Suatu Sore di Jakarta

Seorang lelaki, dalam perjalanan pulang dari kantornya. Rumahnya di selatan Jakarta. Tiap sore ia hanya perlu mengendarai mobilnya sejauh dua puluh tujuh kilometer. Namun perjalanan itu akan menghabiskan waktunya paling tidak satu setengah jam. Kepadatan lalu lintas sudah menjadi hal yang biasa di kota ini. Penat telah jadi rutinitas. Sebuah rutinitas yang melelahkan.

Pikiran lelaki itu menerawang. Hari ini amat melelahkan. Hari ini bawahannya telah membuat kesalahan yang cukup fatal. Sepanjang hari ini harus ia habiskan untuk membereskan masalah itu saja. Pukul enam tiga puluh dua, lelaki itu telah meninggalkan kantor. Saat ini, dilihatnya jam tangannya telah menunjukkan pukul tujuh tepat. Pikirannya menerawang kembali. Terbayang olehnya wajah anak lelakinya. Betapa sudah lama ia tidak bermain bersama anaknya. Pasti saat ini anaknya sedang dininabobokkan oleh istrinya di kamar. Pasti ketika ia sampai di rumah kelak, anaknya telah pulas tertidur. Terbayang oleh lelaki itu tatapan istrinya sesampainya di rumah. Walaupun istrinya akan menyapa dengan ramah, ia selalu merasa dapat menangkap sirat tatapan mata istrinya. Tatapan mata yang seakan setengah menyalahkan dirinya dan setengah lagi memohon agar ia dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga. Sesuatu yang ia pun sangat menginginkannya.

Lelaki itu tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Disadarinya kaca mobil mulai terlihat kabur, dipenuhi oleh butir-butir halus air hujan. Cahaya lampu mobil dari arah yang berlawanan menjadi lebih menyilaukan. Ah, sial! Dinyalakannya wiper mobilnya. Dalam hati ia masih mengumpat hujan yang turun. Hujan berarti perjalanan pulangnya akan jauh lebih lama lagi. Ia tidak habis pikir kenapa hujan gerimis saja dapat menambah kemacetan di kota ini sedemikian rupa.

Mobilnya berjalan makin enggan, sesekali bahkan terpaksa berhenti bergerak sama sekali. Hey, mengapa truk di depan tidak juga jalan, sadarnya. Sementara kendaraan-kendaraan di lajur kirinya sudah mulai berjalan lagi. Hey, kenapa sih? Dibunyikannya klakson mobil karena tidak sabar. Namun truk itu tidak bergeming sedikit pun. Sial! Mogok mungkin? Dilihatnya jarak antara mobilnya dan truk itu sudah terlajur rapat. Dilihatnya pula dari kaca spion, mobil sedan di belakangnya juga berjarak sangat dekat. Damn!! Tidak mungkin lagi untuk pindah jalur. Dilihatnya lagi truk di depannya. Di atas bak truk yang tidak berisi barang tersebut, berdiri tiga orang laki-laki, mungkin kenek atau buruh. Tiga lelaki itu berdiri merapat ke sisi kiri bak sambil melihat ke pinggir jalan. Seseorang di antara mereka berseru dan menunjuk pada sesuatu di pinggir jalan itu.

Lelaki di dalam mobil itu makin geram. Kembali dibunyikannya klakson mobilnya. Heh, kalau truk kalian mogok, kenapa kalian tidak segera turun dan melakukan sesuatu? Hampir saja ia membuka kaca jendela, untuk memaki, ketika dilihatnya seorang lelaki berlari ke arah truk dan segera dibantu naik oleh lelaki yang di atas truk. Lelaki yang berlari itu membawa bungkusan kecil yang kemudian dibagi-bagikannya kepada teman-temannya. Apa yang mereka lakukan? Lelaki di dalam mobil itu terpana.

Truk itu pun kemudian berjalan lagi. Dan rasa kesal lelaki di mobil itu memuncak, menyadari bahwa ia harus berhenti karena menunggu seorang kenek truk yang membeli sesuatu di warung pinggir jalan. Shit!! Sambil kembali menyetir diamatinya para kenek truk itu membuka bungkusan kecil yang dilihatnya tadi. Apa itu? Apa yang mereka beli? Apa yang membuatku harus menunggu? Namun apa yang kemudian dilihatnya membuatnya semakin terpana.

