

Just one word as always: KUEERRREEEEENNNN !!!!

dy said...

iya, lucu noy... tapi ulasannya sarat isi lho , ok bgt :)

Anonymous said...

dalem ya,eh..yang ini beneran apa saya yang salah baca ya? 'ada seorang pengendara "motor" yang melambai dan memberi tahu bahwa ban "mobil"nya bocor'?
(tw blog ini dari mas arka, keren)

Anonymous said...

kisah realis, diceritakan sedemikian rupa sampe jadi misterius nih

Hani said...

trus dia nambal bannya dimana bun...

neenoy said...

atta:
di deket rumahnya, tta, di seputaran lenteng agung ;)

aprian:
konon, ketawa getir itu malah salah satu resep sehat rohani. konon, lho... :)

durin:
ah... :)

gre:
lama... baru... ayo, dirimu pilih yang mana? :D

didit:
kapan-kapan? :)

arka:
hehehe... thanks :)

dy:
aih, jadi mau malu

riska:
tapi bukan daleman, kan? :)

kalimatnya mbingungin ya? iya, nih, kebanyakan 'ia' sih. yang nulis juga rada lieur... :p
maksudnya gini:
pengendara motor melambai kepada 'ia' (=si pengendara mobil, tokoh utama dalam cerita), memberi tahu bahwa ban mobil si 'ia' (pengendara mobil) kempes. begitcu...

hendra:
hihihi, ini memang cerita nyata. tapi masak sih jadi berkesan misterius?

hani:
cerita selanjutnya gini: karena masih belum terlalu jauh dari rumahnya, dia telepon bala-bantuan alias suaminya gituloh, buat bantuin gantiin ban... huuehehehe