Tak Ada Buah Tangan



Maaf… tak ada buah-tangan kubawakan. Yang ada hanya potongan kenangan…

Tentang ayah bocah bergandeng tangan menelusuri jalan pematang di hari petang. “Lihat jalannya ada lima lagi”, kata sang bocah… “Kemana kita? Ke sana! Ya, ke sana!” “Bunda, hati-hati, jalannya putus!” ... Mendengar suara batang-batang padi. Desirnya tertiup angin. Capung merah menyelinap di hijaunya padi. Daun berkelopak empat. Jejak kaki di lumpur. Kepik dan ular...

Tentang stasiun kereta lama sepi nyaris tak terpakai. Di pagi hari belum mandi. Nasi soto panas sungguh nikmat. Semangkuk? Tak akan cukup. Naik ke puncak gundukan batu kerikil. Menonton satu gerbong kereta penumpang ditarik lokomotif kecil. Ada ayah dan bocah lain yang juga ikut menikmati pagi. Sang ayah memegang erat sang bocah duduk di muka lokomotif, untuk ikut lokomotif berputar. Mungkin buat sang bocah itu adalah petualangannya terhebat hari itu...

Tentang pasar pagi di dekat sungai. Pasar yang cantik buatku. Kios-kios terbuka. Gang-gang lebar tak beratap. Tak ada sumpek. Lagipula pasar sepi. Sudah kesiangan datangnya. Para penjual mengobrol santai. Membeli gula aren. Terdengar cerita pasar akan ditutup. Oh, sungguh sayang...

Tentang sungai kering musim kemarau di bawah jembatan. Alirnya jernih semata kaki. Memantul cahaya pagi pada riaknya. Batu-batu kecil bulat berlumut. Ikan-ikan kecil berenang-renang di ceruk air. Jernih yang sejenak keruh terpijak kaki. Gelak riang bocah berlari-lari mencipratkan air. Membasah badannya telanjang dan celananya tergulung selutut...

Maaf… tak ada buah-tangan kubawakan. Yang ada hanya potongan kenangan…