Kuakui



Aku bukan tipe orang yang mudah bersosialisasi. Bisa, tapi pada dasarnya aku memang menyenangi kesendirian. Dan cukup puas dengan kesendirian. Bukan tak ingin teman, tapi seringkali sudah merasa cukup dengan sedikit saja.

Mungkin karena menjadi bungsu yang terlambat, aku menikmati bermain sendiri ketika kecil dulu. Mungkin jadi ‘tunggal’ untuk sementara waktu, membuat aku tumbuh seperti itu. Mungkin juga bukan karena itu. Mungkin hanya karena aku.

Aku menyukai kesendirian. Mungkin itu pula jadi penjelasan mengapa aku dapat menikmati hubungan jarak-jauh kami kini; karena memberikan sangat banyak ruang dan waktu untuk diriku sendiri.

Aku memang bukan tipe orang yang mudah bersosialisasi. Bahkan di dunia maya ini sepertinya aku pun begitu… :-)

Promosi: Holiday Camp Sekolah Alam Ciganjur






Noy, numpang promosi seperti biasa,he-he... utk liburan juli ini di SA ada holiday camp. Buat temen-temennya Neenoy yang punya anak atau ponakan, ada hadiah liburan yang menarik buat mereka : nyobain sekolah di SA selama 5 hari! Kegiatannya seru-seru lho! Yang tertarik silakan kirim e-mail ke saya. Thanks.

Itoy
(luthfita@cbn.net.id)



UPDATE


Mohon maaf, karena satu dan lain hal rencana kegiatan Holiday Camp di SA belum bisa dilaksanakan pada liburan sekolah Juli ini. Tapi buat yang pengen main ke Sekolah Alam, silakan datang kapan saja... ke Jl. Anda 7x (depan Kelurahan Ciganjur) atau bisa datang Sabtu, 3 Juli 2004 karena insya Allah hari itu SA bekerjasama dengan Montage World dari British Council Indonesia akan mengadakan Science Fair.

Itoy

Jadi Guru

(Bukan gue banget deh… )

Jadi guru, seingat saya tidak pernah ada dalam daftar cita-cita saya ketika kecil dulu. Tidak pernah… entah kenapa. Ketika kuliah pun tidak pernah terlintas keinginan untuk mendaftar jadi asisten dosen. Tidak pernah… terutama karena tidak pede.

Namun minggu lalu saya akhirnya sempat menjadi ‘guru’ juga. Tawaran dari my luvly sister untuk mengajar keramik di playgroup Sekolah Alam Ciganjur, tidak perlu membuat saya sampai berpikir seribu kali. Lha… kan muridnya anak-anak kecil lucu yang umurnya paling dua tahun lebih tua dari Obin. Masak sih gitu aja gak pede?

Maka jadilah saya ‘guru’ selama tiga hari, ‘mengajar’ tiga kelas playgroup, mengenalkan bentuk-bentuk geometris sederhana sambil bermain tanah liat. Anak-anak itu diperkenalkan pada tanah liat, merasakan dan mencoba membentuknya dengan teknik cetak, membuatnya jadi bentuk-bentuk lingkaran, bujur-sangkar, persegi-panjang, dan segi-tiga. Sengaja dipilih teknik cetak karena ini yang paling mudah. Namun bagi anak seumuran playgroup masih saja tetap harus dibantu untuk melakukannya. Hihihi… ternyata lumayan repot. Untung sudah diantisipasi dulu dengan memberikan ‘kursus kilat keramik’ buat bapak dan ibu guru lain, sehingga mereka bisa membantu saya.

Mengajar, harus saya akui tidak mudah, karena bukan semata proses temu-muka di ruang kelas. Ada proses lain di awal dan juga sesudahnya. Untuk ‘mengajar’ selama satu-jam-kali-tiga-hari ini saja, banyak persiapan yang harus saya lakukan. Menyiapkan bahan dan alat; satu hari penuh saya luangkan hanya untuk membuat dua puluh cetakan dari gips (soalnya bikin cetakannnya juga masih sambil belajar, makanya lama :p). Selama tiga hari, setiap selesai ‘mengajar’, saya membawa pulang dan ‘merapikan’ hasil cetakan anak-anak itu untuk memastikan hasil karya mereka tidak pecah ketika dibakar. Belum selesai sampai di situ, saya juga masih harus mewarnai dengan glasir kurang lebih dua ratus keping tanah liat kering. Belum juga selesai, kemudian saya masih harus menunggui proses pembakarannya selama sembilan jam, tidak bisa ditinggal karena harus tetap dikontrol dan dinaikkan suhunya setiap sepuluh menit. Yap, mengajar itu ternyata… *menarik napas* … memang tidak mudah dan cukup melelahkan…

Namun semua kelelahan itu rasanya terbayar…. Ketika melihat binar ingin tahu di mata-mata mungil saat saya memberi contoh. Ketika mendengar pekik-pekik kecil “Aku! Aku! Aku mau! Aku mau!”, waktu saya bertanya siapa yang mau mencoba mencetak. Ketika melihat tangan-tangan mungil bergegas memadatkan tanah liat dalam cetakan gips dan tak sabar untuk bertukar cetakan dengan temannya. Ketika mendengar celoteh-celoteh polos “Apa sih itu? Lilin ya?” atau “Ihhh… tanahnya dingin…” atau “Nanti kalau udah dibakar, bisa dimakan!”. Dan ketika sedang berjalan di halaman sekolah, tubuh-tubuh kecil yang sedang asyik bermain itu menyempatkan menyapa saya, “Bunda, terima kasih! Terima kasih, Bu! Terima kasih, ya…”. Maka terbayar sudah semua. Lunas.