Ia melihat empat orang kenek berdiri di atas bak truk yang kosong.
Ia melihat empat orang kenek membuka baju kaos mereka,
kemudian bertelanjang dada.
Ia melihat empat orang lelaki sedang mandi hujan sambil mencuci rambut mereka.
Ya, ia melihat empat orang lelaki dewasa,
di atas truk kosong yang berjalan di bawah curahan air hujan,
sedang b e r k e r a m a s dengan gembira.

Lelaki di dalam mobil itu tertegun. Terpana. Ternganga.
Tak lama kemarahannya pun sirna. Hilang. Lenyap.
Seperti busa-busa shampo yang hanyut diguyur air hujan yang semakin deras.

Tentang Sebuah Kota

Ada sebuah kota kecil di pinggir pantai di bagian tengah sebuah pulau. Di peta Indonesia pulau ini membentuk huruf K dengan tangkai bengkok ke kanan. Di kota itulah aku lahir dari rahim ibuku. Di kota itu untuk pertama kalinya aku mempergunakan paru-paruku menghirup udara pantainya, juga menjejakkan tapak pertamaku di tanahnya yang berpasir.

Namun kenanganku atas kota ini nyaris tak ada, karena aku telah meninggalkannya pada usia yang sangat dini. Yang aku punya hanyalah potongan-potongan gambar -- terbentuk dari setumpuk album foto lama dan seribu cerita yang dikisahkan sejuta kali oleh seluruh anggota keluarga. Membentuk gambaran yang sukar dibedakan dari kenangan itu sendiri.

***
Rumah kami sangat dekat dengan laut. Di halaman rumah, aku yang baru bisa berjalan, bisa memungut serpihan kerang laut di antara kerikil dan pasir. Di dekat rumah kami, kata kakak-kakakku, ada parit yang airnya mengalir ke laut. Di parit itu, mereka -- kakak dan teman-temannya akan berseluncur sepanjang siang. Atau di lain hari mereka akan bermain di tepi pantai, mengumpulkan kerang, terjun dari dak kapal, dan berenang di laut dengan menggunakan ban dalam mobil.

Salah satu tetangga kami adalah keturunan arab, Bibi Eka kami memanggilnya. Ia mempunyai sebuah warung, tempat ia memanjakan kami. Kakakku bercerita ia sering membantu Bibi Eka menjaga warungnya. Kata ibuku, aku adalah boneka kesayangan almarhumah. Sampai sekarang pun terkadang kami masih membicarakan keluarga Bibi Eka. Bahkan kami mengabadikan namanya pada sebuah resep masakan favorit kami: "sambal goreng bibi eka".

Jika lebaran tiba, rumah kami sepanjang hari, akan penuh dengan tamu, entah dari mana saja. Juga anak-anak kecil dari seluruh penjuru kota kecil itu akan berdatangan. Mereka tidak hanya bersalaman dan bersilahturahmi, tetapi dapat dipastikan akan ikut duduk, makan kue, permen, sirup, sampai juga ketupat dan makanan mengenyangkan lainnya.

Ah betapa banyaknya potongan gambar yang ada, walaupun betapa sedikitnya yang bisa kuingat...

kebun singkong di belakang rumah kami.
kandang babi milik tetangga di belakang rumah.
seekor rusa peliharaan di halaman rumah.
anak rusa.
bak penampung air hujan dari talang atap, tempat kakak-kakak mandi berendam.
telur bebek temuan.
bendi (delman) milik tetangga depan rumah.
naik bendi dengan cuma-cuma, karena si kusir sedang naksir pembantu kami.
kuku kaki kakakku yang tergilas roda bendi ketika sedang asik bermain.
anoa (babi rusa) yang mengejar kakakku.
pengasuhku yang akan menggendong dan menggoyangku dengan semangat agar aku tertidur...

Itulah sebagian dari potongan-potongan gambar yang aku punya atas kota itu, dan masih banyak potongan gambar yang lain.

***
Aku memang hanya punya 'kenangan' atas kenangan keluargaku untuk masa sekitar tiga puluh tahun silam. Namun 'kenangan' itu berkata bahwa kota itu adalah kota yang menyenangkan. Mengingat orang-orang di kota itu, berarti mengingat orang-orang yang ramah, sahabat serta kerabat yang bagai keluarga sendiri. Kota itu adalah kota yang kecil, normal, menyenangkan, dan damai.

Aku hanya punya 'kenangan' manis atasnya. Tapi entah apa yang dipunyai oleh anak-anak yang hidup di kota itu beberapa tahun terakhir ini. Adakah takut yang mereka punya? Adakah rasa sakit menyisa? Ataukah dendam?