Akhirnya Kami Menemukannya!

Di Minggu pagi itu. Setelah memelototi isi seluruh kios yang terlintas di pikiran, setelah bolak-balik mencarinya di antara barang dagangan si kaki lima, setelah penat berjalan kaki dan menggendong si kecil yang lelah berjalan, setelah akhirnya meninggalkan pasar tradisional itu dengan bersungut-sungut, setelah bertanya pada ibu pemilik toko kecil yang menjual celengan tanah-liat di pinggir jalan… akhirnya kami menemukannya! YA, AKHIRNYA KAMI MENEMUKANNYA!! Kami menemukannya di sudut belakang pasar yang telah kami tinggalkan itu. Di sebuah sudut yang sungguh tak terpikirkan oleh kami…

Di kios yang menjual makanan ringan itu kami bertanya ragu. Si penjual, yang tubuhnya berada di antara tumpukan barang dagangannya, menunjukkan tangannya pada salah satu dari banyak barang yang tergantung di hadapan kami. “Yang itu?” tanyanya kembali. YA! ITU DIA!

Tube-tube dari timah itu kecil ukurannya, tak lebih panjang dari dua ruas jari telunjukku (yang juga kecil). Tube-tube itu terbungkus kertas bercetak dengan kombinasi warna-warni yang menyolok; kuning, biru, hijau, atau merah. Kami pun langsung membeli satu pak tube itu dan membawanya pulang. Angkot merah yang kami naiki terasa berjalan lebih lambat dari biasanya hingga akhirnya ia berhenti juga di depan jalan yang menuju tempat tinggal kami.

Tak sabar, sesampai di teras rumah, bungkusan berkantong plastik hitam itu segera kami buka dan pamerkan pada penghuni rumah yang lain. Suara-suara tawa segera terdengar. Tangan-tangan satu persatu meraih sebuah tube. Tube timah kecil yang terbungkus kertas bercetak warna-warni cerah. Tangan-tangan meraih plastik tabung kecil berwarna kuning. Tangan-tangan membuka tube timah, merobek bagian atasnya atau membuka lipatan di bagian bawahnya. Bebauan tajam yang sangat khas mulai tercium bersamaan dengan keluarnya isi tube yang kental, bening, berwarna hijau atau merah.

Tak lama… gelembung-gelembung bening mulai mengembang, berterbangan, berkilauan memantulkan cahaya pagi… diiringi tawa kecil yang takjub, serta senyum dan binar mata yang menerawang masa lalu…. Ya, akhirnya kami menemukannya… gelembung-gelembung dari masa kecil….


lihatlah!

Ssstttsssss.....

eh... ada yang 'baru' lho di blognya Obin

ttd,
ayah dan bunda-nya Obin

Sukses Baginya



“Menurut kamu seperti apa itu orang yang sukses?” Begitu tanya lelaki itu -- yang baru saja kukenal dua bulan ini -- padaku. [oh, tidak… haruskah kita bercakap-cakap lagi tentang nilai-nilai hidup dan sejenisnya?]

“Sukses?” tanyaku kembali.

“Ya, menurut kamu bagaimana?”

Sukses, gumamku dalam hati. Ah, aku bisa saja menjawabnya dengan jawaban yang terdengar bijaksana, atau yang terdengar religius, atau yang terdengar materialistis, atau bahkan yang terdengar masa bodoh sekalipun… Ya, bisa saja. Aku bisa menjawab bahwa sukses itu sangat relatif. Ya, bisa saja begitu. Atau aku bisa menjawabnya dengan jawaban khas Aa Gym dan alim ulama lainnya; bahwa menilai sukses tidak boleh dari sudut pandang mata manusia, tapi harus dari sudut pandang Sang Pencipta. Ya, bisa saja kujawab begitu. Atau aku bisa menjawabnya dengan rumusan sukses versi Robert Kiyosaki; bahwa sukses itu adalah ketika dapat mencapai kebebasan finansial. Bisa juga kujawab seperti itu…

Tapi tidak… Aku tidak mau terdengar bijaksana, atau religius, atau materialistis, atau bahkan terdengar masa bodoh sekalipun. Aku bahkan tak begitu peduli apa jawabku, karena menurut perasaanku lelaki itu pun tak benar-benar peduli apa jawabku. Maka kujawab saja pendek, “Bagiku sukses itu keseimbangan.”

Sambil mencubit-cubit segumpal tanah liat di genggamannya, lelaki itu mulai berkata, “Kalau menurut rumusanku…” [ah ya… ia memang ingin berpendapat saja…]

“… tanda orang sukses adalah: kalau ia bisa dilahirkan kembali, orang itu akan memilih untuk menjadi persis dirinya yang sekarang lagi...”

“dan aku tetap mau jadi aku lagi…” lanjutnya sambil tertawa. “Habis, enak sih jadi aku!”

***

Aku seringkali tidak sependapat dengan lelaki yang usianya hampir dua puluh tahun lebih tua dariku itu. Aku pun tidak percaya pada reinkarnasi. Namun rumusan suksesnya yang nyeleneh dan unik (bagiku) mampu membuatku tercenung di sepanjang perjalanan pulang dari tempatnya, sore itu...