Dan anak-anak lain dimana pun juga, di tempat-tempat yang telah didera konflik dan perang. Kenangan apakah yang akan mereka miliki tiga puluh tahun kelak, ketika mereka dewasa? Dan itupun jika mereka cukup beruntung untuk dapat tetap hidup hari ini, saat ini.

Posting ini juga untuk kakak-kakak tersayang
yang telah mencuri hak milik 'kenangan' atas kota kelahiran adikmu ini.
Gue yang lahir di sana, kalian yang punya berjuta memori tentangnya hehehe...
Btw, tidak sangka ternyata kalian pembaca setia blog ini.
I love you bro, sis...

Belajar Mencinta

Cinta, sedang naik daun, dibicarakan di sana-sini. Tapi cinta memang tema yang tidak pernah surut sepanjang sejarah peradaban manusia. Pertanyaan saya tentang cinta kali ini, terpancing setelah saya membaca beberapa cerita yang ditulis dengan begitu menarik oleh pemilik blog ini.

Tidak bisakah manusia belajar untuk mencinta?

Ngerti sih ini tidak ideal. Bukan juga seperti kamus cintanya Kahlil Gibran yang bilang bahwa jika cinta dari awal sudah tidak ada, maka ia tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.

Tapi bukankah kita manusia adalah mahluk yang belajar? Yang dianugerahi Tuhan kemampuan untuk beradaptasi yang menakjubkan? Kita manusia, meskipun tidak mudah, bukankah bahkan bisa belajar mencintai diri sendiri? Jadi tidakkah kita juga bisa belajar mencinta?

Witing tresna jalaran saka kulina, kata orang Jawa. Cinta datang karena terbiasa. Apakah hal ini hanya sekedar pepatah yang sedemikian tidak mungkin untuk diwujudkan?

(Hanya sebuah pertanyaan yang tiba-tiba begitu saja timbul dan tidak terbendung)

PENGALAMAN PRIBADI?

Saya belum lama ini membaca sebuah kata pengantar di sebuah buku:
Menulis adalah ibarat cermin. Menangkap bayangan sendiri di dalam cermin dan membiarkannya merefleksikan balik dengan sewajar-wajarnya, sejujur-jujurnya dan apa adanya. Marcel Proust, penulis Prancis ... pernah mengatakan, "semua bahan untuk karya sastra tidak lain adalah kehidupan masa lalu saya" (Clara Ng, Tujuh Musim Setahun)


Ini mengingatkan saya pada kata pengantar lain di buku yang lain:
Pengarang tak bisa bersandar hanya pada pengalaman diri sendiri, sebab alangkahnya terbatasnya pengalaman pribadi seseorang
(Ayu Utami, Saman)


Sebuah kontradiksi. Namun sebagai pembaca memang seringkali kita mempertanyakan hal itu: pengalaman pribadikah?
Sebenarnya... Adakah yang lebih baik?
Adakah yang lebih mudah?
Adakah yang lebih layak disebut maha karya?
Ah, tapi mungkin pula bukan sesuatu
yang perlu diperbandingkan dan dipertentangkan...

PELANGI

Sore hari, di sebuah jalanan padat di Jakarta, hujan turun rintik. Sementara matahari sore masih bersinar terang. Ah... bukankah di saat-saat seperti ini, alam menghadiahkan pemandangan indahnya buat kita? Saat butir-butir air membiaskan spektrum-spektrum cahaya, merangkai membentuk lengkungan warna-warni alam.

Pelangi? Di manakah pelangi? Ingin aku melihat pelangi lagi setelah entah kapan terakhir menyaksikannya. Di manakah pelanginya? Seharusnya ia ada di sebelah kiri jalan ini, karena matahari ada di kanan. Namun di mana bersembunyinya di antara gedung-gedung kaca ini?

***

Berbicara tentang pelangi, kuingat seseorang pernah meminta padaku:

Buatkan aku dua lukisan cat air. Satu lukisan warna-warni pelangi. Satu lagi lukisan kusamnya campuran seluruh warna. Akan kupajang keduanya berdampingan. Ini untuk selalu mengingatkanku bahwa hidup bagaikan warna-warni sekotak cat air. Kita yang menentukan bagaimana lukisan dari warna-warni itu. Kalau kita menata warna-warni tersebut dengan baik, akan tercipta indahnya pelangi. Kalau kita mengkacaukannya, mencampur-adukkan semua, yang ada hanyalah warna suram kecoklatan.


***

Ah, pelangi. Kuingin lihat pelangi...

Matahari mulai menghilang. Aku masih di jalanan yang sama, dengan kemacetan yang sama. (9 April 2003)